Kresna
Kresna atau Krishna (Dewanagari: कृष्ण; IAST: kṛṣṇa ; ⓘ) adalah salah satu dewa yang dipuja oleh umat Hindu, berwujud pria berkulit gelap atau biru, memakai dhoti kuning dan mahkota yang dihiasi bulu merak. Dalam seni lukis dan arca, umumnya ia digambarkan sedang bermain seruling sambil berdiri dengan kaki yang ditekuk ke samping. Legenda Hindu dalam kitab Purana dan Mahabharata menyatakan bahwa ia adalah putra kedelapan Basudewa dan Dewaki, bangsawan dari kerajaan Surasena, kerajaan mitologis di India Utara. Secara umum, ia dipuja sebagai awatara (inkarnasi) Dewa Wisnu kedelapan di antara sepuluh awatara Wisnu. Dalam beberapa tradisi perguruan Hindu, misalnya Gaudiya Waisnawa, ia dianggap sebagai manifestasi dari kebenaran mutlak, atau perwujudan Tuhan itu sendiri,[1] dan dalam tafsiran kitab-kitab yang mengatasnamakan Wisnu atau Kresna, misalnya Bhagawatapurana, ia dimuliakan sebagai Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa.[2] Dalam Bhagawatapurana, ia digambarkan sebagai sosok penggembala muda yang mahir bermain seruling, sedangkan dalam wiracarita Mahabharata ia dikenal sebagai sosok pemimpin yang bijaksana, sakti, dan berwibawa. Selain itu ia dikenal pula sebagai tokoh yang memberikan ajaran filosofis, dan umat Hindu meyakini Bhagawadgita sebagai kitab yang memuat kotbah Kresna kepada Arjuna tentang ilmu rohani.
Kresna कृष्ण | |
---|---|
Dewa Hindu | |
Ejaan Dewanagari | कृष्ण |
Ejaan IAST | kṛṣṇa |
Nama lain | Acyuta; Basudewa; Bagawan; Gopala; Gowinda; Hari; Kesawa; Madawa; Narayana; Wisnu; dan lain-lain. |
Golongan | Dewa, Awatara Wisnu |
Senjata | Suling |
Wahana | Merak atau Lembu |
Pasangan | Radha, Rukmini, Satyabama, Jambawati, dan 16.104 istri lainnya |
Mantra | Om Namo Bhagavate Vāsudevāya |
Kisah-kisah mengenai Kresna muncul secara luas di berbagai ruang lingkup agama Hindu, baik dalam tradisi filosofis maupun teologis.[3] Berbagai tradisi menggambarkannya dalam berbagai sudut pandang: sebagai dewa kanak-kanak, tukang kelakar, pahlawan sakti, dan Yang Mahakuasa.[4] Kehidupan Kresna dibahas dalam beberapa susastra Hindu, yaitu Mahabharata, Hariwangsa, Bhagawatapurana, dan Wisnupurana.
Pemujaan terhadap dewa atau pahlawan yang disebut Kresna—dalam wujud Basudewa, Balakresna atau Gopala—dapat ditelusuri sampai awal abad ke-4 SM. Pemujaan Kresna sebagai Swayam Bhagawan, atau Tuhan Yang Mahakuasa, yang dikenal sebagai Kresnaisme, muncul pada Abad Pertengahan dalam situasi Gerakan Bhakti. Dari abad ke-10 M, Kresna menjadi subjek favorit dalam seni pertunjukan. Tradisi pemujaan di masing-masing daerah mengembangkan berbagai macam wujud/aspek Kresna seperti Jagadnata di Orissa, Witoba di Maharashtra dan Shrinathji di Rajasthan. Sekte Gaudiya Waisnawa yang terpusat pada pemujaan kepada Kresna didirikan pada abad ke-16, dan sejak tahun 1960-an juga telah menyebar di Dunia Barat, sebagian besar disebabkan oleh organisasi Masyarakat Internasional Kesadaran Kresna (International Society for Krishna Consciousness - ISKCON).[5]
Nama dan gelar
Ejaan Kresna | |
Dewanagari: | कृष्ण |
Jawa: | |
Bali: | |
IAST (Latin): | kṛṣṇa |
IPA: | [ˈkr̩ʂɳə] |
Dalam aksara Dewanagari, Kṛṣṇa ditulis कृष्ण (dibaca ˈkr̩ʂɳə), dengan bunyi konsonan silabis Ṛ, atau disebut pula vokal Ṛ (dalam aksara Dewanagari disimbolkan dengan ृ, sedangkan dalam alfabet Fonetis Internasional disimbolkan dengan huruf [r̩ ] ). Dalam aksara Jawa, huruf vokal ृ tersebut dialihaksarakan sebagai huruf Pa cerek (huruf Ra repa dalam aksara Bali) yang melambangkan bunyi /rə/ daripada /r̩/ (ditulis dengan huruf Latin "Re"), karena bunyi konsonan silabis Ṛ seperti dalam bahasa Sanskerta tidak terdapat dalam bahasa Jawa dan Bali. Maka dari itu kata कृष्ण dialihaksarakan menjadi "Kresna" (dibaca ˈkrəsna).
Kata kṛṣṇa dalam bahasa Sanskerta pada dasarnya merupakan kata sifat yang berarti "hitam", "gelap" atau "biru tua". Kata tersebut berhubungan dengan kata čьrnъ (crn, 'hitam') dalam rumpun bahasa Slavia. Sebagai kata benda feminin, kata kṛṣṇā digunakan dengan makna "malam, hitam, kegelapan" dalam kitab suci Regweda, dan sebagai iblis atau jiwa kegelapan dalam mandala (bab) IV Regweda. Untuk nama diri, kata Kṛṣṇa muncul dalam mandala VIII sebagai nama seorang penyair. Sebagai salah satu nama Wisnu, kata "Kṛṣṇa" terdaftar sebagai nama ke-57 dalam kitab Wisnu Sahasranama (Seribu Nama Wisnu). Berdasarkan nama tersebut, Kresna sering kali digambarkan dalam arca dengan kulit hitam maupun biru.
Kresna juga dikenal dengan berbagai macam nama, julukan, dan gelar, yang mencerminkan berbagai atribut dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Dalam kitab Mahabarata dan Bhagawadgita, Kresna disebut dengan berbagai nama, sesuai karakteristiknya. Beberapa nama tersebut di antaranya: Acyuta (yang kekal; teguh); Arisudana (penghancur musuh); Bagawan (Yang Mahakuasa); Gopala (pelindung sapi); Gowinda (penggembala sapi); Hresikesa (penguasa indria); Janardana (juru selamat umat manusia); Kesawa (yang berambut indah); Kesinisudana (pembunuh raksasa Kesi); Madawa (suami dewi keberuntungan); Madusudana (pembunuh raksasa Madhu); Mahabahu (yang berlengan perkasa); Mahayogi (rohaniwan agung); Purusottama (manusia utama, yang berkepribadian paling baik); Warsneya (keturunan Wresni); Basudewa; Wisnu; Yadawa (keturunan Yadu); Yogeswara (penguasa segala kekuatan batin).
Di antara berbagai namanya, yang terkenal adalah Gowinda, "penggembala sapi", atau Gopala, "pelindung para sapi", merujuk kepada pengalaman masa kecil Kresna di Braj.[6][7] Beberapa nama lainnya dianggap penting bagi wilayah tertentu; misalnya, Jagatnata (penguasa alam semesta), terkenal di Puri, India Timur.[8]
Penggambaran
Kresna dapat dikenali secara mudah dengan mengamati atribut-atributnya. Dalam wujud arca, Kresna digambarkan berkulit hitam atau gelap, atau bahkan putih. Dalam budaya pewayangan Jawa, Kresna digambarkan berkulit hitam, sedangkan di Bali, ia digambarkan berkulit hijau. Dalam penggambaran umum misalnya lukisan modern, Kresna biasanya digambarkan sebagai pemuda berkulit biru. Warna hitam merupakan warna Dewa Wisnu menurut konsep Nawa Dewata, sedangkan biru melambangkan keberanian, kebulatan tekad, pikiran yang mantap dalam menghadapi situasi sulit, serta kesadaran yang sempurna.[9][10] Warna biru juga melambangkan langit dan laut, masing-masing bermakna luas dan dalam yang membentuk suatu ketidakterbatasan, sama halnya seperti Wisnu.[11]
Dia sering kali tampil dengan dhoti (semacam kemben) berbahan sutra berwarna kuning, melambangkan cahaya yang melenyapkan kegelapan.[11] Kepalanya dihiasi mahkota dengan bulu merak, melambangkan galaksi berwarna-warni dalam kegelapan,[11] atau pusat energi di atas indria.[12] Penggambaran umum biasanya menampilkannya sebagai anak kecil, atau seorang lelaki dalam gaya santai, sedang memainkan seruling.[13][14] Dalam wujud ini, ia biasanya ditampilkan berdiri dengan kaki yang ditekuk ke samping. Kadang kala ditemani para sapi, menegaskan posisinya sebagai penggembala ilahi (Govinda). Dalam agama Hindu, sapi dianggap suci karena melambangkan Ibu Pertiwi.[9]
Peran Kresna sebagai kusir kereta Arjuna di medan perang Kurukshetra, seperti yang tergambar dalam wiracarita Mahabharata, adalah subjek umum lain dalam penggambaran Kresna. Dalam hal ini, ia ditampilkan sebagai sosok pria, sering kali dengan karakteristik dewa-dewi dalam kesenian Hindu, misalnya banyak lengan maupun kepala, dan dengan atribut Wisnu, misalnya cakra. Sebagai seorang kusir biasa, ia ditampilkan dengan dua lengan. Lukisan gua dari masa 800 SM di Mirzapur, Uttar Pradesh, India Utara, yang menampilkan pertempuran kusir-kusir kereta kuda, salah satu di antaranya tampak akan melemparkan cakram yang kemungkinan besar dapat dikenali sebagai Kresna.[15]
Penggambaran dalam kuil sering kali menampilkan Kresna sebagai seorang pria yang berdiri tegak, dalam gaya formal. Dapat ditampilkan sendirian, dapat pula dengan figur terkait dengannya:[16] Balarama (Baladewa — kakaknya) dan Subadra (saudari tirinya), atau istrinya yang utama yaitu Rukmini dan Satyabama.
Seringkali Kresna digambarkan bersama dengan kekasihnya dari kaum gopi (wanita pemerah susu), Radha. Sekte Waisnawa di Manipur tidak memuja Kresna saja, tetapi juga aspeknya sebagai Radha Krishna,[17] kombinasi antara Kresna dan Radha. Hal ini juga merupakan karakteristik dari aliran Rudra Sampradaya[18] dan Nimbarka sampradaya,[19] demikian pula aliran kepercayaan Swaminarayan. Tradisi tersebut memuliakan Radha Ramana, yang dipandang oleh pengikut Gaudiya sebagai wujud Radha Krishna.[20]
Kresna juga digambarkan dan dipuja sebagai anak kecil (Balakresna), dengan posisi merangkak atau menari, biasanya dengan mentega di tangannya.[21][22] Perbedaan di masing-masing daerah tentang penggambaran Kresna dapat teramati dalam wujudnya yang bermacam-macam, misalnya Jagadnata di Orissa, Witoba di Maharashtra[23] dan Shrinathji di Rajasthan.
