Tumpeng
Tumpeng atau nasi tumpeng (bahasa Jawa: ꦱꦼꦒꦠꦸꦩ꧀ꦥꦼꦁ, translit. sêga tumpêng) adalah hidangan yang disajikan pada upacara adat masyarakat Jawa, Bali, Madura dan Sunda yang penyajian nasinya dibentuk kerucut dan ditata bersama dengan lauk-pauknya. Olahan nasi yang dipakai umumnya berupa nasi kuning, nasi putih biasa, atau nasi uduk. Cara penyajian nasi ini khas Jawa atau masyarakat Betawi keturunan Jawa dan biasanya dibuat pada saat kenduri atau perayaan suatu kejadian penting. Meskipun demikian, masyarakat Indonesia sudah mengenal kegiatan ini secara umum.[1]
Tumpeng | |
Asal | |
---|---|
Wilayah | Jawa Tengah Jawa Timur D.I. Yogyakarta |
Negara asal | Indonesia |
Pembuat | Orang Jawa |
Keahlian memasak | Masakan Jawa dan masakan Indonesia |
Rincian | |
Jenis | masakan nasi |
Suhu penyajian | Hangat |
Bahan utama | Nasi berbentuk kerucut, urap (sayuran yang direbus dan dicampur dengan kelapa parut yang dibumbui), serundeng, ayam bakar, ayam goreng, tempe kering, telur pindang, telur dadar yang diiris, teri kacang |
Variasi | Tumpeng robyong, tumpeng nasi putih, tumpeng nasi uduk, tumpeng nasi kuning (selamatan) |
Artikel ini merupakan bagian dari seri |
Hidangan Indonesia |
---|
Portal Indonesia Portal Makanan |
Tumpeng biasa disajikan di atas tampah (wadah berbentuk bundar tradisional yang terbuat dari anyaman bambu) yang telah dialasi daun pisang.[2][3][4]
Sejarah dan Tradisi
Masyarakat di pulau Jawa, Bali dan Madura memiliki kebiasaan membuat tumpeng untuk kenduri atau merayakan suatu peristiwa penting, seperti perayaan kelahiran atau ulang tahun serta berbagai acara syukuran lainnya. Meskipun demikian kini hampir seluruh rakyat Indonesia mengenal tumpeng. Falsafah tumpeng berkait erat dengan kondisi geografis Indonesia, terutama pulau Jawa, yang dipenuhi jajaran gunung berapi. Tumpeng berasal dari tradisi purba masyarakat Indonesia yang memuliakan gunung sebagai tempat bersemayam para hyang, atau arwah leluhur (nenek moyang). Setelah masyarakat Jawa menganut dan dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu, nasi yang dicetak berbentuk kerucut dimaksudkan untuk meniru bentuk gunung suci Mahameru, tempat bersemayam dewa-dewi.
