Kerajaan Singasari

kerajaan di Asia Tenggara
(Dialihkan dari Tumapel)

Kerajaan Singhasari (bahasa Jawa: ꦱꦶꦁꦲꦱꦫꦶ, translit. Singhasāri) atau Kerajaan Tumapel, adalah sebuah kerajaan Hindu-Buddha yang terdapat di Jawa Timur, antara tahun 12221292 yang didirikan oleh Sri Ranggah Rajasa atau biasa disebut dengan Ken Arok. Sejarah kerajaan ini terkait erat dengan sosok Ken Angrok (1222–1227) yang sekaligus merupakan pendiri Wangsa Rajasa. Lokasi pusat kerajaan ini sekarang diperkirakan berada di daerah Kecamatan Singasari, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur.

Tumapel

( Tu - Ma - Pan )
1222–1292
Perkembangan Kerajaan Singhasari pada masa pemerintahan Kertanagara.
Perkembangan Kerajaan Singhasari pada masa pemerintahan Kertanagara.
Ibu kotaKutaraja kemudian berganti nama Singhasari
Bahasa yang umum digunakanJawa Kuno, Sanskerta
Agama
Hindu dan Buddha, Animisme, Siwa-Buddha, Tantra Bhairawa
PemerintahanMonarki
Sri/Raja 
• 1222–1227
Ken Arok
• 1227–1248
Anusapati
• 1248–1268
Wisnuwardhana
• 1268–1292
Kertanegara
Sejarah 
• Awal berdiri oleh Pemberontakan Ken Arok
1222
1275–1286
• Ekspedisi Pabali
1282–1284
• Runtuh oleh pemberontakan Jayakatwang dari Gelanggelang
1292
Mata uangKoin emas dan perak
Didahului oleh
Digantikan oleh
krjKerajaan
Kadiri
krjKerajaan
Majapahit
Sekarang bagian dari Indonesia

 Malaysia

 Singapura
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini
Arca Prajnaparamita ditemukan dekat candi Singosari dipercaya sebagai arca perwujudan Ken Dedes (koleksi Museum Nasional Indonesia). Keindahan arca ini mencerminkan kehalusan seni budaya Singhasari.

Nama kerajaan

sunting

Nama resmi dari kerajaan Singhasari adalah kerajaan Tumapel. Kata Singhasari sendiri merupakan nama ibu kota dari kerajaan Tumapel yang dirubah namanya pada tahun 1254 oleh raja Wisnuwardhana dari nama sebelumnya, yaitu Kutaraja bersamaan dengan pengangkatan Kertanagara sebagai Yuwaraja atau sebagai putra mahkota di Kadiri menurut berita dari Prasasti Mula Malurung (1255 M).[1] Perihal ini, Kakawin Nagarakretagama (1365 M) mencatat pergantian nama ini diikuti oleh rakyat dari Kerajaan Kediri dan Kerajaan Jenggala.[2]

Pada tahun 1406 masehi, menurut catatan Ming Shilu yang diterjemahkan oleh Willem Pieter Groeneveldt, utusan dari Tiongkok, Yongle memerintahkan Cheng Ho untuk mengunjungi dua kerajaan yang ada di Jawa, yaitu raja "bagian barat", Tu-ma-pan dan kepada raja "bagian timur", Put-ling-ta-hah atau P'i-ling-da-ha yang saat itu sedang berperang.[3]

Pada awalnya, Jean Joseph Marie Amiot dan Gustaaf Schlegel berpendapat bahwa nama kerajaan ini dianggap sebagai Kerajaan Padjajaran.[4]Akan tetapi, Reinhold Rost berpendapat bahwa dengan lokasinya yang dekat dengan sungai yang berada di Selatan Madura, kemungkinan besar kerajaan ini tidak jauh dari Majapahit.[5] Penyebutan ini pun diulang saat mencatat pengiriman utusan ke Tiongkok pada tahun 1460 dan 1465 yang dilakukan oleh Girishawardhana seperti yang dilakukan pada Wikramawardhana pada tahun 1403 untuk merujuk kerajaan yang berlokasi di wilayah Jawa Timur yang dahulunya dikuasai oleh Singasari sebelum Majapahit berkuasa pada tahun 1293.[6]