Kepustakaan tentang Kresna
Sastra terawal yang secara eksplisit menyediakan deskripsi terperinci tentang Kresna sebagai seorang tokoh adalah kitab Mahabharata. Pada kitab tersebut ia digambarkan sebagai perwujudan Dewa Wisnu.[24] Kresna adalah tokoh yang muncul di berbagai cerita utama dalam wiracarita tersebut. Delapan belas bab dalam jilid Mahabharata keenam (Bismaparwa) merupakan bagian istimewa yang menjadi kitab tersendiri yang disebut Bhagawadgita, mengandung kotbah Kresna kepada Arjuna, sepupunya sendiri, dengan latar belakang sesaat sebelum perang Kurukshetra (Baratayuda) dimulai. Akan tetapi perincian kehidupan Kresna saat kanak-kanak dan remaja tidak terdapat dalam wiracarita tersebut, melainkan dalam Bhagawatapurana, Wisnupurana, Brahmawaiwartapurana, dan Hariwangsa. Kitab Bhagawatapurana dan Wisnupurana diagungkan oleh pengikut Waisnawa, sedangkan Hariwangsa adalah kitab pendukung yang menjelaskan hal yang belum dibahas dalam wiracarita Mahabharata.
Chandogya Upanishad (3:17:6) yang ditulis sekitar masa 900 SM-700 SM menyebut Basudewa Kresna sebagai putra Dewaki dan murid dari Ghora Angirasa, ahli nujum yang mengajari muridnya filsafat Chandogya. Dengan pengaruh filsafat Chandogya, Kresna memberi kotbah kepada Arjuna tentang pengorbanan, yang dapat dibandingkan dengan purusha atau individu.[25][26][27][28]
Nama Kṛṣṇa muncul dalam kitab Buddha dengan ejaan "Kaṇha", secara fonetis sama dengan Kṛṣṇa.[29]
Menurut bukti dari Megastenes (ahli etnografi Yunani, sekitar 350-290 SM) dan dalam Arthasastra karya Kautilya (400-300 SM), Vāsudeva (Basudewa) dipuja sebagai Tuhan Yang Mahakuasa dalam konsep monoteisme yang kuat.[30]
Sekitar 150 SM, Patanjali dalam kitab Mahabhashya karyanya menulis sebuah sloka sebagai berikut: "Semoga kejayaan Kresna dengan ditemani oleh Sangkarsana meningkat!" Sloka-sloka lainnya disebutkan. Dalam salah satu sloka disebutkan "Janardana bersama dirinya sebagai yang keempat" (Kresna dengan tiga rekannya, ketiganya adalah Sangkarsana, Pradyumna, dan Aniruda). Sloka lainnya menyebut tentang alat musik yang dimainkan saat pertemuan di kuil Rama (Baladewa/Balarama) dan Kesawa (Kresna). Patanjali juga menjelaskan pertunjukkan yang dramatis dan mimetis (Krishna-Kamsopacharam) yang menggambarkan adegan terbunuhnya Kangsa oleh Basudewa (Kresna).[31]
Pada abad ke-1 SM, tampaknya ada bukti pemujaan lima pahlawan bangsa Wresni (Baladewa [Balarama], Kresna, Pradyumna, Aniruda dan Samba) dari sebuah prasasti yang ditemukan di Mora dekat Mathura, India, yang tampaknya menyebutkan tentang putra satrap Rajuwula yang Agung, mungkin satrap Sodasa. Sebuah citra tentang Wresni, mungkin Basudewa, dan "Lima Kesatria".[32] Prasasti Mora bertuliskan aksara Brahmi tersebut kini disimpan di Museum Mathura.[33][34]
Banyak kitab Purana menceritakan kehidupan Kresna atau beberapa hal penting darinya. Dua Purana, yakni Bhagawatapurana (Srimadbhagawatam) dan Wisnupurana, yang mengandung kisah kehidupan dan ajaran Kresna secara terperinci, adalah kitab yang paling dimuliakan secara teologis oleh aliran Gaudiya Waisnawa.[35] Sekitar seperempat Bhagawatapurana dihabiskan untuk memuji kehidupan dan filsafatnya.
Kehidupan
Riwayat Kresna dapat disimak dalam kitab Mahabharata, Hariwangsa, Bhagawatapurana, Brahmawaiwartapurana, dan Wisnupurana. Latar belakang kehidupan Kresna pada masa kanak-kanak dan remaja adalah India Utara, yang mana sekarang merupakan wilayah negara bagian Uttar Pradesh, Bihar, Haryana, sementara lokasi kehidupannya sebagai pangeran di Dwaraka sekarang dikenal sebagai negara bagian Gujarat.
Kelahiran
Menurut kepercayaan tradisional yang berdasarkan data-data dalam sastra dan perhitungan astronomi Hindu, hari kelahiran Kresna yang dikenal sebagai Janmashtami,[36] jatuh pada tanggal 19 Juli tahun 3228 SM.[37][38]
Menurut Itihasa (wiracarita Hindu) dan Purana (mitologi Hindu), Kresna merupakan anggota keluarga bangsawan di Mathura, ibu kota kerajaan Surasena di India Utara (kini kawasan Uttar Pradesh). Ia terlahir sebagai putra kedelapan Basudewa (putra Raja Surasena) dan Dewaki (keponakan Raja Ugrasena). Orang tuanya termasuk kaum Yadawa atau keturunan Yadu, putra raja legendaris Yayati. Raja Kangsa, kakak sepupu Dewaki,[39] mewarisi tahta setelah menjebloskan ayahnya sendiri ke penjara, yaitu Ugrasena. Pada suatu ketika, ia mendengar ramalan yang menyatakan bahwa ia akan mati di tangan salah satu putra Dewaki. Karena mencemaskan nasibnya, ia mencoba membunuh Dewaki, namun Basudewa mencegahnya. Basudewa menyatakan bahwa mereka bersedia dikurung dan berjanji akan menyerahkan setiap putra mereka yang baru lahir untuk dibunuh. Setelah enam putra pertamanya terbunuh, dan Dewaki kehilangan putra ketujuhnya, maka lahirlah Kresna. Karena hidup Kresna terancam bahaya, maka ia diselundupkan keluar penjara oleh Basudewa dan dititipkan pada Nanda dan Yasoda, sahabat Basudewa di Vrindavan. Dua saudaranya yang lain juga selamat yaitu, Baladewa alias Balarama (putra ketujuh Dewaki, dipindahkan secara ajaib ke janin Rohini, istri pertama Basudewa) dan Subadra (putri dari Basudewa dan Rohini yang lahir setelah Baladewa dan Kresna).
Menurut kitab Bhagawatapurana, Kresna lahir tanpa hubungan seksual, melainkan melalui "transmisi mental" dari pikiran Basudewa ke rahim Dewaki. Umat Hindu meyakini bahwa pada masa itu, jenis ikatan tersebut dapat dilakukan oleh makhluk-makhluk yang mencapainya.[36][40][41] Tempat yang dipercaya oleh para pemujanya untuk memperingati hari kelahiran Kresna kini dikenal sebagai Krishnajanmabhumi, di mana sebuah kuil didirikan untuk memberi penghormatan kepadanya.
Masa kanak-kanak dan remaja
Kresna dibesarkan oleh Nanda dan Yasoda, anggota komunitas penggembala sapi yang ada di Vrindavana. Kisah masa kanak-kanak dan remaja Kresna menceritakan bagaimana ia menjadi seorang penggembala sapi,[42] tingkah nakalnya sebagai makhan chor (pencuri mentega), kegagalan Kangsa dalam membunuhnya, dan perannya sebagai pelindung rakyat Vrindavana. Pada masa kecilnya, Kresna telah melakukan berbagai hal yang menakjubkan. Ia membunuh berbagai raksasa—di antaranya Putana (raksasa wanita), Kesi (raksasa kuda), Agasura (raksasa ular)—yang diutus oleh Kangsa untuk membunuh Kresna. Ia juga menjinakkan naga Kaliya, yang telah meracuni air sungai Yamuna dan menewaskan banyak penggembala. Dalam kesenian Hindu, sering kali Kresna digambarkan sedang menari di atas kepala naga Kaliya yang bertudung banyak. Jejak kaki Kresna memberi perlindungan kepada Kaliya sehingga Garuda—musuh para naga—tidak akan berani menganggunya.
Kresna dipercaya mampu mengangkat bukit Gowardhana untuk melindungi penduduk Vrindavana dari tindakan Indra, pemimpin para dewa yang semena-mena dan mencegah kerusakan lahan hijau Gowardhana. Indra dianggap sudah terlalu besar hati dan marah ketika Kresna menyarankan rakyat Vrindavana untuk merawat hewan dan lingkungan yang telah menyediakan semua kebutuhan mereka, daripada menyembah Indra setiap tahun dengan menghabiskan sumber daya mereka.[43][44] Gerakan spiritual yang dimulai oleh Kresna memiliki sesuatu di dalamnya yang melawan bentuk ortodoks penyembahan dewa-dewa Weda seperti Indra.[45]
Kisah permainannya dengan para gopi (wanita pemerah susu) di Vrindavana, khususnya Radha (putri Wresabanu, salah seorang penduduk asli Vrindavana) dikenal sebagai Rasa lila dan diromantisir dalam puisi karya Jayadeva, penulis Gita Govinda. Hal ini menjadi bagian penting dalam perkembangan tradisi bhakti Kresna yang memuja Radha Krishna.[46]
Sang Pangeran
Kresna beserta Baladewa yang masih muda diundang ke Mathura untuk mengikuti pertandingan gulat yang diselenggarakan Kangsa. Tujuan sebenarnya adalah membunuh Kresna dengan dalih pertandingan gulat. Setelah mengalahkan para pegulat Kangsa, Kresna menggulingkan kekuasaan Kangsa sekaligus membunuhnya. Kresna menyerahkan tahta kepada ayah Kangsa, Ugrasena, sebagai raja para Yadawa. Ia juga membebaskan ayah dan ibunya yang dikurung oleh Kangsa. Kemudian ia sendiri menjadi pangeran di kerajaan tersebut.
Kunti—bibi Kresna—menikah dengan Pandu dari kerajaan Kuru dan memiliki tiga putra. Beserta dua putra dari Madri—istri kedua Pandu—kelima putra Pandu disebut Pandawa. Maka dari itu Kresna memiliki hubungan keluarga dengan para Pandawa, dan memiliki hubungan yang istimewa dengan Arjuna, salah satu Pandawa.
