Kerajaan Soya

kerajaan di Asia Tenggara
Revisi sejak 6 April 2023 06.04 oleh Matakau (bicara | kontrib) (Sejarah: Jangan mengganti artikel orang dengan sumber tulisan propaganda di media sampah.)

Kerajaan Soya, atau disebut juga Zoja,[5] adalah sebuah kerajaan di Pulau Ambon. Kerajaan Soya didirikan pada abad ke-13 dan dipimpin oleh seorang raja bernama Latu Selemau dengan permaisurinya Pera Ina yang beretnis Jawa.[6] Kerajaan ini merupakan kerajaan tertua di Jazirah Leitimur. Kerajaan Soya terletak di Negeri Soya saat ini, atau disekitar gunung Sirimau yang juga dikenal sebagai ikon utama dan merupakan cikal bakal berdirinya Kota Ambon.[7]

Kerajaan Soya

Abad ke-13
{{{coat_alt}}}
Lambang
Berkas:Map of Zoja Kingdom (Ambon).jpg
Peta kekuasaan Kerajaan Soya di Kepulauan Lease
  Kekuasaan Kerajaan Soya
  Pengaruh Kerajaan Soya
  Wilayah diluar Kerajaan Soya
StatusKerajaan
Ibu kotaSohia[1]
Bahasa yang umum digunakanBahasa tana[2]
Melayu Ambon[3]
Agama
Kekristenan; sebelumnya Hindu[4]
PemerintahanMonarki
Raja 
• Abad ke-13 – 1500an
Latu Selemau
• 24 Desember 1638 – 1664
Thomas da Silva
• 1664 – 1672
Pedro da Silva
• pernah berkuasa pada tahun 1876
Stephanus Jacob Rehatta
• pernah berkuasa pada tahun 1996
Leonard Lodiwijk Rehatta
• 2006 – 2022
John Lodwyk Rehatta
• 2022 –
Rido Rehatta
Sejarah 
• Didirikan
Abad ke-13
• Pembangunan Gereja Tua Soya
1546
• Kepemimpinan Kerajaan Soya dipindahkan ke keluarga Rehatta
Sekitar abad ke-19
Didahului oleh
Digantikan oleh
Peradaban Alifuru
Hindia Belanda
Sekarang bagian dari Indonesia
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Sejarah

Pendirian Kerajaan Soya

Berkas:Peta Teung Negeri Soya.jpg
Peta "Teung" negeri Soya di Pulau Ambon

Berdasarkan penuturan dan cerita-cerita para tetua, leluhur yang mendiami negeri Soya berasal dari Nusa Ina (Pulau Seram), yang antara lain dari Seram Utara kurang lebih tepatnya dekat Sawai, suatu wilayah yang bernama "Soya", serta dari Seram Barat, sekitar daerah Tala.[1]

Selama berabad-abad, pulau Ambon telah terlibat secara intensif dalam periode kolonialisme, pertama oleh Portugis dan kemudian oleh Belanda. Artinya relatif banyak yang ditulis tentang Ambon pada periode ini. Di beberapa buku, wilayah itu disebut Soya. Ketika melihat apa yang telah ditulis tentang Soya, perlu diingat bahwa informasi tersebut mungkin 'diwarnai' karena dilihat dari sudut pandang Barat (Eropa). Juga, referensi dari periode kekuasaan Portugis dan Belanda tidak sesuai dengan posisi dominan Soya di wilayah tersebut pada periode sebelum kedatangan orang Barat.[8][9]

Dari sumber cerita yang ada, para leluhur orang Soya datang secara bergelombang yang kemudian menetap di negeri Soya. Mereka membentuk klan baru yang kemudian menjadi nama pada tempat kediamannya yang baru. Nama ini sama dengan nama di tempat asalnya. Hal itu dimaksudkan sebagai 'kenang-kenangan atau peringatan'. Negeri Soya kemudian berkembang menjadi sebuah kerajaan dengan sembilan negeri kecil yang dikuasai oleh Raja Soya.[1]

Perlu juga dicatat bahwa Soya dibagi menjadi dua wilayah; Soya Atas (terletak di atas pegunungan) adalah bagian dari Soya yang ditinggalkan di negeri perbukitan tua, dipimpin oleh seorang patih. Soya Bawah adalah bagian dari Soya dekat Kota Ambon yang dipimpin oleh seorang raja. Ini juga termasuk Amatelo (Amatelu), Ahusu (Ahuseng), dan Uritetu. Perpecahan itu mungkin terjadi antara tahun 1576, ketika Benteng Victoria kemudian didirikan oleh Portugis, pada 1625, ketika situasi di sekitar benteng kurang lebih terbentuk.[10][9]

  1. Uritetu, suatu negeri yang diperintah oleh orang kaya, letaknya sekitar Hotel Anggrek. Uritetu artinya 'dibalik bukit'.
  2. Honipopu, adalah sebuah negeri yang diperintah oleh orang kaya. Negeri ini terletak di sekitar kantor pemerintahan Kota Ambon saat ini.
  3. Hatuela, juga berada dibawah pimpinan orang kaya, letaknya di antara Batu Merah dan Tantui sekarang. Hatuela artinya 'batu besar'.
  4. Amantelu, dipimpin oleh seorang patih, yang letaknya dekat Karang Panjang. Amantelu artinya 'kampung tiga'.
  5. Haumalamang, dipimpin seorang patih, letaknya diperkirakan di negeri Baru dekat Air Besar.
  6. Ahuseng, dipimpin oleh orang kaya, letaknya di Kayu Putih sekarang.
  7. Pera, dipimpin oleh orang kaya, letaknya di negeri Soya sekarang.
  8. Erang, dipimpin oleh orang kaya, letaknya di belakang negeri Soya sekarang. Erang berasal dari nama Erang Tapinalu atau Huamual di Seram.
  9. Sohia, negeri tempat kedudukan raja Soya, letaknya antara Gunung Sirimau dan Gunung Horil.

