Kerajaan Kaimana
Kerajaan Kaimana (Jawi: كراجأن كيمان) juga dikenal dengan Kerajaan Sran atau Kerajaan Komisi dengan nama lokal Sran Emaan Muun adalah salah satu dari sembilan kerajaan seperti daerah wilayah semenanjung Bomberai Papua.
Kerajaan Kaimana كراجأن كيمان | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
1309–sekarang | |||||||
Bendera | |||||||
Wilayah Kerajaan Kaimana di bawah Kesultanan Tidore pada abad ke-16 (Uli Siwa) | |||||||
Ibu kota | Kaimana | ||||||
Bahasa yang umum digunakan | Melayu Papua, Bahasa Kowiai | ||||||
Agama | Islam setelah 1626 | ||||||
Pemerintahan | Kerajaan | ||||||
Rat | |||||||
• 1309–? M | Rat Sran Nati Patimunin I Imaga | ||||||
• ?–? M | Rat Sran Adi II Basir Onin | ||||||
• 1348–1440 M | Rat Sran Rat Adi III Woran | ||||||
• 1808–1898 M | Rat Sran E'man IV Nduvin | ||||||
• 1898–1923 M | Rat Sran E'man V Naro’e | ||||||
• 1923–1966 M | Rat Sran Rat E'man Umisi VI Achmad Aituarauw | ||||||
• 1966–1980 M | Rat Sran Rat Kaimana Umisi VII Muh Achmad Rais Aituarauw | ||||||
• 1980–sekarang | Rat Sran Rat Kaimana Umisi VIII Abdul Hakim Achmad Aituarauw | ||||||
Sejarah | |||||||
• Kemerdekaan dari Kesultanan Tidore | 1309 | ||||||
• Menjadi daerah Kabupaten Kaimana | sekarang | ||||||
| |||||||
Sekarang bagian dari | Indonesia | ||||||
Asal Muasal
Kerajaan Sran berasal dari kawasan pegunungan Mbaham, Tri Abuan Wanas. Leluhur mereka awalnya tinggal di Gunung Baik yang terletak di Semenanjung Kumawa atau kawasan Patimunin. Menurut penuturan Abdul Hakim Ahmad Aituarauw (Raja Sran Kaimana VIII), terbentuknya pemerintahan adat kerajaan Sran Kaimana adalah usaha raja pertama bernama Imaga. Saat itu penduduk yang mendiami kerajaan itu belum banyak. Imaga lalu menyatukan mereka dalam satu pemerintahan adat, ia berjalan dari kampung ke kampung untuk menyebarkan pengaruhnya. Cara lain adalah dengan cara perkawinan, sehingga hampir di semua wilayah ada keluarganya. Alhasil penduduk kampung-kampung tersebut bersatu dan mengangkatnya sebagai raja pada 1309. Bisa dikatakan kerajaan ini adalah kerajaan keluarga, karena Imaga sebenarnya menjadi pemimpin bagi keluarga besar. Raja Imaga, bergelar Rat Sran Nati Patimunin I. Pusat kerajaan dibangunnya di Weri, terletak di Teluk Tunas Gain di wilayah Fakfak.[1]
Administrasi Pemerintahan
Raja didampingi oleh duduvura adat dan raja muda yang kedudukannya adatnya sejajar dengan raja, namun masih berada di bawah kekuasaan raja. Dalam menjalankan pemerintahannya, raja dibantu oleh: pemuka agama, dukun/ ahli nujum, mayora, sangaji, hukom, joujau, kapitang/kapitan laut dan orang kaya.[1]
Wilayah kerajaan Sran pada masa awal berdirinya kerajaan hanya meliputi bagian kecil dari wilayah suku Mairasi di sebelah utara, Pulau Adi (Eraam Moon berasal dari bahasa Adijaya yang artinya "Tanah Haram")[2][3] di sebelah selatan, Pulau Samai di sebelah barat dan Kipia Mimika di sebelah timur. Namun berkat hubungan kekeluargaan dan kekerabatan yang dilakukan oleh raja pertama, maka lambat laun para warga suku tersebut menggabungkan diri dengan kerajaan Sran, sehingga menurut legenda, wilayah kekuasaan Raja Sran pada abad ke-14 berkembang menjadi semakin luas.[1]