Sebelum berdirinya kerajaan Dwaraka, kota Mathura—kediaman keluarga Kresna (Yadawa)—diserbu oleh Jarasanda, Raja Magadha karena dendam pribadi. Penyerbuan tersebut berhasil diredam berkali-kali, namun Jarasanda tidak menyerah. Kemudian Jarasanda dibantu oleh Kalayawana, yang memiliki dendam pribadi terhadap klan Yadawa. Persekutuan tersebut memaksa Kresna mengungsikan para Yadawa ke suatu wilayah di India Barat yang menghadap Laut Arab (pada masa sekarang disebut Gujarat) dan mendirikan sebuah kerajaan di sana, bernama kerajaan Dwaraka[47] (secara harfiah berarti "kota banyak gerbang").[48] Setelah Dwaraka didirikan, Kresna mengalahkan Kalayawana dengan suatu jebakan.
Kresna menikahi Rukmini, putri dari kerajaan Widarbha, dengan cara kawin lari. Di tempat lain, Sisupala, sepupu Kresna yang berencana melamar Rukmini menjadi kecewa setelah mengetahui berita tersebut sehingga ia membenci Kresna. Dari pernikahannya dengan Rukmini, Kresna memiliki putra bernama Pradyumna.
Permata Syamantaka
Pada suatu ketika, Satrajit, kerabat jauh Kresna menerima permata Syamantaka dari Dewa Surya. Kresna menyarankan agar permata itu diserahkan kepada Ugrasena—raja kaum Yadawa—namun Satrajit menolaknya. Prasena, saudara Satrajit membawa permata itu saat berburu dan tidak pernah kembali lagi. Satrajit menuduh Kresna telah membunuh Prasena karena menginginkan permata itu. Untuk membersihkan nama baiknya, Kresna melacak jejak Prasena. Akhirnya ia mendapati bahwa Prasena telah dibunuh seekor hewan buas, dan permata Syamantaka tidak ditemukan pada jenazahnya. Ia mengikuti jejak hewan yang membunuh Prasena, hingga mendapati bangkai seekor singa. Ia tidak menemukan permata Syamantaka ada pada bangkai tersebut. Akhirnya ia mengikuti jejak pembunuh singa tersebut, dan sampai di kediaman seekor beruang bernama Jembawan. Di tempat tersebut ia mendapati bahwa permata Syamantaka tersimpan di sana.
Kresna meminta Jembawan menyerahkan permata Syamantaka, namun permintaannya ditolak sehingga mereka berkelahi. Setelah Jembawan menyadari siapa sesungguhnya Kresna, ia menyerah dan menjelaskan bahwa ia mendapatkan permata itu dari seekor singa. Ia pun menyerahkan permata Syamantaka beserta putrinya yang bernama Jambawati untuk dinikahi Kresna. Setelah Kresna kembali dari penyelidikannya, dan menyerahkan Syamantaka kepada Satrajit, maka Satrajit merasa malu karena sudah berprasangka buruk terhadap Kresna. Untuk memperbaiki hubungan di antara mereka, ia menikahkan putrinya yang bernama Satyabama kepada Kresna.
Para istri Kresna
Dalam kitab Bhagawatapurana diceritakan bahwa Narakasura dari kerajaan Pragjyotisha mengalahkan Indra, pemimpin para dewa. Indra mengadukan hal tersebut kepada Kresna sehingga Kresna menyerbu Pragjyotisha dengan angkatan perangnya. Kresna berhasil mengalahkan Narakasura dan membebaskan 16.100 putri yang ditawan oleh Narakasura. Menurut kitab Bhagawatapurana, Kresna menikahi 16.108 putri,[49][50] dan delapan di antaranya adalah yang terkemuka dan disebut dengan istilah Ashta Bharya — yaitu Rukmini, Satyabama, Jambawati, Kalindi, Mitrawrinda, Nagnajiti, Badra dan Laksana.[51][52] Kresna menikahi 16.100 putri lainnya, yang merupakan tawanan raksasa Narakasura, untuk mengembalikan kehormatan mereka. Kresna berjasa karena membunuh raksasa tersebut dan membebaskan mereka. Menurut adat sosial yang ketat pada masa itu, seluruh wanita tawanan memiliki martabat rendah, dan tidak memungkinkan untuk menikah, karena mereka di bawah kendali Narakasura. Akan tetapi Kresna menikahi mereka untuk mengembalikan status mereka di masyarakat. Pernikahan dengan 16.100 putri tawanan tersebut kurang lebih merupakan rehabilitasi wanita massal.[53] Dalam tradisi Waisnawa, dipercaya bahwa para istri Kresna merupakan manifestasi Dewi Laksmi—pasangan Dewa Wisnu—atau merupakan jiwa istimewa yang melewati kualifikasi setelah menghabiskan banyak masa hidup dalam tapasya, sedangkan Satyabama, merupakan ekspansi dari Radha.[54]
Upacara Rajasuya
Dalam kitab Mahabharata, Yudistira, sepupu Kresna dari kerajaan Kuru ingin mengadakan upacara Rajasuya. Atas saran Kresna, ia mengerahkan saudara-saudaranya (para Pandawa) untuk menaklukkan para raja di Bharatawarsha (India). Di antara para raja, yang sulit ditaklukkan adalah Jarasanda, raja Magadha. Bima—salah satu Pandawa—menantangnya untuk bertarung dengan gada. Mereka bertarung selama 27 hari. Setiap kali matahari terbenam, mereka beristirahat untuk melanjutkan pertarungan pada hari berikutnya. Jarasanda sulit dibunuh. Pada hari ke-28, atas petunjuk Kresna, Bima membelah tubuh Jarasanda menjadi dua bagian (kanan-kiri), dan melemparkannya ke arah berlawanan. Dengan demikian, Jarasanda dapat dibunuh.
Setelah Jarasanda dikalahkan, upacara Rajasuya diselenggarakan oleh Yudistira dan para raja yang ditaklukkannya diundang untuk menghadirinya. Untuk menghormati para undangannya, Yudistira memutuskan untuk memberi hadiah kepada orang-orang yang paling utama di antara mereka. Ia meminta saran Bisma, kakeknya untuk menentukan siapa yang berhak diberikan hadiah terlebih dahulu. Bisma menyarankan agar hadiah diberikan kepada Kresna, dan Yudistira pun menyetujuinya. Akan tetapi, keputusan tersebut ditolak oleh Sisupala. Sisupala menghina Kresna secara bertubi-tubi, namun Kresna tetap bersabar. Sesuai janji Kresna kepada ibu Sisupala, ia tidak akan membunuh Sisupala kecuali bila makian yang diterimanya dari Sisupala sudah lebih dari seratus kali. Setelah Sisupala menghina Kresna lebih dari seratus kali, Kresna mengeluarkan senjata cakranya kemudian memenggal kepala Sisupala. Menurut legenda, Sisupala—beserta Dantawaktra, rekannya—adalah reinkarnasi Jaya dan Wijaya, penjaga pintu gerbang Waikuntha, kediaman Wisnu. Karena melarang Catursana memasuki Waikuntha, mereka dihukum untuk turun ke bumi, dan atas keinginan mereka sendiri, mereka dilahirkan sebagai musuh Wisnu dan dibunuh oleh Wisnu sendiri. Tindakan Kresna (sebagai awatara Wisnu) membunuh Sisupala telah membebaskan jiwa Sisupala dari reinkarnasi yang harus dialaminya sehingga jiwanya kembali menuju Waikuntha.[55]
Baratayuda dan Bhagawadgita
Perselisihan antara para Pandawa dan Korawa—sepupu mereka—dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan para Pandawa atas sikap para Korawa yang menghalalkan segala cara agar tahta kerajaan Kuru tidak jatuh ke tangan Yudistira—yang tersulung di antara Pandawa—sebagai putra mahkota tertua. Kresna bertindak sebagai juru damai, namun upaya perundingan gagal karena para Korawa—yang dipimpin Duryodana—tidak mau mengalah. Di samping itu, Duryodana senantiasa dihasut oleh pamannya, Sangkuni.
Saat keputusan perang tidak terelakkan lagi, hampir seluruh raja di Bharatawarsha (India) diminta untuk berpartisipasi, dan akhirnya semuanya menjadi dua pihak, yaitu pihak Pandawa dan Korawa. Kresna menawarkan kesempatan kepada dua pihak untuk memilih pasukannya atau dirinya sendiri, namun dengan kondisi tidak membawa senjata apapun. Arjuna yang mewakili Pandawa memilih agar Kresna berada di pihaknya, sedangkan Duryodana—pemimpin para Korawa—memilih pasukan Kresna. Saat tiba waktunya untuk berperang, Kresna bertindak sebagai kusir kereta perang Arjuna, karena sesuai dengan perjanjian bahwa ia tidak akan membawa senjata apapun.
Saat meninjau angkatan perang dan mengamati pihak yang akan berperang, Arjuna menjadi ragu setelah menyaksikan keluarga, sepupu, kerabat, serta kawan-kawan yang dicintainya bersiap-siap untuk membunuh satu sama lain. Kemudian Kresna menasihati Arjuna tentang perang yang akan dihadapinya. Percakapan tersebut meluas menjadi suatu wacana dan menjadi kitab tersendiri, dikenal sebagai Bhagawadgita 'Kidung Ilahi'.[56] Dalam Bhagawadgita, Kresna menguraikan ajaran Iswara (ketuhanan), jiwa, dharma (kewajiban), prakerti (alam semesta), dan kala (waktu).[57] Kresna juga menjelaskan bahwa tujuannya berada di dunia adalah untuk menyelamatkan orang saleh dan membinasakan orang jahat. Kutipan yang terkenal adalah:
Kapanpun dan dimanapun kebajikan merosot, dan kejahatan merajalela, pada saat itulah aku menjelma, wahai keturunan Bharata (Arjuna). Untuk menyelamatkan orang saleh dan menghukum orang jahat, serta menegakkan kebenaran, aku lahir dari zaman ke zaman. (Bhagawadgita, 4:7–8)
Saat Yudistira merasa tertekan atas kekalahan yang diterima pihaknya pada hari pertama, Kresna tetap optimis bahwa kemenangan sudah pasti akan diraih Yudistira karena ia bertindak di jalan yang benar dan telah mendapat restu dari Bisma—kakeknya sendiri, sekaligus kesatria tua yang harus dihadapinya dalam perang itu—sesaat sebelum perang dimulai. Seperti halnya Kresna, Bisma juga berkata bahwa kemenangan pasti akan diraih Yudistira dan ia mendoakan cucunya itu agar mencapai kejayaan, meskipun mereka harus saling menyerang dalam perang.
Seringkali Kresna meminta Arjuna agar segera mengalahkan Bisma, kakek para Pandawa dan Korawa. Keraguan Arjuna membuat Kresna marah sehingga ia mencopot roda keretanya sebagai pengganti cakram untuk membunuh Bisma. Akan tetapi tindakannya segera dicegah oleh Arjuna yang berjanji bahwa ia akan mengalahkan kesatria tua tersebut pada hari berikutnya. Setelah para Pandawa mengetahui kelemahan Bisma, pada hari berikutnya, Kresna menginstruksikan Srikandi, putra Raja Drupada agar menghadapi Bisma, dengan ditemani oleh Arjuna. Bisma, yang merasa bahwa Srikandi telah dilahirkan untuk membunuhnya, sulit menghindari serangan Arjuna yang bersembunyi di belakang Srikandi. Akhirnya Bisma dikalahkan pada hari kesepuluh.