Rumphius memberikan gambaran tentang Soya pada akhir abad ke-17. Dalam bukunya yang berjudul Ambonsche Landbeschrijving, ia juga membedakan Soya menjadi dua negeri. Soija Tua (Soya Tua atau Soya Atas) mengarah jauh di pegunungan benteng sebelah timur, rumah-rumah sebagian besar berdiri diatas dan diantara tebing, diatas satu sama lain seperti penghubung yang di tengahnya ada bukit sempit kecil, sulit untuk didaki, seperti bentang alam tak terjamah. Menurut penulis, Soya yang lebih tua ini berada di bawah kepemimpinan patih bernama Ussen, kemudian dibawah Andries Tehi. Soya yang lebih muda, terletak lebih dekat ke kota Ambon, terdiri dari negeri semacam itu dibawah Soija (Soya) dan penduduknya "tinggal bersama raja di kasta...", pertama di bawah raja Thomas da Silva, kemudian di bawah Bernhard da Silva. Jumlah penduduknya 901 jiwa, yang terdiri dari 261 pria. Desa ini memiliki 83 "datij" (dati; tanah adat) dan dibagi menjadi empat soa, Heriaim di bawah raja, Ririmassapait (dua soa pertama secara kolektif disebut Eriaim), Rihata, dan 4 soa dibawah patih (yang terakhir). Dua terakhir secara kolektif disebut Sopele.[9]

Masa kolonial Portugis

Pada tahun 1512, Portugis adalah bangsa Eropa pertama yang menginjakkan kaki di Ambon, tepatnya disisi barat laut Hitu. Antara Hitu dan Portugis, hubungan yang awalnya baik dengan cepat memburuk. Akan tetapi, orang Leitimur yang terus-menerus berperang dengan Muslim Hitu senang dengan bantuan orang Portugis yang sekarang telah menetap di sisi selatan Hitu, dekat Rumahtiga. Sekitar tahun 1536, orang kaya Hatiwi (Hative; juga disebut Hatiwe atau Hatiwé) – yang saat itu terletak di pantai selatan Hitu dan telah memeluk agama Katolik. Tahun-tahun berikutnya, warga Amantelo (Amantelu) dan Nusaniwe mengikuti Leitimur.[9]

Pada tahun 1546, seorang misionaris Basque bernama Franciscus Xaverius (Rasul Hindia) mengunjungi tujuh negeri Kristen di Ambon. Tidak diketahui apakah Soya adalah salah satunya. Dapat diasumsikan bahwa penduduk Soya telah mengenal Portugis selama periode ini.[11][12] Soya disebutkan oleh Rumphius (Ambonsche Landbeschrijving, hal. 214) sebagai salah satu dari 31 daerah di Leitimur dimana terdapat sekolah-sekolah Kristen pada tahun 1561, setelah Kristenisasi di Kepulauan Lease dimulai sekitar tahun 1540 dengan konversi Hatiwe. Dengan masuknya agama Katolik, banyak orang Ambon mengadopsi nama Portugis. Oleh karena itu, bukan berarti orang Ambon yang bernama Portugis adalah keturunan Portugis.[13][10][9]

Tulisan-tulisan Portugis menyebut Soya untuk pertama kalinya sebagai tempat di mana sagu tersedia 'dalam jumlah besar'. Sekitar tahun 1571, ketika pembangunan benteng baru (menurut Wessels dekat Nusaniwe) dimulai dan keberadaan bahan makanan di sekitarnya merupakan syarat.[12][9]

Pada tahun 1569, koloni Portugis dibawah Gonçalo Pereira Marramaque mendirikan sebuah benteng kayu di pantai utara pulau Ambon. Hingga pada tahun 1572, benteng kemudian dipindahkan ke sisi selatan teluk.[14] Benteng sementara yang didirikan kemungkinan terletak di antara Galala dan Hatiwi-kecil, di muara Wai Tua, di seberang desa Rumaata. Ini adalah benteng Portugis kedua, benteng ketiga kemudian dibangun pada tahun yang sama di bekas Uritetu, yang terletak di Batu Merah (kemudian disebut Rodenberg oleh orang Belanda), dekat dengan kota Ambon saat ini. Daerah ini, bersama dengan desa terdekat Amantelo (Amantelu) dan Ahusen, berada di bawah uli Soya pada saat itu.[11][9]

Ketika benteng kayu ini (mungkin salah terletak di dekat Nusaniwe menurut Wessels) tidak lagi mencukupi, dan Portugis ingin membangun benteng batu, beberapa kepala negeri memberontak. Mereka takut akan dominasi permanen Portugis yang begitu dekat dengan negeri mereka dan mereka merencanakan penyerangan terhadap Portugis. Patih Soya mencoba memenangkan saudara iparnya yang merupakan patih dari Halong untuk rencana ini. Namun, ia memperingatkan Portugis, agar rencana itu tidak terlaksana. Portugis mencurigai patih Nusaniwe, Ruy de Sousa, merencanakan penyerangan dan memenjarakannya. Dia berhasil melarikan diri dan sebagai balas dendam, bersama dengan negeri tetangga, melakukan serangan yang mengejutkan di Halong.[12][9]