Sebelum masuknya Belanda, kekuasaan raja adalah mutlak. Namun ketika Tidore mulai melebarkan kekuasaannya dan melakukan ekspedisi hongi daerah ini, kekuasaan raja semakin menurun karena dibawah bayang-bayang Tidore. Terlebih setelah terjadi perang saudara diantara keluarga raja. Selama beberapa lama kerajaan ini tidak memiliki raja. Raja yang diangkat oleh Sultan Tidore pun tidak bertahan sehingga vakum juga.[4]
Sejarah Sran Zaman Majapahit
Semasa pemerintahan raja Imaga, kondisi kehidupan masyarakat cukup baik. Mereka menjalin hubungan perdagangan dengan orang-orang Seram laut (Seram timur), yang mencari burung kuning, masoi dan emas di wilayah tersebut. Para pedagang Seram laut (Serandha/Seram timur) pun melakukan perkawinan dengan penduduk tanah daratan Papua Setelah raja Imaga wafat (tahun tidak diketahui), Raja Sran selanjutnya adalah “Basir Onin” anak dari Imaga. Ia memindahkan kerajaannya ke Pulau Adi didasarkan atas pertimbangan bahwa Pulau Adi terletak pada posisi strategis dalam lalu lintas pelayaran dan perdagangan menuju dataran Kowiai. Ia menyatakan sepuh kemudian mengangkat anaknya Woran sebagai Raja. Ibukota kerajaannya terletak di Borombouw.[5]
Pada masa pemerintahan Woran, kerajaan ini mengalami perkembangan yang cukup pesat. Ia memperluas pengaruh dan kekuasaannya dengan cara mengunjungi desa-desa serta melakukan pernikahan di berbagai tempat. Sehingga hampir sebagian besar hidup raja-raja dahulu adalah untuk mengunjungi kampung-kampung guna menghimpun mereka dalam kepemimpinannya dan melakukan perkawinan. Hasil usaha raja Woran membuat wilayahnya berkembang meliputi dataran semenanjung Onin, dataran Bomberay dan dataran Kaimana yang berbatasan dengan tanah rendah Kamoro. Woran mengangkat anaknya Wau’a sebagai Putra Mahkota, sayangnya Wau’a meninggal dalam usia muda sebelum sempat menjadi Raja. Dalam masa kepemimpinan Raja Woran, kerajaannya pernah dikunjungi oleh Patih Gajah Mada. Kunjungan ini tercatat dalam tulisan Empu Prapanca yang menyebutkan suatu daerah yang bernama Sran yang pernah dikunjungi oleh Patih Gajah Mada dalam upaya menggenapi Sumpah Palapa yang diucapkannya kepada raja Majapahit. Dalam kunjungannya ke istana raja Sran Rat Adi III yang diberi nama istana San Nabe di Borombow, Pulau Adi, beliau disambut dengan upacara kebesaran. Dalam kunjungan itu, Patih Gajah Mada memberikan seorang putri dan bendera merah putih kepada raja Woran; sedangkan raja Woran memberikan burung Cenderawasih (syangga) dan seorang putri raja untuk diantar kepada raja Majapahit. Woran memerintah selama 92 tahun yaitu dari tahun 1348-1440.[3]
Sejarah Sran Zaman Tidore
Namun pasca meninggalnya raja Woran, ada tiga orang raja lagi yang memerintah, namun tidak ada data yang jelas raja-raja selanjutnya ini. Menurut La Aga Samay (Sesepuh kerajaan Sran), pada tahun 1498, pasukan hongi Tidore, menyerang daerah Sran sehingga terjadi perang antara kerajaan Sran melawan pasukan hongi Tidore. Sejak itu Sran harus membawa budak dan burung kuning untuk diantar kepada Tidore. Oleh raja Tidore, mereka ini diberi hadiah-hadiah serta gelar-gelar. Pada abad ke XV (1460-1541) penguasa pertama di pulau Adi, Ade Aria Way, telah menerima Islam yang dibawa oleh Syarif Muaz yang mendapat gelar Syekh Jubah Biru, yang menyebarkan Islam di utara dan kawasan itu. Namun sambutan positif lebih banyak diterima di pulau Adi dalam hal ini di daerah kekuasaan Ade Aria Way. Setelah masuk Islam Ade Aria Way berganti nama menjadi Samai.[2][3]