Kresna juga membantu Arjuna dalam membunuh Jayadrata, kesatria Korawa yang menahan para Pandawa dalam usaha menyelamatkan Abimanyu—putra Arjuna—yang terkurung dalam formasi Cakrabyuha dan terbunuh oleh serangan serentak yang dilancarkan delapan kesatria Korawa. Kresna juga meruntuhkan semangat Drona—komandan tentara Korawa, pengganti Bisma—setelah ia memberi isyarat pada Bima untuk membunuh seekor gajah perang bernama Aswatama, nama yang serupa dengan nama putra semata wayang Drona. Pandawa berteriak bahwa Aswatama mati, namun Drona enggan mempercayainya sebelum ia mendengar langsung dari Yudistira yang dikenal sebagai orang yang tidak pernah berbohong. Kresna tahu bahwa Yudistira tidak akan berdusta, maka ia mengatur siasat agar Yudistira tidak berbohong namun Drona menganggap putranya telah gugur. Saat ditanya oleh Drona, Yudistira berkata, "Aswatama mati. Entah gajah, entah manusia." Tetapi setelah Yudistira mengucapkan kalimat pertama, tentara Pandawa yang telah diperintah oleh Kresna segera membuat kegaduhan dengan membunyikan genderang perang dan sangkakala, sehingga Drona tidak mendengar kalimat kedua yang diucapkan Yudistira dan percaya bahwa putranya telah gugur. Setelah dilanda dukacita, Drona meletakkan senjatanya, dan kesempatan itu dimanfaatkan oleh Drestadyumna untuk memenggal kepalanya.
Saat Arjuna bertarung melawan Karna, roda kereta Karna terperosok ke dalam genangan lumpur. Saat Karna mencoba mengangkat keretanya dari lumpur, Kresna mengingatkan Arjuna tentang tindakan Karna dan Korawa lainnya yang telah melanggar peraturan dalam peperangan saat menyerang dan membunuh Abimanyu secara serentak, dan ia meyakinkan Arjuna untuk menempuh cara yang sama untuk membunuh Karna. Maka Arjuna memenggal kepala Karna saat kesatria itu sedang berusaha mengangkat keretanya dari lumpur.
Menjelang hari puncak peperangan, Duryodana menemui Gandari, ibunya untuk meminta anugerah agar seluruh tubuhnya kebal dari segala serangan. Untuk itu, ia harus datang dalam keadaan telanjang bulat. Kresna mengolok-oloknya sehingga ia menjadi malu. Ia memutuskan untuk menutupi selangkangannya dengan kulit pisang saat menemui ibunya. Setelah Duryodana tiba, Gandari membuka penutup matanya dan mencurahkan kekuatan dari matanya ke tubuh Duryodana, tetapi ia kecewa setelah mengetahui bahwa Duryodana menutupi selangkangan dan paha sehingga daerah itu tidak akan kebal. Ketika Duryodana bertarung dengan Bima, serangan Bima tidak berpengaruh bagi Duryodana. Untuk menyelesaikannya, Kresna mengingatkan Bima akan janjinya untuk membunuh Duryodana dengan cara memukul pahanya. Bima pun melakukannya, meskipun melanggar peraturan (mengingat bahwa Duryodana sendiri telah melanggar dharma pada perbuatannya pada masa lalu). Dengan demikian, strategi Kresna telah membantu Pandawa memenangkan perang dengan menjatuhkan seluruh pemimpin tentara Korawa, tanpa perlu mengangkat senjatanya. Ia juga menghidupkan kembali Parikesit, cucu Arjuna yang diserang dengan senjata Brahmastra oleh Aswatama saat berada di dalam janin ibunya. Di kemudian hari, Parikesit menjadi penerus Pandawa.
Kehidupan di kemudian hari
Setelah perang usai, Yudistira diangkat sebagai Raja Kuru, dengan pusat pemerintahan di Hastinapura. Ia memerintah selama 36 tahun. Sementara itu Kresna tinggal bersama kaumnya di Dwaraka. Karena Samba—putra Kresna—dan beberapa pemuda Yadawa telah mengolok-olok para resi yang mengunjungi Dwaraka, maka kaum Yadawa dikutuk agar hancur dengan menggunakan senjata gada yang dikeluarkan dari perut Samba. Atas perintah Ugrasena, senjata tersebut dihancurkan hingga menjadi debu lalu dibuang ke laut. Debu tersebut hanyut ke tepi pantai Prabasha dan tumbuh menjadi semacam tanaman rumput, disebut eruka.
Pada suatu perayaan, kaum Yadawa mengunjungi Prabasha dan berpesta pora di sana. Karena pengaruh minuman keras, mereka mabuk dan saling hantam. Perkelahian pun berubah menjadi pembunuhan massal. Saat menyaksikan kaumnya saling bunuh, Kresna menggenggam rumput eruka dan melemparkannya ke tengah percekcokan tersebut yang mengakibatkan ledakan hebat sehingga membunuh hampir seluruh kaum Yadawa yang ada di sana. Setelah kehancuran kaumnya, Baladewa meninggalkan tubuhnya dengan cara melakukan Yoga. Sementara itu, Kresna memasuki hutan dan duduk di bawah pohon untuk bermeditasi. Mahabharata menyatakan bahwa seorang pemburu bernama Jara mengira sebagian kaki kiri Kresna yang tampak sebagai seekor rusa sehingga ia menembakkan panahnya, menyebabkan Kresna terluka secara fana, sampai berujung ke kematiannya. Saat jiwa Kresna mencapai surga, tubuhnya dikremasi oleh Arjuna.[58][59][60]
Menurut sumber-sumber dari Purana,[61] kepergian Kresna menandai akhir zaman Dwaparayuga dan dimulainya Kaliyuga, yang dihitung jatuh pada tanggal 17/18 Februari 3102 SM.[62] Para guru aliran Waisnawa, misalnya Ramanuja dan aliran Gaudiya Waishnawa memandang bahwa tubuh Kresna seutuhnya merupakan tubuh spiritual sehingga tidak akan pernah membusuk karena hal ini tampaknya merupakan perspektif dalam Bhagawatapurana. Kresna tidak pernah disebut menua atau menjadi uzur dalam penggambaran secara historis dalam berbagai Purana, meskipun telah melewati beberapa dasawarsa, tetapi ada alasan untuk sebuah perdebatan apakah ini menunjukkan bahwa ia tidak memiliki tubuh material, karena pertempuran dan deskripsi lain dari wiracarita Mahabharata jelas menunjukkan indikasi bahwa ia tampaknya tunduk pada keterbatasan alam.[63] Sementara kisah pertempuran tampaknya menunjukkan keterbatasan, Mahabharatha juga menceritakan berbagai kisah saat Kresna tidak tunduk pada keterbatasan, seperti cerita ketika Duryodana mencoba untuk menangkap Kresna namun tubuhnya memancarkan api yang menunjukkan semua ciptaan ada dalam dirinya.[64]
Pemujaan
Aliran Waisnawa
Pemujaan terhadap Kresna merupakan suatu bagian dari aliran Waisnawa (Waisnawisme), aliran agama Hindu yang menganggap Wisnu sebagai Tuhan Yang Mahakuasa dan memuliakan berbagai awatara (penjelmaan) yang terkait dengannya, termasuk pasangan (sakti/dewi) dewa itu sendiri, serta orang suci maupun guru yang menyebarkan ajarannya. Secara istimewa Kresna dipandang sebagai penjelmaan Wisnu seutuhnya, atau sebagai wujud Wisnu itu sendiri.[65] Bagaimanapun juga, hubungan yang pasti antara Kresna dan Wisnu terasa kompleks dan bermacam-macam.[66] Kadang kala Kresna dianggap sebagai dewa tersendiri, yang memiliki kekuasaan penuh tanpa ketergantungan.[67] Di antara berbagai macam dewa, Kresna sangat penting, dan tradisi dalam garis perguruan Waisnawa biasanya terpusat kepada Wisnu maupun Kresna, sebagai dewa yang dipuja. Istilah Kresnaisme digunakan untuk meyebut sekte pemuja Kresna, sementara istilah Waisnawisme untuk sekte yang terpusat kepada Wisnu dan Kresna dianggap sebagai awatara, daripada Tuhan Yang Mahakuasa.[68]
Seluruh tradisi Waisnawa menganggap Kresna merupakan awatara Wisnu; kadang kala Kresna disamakan dengan Wisnu; sementara beberapa tradisi lainnya, misalnya Gaudiya Waisnawa,[69][70] Wallabha Sampradaya dan Nimbarka Sampradaya, menganggap Kresna sebagai Swayam Bhagawan, wujud asli Tuhan, atau Tuhan itu sendiri.[71][72][73][74][75] Swaminarayan, pendiri aliran Swaminarayana Sampradaya juga memuja Kresna sebagai Tuhan. "Kresnaisme Raya" (Greater Krishnaism) merupakan bentuk Waisnawa yang kedua atau dominan, berkisar antara penyembahan Basudewa, Kresna, dan Gopala pada Zaman Weda Akhir.[76] Pada masa sekarang kepercayaan tersebut memiliki pengikut yang cukup banyak, termasuk di luar India.[77]
Tradisi awal
Secara historis, Dewa Kresna Basudewa (kṛṣṇa vāsudeva "Kresna, putra Basudewa") merupakan salah satu bentuk pemujaan tertua dalam aliran Kresnaisme dan Waisnawa.[78][79] Dipercaya bahwa pemujaan tersebut merupakan tradisi penting pada sejarah awal pemujaan Kresna pada zaman kuno.[80][81] Tradisi ini dianggap sebagai yang terawal di antara tradisi lainnya yang kemudian bergabung pada tahap selanjutnya dalam perkembangan sejarah. Tradisi lainnya meliputi Bhagawatisme dan penyembahan Gopala, yang bersama penyembahan Balakresna (Bala-Krishna) membentuk dasar tradisi pemujaan yang terpusat pada Kresna pada masa sekarang.[82][83] Beberapa ahli kuno akan menyamakannya dengan Bhagawatisme,[80] dan dipercaya bahwa pendiri tradisi religius ini adalah Kresna, yang merupakan putra Basudewa, sehingga namanya adalah Bāsudewa (Vāsudeva), termasuk ke dalam anggota suku Satvata, dan pegikutnya menyebut diri mereka sendiri sebagai "Kaum Bhagawata" dan agama ini terbentuk pada abad ke-2 SM (zaman Resi Patanjali), atau sekurang-kurangnya pada abad ke-4 SM menurut bukti-bukti Megastenes dan dalam kitab Arthasastra karya Kautilya, ketika Bāsudewa dipuja sebagai Tuhan Yang Mahakuasa dengan cara monoteistik yang kuat, di mana Yang Mahakuasa adalah sempurna, kekal, dan penuh karunia.[80] Dalam berbagai sumber di luar pemujaan, pemuja atau bhakta dianggap sebagai Basudewaka (Vāsudevaka).[84] Kitab Hariwangsa menggambarkan hubungan yang rumit antara Kresna Basudewa, Sangkarsana, Pradyumna dan Aniruda yang kemudian akan membentuk konsep Waisnawa tentang empat manifestasi yang utama, atau awatara.[85]
Tradisi Bhakti
Bhakti berarti ketaatan, yang tidak terbatas pada satu dewa saja. Akan tetapi Kresna merupakan dewa yang penting dan populer dalam aspek kebaktian dan sukacita dalam agama Hindu, khususnya di antara sekte-sekte Waisnawa.[69][86] Penyembah Kresna menganut konsep lila, yang berarti 'sandiwara ilahi', sebagai prinsip pokok di Alam Semesta. Para lila Kresna, dengan ungkapan kasih sayang mereka yang melampaui batas-batas cara penghormatan secara resmi, berfungsi sebagai pengiring aksi-kasi yang dilakukan awatara Wisnu lainnya: Rama.[70]
Gerakan Bhakti yang menyembah Kresna menjadi terkemuka di India Selatan selama abad ke-7 sampai ke-9 Masehi. Karya-karya tertua meliputi syair-syair yang ditulis para Alvar (orang suci) di negara-negara berbahasa Tamil.[87] Kumpulan utama dari karya-karya mereka adalah Divya Prabandham. Kumpulan lagu terkenal karya Alvar Andal yaitu Tiruppavai, saat ia membayangkan dirinya sebagai seorang gopi (wanita pemerah susu), adalah karya terkenal di antara karya-karya tertua dalam genre ini.[88][89] [90] Mukundamala karya Kulasekaraazhvaar adalah karya terkenal lainnya pada masanya.