Pendirian Kerajaan oleh Ken Arok berdasarkan Pararaton

sunting

Perebutan gelar akuwu dari Tunggul Ametung

sunting

Pararaton sendiri sebagai dianggap sebagai sumber bermasalah karena terlalu banyak memuat kisah dari Ken Arok yang memuat kisah-kisah mitos terkait dirinya. Namun, karena sumber ini memuat setiap cerita berdasarkan tanggal, maka ada hal yang masih bisa dijadikan referensi.[7] Berdasarkan sumber ini, Ken Arok merupakan anak dari hubungan dari Brahma dan Ken Ndok yang merupakan istri dari Gajah Para.[8] Kebiasaannya berjudinya membuat ibu dan ayah angkatnya yang bernama Lembong bangkrut. Akhirnya, dia bekerja pada seorang kepala sebuah pertapaan sebagai penggembala kerbau di Lebak, tetapi dia menghilangkan kerbau tersebut sehingga dituntut ganti rugi. Atas anjuran dari kedua orang tuanya yang kemungkinan akan dijadikan budak bila Ken Arok tidak melarikan diri, maka ia pun melarikan diri dari tempat tersebut ke Kapundungan. Karena tidak kunjung menemukan tempat peristirahatan, dia pun melarikan diri hingga ke daerah Gunung Kawi.[9]

Selama pelarian, Ken Arok terkenal melakukan perampok, pencuriaan dan pemerkosaan yang mengakibatkan dirinya menjadi buronan dari Kerajaan Kadiri. Pelarian ini membawanya dalam perjalanan hingga Gunung Lejar. atas saran dari para Dewata untuk keluar dari pencarian. Pada lokasi inilah, para dewata sedang mengadakan rapat dan Batara Guru menasbihkan ia menjadi raja dari Jawa.[10] Selain Batara Guru, Brahma juga memerintahkan Lohgawe yang merupakan seorang brahmana dari India untuk mencari Ken Angrok yang dipercaya sebagai jelmaan dari Wisnu di tempat perjudian.[11]

Atas perantara Lohgawe, Ken Rok dapat mengabdi kepada seorang akuwu yang saat itu memimpin wilayah Tumapel yang bernama Tunggul Ametung.[12] Ken Arok bekerja sebagai tukang kebun di Taman Boboji. Lokasi inilah yang menjadi lokasi saat ia melihat Dedes yang tersingkap pakaiannya yang menunjukkan betis, paha dan bahkan vaginanya yang disamarkan dengan menyebutnya sebagai rahasia. Setelah melihat hal tersebut, Arok pulang dan menceritakan peristiwa ini kepada Lohgawe dan menyebutkan bahwa Dedes adalah sosok orang yang memiliki perbawa.[13]

Karena perbawa inilah, dedes disebut sebagai titisan dari Ardanariswara yang dipercaya akan membawa keberuntungan kepada siapapun yang menikahinya. Dia juga dipercaya kan melahirkan raja-raja Jawa dari rahimnya.[14] Ucapan lohgawe membuat Arok berniat untuk membunuh Ametung meskipun niatnya awalnya dilarang oleh Lohgawe.[15] Arok pun disarankan untuk mengunjungi seorang pandai besi di Lulumbang oleh Bango Samparan yang merupakan ayah angkatnya yang dia temui saat pelarian. Ken arok memesan keris untuk diselesaikan selama enam bulan, meskipun Mpu Gandring meminta waktu agar diselesaikan selama setahun. Setelah 5 bulan, keris belum selesai dan masih sedang digerinda, Arok marah dan membunuhnya yang membuat Gandring mengutuk Arok bahwa keris tersebut akan membunuh 7 orang.[16]

Pembunuhan Tunggul Ametung dilakukan dengan memanfaatkan ketertarikan sahabat dari Arok yang bernama Kebo Ijo. Ketertarikan Kebo Ijo bersumber dari bahan keris yang berbahan kayu cangkring sehingga Kebo Ijo meminjamnya dan memamerkannya di Tumapel. Karena hal tersebut, masyarakat Tumapel menganggap bahwa keris tersebut merupakan milik Kebo Ijo. Ken arok membunuh Tunggul Amerung di malam hari dengan keris tersebut dan meninggalkan kerisnya tertancap di dada. Karena rakyat Tumapel mengetahui bahwa keris tersebut itu milik Kebo Ijo, maka para masyarakat menganggap ia dibunuh oleh Kebo Ijo dan mengeroyok Kebon Ijo hingga tewas. Anak dari Kebo Ijo yang bernama Kebo Randi menangis melihat peristiwa ini dan Ken arok mengangkatnya menjadi pekatik karena rasa iba.[17]

