Pengguna:Kris Simbolon/Singamangaraja

Singamangaraja (Surat Batak: ᯘᯪᯝᯔᯝᯒᯐ) adalah bentuk kekuasaan dalam masyarakat Batak yang berada di atas namun tidak mencampuri otonomi kekuasaan huta, horja, dan bius. Singamangaraja bertindak dalam penyelesaian persengketaan, penghentian peperangan, membuat perdamaian, dan pembebasan orang-orang terpasung.[1] Singamangaraja tidak membentuk huta, horja, bius maupun mengangkat penguasanya. Berbeda dengan penguasa pada umumnya, para Singamangaraja tidak menaklukkan daerah apa pun.[2]

Sejarah

Dinasti Singamangaraja dimulai dari garis keturunan kedelapan dari Si Raja Batak. Singamangaraja I adalah Raja Manghuntal Sinambela. Masyarakat Batak umumnya percaya bahwa Singamangaraja adalah dewata yang terlihat dan sesembahan yang dapat diketahui.

Wakil Singamangaraja

Dalam menjalankan tugasnya, para Singamangaraja memiliki beberapa wakil, yaitu Raja Parbaringin di Toba, Raja Naopat di Silindung, dan Raja Parmalim.[3]

Raja Parbaringin

Raja Parbaringin memiliki kedudukan yang tinggi dalam sebuah bius. Raja Parbaringin memiliki wewenang mengenai adat, pembagian tanah, melaksanakan upacara tahunan Mangase Taon. Pada musim kemarau, Raja Parbaringin pun berhak untuk meminta hujan atas nama Si Singamangaraja.

Raja Naopat

Raja Naopat terdiri dari empat kekuasaan yang mewakili Singamangaraja di Silindung, yaitu Bagot Sinta di Hutatoruan, Rangke Tua di Sitompul, Raja Ilamula (Orang Kaya Lela Muda) di Hutabarat, dan Baginda Mulana (Baginda Maulana) di Sipoholon.

Raja Parmalim

Raja Parmalim adalah orang yang ditunjuk untuk mengurus soal-soal keagamaan.

Referensi

  1. ^ Tobing 1957, hlm. 9.
  2. ^ Tobing 1957, hlm. 12.
  3. ^ Tobing 1957, hlm. 9—10.

Daftar pustaka

  • L. Tobing, Adniel (Mei 1957). Sedjarah Si Singamangaradja I–XII: Radja Jang Sakti, Pahlawan Jang Gagah Perkasa. Medan: Firman Sihombing.