Penyebaran Gerakan Bhakti Kresna
Gerakan Bhakti menyebar secara cepat dari India Utara ke Selatan, dengan syair berbahasa Sanskerta Gita Govinda karya Jayadeva (abad ke-12 M) sebagai pertanda karya sastra dalam pemujaan Kresna. Syair tersebut menguraikan legenda Kresna tentang gopi istimewa yang menjadi kekasihnya, yakni Radha, yang kurang dibahas dalam kitab Bhagawatapurana, namun dibahas sebagai tokoh penting dalam kitab lainnya, misalnya Brahmawaiwartapurana. Dengan pengaruh Gita Govinda, Radha menjadi aspek yang tak terpisahkan dalam pemujaan Kresna.[4]
Saat sebagian masyarakat terpelajar yang fasih dalam bahasa Sanskerta bisa menikmati karya-karya seperti Gita Govinda atau Krishna-Karnamritam karya Bilwanggala, massa juga menyanyikan lagu-lagu lain karya penyair pemuja Kresna, yang terdiri dalam berbagai bahasa daerah di India. Lagu-lagu ini mencerminkan pengabdian pribadi yang kuat yang ditulis oleh pemuja Kresna dari seluruh lapisan masyarakat. Lagu-lagu karya Meera dan Surdas menjadi pertanda dari penyembahan Kresna di India Utara.
Pada abad ke-11 Masehi, aliran Waisnawa Bhakti dengan kerangka teologi yang rumit tentang penyembahan Kresna didirikan di India Utara. Nimbarka (abad ke-11 M), Wallabhacharya (abad ke-15 M) dan Caitanya Mahaprabhu (abad ke-16 M) adalah pendiri aliran yang paling berpengaruh. Aliran-aliran ini, yaitu Nimbarka Sampradaya, Wallabha Sampradaya dan Gaudiya Waisnawa, memandang Kresna sebagai dewa tertinggi, bukan awatara, seperti pada umumnya.
Di Deccan, khususnya di Maharashtra, penyair dari sekte Varkari seperti Dnyaneshwar, Namdev, Janabai, Eknath dan Tukaram mempromosikan pemujaan Witoba,[23] wujud Kresna di daerah tertentu, dari awal abad ke-13 sampai akhir abad ke-18.[4] Di India Selatan, Purandara Dasa dan Kanakadasa dari Karnataka menggubah lagu yang didedikasikan untuk citra Kresna di Udupi. Rupa Goswami dari aliran Gaudiya Waisnawa, telah menyusun ringkasan umum tentang bhakti yang disebut Bhakti-rasamrita-sindhu.[86]
Di Dunia Barat
Sejak tahun 1966, Gerakan Bhakti Kresna telah menyebar keluar India. Penyebab utamanya adalah misi yang dilakukan oleh organisasi Masyarakat Internasional Kesadaran Krishna (International Society for Krishna Consciousness - ISKCON), lebih dikenal sebagai Gerakan Hare Krishna.[91] Gerakan tersebut didirikan oleh Bhaktivedanta Swami Prabhupada, yang diinstruksikan oleh guru Dia, Bhaktisiddhanta Sarasvati Thakura, untuk menulis tentang Kresna dalam bahasa Inggris dan menyebarkan filsafat Gaudiya Waisnawa kepada masyarakat di Dunia Barat.[92]
Dalam kesenian
Dalam mendiskusikan asal mula seni pertunjukkan India, Horwitz menyinggung adanya kisah tentang Kresna dalam Mahabhashya karya Patanjali (sekitar 150 SM), yaitu saat episode terbunuhnya Kangsa (Kamsa Vadha) dan "pengikatan raksasa penyerbu surga" (Bali Bandha) dijelaskan.[93] Balacharitam dan Dutavakyam karya Bhasa (sekitar 400 SM) adalah lakon berbahasa Sanskerta yang terpusat pada Kresna. Mulanya hanya pembeberan masa kecilnya, dan kemudian lakon satu babak yang berdasarkan satu episode dalam Mahabharata, saat Kresna berusaha mendamaikan dua sepupu yang bertikai.[94]
Sejak abad ke-10 M, dengan berkembangnya Gerakan Bhakti, Kresna menjadi subjek favorit dalam kesenian. Lagu-lagu Gita Govinda menjadi terkenal di antero India, dan terdapat banyak imitasi. Lagu tersebut disusun oleh penyair gerakan Bhakti, dimasukkan ke dalam kelompok lagu rakyat maupun klasik.
Dalam legenda Hindu, tarian yang dilakukan Kresna bersama kekasihnya, Radha, dan para gadis pemerah susu dikenal sebagai "Rasa lila", atau "Tarian Kasih Sayang Ilahi".[95] Rasa lila menjadi tema populer dalam tari Bharatanatyam, Odissi dan Kuchipudi. Rasa lila menjadi bentuk seni pertunjukkan rakyat populer di Mathura, Vrindavan di Uttar Pradesh, khususnya selama hari raya Krishna Janmashtami dan Holi, dan di antara berbagai pengikut Gaudiya Waisnawa di wilayah tersebut. Rasa lila juga dihormati sebagai salah satu Fetival Nasional di Assam. Dalam kitab Bhagawatapurana dinyatakan bahwa siapapun yang mendengarkan atau menggambarkan Rasa lila dengan penuh keyakinan maka akan mencapai "pengabdian atas rasa cinta sejati" dari Kresna (Suddha-bhakti).[96]
Tarian Sattriya, yang diciptakan oleh tokoh suci Waisnawa dari Assam, Sankardeva, memuliakan kebajikan dari Kresna. Pada Abad Pertengahan, di Maharashtra tercipta suatu bentuk seni bercerita yang dikenal sebagai Hari-Katha, yang menceritakan kisah-kisah dan ajaran Waisnawa melalui musik, tarian, dan urutan narasi, dan kisah tentang Kresna adalah salah satu bagiannya. Tradisi ini berkembang hingga ke Tamil Nadu dan negara bagian India lainnya di sebelah selatan, dan kini populer di seluruh India.
Krishnalila Tarangini karya Narayana Tirtha (abad ke-17 M) yang menyediakan unsur-unsur dari lakon musikal Bhagavata-Mela menceritakan kisah Kresna semenjak lahir hingga pernikahannya dengan Rukmini. Tyagaraja (abad ke-18 M) menulis beberapa karya yang sama tentang Kresna, disebut Nauka-Charitam. Penuturan Kresna dari berbagai Purana dipentaskan dalam Yakshagana, seni pertunjukkan asli dari daerah Karnataka, India. Banyak film dalam berbagai bahasa di India telah dibuat berdasarkan cerita ini.
Adaptasi dalam budaya Indonesia
Wiracarita Mahabharata, yang memuat sebagian riwayat Kresna, terdiri dari delapan belas buku yang disebut Astadasaparwa (18 parwa). Wiracarita tersebut tidak hanya terkenal di Asia Selatan, namun juga menyebar ke Asia Tenggara, antara lain Indonesia. Di Indonesia, beberapa bagiannya, seperti Adiparwa, Wirataparwa, Bhismaparwa dan mungkin juga beberapa parwa yang lain, diketahui telah digubah dalam bentuk prosa berbahasa Kawi (Jawa Kuno) semenjak akhir abad ke-10 Masehi, pada masa pemerintahan raja Dharmawangsa Teguh (991-1016 M) dari Kediri. Pada masa itu, dikenal pula proyek penerjemahan dengan istilah "mangjawakěn byāsamata", yang bermakna membuat latar dalam cerita tersebut seolah-olah di pulau Jawa.[97]
Di Indonesia, kisah Kresna yang bersumber dari Mahabharata, Hariwangsa, maupun Purana telah diadaptasi lalu digubah menjadi kakawin, antara lain Kakawin Kresnayana dan Kakawin Hariwangsa. Keduanya menceritakan kisah pernikahan Kresna dengan Rukmini, putri dari kerajaan Widarba. Selain itu, terdapat pula Kakawin Bhomantaka, yang menceritakan perang antara Kresna dengan raksasa Bhoma.
Di Indonesia, Mahabharata juga diangkat ke dalam pertunjukkan wayang, dengan adaptasi dan perubahan seperlunya. Dalam budaya pewayangan Jawa, tokoh Kresna dikenal sebagai raja Dwarawati (Dwaraka), kerajaan para keturunan Yadu dan merupakan titisan Dewa Wisnu. Kresna muda bernama Narayana, adalah putra Basudewa, Raja Mandura (Mathura). Ia dilahirkan sebagai putra kedua dari tiga bersaudara (dalam versi Mahabharata ia merupakan putra kedelapan). Kakaknya bernama Baladewa (Balarama, alias Kakrasana) dan adiknya dikenal sebagai Sembadra (Subadra), yang dinikahi oleh Arjuna, sepupunya dari pihak ibu. Kresna memiliki tiga orang istri dan tiga orang anak. Para istrinya yaitu Dewi Jembawati, Dewi Rukmini, dan Dewi Satyabama. Menurut pewayangan, anak-anaknya adalah Raden Boma Narakasura, Raden Samba, dan Siti Sundari.
