Mahmud Muhammad Taha (1909 - 18 Januari 1985; bahasa Arab: محمود محمد طه) juga dikenal dengan sebutan Ustad Mahmud Muhammad Taha, adalah seorang ulama dan insinyur asal Sudan. Pemikirannya yang paling dikenal adalah "Pesan Kedua Islam", yang mendalilkan bahwa ayat-ayat Al-Qur'an yang diturunkan di Madinah (Surah Madaniyah) hanya sesuai untuk zamannya saja, sementara ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah (Surah Makiyah) bersifat universal, mewakili agama yang ideal, dan akan dihidupkan kembali ketika umat manusia telah mencapai tahap perkembangan yang mampu menerima mereka, dan akan mengantarkan Islam yang diperbaharui berdasarkan kebebasan dan kesetaraan.[1] Ia dihukum mati pada tahun 1985 (saat ia berusia 76 tahun) oleh rezim Gaafar Nimeiry setelah dinyatakan murtad.[2][3]

Mahmud Muhammad Taha
محمود محمد طه
Pemimpin Ikhwanul Jumhuriyun
Masa jabatan
26 Oktober 1945 – 18 Januari 1985
Sebelum
Pendahulu
Partai didirikan
Pengganti
Petahana
Sebelum
Informasi pribadi
Lahir1909
Rufa'a, Sudan Inggris-Mesir
Meninggal18 Januari 1985 (usia 76)
Khartoum, Republik Demokratik Sudan
Partai politikIkhwanul Jumhuriyun
PekerjaanPolitikus, ulama, insinyur sipil
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Riwayat awal

Masa kecil

Mahmud dilahirkan sekitar tahun 1909 atau 1911.[4] Menurut cendekiawan Islam Abdullahi Ahmed An-Na'im, 1909 adalah tahun yang diberikan oleh Mahmud sendiri, mengingat pada saat itu tidak terdapat akta kelahiran.[5] Namun, menurut penulis biografi Mahmud, Edward Thomas, Mahmud sendiri tidak mengetahui secara pasti kapan ia dilahirkan.[4] Tempat kelahiran Mahmud juga tidak pasti.[4] Ada yang mengatakan bahwa ia dilahirkan di Rufa'a, sebuah kota yang terletak di pinggir Sungai Nil Biru di Sudan tengah (yang saat itu dijajah oleh Inggris).[6] Namun, ada pula yang meyakini bahwa ia berasal dari Heglig (al-Hijaylij), yaitu sebuah dusun yang terletak sekitar 16 km di sebelah utara Rufa'a.[4]

Ia dilahirkan di keluarga yang merupakan bagian dari suku Rikabiya, yaitu suku yang garis keturunannya dapat ditilik kembali ke Ghulamullah bin Aid; Ghulamullah mengklaim sebagai keturunan Nabi Muhammad dan tiba di kawasan Dongola, Nubia, pada abad ke-14.[7] Ayah Mahmud, Muhammad Taha al-Malik Fadul, pernah menikah dua kali. Mahmud dilahirkan oleh istri kedua ayahnya, Fatma Mahmud. Mahmud memiliki dua kakak perempuan, yaitu Batul dan Kulsum, serta seorang adik laki-laki yang lahir pada tahun 1913, yaitu Mukhtar. Fatma melahirkan Ahmed al-Mustafa pada tahun 1915, tetapi ia meninggal dunia setelah beberapa bulan. Mahmud juga memiliki satu saudara tiri, yaitu Ahmed wad al-Birr.[8] Ayah Mahmud bermatapencaharian sebagai seorang petani dan memiliki rumah di Heglig maupun Rufa'a.[9] Mahmud menghabiskan masa kecilnya berpindah-pindah di antara kedua tempat ini.[4] Ayahnya juga mempunyai lahan pertanian di Heglig.[4] Selain itu, ia memiliki sebuah mesin penghasil minyak yang terbuat dari batang pohon dan digerakkan oleh unta. Pendapatan tambahan dari mesin ini menjadikan keluarga Muhammad Taha sebagai keluarga yang berkecukupan.[9]

Fatma Mahmud meninggal dunia pada tahun 1915 akibat wabah meningitis yang menjangkit Rufa'a. Muhammad Taha kemudian pindah bersama anak-anaknya ke Heglig. Pada tahun 1920, ayah Mahmud wafat. Mahmud bersama saudara-saudaranya kemudian tinggal bersama dengan nenek mereka dari pihak ibu, Zeinab Hamza, dan paman mereka di Rufa'a.[10] Mahmud dibesarkan oleh seorang wanita muda yang bernama al-Rabb Biyjud, yang kemungkinan adalah seorang mantan budak dari wilayah selatan. Al-Rabb Biyjud membaktikan hidupnya untuk membesarkan Mahmud dan saudara-saudaranya, dan ia tinggal bersama Mahmud hingga akhir hayatnya pada tahun 1970-an.[11]