Kapten kapal Sancho da Vasconcelos memegang peranan penting ketika Portugis berencana meninggalkan Ambon sekitar tahun 1572. Dia dengan keras menentang ini, dan jika perlu bersiap untuk tinggal dengan hanya tiga puluh orang untuk membela orang Kristen lokal melawan 'Moor' (Muslim Hitu). Pada akhirnya, Portugis memutuskan untuk pindah dari Hitu yang sekarang bermusuhan ke Leitimur di Teluk Ambon. Kepala negeri yang memiliki ketergantungan pada Leitimur, termasuk Soya, menawarkan bantuan dalam membangun benteng. Mereka senang dengan dukungan Portugis melawan Muslim Hitu.[9]

Jacobs (1975) juga menyebutkan perlawanan beberapa negeri terhadap benteng baru Portugis. Selain ketakutan akan kekuatan Portugis yang semakin besar, ancaman dari Ternate yang berpengaruh juga bisa menjadi alasannya. Terlepas dari kenyataan bahwa desa Nusaniwe, Kilang, Soya, Hutumuri, Puta, dan Halong telah memberikan izin sebelumnya untuk pembangunan benteng, Ahusen, Soya, dan Puta bersekongkol melawan kapten Portugis Vasconcelos.[9]

Terlepas dari segalanya, benteng batu itu tetap dibangun, di lokasi kota Ambon saat ini. Batu pertama diletakkan pada tanggal 25 Maret 1576 dan benteng tersebut diberi nama "Nossa Senhora da Anunciada". Kemudian pada Juli 1576, benteng baru diresmikan. Didalam bangunan berukuran persegi yang dimahkotai dengan empat menara, satu di setiap sudut, terdapat kediaman kapten, ruang pertemuan, beberapa gudang, dan tempat tinggal para pejabat militer.[14] Banyak orang dari Hatiwi, Tawiri, Halong, dan desa lainnya pindah bersamanya. Rumah-rumah sedang dibangun di sekitar benteng, mengawali pembangunan kota Ambon.[11][9]

Hingga kemudian, perlawanan Soya terhadap Portugis dilancarkan. Perlawanan masyarakat Soya tersebut dipimpin oleh tujuh anak Latu Selemau yang menguasai Soa Ahuseng, Soa Amangtelu, Soa Uritetu, Soa Labuhan Honipopu, dan Soa Atas. Perlawanan ini ternyata tidak membuahkan hasil. Kerajaan Soya takluk kepada Portugis. Kekalahan ini berhasil merubah keadaan dan status Kerajaan Soya dari sebuah kerajaan yang berdaulat menjadi bagian dari daerah yang dikuasai Portugis. Rakyatnya kemudian diinjili dan dibaptis oleh Fransiscus Xaverius dan menjadikan orang Soya beragama Katolik.[1] Dusun Amantelu menjadi pemukiman pertama yang secara sukarela dikonversi ke Katolik oleh Portugis, diikuti oleh Ahusen, dan kemudian Uritetu.[9] Orang Soya yang tidak mau menyerah kemudian terus bertahan di puncak Gunung Sirimau.[1]

Singkatnya, dapat disimpulkan bahwa Ambon sebagian dikuasai oleh Portugis selama hampir seratus tahun, dari tahun 1512 sampai 1605. Selama periode itu, banyak desa di Leitimur, termasuk Soya, masuk Katolik seluruhnya atau sebagian.[9]

Masa kolonial Belanda

Berkas:Kampong Soya di Atas in 1821.jpg
Lukisan pemandangan Soya Atas pada tahun 1821

Pada tahun 1605, armada VOC di bawah Pimpinan Steven van der Hagen memasuki Labuhan Honipopu dan menyerang benteng Portugis dari arah laut serta mengambil alih benteng Portugis dan diberi nama Victoria.[1] Penduduk desa Katolik di dekat benteng merasa terancam dengan hilangnya dukungan dari Portugis. Mereka takut Muslim Hitu akan memanfaatkan situasi ini, dan mundur dalam jumlah besar ke lanskap pegunungan yang tidak dapat diakses. Portugis yang masih ada menjadi penengah antara pengungsi Ambon dan Belanda. Disepakati bahwa warga yang mengungsi dapat dengan aman kembali ke rumah mereka dan kebebasan beragama dijamin. Pada akhir Februari, kepala negeri Kristen yang paling penting bergabung dengan Steven Van der Hagen. Diantaranya, "twe Coningen, as van Quylan (Kilang) ende Soya", menurut Cort van Verhael, apa yang dilakukan oleh Laksamana Steven van der Hagen sampai ke Ambon bersama Portugis dan Jesuit. Mereka menyerah kepada Belanda Protestan dan sebagai gantinya mendapat perlindungan dan kebebasan untuk menjalankan agama Katolik mereka. Benteng Portugis kemudian diberi nama "Fort Victoria" (Benteng Victoria) oleh Belanda.[12][9]