Sultan Tidore, pernah mengangkat seorang raja di Pulau Adi, hal ini tertuang dalam Memorie-(Vervolg) van Overgave van de (Onder) Afdeeling West Nieuw Guinea, 1932, dikatakan bahwa Sultan Tidore mengangkat seorang raja di Pulau Adi dan daerah Karufa, seorang Mayor Wanggita, penguasa yang berpengaruh di Teluk Arguni, namun penerus keturunan raja-raja Adi dan Aiduma tidak dapat mempertahankan eksistensinya sebagai raja (A.L. Vink, “Memorie-(Vervolg) van Overgave van de (Onder)Afdeeling West Nieuw Guinea, 1932). Selanjutnya dalam laporan Etna yang dikutip oleh Pendeta F.C. Kamma (Kepulauan Tidore dan Papua) bahwa tahun 1859 juga ada seorang raja di Adi, yang kerajaannya terbentang dari teluk Kamrao sampai Tanjung Baik serta mencakup Pulau Kara dan Adi. Tidak bisa diselidiki apakah yang dimaksudkan dengan Kara, Karas atau Karawatu (Memorie van Overgave L.L.A. Maurenbrecher, 1953). Keterangan tersebut sesuai bahwa, pusat kerajaan Sran berada di Pulau Adi, namun pernah terjadi konflik diantara keluarga kerajaan sehingga untuk beberapa waktu lamanya tidak ada raja di kerajaan Sran.[6]
Sejarah Sran Zaman Belanda
Sampai kemudian pada tahun 1808, Nduvin diangkat sebagai raja Sran ke IV. Pada waktu itu, pusat Kerajaan Sran masih berkedudukan di Pulau Adi. Raja Nduvin memindahkan pusat pemerintahan kerajaannya dari Borombow di Pulau Adi ke E’man atau Kaimana. Nduvin menikah dengan putri Wai dari Bonggofut. Putri tersebut bermarga Ai dan berasal dari Gunung Natau di Franyau yang bernama Mimbe Werifun. Nduvin memiiki seorang anak bernama Nawaratu, lebih dikenal sebaga Naro’E. Disamping Naro’E, Raja Nduvin masih memiliki keturunan dari Umburauw kampung Bahumia dan Ubia Sermuku.[7]
Namun pada tahun 1898 setelah Nieuw Guinea dinyatakan sebagai milik Belanda, terjadi berbagai perubahan politik yang menyebabkan banyak terjadi perubahan dalam tatanan wilayah kekuasaan raja Kaimana yang berdampak semakin mundurnya kekuasaan raja. Raja berkuasa atas rakyatnya namun bukan raja sendiri yang berkuasa atas rakyat tersebut karena raja maupun rakyatnya berada di bawah kekuasaan Belanda dan harus tunduk pada aturan Belanda.[8]
Perjanjian yang ditanda tangani oleh Belanda dan kerajaan Maluku pada tahun 1824 itu antara lain berisi bahwa Irian Barat secara resmi diakui sebagai daerah kekuasaan Sultan Tidore (Kamma, 1981). Sebagai tindak lanjut perjanjian tersebut, pada tahun 1828, Belanda membangun sebuah benteng di teluk Triton di kaki gunung Lemansiri di Lobo (Namatota) Kaimana. Benteng ini diresmikan pada tanggal 24 Agustus 1828 dengan nama “Fort Du Bus”. Upacara peresmian dihadiri oleh orang Belanda dan juga warga pribumi Papua. Setelah upacara selesai dilakukan penandatanganan suratsurat perjanjian yang ditandatangani oleh Sendawan (raja Namatota), Kassa (raja Lakahia) dan Lutu (orang kaya Lobo dan Mawara). Ketiga raja ini oleh Belanda masing-masing diberi surat sebagai kepala daerah, berikut tongkat kekuasaan berkepala perak. Selain ketiga kepala daerah ini, diangkat pula 28 kepala daerah bawahan (Koentjaraningrat,1992). Dengan demikian raja Sran Kaimana menjadi kepala daerah bawahan dari Kerajaan Namatota.[9] Selama beberapa tahun berikutnya, Nduvin lebih banyak mencurahkan perhatiannya untuk melawan para hongi, sampai pada tahun 1898, Raja Nduvin wafat.[7]