Pendidikan

Kurang lebih pada masa ketika ibunya meninggal, Mahmud sempat menjadi murid di sekolah keagamaan Sufi yang disebut "khalwat". Kemungkinan ia belajar di dua khalwat, yaitu di Rufa'a dan Heglig.[12] Ia belajar Alquran dari seorang fakih di khalwat tersebut,[13] tetapi tidak sampai khatam.[6] Setelah ayahnya meninggal, Mahmud tidak mengenyam pendidikannya di madrasah, tetapi di sebuah sekolah biasa.[6] Ia mulai bersekolah saat berumur sebelas tahun dan menyelesaikan pendidikan dasarnya dalam waktu sebelas tahun; pendidikan dasar saat itu berlangsung selama delapan tahun, sehingga ia kemungkinan juga sempat bekerja. Di sekolah tersebut Mahmud belajar membaca dan menulis dalam bahasa Arab, matematika, serta bahasa Inggris.[14]

Setelah lulus, ia sempat bekerja untuk pemerintah, atau langsung mengambil jurusan teknik di Gordon Memorial College di Khartoum pada tahun 1932.[15] Menurut salah satu teman sekolahnya di Khartoum, Girgis Iskander, Mahmud adalah orang yang "sangat beragama, lebih dari yang lain, dengan sejumput nasionalisme."[16] Pengalaman Mahmud di Khartoum tidak hanya memberikannya kemampuan-kemampuan teknis, tetapi juga membuatnya terpapar dengan gagasan-gagasan dan identitas-identitas baru, serta orang-orang yang lebih kaya darinya.[16] Ia lulus pada tahun 1936.[6]

Kegiatan antipenjajahan

Bekerja, menikah, dan awal kegiatan politik

Setelah lulus dari universitas, Mahmud bekerja sebagai seorang insinyur di perusahaan kerata api milik negara Sudan Railways. Pada masa ini ia pergi ke luar Sudan untuk pertama dan terakhir kalinya; ia pernah mengunjungi Mesir untuk waktu yang singkat. Setelah itu ia mulai bekerja di Atbara, yaitu kota yang didirikan oleh Inggris sebagai pusat kereta api di Sudan.[17]

Pada akhir dasawarsa 1930-an dan awal 1940-an, ia ikut serta dalam gerakan yang menuntut kemerdekaan dari kekuasaan Inggris dan Mesir.[18] Mahmud tidak bergabung dengan Muktamar Umum Lulusan (Graduates General Congress, GGC) yang mengampanyekan peningkatan anggaran untuk pendidikan, tetapi ia menjadi salah satu pendiri perkumpulan lulusan di Atbara. Ia merasa bahwa pada saat itu Inggris sudah curiga dengan kegiatannya.[19] Pada masa setelah dimulainya Perang Dunia II di Afrika Timur, ia dipindahkan ke jalur kereta api Tessenei yang terletak di dekat perbatasan dengan Etiopia; Mahmud menganggap pemindahan ini sebagai sebuah penurunan pangkat.[20]

Sebelum keluar dari perusahaan Sudan Railways, Mahmud pulang ke Rufa'a dan menikah pada tahun 1940 atau 1942 dengan Amna Muhammad Lutfi, putri kepala sekolahnya. Amna adalah seorang wanita yang terdidik, dan pada masa itu Mahmud sudah mendukung komitmen ayah Amna dalam memberikan pendidikan kepada wanita. Mengingat Amna telah mengenyam pendidikan, mas kawin yang dibayarkan oleh Mahmud juga dua atau tiga kali lebih besar, yaitu 40 pound Mesir.[21]

Setelah menikah, mereka meninggalkan Rufa'a dan tinggal di sebuah gerbong di kaki Dataran Tinggi Etiopia bersama dengan al-Rabb Biyjud.[22] Muhammad dan istrinya sempat kembali ke Atbara untuk sementara, dan ia kemungkinan masih melanjutkan kegiatan politiknya. Kurang lebih pada masa ketika Muhammad lahir, Mahmud memutuskan untuk mengundurkan diri dari Sudan Railways, karena ia merasa aktivismenya menghambat kemajuan kariernya. Ia lalu bekerja di Sudan Light and Power Company (sebagian dimiliki oleh pemerintah) yang mengelola tram di Khartoum.[23] Pada tahun 1944, Amna kembali ke Rufa'a untuk melahirkan anak pertamanya yang kemudian dinamai Muhammad.[22] Mahmud dan keluarganya kemudian pindah ke Omdurman.[23]