Kemenangan VOC atas Portugis membuka peluang bagi penyebaran paham agama Kristen Protestan oleh pendeta-pendeta VOC. Hasilnya, banyak orang yang awalnya menganut Katolik beralih menjadi Protestan. Tindakan penginjilan ini dikaitkan dengan kepentingan VOC dalam menegakkan hukum-hukum kolonial di Pulau Ambon. Dengan hak-hak istimewa yang mereka miliki dari Kerajaan Belanda, mereka gunakan untuk mengangkat pegawai pribumi termasuk juga mendidik dan mentahbiskan pendeta pribumi baru untuk kepentingan penginjilan, di antaranya Lazarus Hitijahubessy yang diutus ke negeri Soya untuk menyebarkan Injil pada tahun 1817. Melalui penginjilannya, negeri Soya menjadi Kristen. Pengkristenan ini ternyata berpengaruh terhadap adat-istiadat masyarakat Soya. Secara adaptif nilai-nilai Kekristenan dimasukan ke dalam adat maupun upacara adat seperti rapat negeri, kain gandong, naik baileo, cuci air, cuci negeri, naik ke puncak Gunung Sirimau, dan pesta bulan Desember sebagai tanda persiapan atau penyambutan Natal Kristus.[1]

Pada abad ke-17, Soya adalah negeri Kristen ketiga di Leitimur dengan delegasi di Landraad. Dua negeri yang paling awal adalah Nusaniwe dan Kilang. Tepatnya pada 1617, Grote Landraad (Dewan Tanah Besar) didirikan. Terdiri dari 14 kepala negeri, termasuk raja Soya, Duarte da Silva, juga dikenal sebagai Latoe Consina (Latuconsina). Mereka kemudian disebut orang kaya, yang berfungsi sebagai kepala negeri. Grote Landraad bertemu kira-kira sekali setiap dua minggu. Hal-hal seperti kerja rodi, pertanian cengkih, dan urusan peradilan dibahas. Orang kaya menerima kompensasi atas pekerjaan mereka di Landraad. Misalnya, mereka menerima 'uang mantel' untuk tampil berpakaian rapi di pertemuan itu. Pada prinsipnya, para kepala desa itu memiliki kursi di Landraad, yang memimpin kora-kora mereka sendiri di hongi.[10][15][9]

Pada Agustus 1620, beberapa anak kepala negeri dikirim ke Belanda untuk mempelajari bahasa Belanda. Diantaranya adalah Andrea da Silva, putra raja Soya. Mereka kembali pada tahun 1631.[15][9]

Pada tahun 1625, Gubernur H. Speult meminjamkan sebagian tanah di sekitar Benteng Victoria, dan 'lembah-lembah' di dekatnya, kepada penduduk Soya dan Nusaniwe. Namun pada tahun 1683, surat-surat pinjaman ini ditarik kembali karena tanahnya telah menjadi terlantar dan liar.[15][9]

Pada tahun 1627, Laurenso da Silva diangkat ke Landraad menggantikan almarhum Latoe Consina. Setahun kemudian Don Lorenso (Laurenso da Silva), raja Soya, pergi ke Batavia bersama kapitan Hitoe Tepil dan tiga orang kaya Leitimur lainnya. kemudian pada tahun 1629, sebagian dari kelompok itu kembali. Di antara mereka tidak ada raja Soya.[16][9]

Pada periode antara tahun 1633 hingga 1637, terjadi perbedaan pendapat karena adanya larangan babi dan sapi liar di kota Ambon, beberapa sapi Raja Soya ditembak.[10][9]

Pada tahun 1635, timbul masalah antara Soya dan pemerintah Belanda. Hal ini sebagian disebabkan oleh fakta bahwa pengkhotbah Jacobus Vertregt memulai dengan otoritasnya sendiri untuk menuliskan nama semua pria, wanita dan anak-anak di Leitimur. Dia mengatakan untuk dapat menentukan ukuran sekolah. Namun orang Ambon menduga bahwa penghitungan itu dimaksudkan untuk memperkirakan kekuatan perlawanan apapun. Tidak lama kemudian orang Ambon 'menyiapkan semua ransel dan karung mereka dan melarikan diri tanpa diketahui ke pegunungan, tanpa izin kami dapat menyadarinya', menurut Rumphius.[9]

Pada Februari 1637, Perang Ambon ketiga pecah dan hanya lima belas orang kaya yang tersisa bersama Belanda. Diantara mereka juga ada saudara laki-laki raja Soya, Jordan da Silva. Butuh waktu hingga Februari 1637 sebelum orang kaya yang melarikan diri kembali ke Benteng Victoria untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Mereka menjelaskan apa yang menyebabkan mereka melarikan diri ke pegunungan, dan mereka juga menyampaikan beberapa keluhan lebih lanjut, yang dicatat oleh Rumphius sebagai berikut.[9]

Poin-poin perhatian yang ditanamkan oleh orang Leijtimore (Leitimur).[9]

  1. Bahwa Raja Soija (Soya) dan orangkaijen (orang kaya) lainnya yang sedang menjabat di pemerintahan Gubernur Jochum Roelofsz secara memalukan diusir dari meja.
  2. Tentang pengurungan orangkaijen Waij dan Baguala.
  3. Aksi serupa juga diperlihatkan kepada Laurens Marcus hooft van Hative oleh Artus Gijsels di Eijland Kelang (Kilang).
  4. Bahwa pangeeijen yang terus-menerus pada siang dan malam meresahkan mereka.
  5. Bahwa ketika Corcorren berangkat, beberapa dari mereka menghilang, ketika para perwira Belanda kemudian mengejar ke laut dengan pedang untuk memanggil mereka.
  6. Bahwa mereka tidak dapat menemukan sesuatu yang baik dalam menuliskan orang-orang dari semua negory (negeri), wanita dan anak-anak maupun pria.
  7. Yang terbatas adalah pergi ke khotbah apakah perlu melakukan sesuatu atau tidak.
  8. Bahwa ketika Nagelennya mengantarkan quaemen ke Casteel, mereka sebagian besar dirampas oleh penimbangan dan latihan quadrer di Cooplieden. Dalam satu dan yang lain dia memiliki hak umum kepuasan dan diampuni atas kesalahan yang dilakukannya dengan teguran keras dan serius bahwa mereka selanjutnya harus mengharapkan ketidaksetiaan seperti itu untuk melihat apakah itu tidak akan menjadi seperti ini (...)'.[17][9]

