Mahisa Campaka

Revisi sejak 14 Agustus 2024 17.39 oleh Nusantara1945 (bicara | kontrib) (Penambahan referensi)

Mahisa Campaka / Narajaya / Jayapangus (lahir: ? - wafat: 1269) adalah tokoh dalam Pararaton, yang menurut Negarakertagama adalah seorang putra keturunan dari Bhatara Parameswara / Mahisa Wong Ateleng, bernama Bhatara Narasinghamurti, yaitu ayah dari Rahadyan Lembu Tal dan kakek Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit.Menurut Catatan Negarakertagama dan catatan Manawa dharmasastra bali , Narasinghamurti menjabat sebagai Panglima tertinggi Singosari (Ratu Anggabhaya) sekaligus menjabat sebagai Raja Mancanegara Nusa Atepan /Raja dari Kepulauan yang terdiri dari 7 pulau di luar jawa[1].Beliau memiliki dua orang istri yang bernama Paduka Bhatari Sri Parameswari Indijaketana dan Paduka Sri Mahadewi Cangkaja Cihna.

Asal-Usul

Menurut Pararaton, Mahisa Campaka adalah putra dari Mahisa Wonga Teleng putra Ken Arok pendiri Kerajaan Tumapel (atau lebih terkenal Singhasari). Namanya muncul pertama kali dalam kisah pelantikan Tohjaya sebagai raja Tumapel menggantikan Anusapati tahun 1249.

Mahisa Campaka dan Ranggawuni

Setelah Tohjaya naik tahta, dan akibat hasutan dari pembantunya yang bernama Pranaraja, Tohjaya berniat membunuh Mahisa Campaka dan sepupunya, Ranggawuni (putra Anusapati) karena keduanya dianggap berbahaya terhadap kelangsungan takhta. Usaha pembunuhan itu gagal. Mahisa Campaka dan Ranggawuni justru mendapat dukungan kuat dari tentara Tumapel dan berbalik menggulingkan Tohjaya tahun 1250.

Setelah Tohjaya tewas, Ranggawuni menjadi raja Tumapel bergelar Wisnuwardhana, sedangkan Mahisa Campaka menjabat Ratu Angabhaya atau raja Kadiri bergelar Bhatara Narasinghamurti. Keduanya memerintah berdampingan. Hal itu dimaksudkan untuk menciptakan kerukunan di antara keturunan Ken Arok (dalam hal ini diwakili Narasinghamurti) dan keturunan Tunggul Ametung (yang diwakili Wisnuwardhana). Pemerintahan bersama itu dalam Pararaton diibaratkan seperti dua ular dalam satu liang.

Akhir Hayat

Prasasti Penampihan yang dikeluarkan oleh Kertanagara (putra Wisnuwardhana) menyebut Narasinghamurti meninggal dunia tahun 1269. Ia didharmakan (dibuatkan monumen penghormatannya) di Kumitir, menurut Desawarnnana karya Mpu Prapanca.

Keturunan

Menurut Pararaton Narasinghamurti memiliki putra bernama Raden Wijaya yang kelak mendirikan Kerajaan Majapahit.

Sementara itu, menurut Nagarakretagama, menyebut Dyah Wijaya adalah putra Dyah Lembu Tal putra Narasinghamurti. Dengan kata lain, Raden Wijaya adalah cucu Narasinghamurti.

Nama Asli Narasinghamurti

Nama Narasinghamurti juga terdapat dalam Nagarakretagama yang ditulis pada tahun 1365. Dikisahkan bahwa, Wisnuwardhana dan Narasinghamurti memerintah bersama di Tumapel bagaikan sepasang dewata, Wisnu dan Indra.

Nama Narasinghamurti juga ditemukan dalam prasasti Penampihan, sehingga dapat dipastikan kalau nama ini bukan sekadar ciptaan Pararaton atau Nagarakretagama. Akan tetapi, Mahisa Campaka sebagai nama asli Narasinghamurti hanya terdapat dalam Pararaton yang ditulis ratusan tahun sejak kematiannya, sehingga kebenarannya perlu untuk dibuktikan.

Prasasti Mula Malurung yang dikeluarkan oleh Wisnuwardhana tahun 1255 mencantumkan daftar nama para raja bawahan Tumapel namun tidak menyebutkan adanya nama Narasinghamurti di dalamnya. Hal ini terasa aneh karena menurut Pararaton dan Nagarakretagama, Narasinghamurti adalah tokoh penting dalam pemerintahan Wisnuwardhana.

Namun, dalam daftar tersebut ditemukan nama yang mirip dengan Narasinghamurti yaitu Narajaya penguasa Hering. Selain itu, Narajaya juga disebut sebagai sepupu raja. Sejarawan Slamet Muljana menganggap Narajaya sebagai nama asli Narasinghamurti, sedangkan Mahisa Campaka adalah nama ciptaan Pararaton.

Pendapat kedua, sebenarnya nama Narasinghamurti sudah disebut dalam Prasasti Mula Malurung, yaitu sebagai Nararya Waning Hyun. Hadi Sidomulyo dalam bukunya yang berjudul “Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapañca” (terbit 2007) membantah bahwa Narārya Waning Hyun adalah nama asli Jayawardhanī Dikarenakan Nararya adalah gelar bagi seorang laki-laki, bukan seorang perempuan. Dan penafsiran Waning Hyun sebagai perempuan adalah dari Prof. Slamet Muljana sendiri.

Kepustakaan

  • R.M. Mangkudimedja. 1979. Serat Pararaton Jilid 2. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah
  • Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
  • Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
  • Hadi Sidomulyo (2007). Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapañca. Cetakan pertama. Jakarta: Wedatama Widya Sastra

Lihat pula

  1. ^ "Babad Bali - Pura Penegil Dharma". www.babadbali.com. Diakses tanggal 2024-08-14.