Soesilo Toer
Soesilo Toer (lahir 17 Februari 1937) merupakan adik dari sastrawan Indonesia Pramoedya Ananta Toer. Selain dikenal sebagai lulusan doktor universitas di Uni Soviet, dia juga mengurusi Perpustakaan Pataba, di rumah masa kecil Pramoedya. Pada usia tuanya, dia masih aktif mengurusi dunia perbukuan.
Soesilo Toer | |
---|---|
Lahir | 17 Februari 1937 Blora, Jawa Tengah |
Tempat tinggal | Jalan Pramoedya Ananta Toer (ex Jalan Sumbawa) No. 40, Kelurahan Jetis, Kecamatan Blora, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa Tengah |
Kebangsaan | Hindia Belanda |
Pekerjaan | Pengelola perpustakaan, Penulis, Pemulung |
Tahun aktif | 1950-sekarang |
Tempat kerja | Perpustakaan Pataba |
Dikenal atas | Adik Pramoedya Ananta Toer dan mendirikan Perpustakaan Pataba. |
Karya terkenal | Dunia Samin, Republik Jalan Ketiga, Anak Bungsu, Serigala, Pentalogi Pram |
Pasangan | Suratiyem |
Orang tua |
|
Penghargaan | Novel Terbaik Prasidatama 2018 |
Sehari-hari hidup dari menjual buku, menulis, penyunting, memulung, memelihara ayam dan kambing meskipun ia punya gelar doktoral dan mengelola perpustakaan yang terkenal sampai ke luar negeri.
Masa kecil
Soesilo lahir di Blora pada tanggal 17 Februari 1937. Rumah masa kecilnya ada di Jetis, Kecamatan Blora, Kabupaten Blora. Ayahnya bernama Mastoer, yang kemudian mengubah namanya menjadi Toer saja karena menurutnya Mas berbau feodal, seorang guru dan aktivis Boedi Oetomo dan ibunya bernama Siti Saidah.[1] Ia lahir sebagai anak ke-7 dari 9 bersaudara.[2] Di usia yang 4 tahun, ibunya meninggal dunia.[1] Ayahnya mendukung aktivitas kemerdekaan Indonesia di mana ia menjadi kepala sekolah Instituut Boedi Oetomo yang sebelumnya ditinggalkan oleh Dokter Soetomo. Ketika ia lahir, keluarganya dalam kondisi ekonomi yang sulit di mana utang menumpuk, surat-surat tanah pun dijual guna melunasi pembelian lahan dan bangunan instituut tersebut. Sekolah tersebut belakangan mengalami kemunduran akibat Ordinansi Sekolah Liar Hindia-Belanda pada tahun 1932, di mana lulusan sekolah partikelir tak bisa bekerja di Gubernemen; karena itu banyak yang memutuskan untuk keluar dan sekolah pun mengalami kebangkrutan. Ayahnya, terjangkit hobi baru yaitu berjudi ceki.[3] Berlainan dengan masa kelahiran kakaknya, Pramoedya Ananta Toer. Pada tahun 1925 ketika keluarga mereka masih berkecukupan, punya simpanan uang, dan memiliki 20 surat tanah yang tersebar di Blora. Soes, Pram, dan saudara-saudaranya yang lain bersekolah di Instituut Boedi Oetomo.[4] Pada masa kecilnya, Pram yang telah menjadi yatim-piatu mengasuh adik-adiknya, menganggap Soes ini sebagai adik kebanggaannya. Soes dididik dengan ketegasan—keras seperti ayahnya. Walau demikian, dia tetap menyayangi abangnya, Pram.[1] Menginjak usia SMP pada tahun 1950, mereka pindah ke Jakarta. Ia bersekolah di Taman Siswa, yang berjarak 6 kilometer dari rumahnya dengan uang saku Rp. 10 per bulan. Manakala ia kekurangan jajan, ia disuruh untuk mencari tambahan sendiri, dan Soes melakukannya dengan menulis pada usia 13 tahun, berbeda dengan kakaknya yang memulai menulis pada umur 15 tahun.[5][3][2] Menurut penuturannya, tulisannya yang pertama diterbitkan di Majalah Kunangkunang terbitan Balai Pustaka berjudul "Aku Ingin Jadi Jenderal". Semua referensi dari bahan tulisan pada masa mudanya berasal dari majalah loak asing. Hampir semua hal ia tulis, bahkan hingga soal cerpen, cerbung, dan novel.[3]
Masa dewasa