Ia digantikan anaknya Naro’E yang dinobatkan sebagai raja dengan gelar Rat Sran Kaimana V. Dalam tahun 1898, parlemen Belanda mensyahkan pengeluaran anggaran sebanyak f.115.000 untuk mendirikan pemerintahan di Nieuw Guinea. Pemerintah Belanda membagi dua bagian daerah Nieuw Guinea, bagian utara dinamakan Afdeeling Noord Nieuw Guinea dengan kontrolir ditempatkan di Manokwari, lalu bagian Barat dan Selatan dinamakan Afdeeing West en Zuid Nieuw Guinea dengan kontrolir ditempatkan di Fak-fak (Koentjaranigrat, 1992). Kondisi geografis dan minimnya alat transportasi, menyebabkan banyak daerah di Afdeeling West en Zuid Nieuw Guinea yang penduduknya belum mengetahui kalau pemerintah Belanda sudah menguasai daerah tersebut.[7]
Raja Naro’E sebagai raja Kaimana pada saat itu pun belum mengetahui hal itu, sehingga ia tetap melakukan ekspansi wilayah kerajaannya ke arah barat dan timur melalui perkawinan di kawasan Teluk Berauw. Keluarganya antara lain Fimbay dan Rafideso di Miwara. Di Uduma dengan keluarga Kamakula, di Teluk Bicari dengan keluarga Nanggewa, Nambobo serta keluarga Ai dan di kawasan Mbaham Iha dengan Boki Sekar. Disamping itu ia juga melakukan perang dan pelayaran hongi untuk membebaskan daerah kekuasaannya yang mulai diekspansi oleh pihak lain. Pasukannya diberi nama Sabakor. Suku ini adalah penguasa-penguasa di lembah utara dataran pegunungan Kumawa. Keluarga ini berdiam di Yarona, Garosa, Hiya, Gaka dan Guriasa. Raja Naro’E juga membangun hubungan kekeluargaan dengan raja Namatota. Ia menikahkan anak perempuannya Koviai Bata dengan Lakatei yang kemudian menjadi Raja Wertuar. Anak perempuan lainnya yang bernama Sekar Bata dinikahkan dengan Lamora, raja Namatota. Disamping itu cucu perempuannya dinikahkan dengan seorang Pangeran dari Kerajaan Fer di Langgiar (Nuhu Yuut). Gambaran mengenai pernikahan ini sangat jelas memperlihatkan usaha yang dilakukan secara halus oleh raja Naro’E untuk menanamkan pengaruh kerajaannya, melalui hubungan kekerabatan.[7]
Pada tahun 1912, raja Naro’E berangkat ke Teluk Bintuni, bertemu dengan Kapten Keyts yang memberitahunya bahwa Pemerintah Hindia Belanda sudah secara resmi mendirikan pemerintahannya di Papua. Raja Naro’E menyatakan protes dan nampaknya sangat kecewa dengan tindakan sewenang-wenang Belanda yang mengklaim Papua sebagai miliknya tanpa sepengetahuan dan persetujuan pemiliknya. Akibat kekecewaan ini, ia tidak mau kembali lagi ke kota kerajaannya. Raja Naro’E memilih tinggal di daerah Kokas dan Babo kurang lebih selama 10 tahun (Renaissance Nusantara, 2009). Untuk sementara pemerintahan kerajaan Sran Kaimana dijalankan oleh putranya Achmad Aituarauw. Tahun 1922, Raja Naro’E kembali ke Kaimana, dan memerintahkan putranya Ahmad Aituarauw untuk menata ibu kota kerajaan, dengan membuka jalan-jalan, menerima pedagang-pedagang, membuka perkebunan kelapa di Kaimana, Sararota, Nusa Venda, Nanesa, Bitsyari dan Lobo. Rakyat pun diperintahkan untuk membuka kebun-kebun kelapa, pala dan lain sebagainya. Pada tahun 1923 Raja Naro’E meninggal dunia dan dikuburkan di samping masjid kerajaannya (masjid Raya) di Kota Kaimana.[7]
