Parameswara

raja Sumatra pendiri Kesultanan Malaka
Revisi sejak 18 Mei 2009 14.36 oleh Borgxbot (bicara | kontrib) (Bot: Penggantian teks otomatis (-. Beliau +. Ia))

Parameswara (1344-1414) adalah nama tokoh yang disebut sebagai pendiri Kesultanan Malaka dalam Suma Oriental tulisan Tome Pires. Dalam buku tersebut juga disebutkan bahwa Parameswara merupakan pangeran dari Palembang (banyak yang menyalahartikannya sebagai kerajaan Sriwijaya, karena pada masa itu Palembang adalah taklukan Majapahit) yang menikah dengan putri Batara Tumapel dari Jawa. Parameswara kemudian pergi ke Singapura, dan menjadi penguasa di sana selama 5 tahun, sebelum kemudian pergi ke Malaka dan membangun kesultanan baru di sana.

Asal-usul Keturunan

Raden Wijaya, raja pertama (1293-1309) dan pendiri Kerajaan Majapahit menikahi Sri Gayatri Rajapatni, putri dari Sri Kertanegara, raja terakhir (1268-1292) Kerajaan Singasari, yang kemudian memiliki Putri Tribuana Tunggadewi, ratu pemimpin ketiga (1326-1350) Kerajaan Majapahit. Ia menikahi Kertawardana, dan memiliki putri bernama Iswari. Si putri kemudian menikahi Singawardana, dan memiliki Putri Sarawardani. Kemudian ia menikahi Ranamenggala, dan memiliki anak bernama Parameswara yang lahir di tahun 1344 pada saat nenek buyutnya, Ratu Tribuana Tunggadewi, memerintah Majapahit.

Selain itu, Parameswara masih kerabat dari Ananggavarman atau Ananggawarman, (anak dari Adityawarman) yang menjabat sebagai penguasa wilayah (setingkat gubernur di masa kini) Majapahit di Pagar Ruyung, Kerajaan Dharmasraya, dan Palembang.

Setelah jatuhnya Kerajaan Sriwijaya pada tahun 1025 karena serangan raja Cola dari Kerajaan Colamandala, India, dan ditaklukkan oleh Kerajaan Dharmasraya pada tahun 1088, istilah Sriwijaya sudah tidak lazim digunakan, tetapi lebih sering disebut sebagai Palembang di dalam naskah kuno seperti Babad Tanah Jawi mahupun Naskah Wangsakerta.

Sebelumnya Parameswara beragama Hindu, dan kemudian memeluk agama Islam di tahun 1414. Dari agama yang diyakini kita dapat lihat bahawa Parameswara bukan asli dari Sriwijaya atau Palembang, karena umumnya mereka memeluk agama Buddha. Sriwijaya di masa lampau adalah pusat pengembangan agama Buddha di Asia Tenggara.

Mendirikan Kesultanan Melaka

Pada tahun 1400, Parameswara mendirikan Kesultanan Melaka setelah melarikan diri dari Palembang melalui Temasek (Singapura). Di Temasek ia berhasil menjadi pemimpin Temasek untuk waktu yang singkat karena kemudian ia membunuh Temagi, wakil Siam di sana. Akibatnya diusirlah ia ke luar dari Temasek oleh Siam.

Parameswara yang menjadi raja Melaka ketika itu dikatakan menyadari bahwa usaha untuk memajukan Melaka adalah dengan mengembangkan Islam karena pedagang dari Gujarat, India dan pedagang Arab dari Timur Tengah banyak berdagang di Nusantara. Oleh itu, menurut cerita itu, Parameswara kawin dengan Putri Ratna anak Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah II, Raja Perlak dan memeluk Islam pada 1414.

Tanggapan yang umum itu berasal daripada tanggapan salah bahwa Parameswara dan Sultan Megat Iskandar Syah adalah tokoh yang sama. Kajian telah menunjukkan bahwa kedua nama itu adalah dua tokoh yang berbeda(Wang Gungwu, 1968). Sebenarnya, Parameswara telah mangkat pada tahun 1414. Menurut laporan Ma Huan, Megat Iskandar Syah memeluk Islam ketika berumur 72 tahun karena kawin dengan putri Raja Pasai dari Sumatera.

Melaka kemudian menjadi sebuah pelabuhan perniagaan yang terpenting di Asia Tenggara di mana kapal-kapal perniagaan dari pelbagai bangsa berkumpul.

Pengakuan dari armada Laksamana Cheng Ho terhadap Melaka semakin menguntungkan Malaka. Cheng Ho atau Zheng He seorang yang beragama Islam. Nama Islam Cheng Ho ialah Ma Sam Pao. Ma artinya Muhammad. Ketika itu Cina dikuasai oleh Kaisar Yongle.

Kekuatan Kerajaan Melayu Malaka semakin berkembang di zaman pemerintahan Sultan Muzaffar Syah (1446- 1459 M). Tentaranya berhasil menangkal serangan-serangan tentara Siam. Keadaan negara menjadi tenang dan kedudukan politiknya pun menjadi stabil.

Pranala luar

Didahului oleh:
tidak ada
Sultan Malaka
1402-1414
Diteruskan oleh:
Megat Iskandar Syah