Sesudah membunuh Tunggul Ametung, Ken Angrok menggantikan Tunggul Ametung sebagai akuwu dan menikahi Dedes tanpa ada intervensi dari rakyat dan keluarga Tunggul Ametung.[12] Saat itu Dedes sedang hamil 3 bulan anaknnya yang bernama nama Anusapati. Selain beristrikan Ken Dedes, Ken Angrok mempunyai satu istri lagi bernama Ken Umang. Bersama Dedes, Arok memiliki 4 orang anak, yaitu Mahesa Wong Ateleng, Panji Saprang, Agnibhaya, dan Dewi Rimbu. Sedangkan, dari Ken Umang, Angrok mempunyai empat orang anak, yaitu Panji Tohjaya, Panji Sudhatu, Panji Wregola dan Dewi Rambu.[18]

Penyerangan Kediri dan pendirian Kerajaan Singasari

sunting

Berdasarkan Nagarakretagama, setelah 40 tahun memerintah Tumapel yang berlokasi di Gunung Kawi sejak 1182, Arok yang yang memakai gelar Sri Ranggah Rajasa melakukan penyerangan ke Kerajaan Kadiri yang saat itu dipimpin oleh Kertajaya.[2] Pararaton menceritakan bahwa serangan ini bermula dari perseteruan dari Brahmana dan Kertajaya yang disebutkan dengan nama Prabu Dandhang Gendhis. Konflik ini berasal dari perintahnya untuk para Brahma menyembahnya sebagai dewa. Untuk memperteguh keinginannya untuk dianggap dewa, dia berperilaku untuk menyerupai Siwa dengan menancapkan tombak dan duduk di atasnya dalam posisi mudra sekaligus seperti terlihat memiliki tangan empat dan mata tiga seperti Siwa. Para brahma menolak perintah ini dan melarikan diri untuk berlindung dengan Ken Arok. Ken arok yang saat itu didukung Brahma memerdekakan dirinya dari Kediri yang saat itu masih menjadi vasal dan menyatakan niat untuk kudeta. Ancaman kudeta ini tidak dihiraukan oleh Kertajaya dan menyatakan bahwa hanya Siwa yang dapat mengalahkannya. Karena pernyataan ini, Ken Arok meminta izin ke para Brahma untuk menyatakan dirinya sebagai Siwa. [19]

Ketika berkuasa, Ken Angrok berniat melepaskan Tumapel dari kekuasaan Kadiri. Pada 1221, terjadi perseteruan antara Kertajaya, raja Kerajaan Panjalu, dengan kaum brahmana. Para brahmana lantas menggabungkan diri dengan Ken Angrok. Puncak peperangan melawan Kadiri lantas pecah di Desa Ganter pada 1222 yang dimenangkan oleh pihak Tumapel.

Pada 1253, Wisnuwardhana kemudian mengangkat putranya yang bernama Kertanagara sebagai yuwaraja (putra mahkota) dan mengganti nama ibu kota kerajaan menjadi Singhasari. Nama Singhasari yang merupakan nama ibu kota kemudian justru lebih terkenal daripada nama Tumapel. Inilah yang membuat kerajaan Tumapel lebih dikenal dengan nama Kerajaan Singhasari.

Penemuan prasasti Mula Malurung di sisi lain memberikan pandangan yang berbeda dengan versi Pararaton, yang selama ini dikenal mengenai sejarah Tumapel. Prasasti yang dikeluarkan Kertanagara tahun 1255 atas perintah Wisnuwardhana itu menyebutkan jika Tumapel didirikan oleh "Rajasa" yang dijuluki "Batara Siwa", setelah menaklukkan Kerajaan Kadiri. Nama ini kemungkinan adalah gelar anumerta dari Ranggah Rajasa, karena dalam Nagarakretagama arwah pendiri Tumapel itu dipuja sebagai Siwa. Selain itu, Pararaton juga menyebutkan bahwa Ken Angrok lebih dulu menggunakan julukan Batara Siwa sebelum maju dalam perang melawan Kadiri.

Prasasti itu juga menyatakan jika kerajaan kemudian terpecah menjadi dua sepeninggal Ken Angrok, yaitu Tumapel yang dipimpin oleh Anusapati dan Kadiri yang dipimpin oleh Mahesa Wong Ateleng alias Batara Parameswara. Parameswara digantikan oleh Guningbhaya, kemudian Tohjaya. Sementara itu, Anusapati digantikan oleh Seminingrat yang bergelar Wisnuwardhana. Prasasti itu juga menyebutkan bahwa Tumapel dan Kadiri dipersatukan kembali oleh Seminingrat. Kadiri kemudian menjadi kerajaan bawahan yang dipimpin oleh putranya, yaitu Kertanagara.