Hizbul Jumhuri, insiden Rufa'a, dan pemenjaraan

Pada Oktober 1945, Mahmud bersama rekan-rekannya mendirikan Hizbul Jumhuri (Partai Republik). Ia terpilih sebagai pemimpin partai tersebut.[24] Para anggota Hizbul Jumhuri aktif menyebarkan selebaran-selebaran politik.[25] Pada tahun 1946, aparat Inggris menuntutnya untuk menandatangani kesepakatan untuk tidak menerbitkan selebaran-selebaran yang menuntut kemerdekaan.[24] Ia diberi hukuman penjara selama setahun setelah menolak menandatangani kesepakatan tersebut.[26] Tahanan pada saat itu wajib bekerja, tetapi Mahmud menolak melakukan hal tersebut. Ia juga menolak berdiri ketika perwira Inggris datang. Mahmud lalu dimasukkan ke dalam penjara isolasi dan hanya diberi air dan roti. Teman-teman Mahmud mulai memperjuangkan agar ia dilepaskan, dan perlawanan Mahmud menarik perhatian media. Ia akhirnya dilepaskan tanpa syarat setelah 50 hari,[27] tepatnya pada akhir Juli 1946.[28] Saat berada di penjara, Amna kembali ke Rufa'a dan melahirkan seorang anak perempuan yang bernama Asma.[29]

Tak lama setelah dilepas, Mahmud ditangkap lagi.[24] Seorang ibu yang bernama Minayn binti Hakim ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara selama empat bulan karena telah menyunat putrinya; pada masa itu, penjajah Inggris telah melarang praktik pemotongan kelamin perempuan.[30] Mahmud pun memulai sebuah demonstrasi yang bergerak dari masjid ke merkaz (kantor pemerintahan daerah) di Rufa'a. Massa kemudian membebaskan Minayn dari merkaz tersebut. Minayn ditangkap lagi pada malam yang sama, dan pada hari berikutnya, Mahmud memimpin sekitar seribu orang ke merkaz dan kembali membebaskan Minayn. Keesokan harinya, Inggris mengirim pasukan yang berasal dari suku Nuba. Mahmud memimpin massa yang dipersenjatai dengan tongkat, pedang, dan bedil. Pasukan tersebut melepaskan tembakan, dan beberapa orang terkena peluru. Pada akhirnya situasi berhasil mereda, tetapi Mahmud bersama adknya, Mukhtar, ditangkap. Pada 16 Oktober 1946, mereka diadili di Wad Medani.[31] Mahmud menolak membela diri dan pada akhirnya dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun atas dakwaan hasutan melawan pemerintah.[32]

Menurut penulis biografi Mahmud, Edward Thomas, Mahmud sebenarnya menentang sunat perempuan, tetapi ia juga menolak undang-undang yang melarang praktik tersebut. Ia meyakini bahwa sunat perempuan hanya dapat dihapuskan lewat pendidikan. Walaupun sikap Mahmud membuat orang mengira bahwa ia mendukung praktik tersebut, demonstrasi di Rufa'a tetap dianggap sebagai tindakan perlawanan terhadap penjajah Inggris.[33] Insiden ini juga semakin membuat Mahmud dikenal umum.[32]

Mahmud dijebloskan ke penjara di Wad Medani.[34] Ia sempat membina hubungan dengan dunia luar dan masih meneruskan kegiatannya, tetapi setelah hal ini diketahui oleh aparat, ia dipindahkan ke Penjara Kober di Khartoum.[35] Pada masa pemenjaraan ini, Mahmud memutuskan untuk berkhalwat, yaitu kegiatan menyepi dalam tradisi Sufi.[24][36] Setelah keluar dari penjara pada akhir tahun 1948,[37] ia terus berkhalwat selama tiga tahun. Saat berkhalwat inilah ia mendapatkan ilham keagamaannya dan mencetuskan gagasan teori evolusi hukum Islam (tatwir al-tashri al-Islami ).[24]

Penyebaran ajaran

Sekembalinya dari berkhalwat, Mahmud pindah ke Omdurman bersama keluarga. Pada masa ini, adiknya, Mukhtar, meninggal dunia akibat wabah meningitis seperti halnya ibunda mereka. Mukhtar pernah menikah lima kali, dan masing-masing istri memiliki anak darinya; Mahmud memutuskan untuk menyediakan nafkah untuk mereka, membelikan mereka rumah di Omdurman, dan membiayai pendidikan mereka. Mahmud kembali bekerja di perusahaan Sudan Light and Power Company dan memiliki cukup uang untuk menanggung keluarganya yang besar. Pada awal dasawarsa 1950-an, ia mundur dari pekerjaannya dan menjadi kontraktor di Khartoum.[38]