Meskipun tradisi tumpeng telah ada jauh sebelum masuknya Islam ke pulau Jawa, tradisi tumpeng pada perkembangannya diadopsi dan dikaitkan dengan filosofi Islam Jawa, dan dianggap sebagai pesan leluhur mengenai permohonan kepada Yang Maha Kuasa. Dalam tradisi kenduri Slametan pada masyarakat Islam tradisional Jawa, tumpeng disajikan dengan sebelumnya digelar pengajian Al Quran. Menurut tradisi Islam Jawa, "Tumpeng" merupakan akronim dalam bahasa Jawa: yen metu kudu sing mempeng (bila keluar harus dengan sungguh-sungguh). Lengkapnya, ada satu unit makanan lagi namanya "Buceng", dibuat dari ketan; akronim dari: yen mlebu kudu sing kenceng (bila masuk harus dengan sungguh-sungguh) Sedangkan lauk-pauknya tumpeng, berjumlah 7 macam, angka 7 bahasa Jawa pitu, maksudnya Pitulungan (pertolongan). Tiga kalimat akronim itu, berasal dari sebuah doa dalam surah al Isra' ayat 80: "Ya Tuhan, masukanlah aku dengan sebenar-benarnya masuk dan keluarkanlah aku dengan sebenar-benarnya keluar serta jadikanlah dari-Mu kekuasaan bagiku yang memberikan pertolongan". Menurut beberapa ahli tafsir, doa ini dibaca Nabi Muhammad SAW waktu akan hijrah keluar dari kota Mekah menuju kota Madinah. Maka bila seseorang berhajatan dengan menyajikan Tumpeng, maksudnya adalah memohon pertolongan kepada Yang Maha Pencipta agar kita dapat memperoleh kebaikan dan terhindar dari keburukan, serta memperoleh kemuliaan yang memberikan pertolongan. Dan itu semua akan kita dapatkan bila kita mau berusaha dengan sungguh-sungguh.[butuh rujukan]
Tumpeng merupakan bagian penting dalam perayaan kenduri tradisional. Perayaan atau kenduri adalah wujud rasa syukur dan terima kasih kepada Yang Maha Kuasa atas melimpahnya hasil panen dan berkah lainnya. Karena memiliki nilai rasa syukur dan perayaan, hingga kini tumpeng sering kali berfungsi menjadi kue ulang tahun dalam perayaan pesta ulang tahun.
Dalam kenduri, syukuran, atau slametan, setelah pembacaan doa, tradisi tak tertulis menganjurkan pucuk tumpeng dipotong dan diberikan kepada orang yang paling penting, paling terhormat, paling dimuliakan, atau yang paling dituakan di antara orang-orang yang hadir. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang tersebut. Kemudian semua orang yang hadir diundang untuk bersama-sama menikmati tumpeng tersebut. Dengan tumpeng masyarakat menunjukkan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan sekaligus merayakan kebersamaan dan kerukunan.[5]
Acara yang melibatkan nasi tumpeng disebut secara awam sebagai 'tumpengan'. Di Yogyakarta misalnya, berkembang tradisi 'tumpengan' pada malam sebelum tanggal 17 Agustus, Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, untuk mendoakan keselamatan negara.
Kesalahan Saat Membagikan Tumpeng
Sering kita jumpai masyarakat awam bahkan hingga kaum pelaku tradisi dan budaya masih salah dalam memperlakukan tumpeng. Orang-orang dalam acara yang menggunakan tumpeng memotong bagian atas tumpeng secara horizontal, hal ini sangatlah keliru. Bagian atas tumpeng melambangkan Tuhan dan bagian bawah melambangkan kawula-Nya, sehingga tumpeng itu juga adalah simbol dari penyatuan Tuhan dan hamba-Nya atau dalam bahasa Jawa disebut "manunggaling kawula Gusti". Sehingga jika tumpeng itu dipotong bagian atasnya secara horizontal maka terputuslah penyatuan antara Tuhan dan hamba-Nya. Tumpeng dapat dibelah di bagian tengah dari bagian dasar ke puncak sehingga terpisah menjadi 2 kemudian dikeduk dari bawah ke atas agar bagian bawah dan atas dapat menyatu, baru setelah itu dibagikan.[6]
Lauk-pauk
Tidak ada lauk-pauk baku untuk menyertai nasi tumpeng. Namun, beberapa lauk-pauk yang biasa menyertai antara lain perkedel, abon, kedelai goreng, telur dadar/telur goreng, timun yang dipotong melintang, dan daun seledri. Variasinya melibatkan tempe kering, serundeng, urap kacang panjang, ikan asin atau lele goreng, dan sebagainya. Dalam pengartian makna tradisional tumpeng, dianjurkan bahwa lauk-pauk yang digunakan terdiri dari hewan darat (ayam atau sapi), hewan laut (ikan lele, ikan bandeng atau rempeyek teri) dan sayur-mayur (kangkung, bayam atau kacang panjang). Setiap lauk ini memiliki pengartian tradisional dalam budaya Jawa dan Bali. Lomba merias tumpeng cukup sering dilakukan, khususnya di kota-kota di Jawa Tengah dan Yogyakarta, umtuk memeriahkan Hari Proklamasi Kemerdekaan.