Lebih lanjut, prasasti ini menyatakan Tohjaya sebagai raja Kadiri, bukan raja Tumapel. Hal ini memperkuat kebenaran berita dalam Nagarakretagama yang tidak menyebut Tohjaya sebagai raja di Tumapel. Selain itu, pemberitaan dalam Nagarakretagama yang menyebut Kertanagara naik takhta tahun 1254 juga dapat diperdebatkan. Kemungkinannya adalah Kertanagara menjadi raja muda di Kadiri terlebih dahulu, kemudian barulah pada 1268 dia bertakhta di Singasari.

Silsilah Dinasti Rajasa

sunting
 
Akuwu Tumapel
 
 
 
Mpu Purwanatha
 
 
 
Dinasti
Rajasa
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Tunggul Ametung
 
 
 
Ken Dedes
 
 
 
Ken Arok
 
 
 
Ken Umang
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Anusapati
 
 
 
Mahisa Wonga Teleng
 
 
 
Tohjaya
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Wisnuwardhana
 
 
 
Mahisa Campaka
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Kertanegara
 
 
 
Dyah Lembu Tal
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Gayatri
 
 
 
Raden Wijaya


 
Silsilah Wangsa Rajasa dari sumber prasasti dan naskah kepujanggaan.
 
Silsilah Wangsa Rajasa, keluarga penguasa Singhasari dan Majapahit. Penguasa ditandai dengan blok warna dalam gambar ini.[20]

Ada dua versi dalam mengidentifikasi sejarah Tumapel atau Singhasari, yaitu Pararaton dan Kakawin Nagarakretagama. Perbedaan ini meliputi daftar Wangsa Rajasa yang berkuasa dan angka tahunnya. Wangsa Rajasa sendiri adalah keluarga yang berkuasa di Kerajaan Singhasari dan Majapahit pada kurun abad ke-13 sampai ke-15. Wangsa ini didirikan oleh Ken Angrok pada awal abad ke-13 berdasarkan gelar yang didapatkannya, yaitu "Rajasa". Keluarga kerajaan ini menjadi penguasa Singhasari dan berlanjut hingga Kerajaan Majapahit.

Versi Pararaton

sunting

Dikisahkan dalam Pararaton, Anusapati yang merupakan putra Tunggul Ametung dan Ken Dedes ingin membalas dendam terhadap Ken Arok yang telah membunuh ayahnya. Pada 1247, Ken Arok mati di tangan Anusapati yang kemudian berkuasa di Tumapel. Namun, pada 1249 Anusapati tewas dihabisi oleh Tohjaya yang tidak lain adalah anak Ken Arok dari Ken Umang.

Tohjaya naik singgasana sebagai raja Tumapel setelah Anusapati tiada, tetapi takhtanya hanya berlangsung singkat. Pada 1250, pemerintahannya digulingkan oleh pasukan khusus yang dihimpun oleh Ranggawuni atau yang nantinya dikenal sebagai Wisnuwardhana. Wisnuwardhana adalah anak dari Anusapati yang melanjutkan lingkaran dendam dalam takhta Kerajaan Singasari. Wisnuwardhana lantas dinobatkan sebagai raja selanjutnya hingga mewariskan kekuasaan kepada putranya yang bernama Kertanagara.

Berikut daftar raja Tumapel menurut versi Pararaton.

  1. Sri Ranggah Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi (1222–1247);
  2. Anusapati (1247–1249);
  3. Tohjaya (1249–1250);
  4. Ranggawuni alias Wisnuwardhana (1250–1272);
  5. Kertanagara (1272–1292).

Versi Kakawin Nagarakretagama

sunting

Sementara itu, Nagarakretagama tidak menyebut sosok Tunggul Ametung, Ken Angrok, Ken Dedes, Ken Umang, dan Tohjaya maupun pembunuhan di antara penguasa Tumapel. Hal ini dapat dimaklumi karena kitab tersebut berisi pujian untuk Hayam Wuruk, raja Majapahit. Peristiwa berdarah yang menimpa leluhurnya itu dianggap sebagai aib. Namun demikian, dapat diketahui hanya Wisnuwardhana dan Kertanagara saja yang didapati menerbitkan prasasti sebagai bukti kesejarahan mereka.