Menginjak masa dewasa, ia berkuliah di Universitas Indonesia jurusan Ekonomi dan pindah ke Akademi Keuangan Bogor.[6] Ia ke UI tanpa tes karena ditopang oleh nilai pelajarannya yang tinggi. Ia berhenti kuliah dari kedua perkuliahan tersebut karena biaya yang tinggi. Soes menyelesaikan diplomanya di Akademi Keuangan Bogor yang berada di bawah Badan Pengawas Keuangan (BPK). Selama ia menjadi mahasiswa, ia bekerja pada sebuah penerbitan dengan gaji yang tak begitu besar dan pekerjaannya pun tidaklah tetap. Adapun penyokongnya yang terutama, adalah uang dari keluarga yang ia putar pada pedagang kecil yang butuh modal. Dari pinjaman tersebut, bunga yang ia dapat ia pakai untuk menyokong biaya sekolah dan kehidupan sehari-hari.[2]
Lulus kuliah, ia bekerja sebagai pegawai pada sebuah perusahaan asuransi yang dinasionalisasi karena tuntutan buruh. Seketika, hidupnya pun mengingkat, dan ia menjadi sejahtera, tidak melarat. Walau begitu, ia tidak menyukainya karena menurutnya, "membosankan, setiap hari hanya dipenuhi angka-angka. Kantornya berisik oleh suara mesin hitung, mesin bagi, mesin tulis, mesin bagi, dan mesin kali".[2]
Soes pernah mengikuti pelatihan militer 2 tahun di penghujung 1950an menjelang Operasi Trikora mengikuti kebijakan pemerintah untuk membebaskan Irian Barat. Namun, Soes tidak jadi mengikuti wajib militer setelah pelatihan. Sekalipun ia tak ikut pembebasan Irian Jaya, ia mendapat pangkat Letnan dari pelatihan tersebut.[4] Selain itu, ia pun lolos penjaringan beasiswa otoritas Rusia. Sekitar 9000 orang mendaftar, hanya 30 yang diterima, ia salah satunya.[2] Dia berangkat ke Rusia pada tahun 1962,[4][2] setelah menikah dahulu dengan istrinya.[6]
Seosilo tinggal di Rusia sejak tahun 1962 s/d 1973 untuk menyelesaikan S2nya. Melanjutkan pasca-sarjana di Fakultas Ekonomi dan Politik Universitas Patrice Lumumba dan menyabet gelaran doktor dari Institut Perekonomian Rakyat Plekhanov dalam bidang ekonomi dan politik setelah mendalami filosofi ajaran Marxisme dan Leninisme terutama terkait dengan realisme sosial.[4] Oleh karena dia tidak lulus dengan predikat cum laude, dia diharuskan untuk bekerja selama 2 tahun di Rusia. Selama 11 tahun di Rusia, Soes bekerja apa saja, mulai dari penulis, penerjemah, peneliti dan pekerja kasar. Karena latar belakang pendidikannya, Soes berpendapatan tinggi. Dia hidup bergelimang harta di Rusia. Sepekan sekali, ia bisa bersantap di restoran berkelas di Rusia. Berpindah-pindah lokasi tergantung seleranya. Soes mengaku sering mentraktir teman-temannya dan menggelar pesta kecil-kecilan. Selama berkuliah, dia juga dikenal sebagai penggila buku-buku Rusia yang bahkan belum dibaca oleh dosennya.[2]
Pulang ke Indonesia
Pada tahun 1973, pada masa pemerintahan Soeharto Soes ditangkap karena dianggap punya hubungan dengan Partai Komunis Indonesia.[4] Dia dijebloskan ke penjara selama sekitar 5,5 tahun.[7] Ia langsung ditangkap ketika turun dari pesawat. Tanpa pembuktian dan pengadilan mengenai penangkapannya, ia dilepas dari penjara pada 28 Oktober 1978, tepat 50 tahun Sumpah Pemuda. Diketahui, sebelum ia ditangkap Kedutaan Indonesia di Moskow menggelar pengajian untuk mendoakan para korban keganasan PKI. Soes tidak hadir kala itu karena ia merasa tidak mendapatkan undangan. Namun, ia menduga, akibatnya ia dinilai terlibat PKI. Pada tahun 1980, Pramoedya lepas dari tahanan politik setelah mendekam selama 4 tahun di Nusakambangan dan 10 tahun di Pulau Buru.[7] Soesilo awalnya tidak dikenali oleh Pram karena dia berpakaian klimis. Banyak orang memberi ucapan selamat pada Pram yang baru lepas dari penjara sampai antrean begitu panjang. Namun Soes kabur dulu sebelum ia menyampaikan selamat pada abangnya. Pram belum sadar sampai ketika Pram bertanya kepada istrinya, barulah Soes dikejar dan ia pun dipeluk.[5]