Variasi
- Tumpeng Robyong - Tumpeng ini biasa disajikan pada upacara siraman dalam pernikahan adat Jawa. Tumpeng ini diletakkan di dalam bakul dengan berbagai macam sayuran. Di bagian puncak tumpeng ini diletakkan telur ayam, terasi, bawang merah dan cabai.
- Tumpeng Nujuh Bulan - Tumpeng ini digunakan pada syukuran kehamilan tujuh bulan. Tumpeng ini terbuat dari nasi putih. Selain satu kerucut besar di tengah, tumpeng ini dikelilingi enam buah tumpeng kecil lainnya. Biasa disajikan di atas tampah yang dialasi daun pisang.
- Tumpeng Pungkur - digunakan pada saat kematian seorang wanita atau pria yang masih lajang. Dibuat dari nasi putih yang disajikan dengan lauk-pauk sayuran. Tumpeng ini kemudian dipotong vertikal dan diletakkan saling membelakangi.
- Tumpeng Putih - warna putih pada nasi putih menggambarkan kesucian dalam adat Jawa. Digunakkan untuk acara sakral.
- Tumpeng Nasi Kuning - warna kuning menggambarkan kekayaan dan moral yang luhur. Digunakan untuk syukuran acara-acara gembira, seperti kelahiran, pernikahan, tunangan, dan sebagainya.
- Tumpeng Nasi Uduk - Disebut juga tumpeng tasyakuran. Digunakan untuk peringatan Maulud Nabi.
- Tumpeng Seremonial/Modifikasi
Dalam Serat Centhini, yakni semacam kitab ensiklopedia kebudayaan Jawa dari awal abad XIX, disebutkan tidak kurang dari sembilan rupa tumpeng yang perlu disiapkan sebagai sajen dalam pertunjukan wayang kulit dan ruwatan. Aneka tumpeng ini dituliskan pada tembang (pupuh) ke-157 bait 2-3. Disebutkan, antara lain, tumpĕng tutul, tumpĕng lugas, tumpĕng kĕndhit, tumpĕng pucuk lombok bang (tumpeng dengan cabai merah di pucuknya), tumpĕng magana isi janganan (tumpeng megana isi sayuran), tumpĕng magana isi wak ayam (tumpeng megana isi ayam), tumpĕng rajĕg dom-wajane, tumpĕng tigan ing pucuk (dengan telur di pucuknya), dan tumpĕng sĕmbur.[7]
Referensi
- ^ Asal-usul Tumpeng, Sajian yang Tak Pernah Absen di Setiap Perayaan[1]
- ^ Kisah Sejarah dan Makna Tumpeng yang Ternyata Filosofis Banget![2]
- ^ Apa Itu Tumpeng? Ternyata Ini Rahasia di Balik Sajian Nasi yang Berbentuk Kerucut[3]
- ^ Mengungkap Filosofi Jenis Lauk di Nasi Tumpeng[4]
- ^ Nurjannah, R. (2017). Makna simbolik yang terdapat pada kesenian tradisional Bokoran dalam upacara adat mitoni di Desa Sidanegara Kecamatan Kaligondang Kabupaten Purbalingga. Skripsi pada Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta. (tidak diterbitkan)
- ^ Khairunnisa, Syifa Nuri (2020-08-19). "Jangan Potong Puncak Tumpeng, Begini Cara yang Benar". Kompas.com. Diakses tanggal 2024-08-16.
- ^ Ranggasutrasna, R.Ng. dkk. (1814). Serat Suluk Tambangraras (Serat Centhini) Jil. II: 365 (Pupuh 157: 2-3)