Pada tahun yang sama, orang kaya Leitimur bertemu lagi di benteng dan mengajukan 'permintaan' lain yang terdiri dari tujuh poin. Sebagai tanggapan, 'mereka disingkirkan dengan tajam, mengambil catatan jenderal sebagai d'Comp ini ingin menetapkan hukum'. Namun demikian, orang Ambon bertemu di sejumlah titik. Misalnya, sumpah pejabat VOC di kora-kora dilarang dan mereka dijanjikan pengaduan tentang kecurangan oleh pedagang cengkeh ditindak serius.[18][9]

Pada akhir tahun 1638, seorang dukun yang disewa oleh masyarakat Soya menunjuk pada 'Pattij van Zoija' (Patih Soya) sebagai penyebab penyakit serius yang dialami oleh raja Soya, Lourenso da Silva. Baik patih maupun dukun dipenjara, yang pertama untuk melindunginya dari rakyat. Pada tanggal 24 Desember 1638, 'setelah menahan banyak rasa sakit' raja Soya meninggal. Saudaranya, Thomas da Silva menggantikannya. Tidak jelas apakah ini merupakan konflik berkepanjangan antara raja Soya Bawah dan patih Soya Atas.[19][9]

Pada tanggal 19 Februari 1650, banyak orang berkumpul di benteng. Termasuk raja Soya dalam sebuah komite. Namun tidak jelas tentang apa sebenarnya ini.[20][9]

Tentang kontak antara dewan VOC dan kepala negeri, Knaap menulis bahwa sejak tahun 1662 kepala negeri secara teratur diundang ke apa yang disebut festival orang kaya, dimana makanan yang sangat banyak disajikan. Selain itu, ada lebih banyak kontak rutin dengan anggota Groot Landraad. Pada tahun 1666, gubernur dan anggota pemerintah Ambon lainnya pergi ke pesta untuk menghormati pernikahan raja Soya dan putri orang kaya Latuhalat.[10][9]

Pada tahun 1667, raja Soya mengadu kepada Inspektur Speelman tentang pencurian dan pelanggaran petak tanam warga Soya di Kota Ambon. Kota Ambon sendiri didirikan di wilayah Soya. Penduduk non-Ambon di Kota Ambon terlibat dalam pertanian skala kecil di dalam dan sekitar kota. Dengan atau tanpa izin, tanah gersang milik orang Ambon itu kemudian direklamasi.[10][9]

Soya Bawah adalah salah satu wilayah yang mengalami pertumbuhan penduduk yang pesat pada paruh kedua abad ke-17. Akibatnya, sebagian penduduk harus pindah ke daerah lain untuk bercocok tanam. Misalnya, untuk persediaan makanan sendiri, mereka melakukan perjalanan jauh-jauh ke daerah tenggara Hitu.[10][9]

Masyarakat Soya secara tradisional terbiasa memancing di sungai dengan mencampurkan racun pembunuh ikan. Karena hampir semua sungai di wilayah Soya mengalir ke laut dekat Kota Ambon dan penduduk kota ini bergantung pada pasokan air minum mereka, VOC kemudian melarang bentuk penangkapan ikan ini.[10][9]

Di distrik Victoria, pada tahun 1679, Kilang, Nusaniwe, dan Soya termasuk di antara kora-kora besar. Sedang yang berukuran kecil, Hatiwe, Halong, dan Latuhalat.[10][9]

Pada tahun 1686, keluarga raja Soya memelihara 28 ekor sapi yang digembalakan di belakang Kota Ambon.[10][9]

Pada abad ke-19, ketika Ambon untuk sementara berada di bawah kekuasaan Inggris, Nusaniwe, Kilang, dan Soya masih menjadi tiga negeri utama. Oleh karena itu, para raja di negeri-negeri ini memiliki keistimewaan tertentu. Misalnya, mereka dapat diikuti oleh anggota keluarganya sendiri, mereka dapat membawa pedang, mereka memiliki payung besar dan kanopi di kora-kora mereka, mereka dikawal oleh penjaga benteng saat mereka lewat, dan mereka dapat duduk dihadapan para penjaga dan gubernur. Berlawanan dengan hak-hak ini adalah kewajiban-kewajiban yang mengikat para raja. Kewajiban-kewajiban ini dirinci dalam instruksi yang memandu tindakan semua raja, patih dan orang kaya. Ada sanksi bagi yang melanggar peraturan ini. Salah satu hukuman terberat bagi kepala negeri adalah dicabut kekuasaannya dan diusir dari wilayahnya.[13][21][9]

Sistem pemerintahan

Raja Soya yang pertama adalah Latu Selemau dan seorang permaisuri bernama Pera Ina. Dibawah pemerintahan Latu Selemau, Kerajaan Soya dan sembilan negeri kecil yang berada di bawah kekuasaannya merupakan suatu kesatuan besar. Dalam masa kejayaannya, Latu Selemau dianugerahi beberapa gelar, antara lain "Nusa Piring Pahlawan" atau "Piring Pekanussa". Salah satu gelar yang lebih agung merupakan bukti kebesarannya, yakni "Latu Selemau Agam Raden Mas Sultan Labu Inang Mojopahit". Gelar ini berkenaan dengan hubungan politik dan hubungan dagang, bahkan perkawinan antara Kerajaan Soya dengan orang-orang dari Kemaharajaan Majapahit.[6][1]

