Jawa Banyumasan
Jawa Banyumasan (Tiyang Jawi Toyajenean (krama); Wong Jawa Banyumasan (ngoko)) adalah etnis Jawa yang berasal dari Jawa Tengah bagian barat, yang lebih akrab disebut sebagai wong ngapak dengan slogannya yang terkenal "Ora Ngapak Ora Kepenak". Ciri khas dari etnis Jawa Banyumasan yaitu adanya sedikit perbedaan budaya, dialek, logat bahasa dan karakter dari etnis Jawa pada umumnya. Wilayah Banyumasan (eks Karesidenan Banyumas) terletak di bagian paling barat Jawa Tengah yang mengitari Gunung Slamet dan Sungai Serayu, meliputi; Cilacap, Banjarnegara, Purbalingga dan Banyumas. Meskipun terdapat sedikit perbedaan (nuansa) adat-istiadat dan logat bahasa, akan tetapi secara umum daerah-daerah tersebut dapat dikatakan "sewarna", yaitu sama-sama menggunakan bahasa Jawa Banyumasan.
Jumlah populasi | |
---|---|
9.206.000[1] | |
Bahasa | |
Bahasa Jawa Banyumasan Indonesia | |
Agama | |
Islam 97,5% Kristen (Protestan dan Katolik) 2,5% | |
Kelompok etnik terkait | |
sub etnis Jawa lainya dan Suku Sunda |
Bahasa
Bagi masyarakat Banyumas, bahasa Bayumasan merupakan bahasa ibu yang hadir sebagai sarana komunikasi sehari-hari. Hal ini seperti yang dikatakan Koentjaraningrat, orang Jawa memiliki pandangan yang sudah pasti mengenai kebudayaan Banyumas selain memiliki bentuk-bentuk organisasi sosial kuna yang khas, juga memiliki logat Banyumas yang berbeda (Koentjaraningrat, 1994:25).
Bahasa Banyumasan, atau yang lebih akrab disebut sebagai bahasa Ngapak, adalah dialek bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat di Jawa Tengah bagian barat. Lebih tepatnya di dua eks-karesidenan, Banyumas dan Pekalongan (sebagian).
Eks-Karesidenan Banyumas meliputi Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan sebagian Kebumen. Eks Karesidenan Pekalongan meliputi Kabupaten Tegal, Kota Tegal, Brebes, Pemalang, Batang, Kabupaten Pekalongan dan Kota Pekalongan. Dialek Banyumasan juga sampai ke Kabupaten Cirebon, Kota Cirebon dan wilayah Jawa Barat yang berbatasan dengan Jawa Tengah, seperti Ciamis dan Cirebon, meskipun sudah tercampur dengan bahasa dan dialek Sunda. Sejumlah ahli bahasa Jawa menyebut Bahasa Banyumasan sebagai bentuk Bahasa Jawa asli atau tahap awal.[2][3]
Ciri khas Bahasa Jawa Banyumasan terdapat pada bunyi vokal “a” pada banyak kata, terutama dalam akhirannya. Dalam Bahasa Jawa Baku ( Solo atau Yogyakarta) bunyi vokalnya berubah jadi “o”. Misalnya, jika di Cilacap orang ingin makan “sêga” (nasi), di Solo disebutnya orang ingin makan “sêgo”. Jika di Purwokerto sembilan adalah “sanga”, di Yogyakarta jadi “songo”.
Perbedaan selanjutnya ada pada intonasi atau cara mengucapkan. Dalam Bahasa Jawa Banyumasan konsonan g, k, d, dan b diucapkan 'keras' dan 'jelas', sementara di Bahasa Jawa Baku (Solo atau Yogyakarta) "tidak keras" dan "jelas".
Misal, akhiran “krêtêg” di Banyumasan tetap menjadi “g,” sementara di Solo menjadi “k” (krêtêk). Atau akhiran “k” di kata “bapak” terdengar jelas di Banyumasan, sementara di Yogyakarta hampir tak terdengar. Demikian juga “jagad” yang menjadi “jagat” atau “lembab” berubah jadi “lembap”.
Perubahan-perubahan itu erat kaitannya dengan kemunculan kerajaan-kerajaan Jawa di Pulau Jawa sehingga memunculkan kultur feodalisme. Dampaknya, Bahasa Jawa dibuat bertingkat-tingkat berdasarkan status sosial.[4]
Lihat pula
Referensi
- ^ "Java Banyumasan in Indonesia". Joshua Project. Diakses tanggal 2021-01-30.
- ^ Budiono Herusasoto (2008) Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa Dan Watak
- ^ Politik Mataram yang Membentuk Bahasa Jawa Banyumasan[1]
- ^ Orang Ngapak Bukannya Kasar, Tapi Blak-blakan dan Apa Adanya[2]