Detik (digayakan DëTik) adalah sebuah tabloid yang pernah diterbitkan di Indonesia.

Tabloid ini awalnya mulai diterbitkan pada tahun 1977, sebagai turunan dari surat kabar Mimbar Berita dengan fokus utama berita kriminal dan detektif, namun kurang berkembang. Pada tahun 1986, masuk manajemen baru dalam tabloid DëTik yang digawangi oleh Abdul Azis sebagai Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi, sedangkan Eros Djarot duduk di kursi Wakil Pemimpin Redaksi. Meskipun dalam SIUPP No. 43/SK/Menpen/C.1/1986 izin yang diberikan bagi DëTik adalah tabloid berita kriminal, namun redaksi tabloid ini kemudian mengembangkannya menjadi sebuah tabloid berita politik.[1] Secara formal, penerbit tabloid ini adalah Yayasan Pancasila Mulya. Slogannya adalah "Bagi Yang Berfikir Merdeka".[2] Selain Azis dan Eros, juga ada pimpinan lain seperti Budiono Darsono yang duduk di kursi Redaktur Pelaksana.[3]

Dengan berita-beritanya yang tajam dan kritis, seperti menguliti isu suksesi yang tabu di era Orde Baru dan penyimpangan pejabat negara,[1] DëTik langsung diterima positif oleh berbagai kalangan masyarakat.[4] Lebih lagi setelah 1992, setelah PT Surya Persindo (Surya Paloh) menyuntikkan modal ke tabloid ini. Dalam waktu setahun, DëTik yang dijual dengan harga Rp 1.200 untuk edisi perminggunya, meraup sirkulasi 215.000 kopi dari awalnya hanya 10.000 kopi.[3] Tidak hanya berita aktual yang tajam, tabloid DëTik juga hadir dengan foto-foto, opini dan wawancara mendalam.[5] Menurut pengamat Daniel Dhakidae, perkembangan DëTik yang pesat ini diperoleh tanpa menggantungkan diri pada pengiklan, melainkan lebih ke isi jurnalistiknya. Di bulan Juni 1994, tabloid ini bahkan menjadi salah satu pemimpin pasar, dengan sirkulasi 600.000 kopi.[6]

Akhirnya, tulisan tabloid ini rupanya tidak menyenangkan rezim Orde Baru. Ketika kasus Bapindo pecah, DëTik menyiarkan berita yang menyebut peran elit saat itu dalam megaskandal tersebut, belum lagi wawancaranya dengan sejumlah jenderal mengganggu citra Orde Baru yang penuh stabilitas, ditambah mengorek isu suksesi dan persaingan pejabat. Akhirnya, setelah kemarahan Presiden Soeharto pada 9 Juni 1994, pada 21 Juni 1994, Menteri Penerangan Harmoko mencabut SIUPP DëTik (lewat SK Menpen No. 125/KEP/MENPEN/1994)[7] bersama dua majalah, Tempo dan Editor. Alasan formal yang diberikan adalah karena tabloid ini menyimpang dari SIUPP-nya yang berbasis majalah detektif dan kriminal menjadi tabloid berita politik, meskipun dianggap berbagai kalangan hanya mengada-ada.[8][9] Pemerintah menjelaskan bahwa redaksi tabloid ini sudah berusaha dilakukan "pembinaan", sebelum pencabutan SIUPP-nya, namun gagal.[10] Edisi terakhir DëTik akhirnya diterbitkan, bernomor 67/Th. XVII/22-28 Juni 1994.[1]

Perkembangan pasca-bredel

Untuk menyiasati pembredelan itu, karyawan dan redaksi DëTik mencoba menerbitkan tabloidnya kembali dalam nama baru: Simponi, di bulan Oktober 1994, setelah membeli dari pemilik lamanya. Tabloid yang sudah terbit sejak 1972 ini kemudian isinya dirombak oleh penulis dan jurnalis yang tidak jauh berbeda dengan DëTik,[5] dan memiliki slogan "Memperkokoh Persatuan dan Kesatuan Bangsa". Sayangnya, usia tabloid ini hanya berumur pendek karena Persatuan Wartawan Indonesia melarang tabloid itu kembali setelah sempat diterbitkan di edisi pertama pada 4 Oktober 1994,[11][12] meskipun sukses menjual 130.000 kopi di edisi tersebut.[5] Pihak DëTik juga berusaha meminta bantuan Komnas HAM agar pemerintah mengembalikan kembali izin mereka. Ketika ditawarkan pemerintah bahwa mereka dapat terbit kembali dengan syarat harus mengganti kepemilikannya, pihak DëTik menolak.[9]

Beberapa opini tulisan AS Laksamana yang pernah ditulis dalam tabloid ini, kemudian dibukukan dalam buku berjudul Pödium DëTik yang diambil dari rubrik bernama sama di tabloid DëTik.[13]

Budiono Darsono sendiri dalam perkembangannya bersama rekannya di tabloid ini (Yayan Sopyan) dan seorang redaktur majalah SWA, Abdul Rahman, kemudian merintis portal berita detik.com pada Juli 1998.[14] Sementara itu, Eros Djarot sendiri sempat menerbitkan tabloid "reinkarnasi" DëTik bernama DëTAK yang terbit mulai 14 Juli 1998,[1] dengan membawa semangat yang sama seperti DëTik berupa jurnalisme yang kritis dan mendalam.[9][15] DëTAK sendiri tercatat sempat terjual jutaan kopi dan merajai pasar sesaat setelah peluncurannya,[16] belakangan, tabloid dengan 24 halaman ini[17] mendapat banyak saingan baru yang sejenis,[18] dan kemungkinan karena kalah saing, kini tidak terbit lagi.

Rujukan