Kegiatan kelompok Jumhuri berlanjut setelah Mahmud kembali dari khalwatnya. Dalam pertemuan partai yang diselenggarakan pada November 1951, Mahmud menjelaskan gagasannya mengenai Islam yang baru. Gagasan ini menyeimbangkan kebebasan individu dengan kepentingan masyarakat.[39] Pada tahun 1952, ia menerbitkan buku yang berjudul Qul Hadhihi Sabili ("Inilah Jalanku"). Ia mengumandangkan peradaban Islam yang baru yang memadukan spiritualitas timur dengan kemajuan Barat. Di buku ini, Mahmud juga tetap meneruskan kegiatan antipenjajahannya; ia menyerukan pembangkangan sipil untuk mengusir penjajah.[40]

Karya

  • Pesan Kedua Islam. رسالة الإسلام الثانية
  • Permasalahan Timur Tengah. "Musykilat Asy-syarq Al-Ausath" مشكلة الشرق الأوسط
  • Ini Jalanku. "Qul Hadza Sabiili" قل هذه سبيلي
  • Jalan Muhammad. "Thariiq Mohammed" طريق محمد
  • Risalah Salat. "Risalat Ash-shalat" رسالة الصلاة
  • Tantangan Menghadapi Orang Arab. "At-Tahaddi Al-ladzi Yuwajjihuhu Al-'Arab" التحدي الذي يواجهه العرب

Referensi

  1. ^ Packer, George (11 September 2006). "The Moderate Martyr". The New Yorker. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-01-15. Diakses tanggal 29 April 2015. 
  2. ^ Apostacy|International Humanist and Ethical Union
  3. ^ Packer, George (11 September 2006). "The Moderate Martyr: A radically peaceful vision of Islam". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-04-07. Diakses tanggal 2019-09-21. 
  4. ^ a b c d e f Thomas 2011, hlm. 7.
  5. ^ An-Na'im 1988, hlm. 9, catatan kaki 20.
  6. ^ a b c d An-Na'im 1988, hlm. 9.
  7. ^ Thomas 2011, hlm. 10-11.
  8. ^ Thomas 2011, hlm. 7-8.
  9. ^ a b Thomas 2011, hlm. 8.
  10. ^ Thomas 2011, hlm. 9.
  11. ^ Thomas 2011, hlm. 9-10.
  12. ^ Thomas 2011, hlm. 11.
  13. ^ Thomas 2011, hlm. 11-12.
  14. ^ Thomas 2011, hlm. 38-39.
  15. ^ Thomas 2011, hlm. 44.
  16. ^ a b Thomas 2011, hlm. 54.
  17. ^ Thomas 2011, hlm. 55-56.
  18. ^ An-Na'im 1988, hlm. 9-10.
  19. ^ Thomas 2011, hlm. 58.
  20. ^ Thomas 2011, hlm. 58-59.
  21. ^ Thomas 2011, hlm. 59.
  22. ^ a b Thomas 2011, hlm. 60.
  23. ^ a b Thomas 2011, hlm. 61.
  24. ^ a b c d e An-Na'im 1988, hlm. 10.
  25. ^ Thomas 2011, hlm. 68-69.
  26. ^ Thomas 2011, hlm. 70.
  27. ^ Thomas 2011, hlm. 70-71.
  28. ^ Thomas 2011, hlm. 72.
  29. ^ Thomas 2011, hlm. 71.
  30. ^ Thomas 2011, hlm. 73-74.
  31. ^ Thomas 2011, hlm. 74.
  32. ^ a b Thomas 2011, hlm. 75.
  33. ^ Thomas 2011, hlm. 76.
  34. ^ Thomas 2011, hlm. 79.
  35. ^ Thomas 2011, hlm. 80.
  36. ^ Thomas 2011, hlm. 83.
  37. ^ Thomas 2011, hlm. 85.
  38. ^ Thomas 2011, hlm. 92-93.
  39. ^ Thomas 2011, hlm. 97.
  40. ^ Thomas 2011, hlm. 98.
  • An-Na'im, Abdullahi Ahmed (1988), "Mahmud Muhammad Taha and the Crisis in Islamic Law Reform: Implications for Interreligious Relations", Journal of Ecumenical Studies, 25 (1): 1–21 
  • Thomas, Edward (2011), Islam's Perfect Stranger: The Life of Mahmud Muhammad Taha, Muslim Reformer of Sudan, London: I.B. Tauris