Menurut Nagarakretagama, penguasa Tumapel yang mengalahkan Kadiri adalah Sri Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra. Rangga Rajasa memiliki putra bernama Anusapati, yang kemudian bertakhta di Tumapel dengan gelar Batara Anusapati. Anusapati digantikan oleh putranya yang bernama Wisnuwardhana pada 1248 dan memerintah hingga 1254. Selanjutnya, raja terakhir Tumapel adalah Kertanagara, putra Wisnuwardhana, yang memimpin hingga meninggal pada 1292. Kematian Kertanegara oleh Jayakatwang bupati Gelanggelang sekaligus mengakhiri riwayat kerajaan ini.

Berikut daftar raja Tumapel menurut versi Nagarakretagama.

  1. Sri Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra (1222–1227);
  2. Anusapati (1227–1248);
  3. Wisnuwardhana (1248–1254);
  4. Kertanagara (1254–1292).

Diagram silsilah di samping ini adalah urutan penguasa dari Wangsa Rajasa yang bersumber dari Pararaton maupun prasasti dan naskah kepujanggaan.

Pemerintahan bersama

sunting

Pararaton dan Nagarakretagama menyebutkan adanya pemerintahan bersama antara Wisnuwardhana dan Narasingamurti. Dalam Pararaton disebutkan nama asli Narasingamurti adalah Mahisa Campaka.

Apabila kisah kudeta berdarah dalam Pararaton benar-benar terjadi, maka dapat dipahami maksud dari pemerintahan bersama ini adalah suatu upaya penggabungan atau rekonsiliasi antara Tumapel dan Kadiri yang awalnya terpecah. Wisnuwardhana penguasa Tumapel yang merupakan cucu Tunggul Ametung - Ken Dedes, sedangkan Narasingamurti penguasa Kadiri adalah cucu Ken Arok - Ken Dedes.

Masa Kejayaan

sunting

Kertanagara adalah raja terakhir dan raja terbesar dalam sejarah Kerajaan Tumapel (1272 - 1292). Ia adalah raja pertama yang mengalihkan wawasannya ke luar Jawa.

Pada tahun 1275 ia mengirim pasukan Ekspedisi Pamalayu untuk menjadikan Sumatra sebagai benteng pertahanan dalam menghadapi ekspansi bangsa Mongol. Saat itu penguasa Sumatra adalah Kerajaan Melayu. Kerajaan ini akhirnya dianggap telah ditundukkan, dengan dikirimkannya bukti Arca Amoghapasa dari Kertanagara, sebagai tanda persahabatan kedua negara.[21]

Pada tahun 1284, Kertanagara juga mengadakan ekspedisi menaklukkan Bali.

Pada tahun 1289 Kaisar Kubilai Khan mengirim utusan ke Tumapel meminta agar Jawa mengakui kedaulatan Mongol. Namun permintaan itu ditolak tegas oleh Kertanagara. Nagarakretagama menyebutkan daerah-daerah bawahan Tumapel di luar Jawa pada masa Kertanagara antara lain, Kerajaan Melayu, Bali, Pahang, Gurun, dan Bakulapura.[22]

... 2. Samankana nikaɳ digantara padanabhaya mark i jöɳ nareçwara, ikaɳ sa- (110b) kahawat/ pahaɳ sakahawat malayu pada manunkul adara, muwah sakahawat gurun sakahawat/ bakulapura manaçrayomark, ndatan linen i sunda len/ madura pan satanah i yawa bhakti tan salah. ...

... 2. Begitulah dari empat penjuru orang lari berlindung dibawah Baginda. Seluruh Pahang, segenap Melayu tunduk menekur dihadapan beliau. Seluruh Gurun, segenap Bakulapura lari mencari perlindungan. Sunda Madura tak perlu dikatakan, sebab sudah terang setanah Jawa. ...
— (Kakawin Nagarakretagama, Pupuh 42).