Naro'E digantikan oleh putranya Ahmad Aituarauw, pemerintah Hindia Belanda melalui raja Namatota, memberi tanggung jawab kepada raja Kaimana Ahmad Aituarauw untuk menjaga keamanan diwilayah Kaimana. Untuk melegalitas tugas raja Kaimana tersebut, pemerintah Belanda mengangkatnya dengan gelar “Raja Komisi Kaimana”. Ia memerintah dari tahun 1923 hingga tahun 1966 (wawancara La Aga Samay). Raja Ahmad cukup ahli dalam bidang pertanian dan perdagangan, serta menjalankan pemerintahannya dengan baik. Raja Achmad Aituarauw menyatakan kooperatif terhadap Belanda, dengan syarat bahwa Raja tetap mengurus rakyatnya dan budaya serta adat istiadat, pengangkatan kepala kampung oleh raja, pajak belasting harus sepengetahuan raja dan tidak akan saling menyerang serta urusan pertahanan terhadap serangan dari luar menjadi tanggungjawab Belanda. Belanda menyetujui syarat tersebut sehingga terjalin kerjasama, raja Achmad Aituarauw lalu menerima “peningen recognitie” sebesar f.40 per bulan (ANRI: Memorie van Overgave L.L.A. Maurenbrecher, 1953). Pada tahun 1930 raja Achmad Aituarauw juga memperoleh penghargaan dari Kerajaan Belanda berupa bintang Oranye Van Nasau (RenaissanceNusantara 2009).[10]
Pada tahun 1946, Muhammad Achmad Aituarauw mendirikan organisasi pro-integrasi dengan Indonesia bernama Merdeka Bersama Kaimana, Irian Barat (MBKIB).[11] Melalui MBKIB, warga memboykot peringatan ulang tahun Ratu Belanda setiap 31 Agustus. Merespon ini, pemerintah Belanda menjadikan organisasi tersebut terlarang dan menahan Aituarauw dan diasingkan ke Ayamaru selama 10 years sejak 1948.[12]
Pada tahun 1953, dalam masa kepemimpinan raja komisi Achmad Mohamad (ketika itu ia telah berusia 60 tahun), desa-desa berikut ini menjadi kekuasaan Rat Sran Raja komisi yaitu: Kilimata, Kembala, Nusawulang, Jarona, Garosa, Guriasa, Gaka, Tairi, Murubia, Kuna, Esania.(ANRI: Memorie van Overgave L.L.A. Maurenbrecher, 1953: 319) Pengaturan pembagian wilayah administrasi pemerintah Belanda atas Nieuw Guinea membuat kekuasaan Raja Sran Raja Komisi Kaimana semakin lemah. Secara adat mereka masih tetap menjadi kepala pemerintahan adat, namun secara administratif kedudukan mereka di wilayah pemerintahannya tidak lagi memiliki kekuatan sepenuhnya karena mereka sudah berada di bawah perintah pemerintah Belanda.[4]
Daftar Raja Kaimana
Daftar Raja-Raja Kaimana, sebagai berikut:[13] File:Abdul Hakim Achmad Aituarauw.jpg
- Umis I Imaga (1309-? M)
- Umis II Basir Onin (?-? M)
- Umis III Woran (1348-1440 M)
- Umis IV Nduvin (?-1898 M)
- Umis V Naro’E (1898–1923 M)
- Umis VI Achmad Aituarauw (1923–1966 M)
- Umis VII Muh Achmad Rais Aituarauw (1966–1980 M)
- Umis VIII Abdul Hakim Achmad Aituarauw (1980–sekarang)
Kerajaan Islam lain di Papua
Pemetaan kerajaan Islam di Papua secara umum dibagi menjadi tiga daerah yaitu, kerajaan Islam Kepulauan Raja Ampat, Fakfak dan Kaimana.
Kerajaan Islam di Papua sering disebut dengan Petuanan. Kerajaan Islam di Papua mayoritas berada dibawah kekuasaan Kesultanan di Maluku, mereka diberi otonomi untuk menjalankan pemerintahan masing-masing.