Pada lakon Baratayuda, yaitu perang antara Pandawa melawan Korawa, dia berperan sebagai Pujangga Pandawa,di tegal Khurukasetra lapangan tempat terjadinya perang Bharatayuddha, dia menjadi sais atau kusir kereta perang Arjuna. Ia juga merupakan salah satu penasihat utama pihak Pandawa. Sebelum perang melawan Karna, atau dalam babak yang dinamakan Karna Tanding, dia memberikan wejangan panjang lebar kepada Arjuna. Wejangan dia dikenal sebagai Bhagawadgita, yang berarti "Kidung Ilahi".
Dalam budaya pewayangan, Kresna dikenal sebagai tokoh yang sangat sakti. Ia memiliki kemampuan untuk meramal, berubah bentuk menjadi raksasa atau biasa disebut Triwikrama dan memiliki bunga Wijaya Kusuma yang dapat menghidupkan kembali orang mati. Ia juga memiliki senjata yang dinamakan Cakrabaswara yang mampu digunakan untuk menghancurkan dunia. Pusaka-pusaka sakti yang dimilikinya antara lain senjata cakra, terompet kerang (sangkakala) bernama Pancajahnya, Kaca Paesan, Aji Pameling dan Aji Kawrastawan.
Dalam agama lain
Jainisme
Menurut ajaran Jainisme, terdapat tiga serangkai, yaitu seseorang yang bergelar Basudewa bersama kakaknya yang bergelar Baladewa, dan musuh mereka yang bergelar Pratibasudewa. Tiga serangkai tersebut lahir pada setiap zaman dan dengan nama yang berbeda-beda. Baladewa adalah penegak prinsip Jainisme tentang tindak tanpa kekerasan. Akan tetapi, Basudewa harus mengabaikan prinsip itu untuk membunuh Pratibasudewa demi menyelamatkan dunia. Kemudian Basudewa harus turun ke Naraka (dunia bawah) sebagai hukuman atas tindak kekerasan yang dilakukannya. Setelah menjalani hukuman, ia dilahirkan sebagai seorang Tirthankara.[98][99]
Dalam daftar 63 Shalakapursha atau tokoh termasyhur Jainisme, termasuk di antaranya adalah 24 Tirthankara dan 9 tiga serangkai tersebut. Salah satu tiga serangkai tersebut adalah Kresna sebagai Basudewa, Balarama sebagai Baladewa, dan Jarasanda sebagai Pratibasudewa. Menurut Jainisme, ia merupakan sepupu Neminatha, Tirthankara ke-22. Kisah-kisah tiga serangkai tersebut dapat disimak dalam Hariwangsa karya Jinasena (bukan kitab Hariwangsa pendukung Mahabharata) dan Trishashti-shalakapurusha-charita karya Hemachandra.[100]
Agama Buddha
Kisah Kresna muncul dalam cerita Jataka dalam agama Buddha,[101] terutama dalam Ghatapandita Jataka, sebagai seorang pangeran dan penakluk legendaris dan Raja India.[102] Dalam versi agama Buddha, Kresna disebut Basudewa, Kanha dan Kesawa, dan Balarama merupakan adiknya, disebut pula Baladewa. Detailnya menyerupai cerita yang dimuat dalam kitab Bhagawatapurana. Basudewa, beserta sembilan saudaranya yang lain (semuanya merupakan pegulat yang kuat) beserta kakak perempuannya (Anjana) merebut seluruh Jambudwipa (India) setelah memenggal paman mereka yang dianggap kejam, yakni Raja Kangsa, kemudian seluruh raja di Jambudwipa dengan menggunakan Cakra Sudarsana miliknya. Sebagian besar cerita yang memuat kekalahan Kangsa mengikuti cerita yang terkandung dalam Bhagawatapurana.[103]
Seperti yang diceritakan dalam Mahabharata, semua saudaranya pada akhirnya tewas karena kutukan Resi Kanhadipayana (Byasa), juga dikenal sebagai Kresna Dwipayana). Kresna sendiri tertusuk oleh senjata pemburu karena suatu kesalahpahaman, meninggalkan Anjanadewi, satu-satunya anggota keluarganya yang masih hidup. Setelah itu, riwayatnya tidak disebutkan lagi.[104]
Karena Jataka merupakan cerita yang diberikan menurut sudut pandang Buddha Gautama di kehidupan sebelumnya (serta kehidupan sebelumnya dari para pengikut Buddha), maka kisah Kresna pun dianggap sebagai salah satu kehidupan Sariputra, salah satu murid Buddha yang terkemuka, dan "Dhammasenapati" atau "Panglima Dharma" dan biasanya digambarkan sebagai "tangan kanan" Buddha dalam kesenian dan ikonografi Buddha.[105] Sang Bodhisattva, yang lahir dalam cerita ini sebagai salah satu adiknya bernama Ghatapandita, menyelamatkan Kresna dari dukacita karena kehilangan putranya.[102] Kresna sebagai manifestasi kebijaksanaan dan tukang kelakar yang disayangi juga disertakan dalam panteon agama Buddha di Jepang.[106]
Agama Bahá'í
Umat Bahá'í meyakini bahwa Kresna adalah seorang "Manifestasi Tuhan", atau salah seorang dalam rangkaian para nabi yang telah mengungkapkan Firman Tuhan untuk umat manusia pada waktunya. Maka dari itu, Kresna berada pada posisi yang mulia bersama Nabi Ibrahim, Musa, Zarathustra, Buddha, Muhammad, Yesus Kristus, Sang Báb, dan pendiri agama Bahá'í, Bahá'u'lláh.[107]
Ahmadiyyah
Di Asia Selatan, anggota komunitas Ahmadiyyah meyakini Kresna sebagai utusan Tuhan, seperti yang diungkapkan oleh pendiri aliran tersebut, Mirza Ghulam Ahmad. Ghulam Ahmad juga mengaku memiliki kesamaan dengan Kresna sebagai pembangkit agama dan moralitas pada zaman modern yang misinya adalah mendamaikan umat manusia dengan Tuhan.[108] Pengikut Ahmadiyyah mempertahankan istilah avatar (awatara) yang dianggap sama dengan istilah "nabi" dalam tradisi agama di Timur Tengah sebagai campur tangan Tuhan dengan manusia; seperti Tuhan yang menunjuk manusia sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Dalam Kuliah Sialkot, Ghulam Ahmad menulis:
Jelaslah bahwa Raja Krishna, sesuai dengan apa yang telah diwahyukan kepadaku, adalah orang yang benar-benar agung yang sulit untuk menemukan orang sepertinya di antara para Resi dan Awatara dalam Hindu. Dia adalah seorang Awatara — yaitu, Nabi — besar pada masanya yang kepadanya Roh Kudus turun dari Tuhan. Dia berasal dari Tuhan, jaya dan sejahtera. Ia membersihkan tanah Arya dari dosa dan ternyata Nabi pada zamannya yang kemudian ajarannya diubah dalam berbagai cara. Dia penuh kasih kepada Tuhan, seorang teman kebajikan dan musuh kejahatan.[108]
Lainnya
Pemujaan atau penghormatan kepada Kresna telah diangkat dalam berbagai gerakan keagamaan baru sejak abad ke-19, dan kadang-kadang diikutsertakan dalam panteon eklektik dalam kitab-kitab okultisme, bersama tokoh-tokoh dari mitologi Yunani, Buddha, Alkitab, dan bahkan tokoh sejarah.[109]
Sebagai contoh, Édouard Schuré, tokoh berpengaruh dalam filsafat abadi dan gerakan okultisme, menganggap Kresna sebagai Inisiasi Agung; sementara itu para ahli teosofi menghormati Kresna sebagai inkarnasi Maitreya (salah satu dari para Ahli Kebijaksanaan Kuno), guru spiritual umat manusia yang terpenting setelah Buddha.[110][111] Kresna dikanonisasi oleh Aleister Crowley dan dihormati sebagai orang suci dalam Misa Gnostik dari Ordo Kuil Timur.[112][113]
Silsilah
Silsilah keturunan Yadu (bangsa Yadawa) dalam Mahabharata dan Purana | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
|
Lihat pula
Catatan kaki
- ^ Who is Krishna?
- ^ Bhag-P 1.3.28 Diarsipkan 2013-01-23 di Wayback Machine. "All of the above-mentioned incarnations are either plenary portions or portions of the plenary portions of the Lord, but Lord Sri Krishna is the original Personality of Godhead."
- ^ Richard Thompson, Ph. D. (Desember 1994). "Reflections on the Relation Between Religion and Modern Rationalism". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-01-04. Diakses tanggal 2008-04-12.
- ^ a b c Mahony, W.K. (1987). "Perspectives on Krsna's Various Personalities". History of Religions. American Oriental Society. 26 (3): 333–335. doi:10.2307/599733. JSTOR 10.2307/599733.
- ^ Selengut, Charles (1996). "Charisma and Religious Innovation:Prabhupada and the Founding of ISKCON". ISKCON Communications Journal. 4 (2). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-07-10. Diakses tanggal 2010-12-06.
- ^ Bryant 2007, hlm. 17
- ^ Hiltebeitel, Alf (2001). Rethinking the Mahābhārata: a reader's guide to the education of the dharma king. Chicago: University of Chicago Press. hlm. 251–53, 256, 259. ISBN 0-226-34054-6.
- ^ B.M.Misra. Orissa: Shri Krishna Jagannatha: the Mushali parva from Sarala's Mahabharata. Oxford University Press, USA. ISBN 0-19-514891-6. in Bryant 2007, hlm. 139
- ^ a b Indian Divinity.com. "Artikel, fakta, dan mitologi Hindu".
- ^ Gyandev, Nayaswami. "Why Is Krishna Blue?". Ananda.org.
- ^ a b c Jain, P.C. (September 2004). "Iconographic Perception of Krishna's Image". Exotic India.com.
- ^ "Sri Krishna: The One with the Attributes of God". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2010-06-19. Diakses tanggal 2010-12-15.
- ^ The Encyclopedia Americana. [s.l.]: Grolier. 1988. hlm. 589. ISBN 0-7172-0119-8.
- ^
Benton, William (1974). The New [[Encyclopaedia Britannica]]. Encyclopaedia Britannica. hlm. 885. ISBN 0852292902, 9780852292907 Periksa nilai: invalid character
|isbn=
(bantuan). Konflik URL–wikilink (bantuan) - ^ D. D. Kosambi (1962), Myth and Reality: Studies in the Formation of Indian Culture, New Delhi, CHAPTER I: SOCIAL AND ECONOMIC ASPECTS OF THE BHAGAVAD-GITA, paragraf 1.16
- ^ Harle, J. C. (1994). The art and architecture of the Indian Subcontinent. New Haven, Conn: Yale University Press. hlm. 410. ISBN 0-300-06217-6.
figure 327. Manaku, Radha's messenger describing Krishna standing with the cow-girls, from Basohli.