Wilayah kerajaan Tumapel juga meliputi Mojokerto jauh sebelum Majapahit berdiri. Kekuasaan Tumapel di Mojokerto salah satunya dibuktikan dengan Prasasti Gondang. Prasasti Gondang adalah sebuah prasasti in-situ (masih ditempat asli) peninggalan Kerajaan Tumapel yang baru ditemukan pada tahun 2017 silam di tengah persawahan di Dusun Rejoso, Desa Gondang, Kecamatan Gondang, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Prasasti tersebut ditemui oleh warga setempat dan terdapat bacaan dalam bahasa Jawa Kuno yang bertuliskan tahun 1197 saka atau 1275 masehi.[23] Berdasarkan angka tahunnya, prasasti ini dibuat pada masa kekuasaan Raja Kertanegara. Prasasti ini menandakan wilayah yang masuk dalam kekuasaan Singasari yaitu Gresik, Surabaya, Sidoarjo, sampai Mojokerto sebelum berdirinya Kerajaan Majapahit.

Keruntuhan

sunting
 
Candi Singhasari dibangun sebagai tempat pemuliaan Kertanegara, raja terakhir Singhasari.

Kerajaan Singhasari yang sibuk mengirimkan angkatan perangnya ke luar Jawa, akhirnya membuat pertahanan di dalam kerajaan menjadi lemah.

Pada tahun 1292 terjadi pemberontakan Jayakatwang bupati Gelanggelang, yang merupakan ipar dan sekaligus besan dari Kertanagara sendiri, karena ingin membalas dendam terhadap Wangsa Rajasa yang telah merebut kekuasaan dari kerajaan Kediri, serta membunuh keluarga dan leluhurnya. Pemberontakan ini menyebabkan kematian Kertanegara dan runtuhnya kerajaan Tumapel.

Setelah runtuhnya Tumapel, Jayakatwang mengangkat dirinya menjadi raja dan membangun kembali Kerajaan Kediri dengan ibukota di Daha. Riwayat Kerajaan Tumapel pun berakhir.

Hubungan dengan Majapahit

sunting

Pararaton, Nagarakretagama, dan prasasti Kudadu mengisahkan Raden Wijaya cucu Narasingamurti yang menjadi menantu Kertanagara lolos dari maut. Berkat bantuan Aria Wiraraja (penentang politik Kertanagara), ia kemudian diampuni oleh Jayakatwang dan diberi hak mendirikan desa Majapahit.

Pada tahun 1293 datang pasukan Mongol yang dipimpin Ike Mese untuk menaklukkan Jawa. Mereka dimanfaatkan Raden Wijaya untuk mengalahkan Jayakatwang di Kerajaan Kadiri. Setelah Kadiri runtuh, Raden Wijaya dengan siasat cerdik ganti mengusir tentara Mongol keluar dari tanah Jawa.

Raden Wijaya kemudian mendirikan Kerajaan Majapahit sebagai kelanjutan Tumapel, dan menyatakan dirinya sebagai anggota Wangsa Rajasa, yaitu dinasti yang didirikan oleh Ken Arok.

Daftar Pejabat

sunting

Daftar Raja-raja

sunting
No. Maharaja Mulai Jabatan Akhir Jabatan Jabatan
Sebelumnya
Termuat Dalam
1. Ranggah Rajasa 1222 1227 Adipati Tumapel Negarakertagama
2. Anusapati 1227 1248 Prasasti Mula Malurung, Negarakertagama
3. Wisnuwardhana dan Mahisa Campaka 1248 1268 *Pararaton, *Negarakertagama, *Prasasti Mula Malurung
4. Kertanagara 1268 1292 Raja muda Daha *Prasasti Mula Malurung, *Prasasti Padang Roco, *Prasasti Wurare

Sumber[24][25]

Daftar Pembantu Pemerintah Pusat

sunting
No. Nama Jabatan Jabatan
Sebelumnya
Termuat Dalam
1. Arya Wiraraja Adipati Songennep

(Sekarang Sumenep, Madura)

Demung Kidung Harsawijaya
2. Mpu Raganata Adhyaksa Tumapel Perdana Menteri Kidung Harsawijaya
3. Mahisa Anabrang Laksamana Pararaton, Negarakertagama, Kidung Harsawijaya
4. Mpu Wirakreti Mantri Angabhaya Tumenggung Kidung Harsawijaya
5. Mpu Sentasmreti Pujangga Istana Kidung Harsawijaya
6. Kebo Anengah & Panji Angragani Perdana Menteri & Wakilnya Pararaton, Negarakertagama, Kidung Harsawijaya
7. Mapanji Pati-Pati Dharmmadyaksa Kasaiwan Prasasti Mula Malurung
8. Mapanji Singharsa Sang Ramapati (Juru Bicara) Prasasti Mula Malurung

Sumber[26]