Kerajaan-kerajaan Islam kecil di Raja Ampat, Fakfak dan Kaimana merupakan hasil proses akulturasi kebudayaan Papua dan kebudayaan Maluku yang berlangsung selama berabad-abad.[14]
Sistem kesukuan masih sangat terlihat dalam kerajaan-kerajaan Islam di Papua. Sistem pemerintahan berbentuk kerajaan, tetapi dalam menjalankan pemerintahan digunakanlah sistem Dewan Adat.[15]
kerajaan Islam di kepulauan Raja Ampat
Berikut merupakan kerajaan-kerajaan Islam di wilayah kepulauan Raja Ampat:
- Kerajaan Waigeo dengan pusat pemerintahannya di Weweyai, Pulau Waigeo
- Kerajaan Salawati dengan pusat pemerintahannya di Sailolof, pulau Salawati Selatan
- Kerajaan Misool dengan pusat pemerintahannya di Lilinta, Pulau Misool
- Kerajaan Batanta dengan pusat pemerintahannya di pulau Batanta
Kerajaan Islam di Fakfak
Dalam buku Islam dan Kristen di Tanah Papua (2006) karya J.F Onim, Kerajaan-kerajaan Islam di wilayah Fakfak terdiri dari:
- Kerajaan Fatagar
- Kerajaan Ati-ati
- Kerajaan Rumbati
Kerajaan Islam di Kaimana
Berikut merupakan kerajaan-kerajaan Islam di wilayah Kaimana:
- Kerajaan Namatota
- Kerajaan Komisi
- Kerajaan Pattipi
- Kerajaan Sekar
- Kerajaan Wetuar
- Kerajaan Arguni
Peninggalan Islam di Papua
Bukti-bukti peninggalan sejarah mengenai agama Islam yang ada di pulau Papua ini, sebagai berikut:[16]
1. Terdapat living monument yang berupa makanan Islam yang dikenal dimasa lampau yang masih bertahan sampai hari ini di daerah Papua kuno di desa Saonek, Lapintol, dan Beo di distrik Waigeo.
2. Tradisi lisan masih tetap terjaga sampai hari ini yang berupa cerita dari mulut ke mulut tentang kehadiran Islam di Bumi Cendrawasih.
3. Naskah-naskah dari masa Raja Ampat dan teks kuno lainnya yang berada di beberapa masjid kuno.
4. Di Fakfak, Papua Barat dapat ditemukan delapan manuskrip kuno berhuruf Arab. Lima manuskrip berbentuk kitab dengan ukuran yang berbeda-beda, yang terbesar berukuran kurang lebih 50 x 40 cm, yang berupa mushaf Al Quran yang ditulis dengan tulisan tangan di atas kulit kayu dan dirangkai menjadi kitab. Sedangkan keempat kitab lainnya, yang salah satunya bersampul kulit rusa, merupakan kitab hadits, ilmu tauhid, dan kumpulan doa.
Kelima kitab tersebut diyakini masuk pada tahun 1214 dibawa oleh Syekh Iskandarsyah dari Samudera Pasai yang datang menyertai ekspedisi kerajaannya ke wilayah timur. Mereka masuk melalui Mes, ibukota Teluk Patipi saat itu. Sedangkan ketiga kitab lainnya ditulis di atas daun koba-koba, Pohon khas Papua yang mulai langka saat ini. Tulisan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tabung yang terbuat dari bambu. Sekilas bentuknya mirip dengan manuskrip yang ditulis di atas daun lontar yang banyak dijumpai di wilayah Indonesia Timur.
5. Masjid Tua Patimburak yang didirikan di tepi teluk Kokas, distrik Kokas, Fakfak yang dibangun oleh Raja Wertuer I yang memiliki nama kecil Semempe.
Referensi
- ^ a b c Usmany, Desy Polla (2017-06-03). "SEJARAH RAT SRAN RAJA KOMISI KAIMANA (History of Rat Sran King of Kaimana)". Jurnal Penelitian Arkeologi Papua Dan Papua Barat. 6 (1): 86–87. doi:10.24832/papua.v6i1.45 . ISSN 2580-9237. Diakses tanggal 2021-04-24.