Adapun sistem pemerintahan negeri Soya pada mulanya merupakan sistem Saniri Latupatih, yakni sebuah sistem yang terdiri dari upulatu sebutan untuk raja, kapitan, kepala-kepala soa disebut jou, patih, dan orang kaya, kepala adat disebut maueng, dan kepala kewang. Saniri Latupatih dilengkapi dengan marinyo yang biasanya bertindak sehari-hari sebagai yang menjalankan fungsi hubungan masyarakat dan pembantu bagi badan tersebut. Saniri Latupatih dapat dianggap sebagai badan eksekutif.[1]

Kemudian Saniri Besar, yaitu persidangan besar yang biasanya diadakan sekali setahun atau jika diperlukan. Persidangan Saniri Besar dihadiri oleh Saniri Latupatih dan semua laki-laki yang telah dewasa dan orang-orang tua yang berada dan berdiam dalam negeri. Persidangan Saniri Besar merupakan suatu bentuk implementasi sistem demokrasi langsung atau direct democraties. Dalam perkembangannya, kemudian dibentuk pula Saniri Negeri yang terdiri dari Saniri Latupatih ditambah dengan unsur-unsur yang ada dalam negeri, misalnya pemuda dan organisasi-organisasi dari anak negeri yang ada. Persidangan Saniri Negeri dapat dianggap sebagai persidangan legislatif.[6][1]

Penguasa kerajaan

Daftar penguasa

Berikut ini daftar penguasa Kerajaan Soya yang digelari raja.

  • Latu Selemau (pendiri kerajaan Soya, sekaligus raja pertamanya; berkuasa dari abad ke-13 hingga tahun 1500an)[1]
  • Duarte da Meneses[9]
  • Latuconsina (dikenal juga sebagai Duarte da Silva; raja Soya beragama Kristen yang pertama)[9]
  • Lourenso da Silva (diangkat menjadi raja pada tahun 1627)[9]
  • Thomas da Silva (mulai memerintah pada 24 Desember 1638 sampai wafatnya tahun 1664)[9]
  • Pedro da Silva (mulai memerintah 1664 dan memerintah selama 8 tahun; hingga tahun 1672)[9]
  • Eduard da Silva (pernah berkuasa pada tahun 1672)[9]
  • Bernardus da Silva (pernah berkuasa pada tahun 1686)[9]
  • Canulandus da Silva (pernah berkuasa pada tahun 1688)[9]
  • Juan da Silva (pernah berkuasa pada tahun 1836)[9]

Hingga kemudian kepemimpinan Kerajaan Soya dipindahkan ke keluarga Rehatta.[9]

  • Stephanus Jacob Rehatta (pernah berkuasa pada tahun 1876)[1]
  • Rene Rehatta (pernah berkuasa pada tahun 1986)[9]
  • Ruben Rehatta[9]
  • Leonard Lodiwijk Rehatta (pernah berkuasa pada tahun 1996)[1]
  • John Lodwyk Rehatta (2006–2022)[22]
  • Rido Rehatta (2022–)[23]

Silsilah Latoe Consina

Raja Kristen pertama Soya adalah Latoe Consina, ia dibaptis oleh Portugis di Hunuth dan disebut Duarte da Silva, Rumphius (dalam buku Ambonsche Landbeschrijving) memulai garis keturunan raja-raja Soya. Duarte da Silva menggantikan kapten Duarte da Meneses. Latoe Consina (tinggal dibawah Herman Speult) memiliki lima orang putra dan seorang putri. Berikut ini daftar silsilah Latoe Consina; hanya anak laki-laki yang terdaftar.[9]

  • Latoe Consina, juga disebut Duarte da Silva, ia merupakan penerus kapten Duarte da Meneses yang memiliki lima putra dan seorang putri.
    • Bartolomeus Soerinacul, ia berangkat ke Larentoeke (Larantuka) bersama Portugis dan tinggal di sana.
    • Djuan Sibori, tidak ada keturunan.
    • Laurenso Wanihutu
      • Laurenso Consina, ia menikah dengan saudara perempuan Mattuena, raja tua Hitu. Ia memiliki empat putra dan seorang putri.
        • Andreas Pattijmara, ia pernah ke Belanda dan kemudian menetap di Oma.
        • Pedro de Silva, ia datang ke pemerintahan pada tahun 1664 dan memerintah selama delapan tahun; meninggal tanpa putra.
        • Manuel Tukar, ia meninggal tanpa putra pada tahun 1672.
        • Barthomoleus da Sijlva, ia meninggal dalam pertempuran Banten.
    • Thomas da Silva, ia memerintah sampai kematiannya pada tahun 1664. Ia memiliki tiga putra dan lima putri.
      • Eduard da Silva, ia merupakan penerus Don Pedro pada tahun 1672. Ia memiliki enam putra dan seorang putri.
        • Joean Coulipa
        • Isaac da Sijlva atau Pattij Carras
        • Cornelis da Sijlva
        • Jacob da Silva
        • Domingos da Sijlva
        • Willem da Sijlva
      • Willem Latuary, ia mempunyai dua putra dan seorang putri.
        • Salomo
        • Paul da Silva
      • Manuel Locorij, ia dan dua kakak laki-lakinya masih hidup pada tahun 1672. Ia memiliki tiga putra.
        • Hieronijmo Bessi
        • Joan da Silva
        • Joris Haluet
    • Jordan da Sijlva atau Latuhuhol. Ia memiliki dua putra dan dua putri.
      • Bartholomeus da Sijlva, ia memiliki empat putra.
        • Latoemoeli
        • Bernhardus Pellecohan atau Keijtsjili
        • Kornelius
        • Lowadin
      • Domingos Coepak atau Kapten Laala