Daftar Adipati

sunting
No. Nama Jabatan Jabatan
Sebelumnya
Termuat Dalam
1. Arya Wiraraja Adipati Songennep
(Sekarang Sumenep, Madura)
Demung Kidung Harsawijaya
2. Jayakatwang Adipati Gelang-gelang
(Sekarang Madiun)
Pararaton, Prasasti Mula Malurung
3. Dyah Wijaya Adipati Janggala
(Sekarang Sidoarjo)
Prasasti Mula Malurung

Sumber[27]

Saat Menjadi bawahan Majapahit

sunting

Setelah kerajaan Tumapel runtuh, status Tumapel berubah menjadi negeri bawahan dari kerajaan Majapahit yang paling utama. Penguasa Tumapel atau raja bawahan yang memimpin wilayah ini bergelar sebagai Bhre Tumapel[28][29][30]

Bhre Tumapel yang pernah menjabat ialah :

  1. Kertawarddhana Dyah Cakradara (1328-1386)
  2. Manggalawarddhana (1389-1427)
  3. Wijayaparakramawarddhana Dyah Kertawijaya (1429-1447)
  4. Singhawikramawarddhana Dyah Suraprabhawa (1447-1466)[31]

Warisan Budaya

sunting

Prasasti

sunting

Kutipan

sunting
  1. ^ Tsabit, Adjeng Hidayah; Eni, Sri Pare (2023). Arsitektur Kuno Kerajaan-kerajaan Jawa Timur (Kediri, Singasari, dan Majapahit) di Indonesia (PDF). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada - Rajawali Pers. hlm. 99. ISBN 978-602-425-138-3. 
  2. ^ a b Riana, I. Ketut (2009). Kakawin dēśa warṇnana, uthawi, Nāgara kṛtāgama: masa keemasan Majapahit. Penerbit Buku Kompas. hlm. 38, 210. ISBN 978-979-709-433-1. 
  3. ^ Putri, Risa Herdahita (2019-06-14). "Perang Saudara Berebut Singgasana Majapahit". Historia. Diakses tanggal 2024-03-27. 
  4. ^ Groeneveldt, Willem Pieter (1887). Notes on the Malay Archipelago and Malacca Compiled from Chinese Sources (dalam bahasa Inggris). Bruining. hlm. 36. 
  5. ^ Rost, Reinhold (2000). Miscellaneous Papers Relating to Indo-China and the Indian Archipelago (dalam bahasa Inggris). Psychology Press. hlm. 149,162. ISBN 978-0-415-24553-1. 
  6. ^ Noorduyn, J. (1978). "Majapahit in the fifteenth century". Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia (dalam bahasa Inggris). 134 (2): 207–274. doi:10.1163/22134379-90002587. ISSN 0006-2294. 
  7. ^ Ras, J. J. (1986). Hikayat Banjar and Pararaton: A Structural Comparison of Two Chronicles (dalam bahasa Inggris). Brill. hlm. 184–203. doi:10.1163/9789004488175_013. ISBN 978-90-04-48817-5. 
  8. ^ Isnaeni, Hendri F. (2014-09-15). "Siapa Sebenarnya Ayah Ken Angrok?". Historia. Diakses tanggal 2024-03-28. 
  9. ^ Zurbuchen, Mary S. (1976). Introduction to Old Javanese Language and Literature: A Kawi Prose Anthology. University of Michigan Press. hlm. 81. doi:10.3998/mpub.11902952. ISBN 978-0-89148-053-2. 
  10. ^ Mulyono, Otto Sukatno, CR dan Untung (2018-11-01). PARARATON: Kitab Para Raja; Menguak Jejak Genealogi Sejarah Wangsa Jawa dari Tarumanegara Hingga Majapahit. Nusamedia. hlm. 22–24. ISBN 978-602-6913-43-2. 
  11. ^ Muljana, Slamet (2005). Menuju Puncak Kemegahan ; Sejarah Kerajaan Majapahit. Lkis Pelangi Aksara. hlm. 126. ISBN 978-979-8451-35-5. 
  12. ^ a b Notosusanto, Marwati Djoened, Poesponegoro, Nugroho (2008). Sejarah Nasional Indonesia Jilid 2: Zaman Kuno. Balai Pustaka (Persero), PT. hlm. 422–426. ISBN 978-979-407-408-4. 
  13. ^ Dewi, Trisna Kumala Satya (2013). "Arok Dedes dan Pararaton: Transformasi Dan Dinamika Sastra dalam Wacana Globalisasi Sastra". ATAVISME. 16 (1): 119–128. doi:10.24257/atavisme.v16i1.87.119-128. ISSN 2503-5215. 