- ^ a b Wanggai, Tony V.M. (2008) (dalam bahasa id). Rekonstruksi Sejarah Islam di Tanah Papua (Tesis). UIN Syarif Hidayatullah. https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/7292/1/Toni%20Victor%20M.%20Wanggai_Rekonstruksi%20Sejarah%20Umat%20Islam%20di%20Tanah%20Papua.pdf. Diakses pada 2022-01-30.
- ^ a b c Usmany, Desy Polla (2017-06-03). "SEJARAH RAT SRAN RAJA KOMISI KAIMANA (History of Rat Sran King of Kaimana)". Jurnal Penelitian Arkeologi Papua Dan Papua Barat. 6 (1): 88. doi:10.24832/papua.v6i1.45 . ISSN 2580-9237. Diakses tanggal 2021-04-24.
- ^ a b Usmany, Desy Polla (2017-06-03). "SEJARAH RAT SRAN RAJA KOMISI KAIMANA (History of Rat Sran King of Kaimana)". Jurnal Penelitian Arkeologi Papua Dan Papua Barat. 6 (1): 91. doi:10.24832/papua.v6i1.45 . ISSN 2580-9237. Diakses tanggal 2021-04-24.
- ^ Usmany, Desy Polla (2017-06-03). "SEJARAH RAT SRAN RAJA KOMISI KAIMANA (History of Rat Sran King of Kaimana)". Jurnal Penelitian Arkeologi Papua Dan Papua Barat. 6 (1): 87. doi:10.24832/papua.v6i1.45 . ISSN 2580-9237. Diakses tanggal 2021-04-24.
- ^ Usmany, Desy Polla (2017-06-03). "SEJARAH RAT SRAN RAJA KOMISI KAIMANA (History of Rat Sran King of Kaimana)". Jurnal Penelitian Arkeologi Papua Dan Papua Barat. 6 (1): 88–89. doi:10.24832/papua.v6i1.45 . ISSN 2580-9237. Diakses tanggal 2021-04-24.
- ^ a b c d e Usmany, Desy Polla (2017-06-03). "SEJARAH RAT SRAN RAJA KOMISI KAIMANA (History of Rat Sran King of Kaimana)". Jurnal Penelitian Arkeologi Papua Dan Papua Barat. 6 (1): 89–90. doi:10.24832/papua.v6i1.45 . ISSN 2580-9237. Diakses tanggal 2021-04-24.
- ^ "Sejarah Kaimana". sultansinindonesieblog.wordpress.com.
- ^ "Sejarah Kerajaan Kaimana". books.google.co.id.
- ^ Usmany, Desy Polla (2017-06-03). "SEJARAH RAT SRAN RAJA KOMISI KAIMANA (History of Rat Sran King of Kaimana)". Jurnal Penelitian Arkeologi Papua Dan Papua Barat. 6 (1): 89–91. doi:10.24832/papua.v6i1.45 . ISSN 2580-9237. Diakses tanggal 2021-04-24.
- ^ Irian Jaya (Indonesia) (1987). Irian Jaya, the Land of Challenges and Promises. Alpha Zenith. hlm. 9. Diakses tanggal 2021-11-01.
- ^ Lumintang, Onie M. (2018-07-27). "THE RESISTANCE OF PEOPLE IN PAPUA (1945-1962)". Historia: Jurnal Pendidik Dan Peneliti Sejarah. 10 (2): 47–60. doi:10.17509/historia.v10i2.12221 (tidak aktif 4 November 2021). ISSN 2615-7993. Diakses tanggal 2021-11-01.
- ^ Usmany, Desy Polla (2017-06-03). "SEJARAH RAT SRAN RAJA KOMISI KAIMANA (History of Rat Sran King of Kaimana)". Jurnal Penelitian Arkeologi Papua Dan Papua Barat. 6 (1): 85–92. doi:10.24832/papua.v6i1.45 . ISSN 2580-9237. Diakses tanggal 2021-04-24.
- ^ "Kisah Perkampungan Islam Pertama di Raja Ampat". travel.detik.com.
- ^ "kerajaan-islam-di-papua". www.kompas.com.
- ^ "sejarah-masuknya-agama-islam-di-kaimana". ardilamadi.blogspot.com.