Peninggalan

Baileo Samasuru

Berkas:Baileo Samasuru van Zoja.jpg
Baileo Samasuru, rumah adat negeri Soya

Baileo Samasuru adalah rumah adat negeri Soya yang telah ada sebelum kedatangan bangsa Portugis dan Belanda ke pulau Ambon. Tidak seperti baileo lainnya di Kepulauan Maluku, Baileo Samasuru tidak berbentuk bangunan permanen, melainkan sebuah tanah lapang yang terdapat batu-batu bersusun dan tidak memiliki atap maupun dinding.[24]

Tempayan Soya

Tempayan Soya adalah sebuah tempayan yang dianggap sakral oleh masyarakat Soya. Letaknya tidak jauh dari Gereja Tua Soya, kira-kira sekitar 500 meter, terdapat tempayan atau wadah air berbahan tanah liat berdiameter sekitar 50-60 sentimeter. Diceritakan bahwa air di dalam Tempayan Soya tidak pernah habis dan selalu ada, bahkan ketika musim kemarau. Tempayan Soya dalam bahasa setempat dipanggil dengan sebutan "Tampayang Sirimau", "Tampayang Soya", atau "Tampayang Tua".[25]

Menurut kisah legenda masyarakat Soya mengenai tempayan ini, konon air yang ditampungnya sakti dan dianggap mampu menyembuhkan segala macam penyakit. Kisah mengenai air di Tempayan Soya diceritakan secara generasi ke generasi. Dikisahkan ada seorang putri raja Soya yang bernama Luhu, ia dikisahkan menyukai seorang perwira militer Belanda, sayangnya sang raja tidak merestui hubungan keduanya. Luhu pun bunuh diri, arwahnya yang tidak tenang kerap menculik para pria sebagai suami atau juga anak-anak yang dulu pernah didambakannya semasa hidupnya. Bila ditemukan, korbannya sudah dalam keadaan meninggal atau bila masih hidup, sang korban dikuasai oleh alam bawah sadarnya.[25]

Demi menyadarkan korban yang masih hidup, raja Soya memberinya air untuk diminum. Namun setelah sembuh, sang korban tak akan lagi pernah ingat akan kejadian yang pernah menimpanya. Air ini berada di dalam sebuah tempayan yang berlokasi di gunung Sirimau, tempayan inilah yang kemudian disebut sebagai Tempayan Soya.[25]

Dalam versi lain, disebutkan bahwa tempayan tersebut merupakan kenang-kenangan untuk raja Soya yang diberikan oleh Kemaharajaan Majapahit, atas pengakuannya terhadap kerajaan terbesar di Nusantara tersebut. Bahkan, raja Soya pada saat itu diberikan gelar oleh raja Majapahit dengan sebutan "Upulatu Sirimau Mas Raden Labu Inang Mojopahit" yang bila diterjemahkan berarti 'penguasa Sirimau putra raja Majapahit', beberapa sumber lain menuliskan "Latu Selemau Agam Raden Mas Sultan Labu Inang Mojopahit" yang diartikan sebagai 'penguasa Selemau tuan emas yang jantan, putra bungsu raja Majapahit'.[25]

Gereja Tua Soya

Gereja Tua Soya adalah sebuah gereja tua peninggalan Portugis yang diperkirakan dibangun pada tahun 1546.[25] Walaupun bentuknya sederhana, namun gereja ini telah memberikan andil bagi sejarah pekabaran Injil di Maluku, khususnya di negeri Soya. Kekristenan di negeri Soya harus diakui tidak dapat dilepaskan dari hadirnya Joseph Kham yang bertemu dengan orang-orang Kristen di negeri Soya pada tahun 1821. Jika digambarkan dalam angka, maka perkembangan Kekristenan pada saat itu dengan anggota Sidi 22 orang, anggota baptis dewasa 21 orang, anak sekolah 10 orang, anak di luar sekolah 7 orang, dan anak yang dibaptis 1 orang. Dari angka tersebut, dapat dikatakan bahwa proses pekabaran Injil di negeri Soya ternyata berjalan lambat. Hal ini disebabkan karena kondisi masyarakat Soya yang masih terisolir dan karenanya tidak mudah menyerahkan diri untuk dibaptis sebagai akibat peperangan dengan Portugis.[1]

Perkembangan gedung Gereja Tua Soya pada awalnya tidak diketahui. Untuk menampung kebutuhan kegiatan ibadah, pada tahun 1876, raja Stephanus Jacob Rehatta memimpin orang Soya untuk memperbaiki serta memperluas bangunan gereja secara semi permanen dan dipergunakan sampai tahun 1927. Pada masa kepemerintahan Leonard Lodiwijk Rehatta, gedung Gereja Tua Soya kembali diperbaharui tahun 1927.[1]

Pada tahun 1996, gedung gereja ini kembali dipugar dan direstorasi dibawah panduan bidang Museum Sejarah dan Kepurbakalaan Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan Maluku. Hasil ini hanya bertahan hingga 28 April 2002, pada saat terjadi konflik sektarian Maluku. Saat itu, negeri Soya diserang oleh perusuh yang mengakibatkan korban jiwa meninggal 11 orang, 12 orang luka berat, dan sejumlah lain luka ringan. Disamping itu, 22 buah rumah hangus terbakar rata dengan tanah. Gereja Tua Soya kemudian berhasil dibangun kembali dan diresmikan oleh ketua Sinode GPM J. Ruhulessin, dan Gubernur Maluku saat itu, Karel Albert Ralahalu.[1]