  14. ^ Putri, Risa Herdahita (2017-12-21). "Ken Dedes Perempuan Utama". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia. Diakses tanggal 2024-03-30. 
  15. ^ Raditya, Iswara N. (2021-09-10). "Cerita Cinta Ken Arok & Ken Dedes Awali Sejarah Kerajaan Singasari". tirto.id. Diakses tanggal 2024-03-30. 
  16. ^ Isnaeni, Hendri F. (2015-03-31). "Enam Korban Keris Mpu Gandring". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia. Diakses tanggal 2024-03-30. 
  17. ^ Midaada, Avirista (11 Januari 2023). "Kutukan Keris Sakti Mpu Gandring Meminta Tumbal 3 Nyawa Raja Singasari". SINDOnews Daerah. Diakses tanggal 2024-04-07. 
  18. ^ Nastiti, Titi Surti (2016-01-03). Perempuan Jawa: Kedudukan dan Peranannya dalam Masyarakat Abad VIII-XV. Dunia Pustaka Jaya. hlm. 168. ISBN 978-979-419-713-4. 
  19. ^ Mulyono & CR 2018, hlm. 318-319.
  20. ^ Bullough, Nigel (1995). Historic East Java: Remains in Stone. Jakarta: ADLine Communications. hlm. 116–117. 
  21. ^ Reichle, Natasha (2007). Violence and Serenity: Late Buddhist Sculpture from Indonesia (dalam bahasa Inggris). University of Hawaii Press. hlm. 120. doi:10.1515/9780824865474. ISBN 978-0-8248-6547-4. § The Sumatran Image of Amoghapāśa. [...]. It is known from the Nāgarakṛtāgama that eleven years earlier Kṛtanagara had sent a military force to Malāyu. Kṛtanagara was victorious, and, according to the text, “[t]he whole territories of Pahang and Malāyu bowed humbly before him.” 
  22. ^ http://www.spaetmittelalter.uni-hamburg.de/java-history/JavaNK/Java1365.Nagara-Kertagama.Canto.38.3-49.html
  23. ^ Budianto, Enggran Eko (05 Jun 2020). "Prasasti Gondang, Bukti Kekuasaan Kerajaan Singasari di Mojokerto". detikcom. 
  24. ^ "Kitab Pararaton (terjemahan)". majapahitprana.blogspot.com. Diakses tanggal 19 Desember 2021. 
  25. ^ "Terjemahan Lengkap Naskah Manuskrip Nagarakretagama". historynote.wordpress.com. hlm. Pupuh 5 dan 6. Diakses tanggal 19 Desember 2021. 
  26. ^ Mulyana, Slamet (2006). Tafsir sejarah nagarakretagama (dalam bahasa Indonesia). PT LKiS Pelangi Aksara. hlm. 71 – 90. ISBN 978-979-2552-546. 
  27. ^ Teguh Asmar & Nuriah. 1985. PRASASTI KOLEKSI MUSEUM NASIONAL JILID I. Jakarta: Museum Nasional
  28. ^ "Kitab Pararaton (terjemahan)". majapahitprana.blogspot.com. Diakses tanggal 19 Desember 2021. 
  29. ^ "Terjemahan Lengkap Naskah Manuskrip Nagarakretagama". historynote.wordpress.com. hlm. Pupuh 5 dan 6. Diakses tanggal 19 Desember 2021. 
  30. ^ "Silsilah Lengkap Pararaja Majapahit Versi Siwi Sang". siwisang.wordpress.com. Diakses tanggal 17 Juli 2022. 
  31. ^ "Tokoh Majapahit Paling Berpengaruh dalam Prasasti Waringin Pitu 1447 M". kompasiana.com. Diakses tanggal 17 Juli 2022. 

Referensi

sunting
  • Poesponegoro & Notosusanto (ed.). 1990. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka
  • Purwadi. 2007. Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu
  • R.M. Mangkudimedja. 1979. Serat Pararaton Jilid 2. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah
  • Slamet Muljana. 2005. Menuju Puncak Kemegahan (terbitan ulang 1965). Yogyakarta: LKIS
  • Slamet Muljana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara
  • Vlekke, Bernard H.M. Nusantara. Jakarta:KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

Pranala luar

sunting
Didahului oleh:
Kadiri
Kerajaan Hindu-Budha
1222–1292
Diteruskan oleh:
Majapahit