- ^ Datta, Amaresh (1994). Encyclopaedia of Indian Literature. Sahitya Akademi. hlm. 4290.
- ^ The penny cyclopædia [ed. by G. Long]. 1843, hal. 390 [1]
- ^ Ramesh M. Dave, K. K. A. Venkatachari, The Bhakta-bhagawan Relationship: Paramabhakta Parmeshwara Sambandha. Sya. Go Mudgala, Bochasanvasi Shri Aksharpurushottama Sanstha, 1988. hal. 74
- ^ Valpey 2006, hlm. 52
- ^
Hoiberg, Dale (2000). Students' Britannica India. Popular Prakashan. hlm. 251. ISBN 0852297602, 9780852297605 Periksa nilai: invalid character
|isbn=
(bantuan). - ^ Satsvarupa dasa Goswami (1998). "The Qualities of Sri Krsna". GNPress: 152 pages. ISBN 0911233644.
- ^ a b Witoba tidak hanya dipandang sebagai perwujudan Kresna. Ia juga dianggap sebagai awatara Wisnu, Siwa dan Gautama Buddha tergantung tradisi. Lihat: Kelkar, Ashok R. (2001) [1992]. "Sri-Vitthal: Ek Mahasamanvay (Marathi) oleh R.C. Dhere". Encyclopaedia of Indian literature. 5. Sahitya Akademi. hlm. 4179. Diakses tanggal 2008-09-20. dan Mokashi, Digambar Balkrishna (1987). Palkhi: a pilgrimage to Pandharpur — translated from the Marathi book Pālakhī by Philip C. Engblom. Albany: State University of New York Press. hlm. 35. ISBN 0887064612.
- ^ Wendy Doniger (2008). "Britannica: Mahabharata". encyclopedia. Encyclopædia Britannica Online. Diakses tanggal 2008-10-13.
- ^ Matapariksha: An examination of religions, Volume 1 By John Muir
- ^ The Religions of India Volume 1, Volume 1 By Edward Washburn Hopkins
- ^ Indian Hist (Opt) By Reddy
- ^ http://kurukshetra.nic.in/museum-website/archeologicaltreasure.html
- ^ III. i. 23, Ulâro so Kaṇho isi ahosi.
- ^ Hastings 2003, hlm. 540–42
- ^ Bryant 2007, hlm. 5
- ^ Barnett, Lionel David (1922). Hindu Gods and Heroes: Studies in the History of the Religion of India. J. Murray. hlm. 93.
- ^ Puri, B.N. (1968). India in the Time of Patanjali. Bhartiya Vidya Bhavan.Page 51: The coins of Raj uvula have been recovered from the Sultanpur District.. the Brahmi inscription on the Mora stone slab, now in the Mathura Museum,
- ^ Barnett, Lionel David (1922). Hindu Gods and Heroes: Studies in the History of the Religion of India. J. Murray. hlm. 92.
- ^ Elkman, S.M. (1986). Jiva Gosvamin's Tattvasandarbha: A Study on the Philosophical and Sectarian Development of the Gaudiya Vaisnava Movement. Motilal Banarsidass Pub.
- ^ a b Knott 2000, hlm. 61
- ^ Astrology Notes Diarsipkan 2007-07-04 di Wayback Machine.; Sri Krishna: His Birth and Activities. N.S. Rajaram menetapkan tanggal-tanggal tersebut sebesar nilai nominal ketika ia berpendapat bahwa "Kami memiliki bukti yang luar biasa yang menunjukkan bahwa Kresna adalah tokoh sejarah yang pernah ada pada abad di kedua sisi dari tanggal tersebut, yaitu pada periode 3200-3000 SM". ('Search for the Historical Krishna' 1999)
- ^ Lihat horoskop nomor 1 dalam Dr. B.V. Raman (1991). Notable Horoscopes. Delhi, India: Motilal Banarsidass. ISBN 8120809017.
- ^ Menurut kitab Bhagawatapurana dan Wisnupurana, Kangsa adalah kakak kandung Dewaki atau paman dari Krishna. Pernyataan ini juga dapat ditemukan dalam Purana lainnya, seperti Dewibhagawatapurana. Baca Wisnupurana Buku V Bab 1, diterjemahkan oleh H. H. Wilson, (1840); kitab Srimad Bhagavatam, diterjemahkan oleh A.C. Bhaktivedanta Swamiprabhupada, (1988) hak cipta Bhaktivedanta Book Trust
- ^ Bryant 2004, hlm. 425 (Note. 4)
- ^ Bryant 2004, hlm. 16 (Bh.P. X Ch 2.18)[2]
- ^ Tripurari, Swami, Gopastami Diarsipkan 2011-07-18 di Wayback Machine., Sanga Diarsipkan 2009-12-10 di Wayback Machine., 1999.
- ^ Lynne Gibson (1844). Calcutta Review. India: University of Calcutta Dept. of English. hlm. 119.
- ^ Lynne Gibson (1999). Merriam-Webster's Encyclopedia of World Religions. Merriam-Webster. hlm. 503.
- ^ The English Writings of Rabindranath Tagore (ed. Sisir Kumar
Das) (1996). A Vision of Indias History. Sahitya Akademi: Sahitya Akademi. hlm. 444. ISBN 8126000945. line feed character di
|author=
pada posisi 62 (bantuan); - ^ Schweig, G.M. (2005). Dance of divine love: The Rasa Lila of Krishna from the Bhagavata Purana, India's classic sacred love story. Princeton University Press, Princeton, NJ; Oxford. ISBN 0691114463.
- ^ Bryant 2007, hlm. 28–29
- ^ Mythfolklore.net. "Dwaraka". Diakses tanggal 2010-12-14.
- ^ Carudewa Sastri, Suniti Kumar Chatterji (1974) Charudeva Shastri Felicitation Volume, hlm. 449
- ^ David L. Haberman, (2003) Motilal Banarsidass, The Bhaktirasamrtasindhu of Rupa Gosvamin, hlm. 155, ISBN 81-208-1861-X
- ^ Bryant 2007, hlm. 152
- ^ Aparna Chatterjee (10 Desember 2007). "The Ashta-Bharyas". American Chronicle. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-12-06. Diakses tanggal 21 April 2010.
- ^ Bryant 2007, hlm. 130–133
- ^ Rosen 2006, hlm. 136
- ^ "Deities: Krishna & Shishupal". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-10-02. Diakses tanggal 2010-12-15.
- ^ Kresna dalam Bhagawadgita, oleh Robert N. Minor dalam Bryant 2007, hlm. 77–79
- ^ A. C. Bhaktivedanta Swami Prabhupada. "Bhagavad-gita Menurut Aslinya, Pendahuluan". Bhaktivedanta VedaBase Network (ISKCON). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2009-01-22. Diakses tanggal 2008-01-14. "Subjek Bhagavad-gita membawa pemahaman lima kebenaran dasar".
- ^ Bryant 2007, hlm. 148
- ^ Kisari Mohan Ganguli (2006 - digitalisasi). "Mahabharata (aslinya diterbitkan antara tahun 1883 dan 1896)". book. Sacred Texts. Diakses tanggal 2008-10-13. Parameter
|chapter=
akan diabaikan (bantuan) - ^ Mani, Vettam (1975). Puranic Encyclopaedia: A Comprehensive Dictionary With Special Reference to the Epic and Puranic Literature. Delhi: Motilal Banarsidass. hlm. 429. ISBN 0842-60822-2.
- ^ Bhagawatapurana (1.18.6), Wisnupurana (5.38.8), dan Brahmapurana (212.8) menyatakan bahwa hari ketika Kresna meninggal adalah saat Dwaparayuga berakhir dan Kaliyuga dimulai.
- ^ Baca: Matchett, Freda, "The Puranas", hlm. 139 dan Yano, Michio, "Calendar, astrology and astronomy" dalam Flood, Gavin (Ed) (2003). Blackwell companion to Hinduism. Blackwell Publishing. ISBN 0-631-21535-2.
- ^ Sutton (2000) hlm.174-175
- ^ Kisari Mohan Ganguli (2006 - digitalisasi). "Mahabharata, Buku 5: Udyoga Parwa: Bhagawata Yana Parwa: bagian CXXXI (aslinya diterbitkan antara tahun 1883 dan 1896)". book. Sacred Texts. Diakses tanggal 2008-10-13.
- ^ John Dowson (2003). Classical Dictionary of Hindu Mythology and Religion, Geography, History and Literature. Kessinger Publishing. hlm. 361. ISBN 0-7661-7589-8.
- ^ See Beck, Guy, "Introduction" in Beck 2005, hlm. 1–18
- ^ Knott 2000, hlm. 55
- ^ Flood (1996) hal. 117
- ^ a b McDaniel, June, "Folk Vaishnavism and Ṭhākur Pañcāyat: Life and status among village Krishna statues" dalam Beck 2005, hlm. 39
- ^ a b Kennedy, M.T. (1925). The Chaitanya Movement: A Study of the Vaishnavism of Bengal. H. Milford, Oxford university press.
- ^ K. Klostermaier (1997). The Charles Strong Trust Lectures, 1972-1984. Crotty, Robert B. Brill Academic Pub. hlm. 109. ISBN 90-04-07863-0.
Bagi pemujanya Dia bukanlah awatara dalam pengertian biasa, namun sebagai swayam bhagawan, Tuhan itu sendiri.
- ^ Delmonico, N., The History Of Indic Monotheism And Modern Chaitanya Vaishnavism dalam Ekstrand 2004
- ^ De, S.K. (1960). Bengal's contribution to Sanskrit literature & studies in Bengal Vaisnavism. KL Mukhopadhyaya. hal. 113: "The Bengal School identifies the Bhagavat with Krishna depicted in the Shrimad-Bhagavata and presents him as its highest personal god."
- ^ Bryant 2007, hlm. 381
- ^ "Vaishnava". encyclopedia. Division of Religion and Philosophy
University of Cumbria. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-02-05. Diakses tanggal 2008-10-13. line feed character di
|publisher=
pada posisi 36 (bantuan) - ^ Graham M. Schweig (2005). Dance of Divine Love: The Rڄasa Lڄilڄa of Krishna from the Bhڄagavata Purڄa. na, India's classic sacred love story. Princeton, N.J: Princeton University Press. Front Matter. ISBN 0-691-11446-3.
- ^ Bryant 2007, hlm. 4
- ^ Hein, Norvin. "A Revolution in Kṛṣṇaism: The Cult of Gopāla: History of Religions, Vol. 25, No. 4 (May, 1986 ), hal. 296-317". www.jstor.org. Diakses tanggal 2008-05-24.
- ^ a b c Hastings, James Rodney (2nd edition 1925-1940, reprint 1955, 2003) [1908-26]. Encyclopedia of Religion and Ethics. John A Selbie (edisi ke-Volume 4 of 24 ( Behistun (continued) to Bunyan.)). Edinburgh: Kessinger Publishing, LLC. hlm. 476. ISBN 0-7661-3673-6. Diakses tanggal 2008-05-03.