Berstatus sebagai eks-tapol Orde Baru menyebabkan kehidupan Soesilo dalam kesulitan. Beliau sulit mendapat pekerjaan yang layak, dan sulit diterima di masyarakat. Walau begitu, Banyak hal yang dilakoninya, seperti bekerja serabutan dari mulai berdagang kain sampai menulis. Karena jasa temannya, ia dapat menjadi seorang dosen di sebuah universitas swasta selama 6 tahun. Merasa tidak berhasil hidup di Jakarta, ia pun kembali ke kampung halamannya pada tahun 2004. Apalagi rumahnya yang semipermanen di atas lahan 320 m2 digusur untuk pembangunan jalan tembus Cakung-Kranji. Dari situ, ia mendapat uang ganti yang ia pakai untuk biaya hidup dan merenovasi rumah masa kecil Pram.[7] Ia kembali ke Blora pada tahun 2004. Namun sesaat sebelum itu, ia sudah bolak balik ke Blora untuk memperbaiki keadaan rumah atas permintaan abangnya, Pram.[8]
Kehidupan masa tua
Memulung dan pekerjaan lain
Pada masa tuanya dia bekerja sebagai pemulung untuk melanjutkan hobi yang ia mulai sejak kecil,[4][8] biasanya bergerak memunguti sampah bernilai jual mulai sehabis maghrib hingga dini hari di wilayah perkotaan Blora. Ia mengumpulkan sampah botol, kardus, koran, dan sampah lainnya. Ia melakukannya dengan naik motor bebek pemberian keponakannya. Ini ia lakukan demi menyambung hidup. Setidaknya dari hasil itu, ia memperoleh Rp 25.000, dan itulah yang terus ia lakoni tiap hari di sekeliling kota Blora.[5] Sepulang memulung, hasilnya dipilah-pilah dan ditata rapi di halaman rumah.[1]
Selain memulung, ia juga menjual ayam dan kambing, masih memiliki penerbitan yang bernama Pataba Press,[8] dan masih aktif menulis. Karya yang ia tulis setelah mencapai 19 judul, 6 judul bersama penulis lain, dan yang masih belum diterbitkan sebanyak sekitar 20 judul. Pada awal penerbitannya, ia menerbitkan zine (buletin independen) yang telah ia mulai secara kecil-kecilan sejak tahun 2009 dengan nama Pataba Press. Pataba Press inilah yang ia jadikan nama penerbitannya yang berada di bawah naungan Lembaga Kajian Budaya dan Lingkungan Pasang Surut.[4][5]
Perpustakaan Pataba
Perpustakaan Pataba diresmikan tepat pada 30 April 2006, hari meninggalnya Pramoedya.[9] Pataba merupakan akronim dari "Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa".[10] Perpustakaan ini berada pada rumah masa kecil Pram. Di dalamnya terdapat karya-karyanya juga karya salah seorang kakaknya, Koesalah Soebagyo Toer yang juga ahli bahasa Rusia. Perpustakaan itu terletak pada satu ruangan yang berukuran 4 × 5 meter. Ada kurang lebih 10 ribu koleksi buku yang tersimpan di sana, termasuk 50 buku karya Toer.[4][9] Perpustakaan tersebut didirikan untuk menumbuhkan semangat membaca dan menulis pada masyarakat. Pada awalnya perpustakaan tersebut dikelola oleh Soesilo dan Koesalah. Setelah sepeninggal Koesalah, Soesilo Toer mengelola perpustakaan ini bersama istri dan anaknya.[10]
Perpustakaan Pataba terkenal sampai luar daerah, — bahkan luar negeri. Perpustakaan ini menjadi rujukan bagi para penulis, mahasiswa, dan para peneliti luar negeri untuk mencari rujukan sastra. Dari Amerika, Prancis, Bulgaria, Jerman, dan termasuk negara-negara Asia.[8]
Kehidupan pribadi