Gereja Tua Soya saat ini telah ditetapkan sebagai cagar budaya. Letak gereja ini berada di tengah-tengah negeri Soya, merupakan tempat yang sangat strategis karena berdampingan dengan sekolah dan balai pertemuan serta rumah raja Soya.[1]

Benteng Victoria

 
Gerbang Benteng Victoria yang dibangun kembali pada masa kolonial Belanda

Benteng Victoria adalah salah satu benteng peninggalan Portugis di Nusantara. Benteng ini juga dikenal dengan nama Benteng Kota Laha. Benteng Victoria terletak di kecamatan Sirimau, pusat Kota Ambon.[26] Benteng Victoria juga merupakan benteng tertua di Kota Ambon.[27] Benteng Victoria dibangun oleh Portugis pada tahun 1575, tetapi kemudian diambil alih oleh Belanda.[26] Benteng ini merupakan salah satu objek wisata yang ada di pulau Ambon dan saat ini menjadi markas Kodam Pattimura.[28]

Pada masa kolonial Belanda, Benteng Kota Laha diambil alih oleh Belanda dari Portugis diubah namanya menjadi Benteng Victoria.[27] Sebelumnya, oleh Portugis benteng ini diberi nama Nossa Senhora Annucida, baru kemudian direbut oleh Belanda pada 1605 dan dinamai "Victoria" yang berarti 'kemenangan'. Benteng ini mengalami kerusakan cukup parah akibat gempa besar yang mengguncang Ambon pada sekitar tahun 1754. Setelah direnovasi, benteng itu berganti nama menjadi "Nieuw Victoria" yang artinya 'kemenangan baru'. Belanda menggunakan tempat tersebut sebagai pusat pemerintahan, pertahanan, dan pembentukan kekuatan tentara.[29] Di benteng ini, Pattimura digantung oleh Belanda pada 6 Desember 1817.[30]

Lihat juga

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q Kekristenan di Negeri Soya
  2. ^ Prosiding Kongres Internasional Bahasa Daerah Maluku
  3. ^ Unsur Serapan Bahasa Portugis Dalam Bahasa Melayu Ambon
  4. ^ [1]
  5. ^ Cuci Negeri Tradisi Turun Temurun dari Negeri Soya
  6. ^ a b c Pola Komunikasi Interpersonal Dalam Perspektif Psikologi-Komunikasi Pada Pasangan Suami Istri Beretnis Jawa-Ambon
  7. ^ "Asal Mula Nama Sirimau". ambon.go.id. Pemerintah Kota Ambon. Diakses tanggal 03-04-2023. 
  8. ^ Mearns (1999).
  9. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa ab ac ad ae af ag ah ai aj ak al am an ao ap aq ar as at "Geschiedenis van Soya (1500 tot 1700) in de literatuur en een overzicht van de rajas". www.pesulimahistory.com (dalam bahasa Belanda). Belanda. Diakses tanggal 04-04-2023. 
  10. ^ a b c d e f g h i j Knaap (1987).
  11. ^ a b c Jacobs (1975).
  12. ^ a b c d Wessels (1926).
  13. ^ a b Heeres (1908).
  14. ^ a b Ramerini, Marco; Köster, Dietrich. "Ambon: The Portuguese in the Moluccas, Indonesia". www.colonialvoyage.com (dalam bahasa Inggris). Colonial Voyage. Diakses tanggal 6 April 2023. 
  15. ^ a b c Rumphius (1910).
  16. ^ Rumphius (1910), hlm. 57, 65, 68.
  17. ^ Rumphius & Amb. hist., hlm. 125-136.
  18. ^ Rumphius (1910), hlm. 146-148.
  19. ^ Rumphius (1910), hlm. 168.
  20. ^ Rumphius (1910), hlm. 287.
  21. ^ Rumphius & Amb. lb.
  22. ^ Walikota Resmi Melantik Raja Negeri Soya
  23. ^ Batu Penjuru Pembangunan Gereja Bethfage Jemaat Soya Diletakkan, Sekkot: Pemerintah Siap Dukung
  24. ^ Negeri Soya Ambon mulai prosesi tradisi cuci negeri, ada baileo unik tanpa atap dan dinding
  25. ^ a b c d e Tempayan Soya Gunung Sirimau, Wadah yang Selalu Terisi Air Secara Gaib
  26. ^ a b "Benteng Victoria". Pemerintah Kota Ambon. Diakses tanggal 12 Mei 2014. 
  27. ^ a b "Pesona Maluku". www.raptim-Indonesia.co.id. Diakses tanggal 12 Mei 2014. 
  28. ^ "Benteng Victoria Saksi Bisu Perjuangan Rakyat Ambon". www.actual.co. Diakses tanggal 12 Mei 2014. 
  29. ^ "Mengumpulkan Sejarah dengan Mengunjungi Benteng Victoria". www.griyawisata.com. Diakses tanggal 12 Mei 2014. [pranala nonaktif permanen]
  30. ^ "Lihat Meriam Raksasa di Benteng Victoria". arkeologi.web.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-12. Diakses tanggal 12 Mei 2014. 

Daftar pustaka

Pranala luar

Didahului oleh:
Peradaban Alifuru
Kerajaan Kristen
Abad ke-13
Diteruskan oleh:
Hindia Belanda