The encyclopedia will contain articles on all the religions of the world and on all the great systems of ethics. It will aim at containing articles on every religious belief or custom, and on every ethical movement, every philosophical idea, every moral practice.
hal. 540-42 - ^ Bhattacharya, Gouriswar: Vanamala of Vasudeva-Krsna-Visnu and Sankarsana-Balarama. In: Vanamala. Festschrift A.J. Gail. Serta Adalberto Joanni Gail LXV. diem natalem celebranti ab amicis collegis discipulis dedicata.
- ^
Klostermaier, Klaus K. (2005). A Survey of Hinduism. State University of New York Press; 3 edition. hlm. 206. ISBN 0791470814.
Present day Krishna worship is an amalgam of various elements. According to historical testimonies Krishna-Vasudeva worship already flourished in and around Mathura several centuries before Christ. A second important element is the cult of Krishna Govinda. Still later is the worship of Bala-Krishna, the Child Krishna—a quite prominent feature of modern Krishnaism. The last element seems to have been Krishna Gopijanavallabha, Krishna the lover of the Gopis, among whom Radha occupies a special position. In some books Krishna is presented as the founder and first teacher of the Bhagavata religion.
- ^ Basham, A. L. "Review:Krishna: Myths, Rites, and Attitudes. by Milton Singer; Daniel H. H. Ingalls, The Journal of Asian Studies, Vol. 27, No. 3 (May, 1968 ), hal. 667-670". www.jstor.org. Diakses tanggal 2008-05-24.
- ^ Singh, R.R. (2007). Bhakti And Philosophy. Lexington Books. ISBN 0739114247.
- hal. 10: "[Panini's] term Vāsudevaka, explained by the second century B.C commentator Patanjali, as referring to "the follower of Vasudeva, God of gods."
- ^ Couture, André (2006). "The emergence of a group of four characters (Vasudeva, Samkarsana, Pradyumna, and Aniruddha) in the Harivamsa: points for consideration". Journal of Indian Philosophy. 34 (6): 571–585. doi:10.1007/s10781-006-9009-x.
- ^ a b Klostermaier, K. (1974). "The Bhaktirasamrtasindhubindu of Visvanatha Cakravartin". Journal of the American Oriental Society. American Oriental Society. 94 (1): 96–107. doi:10.2307/599733. JSTOR 10.2307/599733. Diakses tanggal 2008-04-12.
- ^ Vaudeville, C. (1962). "Evolution of Love-Symbolism in Bhagavatism". Journal of the American Oriental Society. American Oriental Society. 82 (1): 31–40. doi:10.2307/595976. JSTOR 10.2307/595976. Diakses tanggal 2008-06-20.
- ^ Bowen, Paul (1998). Themes and issues in Hinduism. London: Cassell. hlm. 64–65. ISBN 0-304-33851-6.
- ^ Radhakrisnasarma, C. (1975). Landmarks in Telugu Literature: A Short Survey of Telugu Literature. Lakshminarayana Granthamala.
- ^ Sisir Kumar Das (2005). A History of Indian Literature, 500-1399: From Courtly to the Popular. Sahitya Akademi. hlm. 49. ISBN 8126021713.
- ^ Selengut, Charles (1996). "Charisma and Religious Innovation:Prabhupada and the Founding of ISKCON". ISKCON Communications Journal. 4 (2). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-07-10. Diakses tanggal 2010-12-06.
- ^ Srila Prabhupada - He Built a House in which the whole world can live, Satsvarupa dasa Goswami, Bhaktivedanta Book Trust, 1983, ISBN 0-89213-133-0 page xv
- ^ Varadpande hlm.231
- ^ Varadpande hlm.232-3
- ^ Schweig, G.M. (2005). Dance of divine love: The Rasa Lila of Krishna from the Bhagavata Purana, India's classic sacred love story. Princeton University Press, Princeton, NJ; Oxford. ISBN 0691114463.
- ^ "Bhag-P 10.33.39". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-06-18. Diakses tanggal 2010-12-10.
- ^ Simbolisme dalam Budaya Jawa-Hindu (edisi ke-451), Warta Hindu Dharma[pranala nonaktif permanen]
- ^ Jaini, P.S. (1993). "Jaina Puranas: A Puranic Counter Tradition". Journal of the American Oriental Society. 94: 96. doi:10.2307/599733.
- ^ Cort, J.E. (1993). "An Overview of the Jaina Puranas". Journal of the American Oriental Society. 94: 96. doi:10.2307/599733.
- ^ Baca: Jerome H. Bauer ""Hero of Wonders, Hero in Deeds: Vasudeva Krishna dalam Sejarah Jainisme dalam Beck 2005, hlm. 167–169
- ^ "Andhakavenhu Puttaa". www.vipassana.info. Diakses tanggal 2008-06-15.
- ^ a b Law, B.C. (1941). India as Described in Early Texts of Buddhism and Jainism. Luzac.
- ^ Jaiswal, S. (1974). "Historical Evolution of the Ram Legend'". Social Scientist. 94: 96. doi:10.2307/599733.
- ^ Hiltebeitel, A. (1990). The Ritual of Battle: Krishna in the Mahabharata. State University of New York Press.
- ^ The Turner of the Wheel. Kehidupan Sariputta, disusun dan diterjemahkan dari bahasa Pali oleh Nyanaponika Thera
- ^ Guth, C.M.E. "Monumenta Nipponica, Vol. 42, No. 1 (Spring, 1987 ), hal. 1-23". www.jstor.org. Diakses tanggal 2008-07-02.
- ^ Esslemont, J.E. (1980). Bahá'u'lláh and the New Era (edisi ke-5th). Wilmette, Illinois, USA: Bahá'í Publishing Trust. hlm. 2. ISBN 0-87743-160-4.
- ^ a b Ahmad, Mirza Ghulam (2007). Lecture Sialkot (PDF). Tilford: Islam International Publications Ltd. ISBN 1-85372-917-5.
- ^ Harvey, D. A. (2003). "Beyond Enlightenment: Occultism, Politics, and Culture in France from the Old Regime to the Fin-de-Siècle". The Historian. Blackwell Publishing. 65 (3): 665–694. doi:10.1111/1540-6563.00035.
- ^ Schure, Edouard (1992). Great Initiates: A Study of the Secret History of Religions. Garber Communications. ISBN 0893452289.
- ^ Lihat contoh pada: Hanegraaff, Wouter J. (1996). New Age Religion and Western Culture: Esotericism in the Mirror of Secular Thought. Penerbit Brill. hlm. 390. ISBN 9004106960., Hammer, Olav (2004). Claiming Knowledge: Strategies of Epistemology from Theosophy to the New Age. Penerbit Brill. hlm. 62, 174. ISBN 900413638X., dan Ellwood, Robert S. (1986). Theosophy: A Modern Expression of the Wisdom of the Ages. Quest Books. hlm. 139. ISBN 0835606074.
- ^ Crowley menghubungkan Kresna dengan dewa Romawi Dionisos dan Magickal formulae IAO, AUM dan INRI. Baca Crowley, Aleister (1991). Liber Aleph. Weiser Books. hlm. 71. ISBN 0877287295. dan Crowley, Aleister (1980). The Book of Lies. Red Wheels. hlm. 24–25. ISBN 0877285160.
- ^ Apiryon, Tau (1995). Mystery of Mystery: A Primer of Thelemic Ecclesiastical Gnosticism. Berkeley, CA: Red Flame. ISBN 0971237611.
Daftar pustaka
- Beck, Guy L. (1993). Sonic theology: Hinduism and sacred sound. Columbia, S.C: University of South Carolina Press. ISBN 0-87249-855-7.
- Bryant, Edwin H. (2004). Krishna: the beautiful legend of God;. Penguin. ISBN 0-14-044799-7.
- Bryant, Edwin H. (2007). Krishna: A Sourcebook. Oxford University Press, AS. ISBN 0-19-514891-6.
- The Mahabharata of Krishna-Dwaipayana Vyasa, diterjemahkan oleh Kisari Mohan Ganguli, diterbitkan antara tahun 1883 dan 1896
- The Vishnu-Purana, diterjemahkan oleh H. H. Wilson, (1840)
- The Srimad Bhagavatam, diterjemahkan oleh A.C. Bhaktivedanta Swami Prabhupada, (1988) hak cipta Bhaktivedanta Book Trust
- Knott, Kim (2000). Hinduism: A Very Short Introduction. Oxford University Press, USA. hlm. 160. ISBN 0192853872.
- The Jataka or Stories of the Buddha's Former Births, disunting oleh E. B. Cowell, (1895)
- Ekstrand, Maria (2004). Bryant, Edwin H., ed. The Hare Krishna movement: the postcharismatic fate of a religious transplant. New York: Columbia University Press. ISBN 0-231-12256-X.
- Goswami, S.D (1998). "The Qualities of Sri Krsna" (PDF). GNPress. ISBN 0911233644.[pranala nonaktif permanen]
- Garuda Pillar of Besnagar, Archaeological Survei of India, Annual Report (1908–1909). Calcutta: Superintendent of Government Printing, 1912, 129.
- Flood, G.D. (1996). An Introduction to Hinduism. Cambridge University Press. ISBN 0521438780.
- Beck, Guy L. (Ed.) (2005). Alternative Krishnas: Regional and Vernacular Variations on a Hindu Deity. SUNY Press. ISBN 0791464156.
- Rosen, Steven (2006). Essential Hinduism. New York: Praeger. ISBN 0-275-99006-0.
- Valpey, Kenneth R. (2006). Attending Kṛṣṇa's image: Caitanya Vaiṣṇava mūrti-sevā as devotional truth. New York: Routledge. ISBN 0-415-38394-3.
- Sutton, Nicholas (2000). Religious doctrines in the Mahābhārata. Motilal Banarsidass Publ.,. hlm. 477. ISBN 8120817001.
- History of Indian Theatre Oleh M. L. Varadpande. Bab Theatre of Krishna, hlm. 231–94. Terbit tahun 1991, Abhinav Publications, ISBN 81-7017-278-0.
Pranala luar
- (Inggris) Segala hal tentang Kresna di situs krishna.com
- (Inggris) Mencari Kresna sebagai tokoh sejarah, oleh Prof. N.S. Rajaram
- (Inggris) Artikel Sri Krishna, oleh Stephen Knapp
- (Inggris) Riwayat Sri Kresna dalam Bhagawatapurana (Srimad-Bhagavatam) Diarsipkan 2013-01-23 di Wayback Machine.
- (Inggris) Kehidupan Kresna Diarsipkan 2016-05-19 di Wayback Machine.
- (Inggris) Kronologi kehidupan Kresna
- (Inggris) Kisah kepahlawanan Sri Kresna
Kresna | ||
---|---|---|
Sebelumnya: Rama |
Awatara Wisnu ke-8 |
Berikutnya: Buddha Gautama1 atau Baladewa2 |
|