Soesilo memiliki istri bernama Suratiyem dan seorang anak bernama Benee Santoso. Benee sendiri dibanggakannya karena ia salah satu dari sekitar 50 anak dari cucu Mastoer yang menekuni bidang tulis-menulis. Ia menguasai bahasa Jawa, Rusia, Inggris, Belanda, dan Jerman. Dan, ia menyebut dirinya sendiri diglosia, karena menguasai beberapa bahasa.[4][2]
Karya-karyanya
Di bawah ini merupakan karya-karya Soesilo Toer:[4]
- Suka Duka si Pandir (novel, 1963)
- Komponis Ketjil dan Tjerita-tjerita Lain (Kumpulan cerita anak-anak, 1963)
- Seribu Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa (Memoar, 2009)
- Bersama Mas Pram: Memoar Dua Adik Pramoedya Ananta Toer (Memoar 2009)
- Di Antara Pena, Perempuan dan Keberanian (Biografi)
- Pram dan Seks (Biografi)
- Legenda Gunung Kemukus (Cerita legenda)
- Putri Sendang Wungu (Cerita legenda)
- Legenda Kedungombo (Cerita legenda)
- Pram dan Seks 2 (Biografi)
- Pram dan Seks 3 (Biografi)
- Mutiara dari Blora; Pataba
- Pram dari Dalam (biografi, 2013)
- Pram dalam Kelambu (biografi, 2015)
- Pram dalam Bubu (biografi, 2015)
- Komponis Kecil Edisi Baru (cerita anak-anak, 2015)
- Pram dalam Belenggu (biografi, 2016)
- Pram dalam Tungku (biografi, 2016)
- Dunia Samin (novel, 2016)
- Anak Bungsu (novel, 2017)
- Republik Jalan Ketiga (Esai politik ekonomi, 2017)
- Indra Tualang si Doktor Kopi (cerita anak-anak, 2017)
- Kompromi (novel, 2017)
- Serigala (novel, 2017)
- Rona-rona (puisi, 2017)
- Nasib Seorang Penebang Kayu (cerita anak-anak, 2018)
- Dari Blora ke Rusia (Memoar, 2019)
- Serenade (kumpulan cerpen, 2019)
- Kritik Sekitar Hari Pendidikan Nasional dan Pendidikan Nasional (esai pendidikan, 2019)
- Raja Gembul (cerita anak-anak, 2020)
- Dari Blora ke Siberia (memoar, 2020)
- Perjuangan Sebuah Lembaga Pendidikan (sejarah, pendidikan, 2022)
Rujukan
- ^ a b c d Nugroho, Puthut Dwi Putranto (4 Juni 2018). Damanik, Caroline, ed. "Kisah Soesilo Toer Mengenang Pramoedya Ananta Toer, Cinta Tanah Air dan Islam Tulen (3)". Kompas.com. Diakses tanggal 7 Juli 2018.
- ^ a b c d e f g h Nugroho, Puthut Dwi Putranto (4 Juni 2018). Damanik, Caroline, ed. "Kisah Soesilo Toer, Adik Pramoedya Ananta Toer yang Bergelar Doktor dan Kini Jadi Pemulung (1)". Kompas.com. Diakses tanggal 7 Juli 2018.
- ^ a b c Susanto, Gunawan Budi (6 Mei 2018). "Soesilo Toer: Saya Sudah Banyak Mengalahkan Pram". Suara Merdeka. Diakses tanggal 7 Juli 2018.
- ^ a b c d e f g h i j Sujatmiko (25 Juni 2018). "Cerita dari Blora". Tempo. Jakarta: Tempo Media Group.
- ^ a b c d Jordan, Ray (3 Juni 2018). "Kisah Soesilo Toer, Doktor yang Kini Memulung Sampah di Blora". DetikNews. Diakses tanggal 7 Juli 2018.
- ^ a b "Soesilo Toer Sosok Sastrawan yang Fenomenal". Universitas Negeri Surabaya. 17 Februari 2018. Diakses tanggal 7 Juli 2018.
- ^ a b c Nugroho, Puthut Dwi Putranto (4 Juni 2018). Damanik, Caroline, ed. "Kisah Soesilo Toer Dituding PKI, Jadi Pemulung Lalu Bangun Perpustakaan untuk Sang Kakak (2)". Kompas. Diakses tanggal 7 Juli 2018.
- ^ a b c d Budi, Taufik (29 Mei 2018). "Pemulung Bergelar Doktor Filsafat, Sebuah Kisah dari Adik Pramoedya Ananta Toer". Okezone (2). Diakses tanggal 11 Juli 2018.
- ^ a b Safuan, Akhmad (23 Mei 2018). "Menjadikan Rumah Blora untuk Lebih Mengenal Pramoedya". Media Indonesia. Diakses tanggal 11 Juli 2018.
- ^ a b A'yuni, Nesia Qurrota (22 Juni 2018). Khafifah, Nur, ed. "Mengunjungi Pataba, Perpustakaan yang Dikelola Keluarga Toer di Blora". Kumparan.com. Diakses tanggal 11 Juli 2018.