Korupsi di Indonesia

Perkembangan korupsi di Indonesia juga sudut pandang pemberantasan korupsi di Indonesia.
Revisi sejak 17 Desember 2024 19.10 oleh EditorPKY (bicara | kontrib) (Mengembalikan suntingan oleh 114.10.142.205 (bicara) ke revisi terakhir oleh Fazily)
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik. Bagi banyak orang korupsi bukan lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekadar suatu budaya dan kebiasaan. Dalam seluruh penelitian perbandingan korupsi antarnegara, Indonesia selalu menempati posisi paling tinggi. Keadaan ini bisa menyebabkan pemberantasan korupsi di Indonesia semakin ditingkatkan oleh pihak masyarakat sendiri dan juga oleh penegak hukum yang membidangi, karena tidak semua masyarakat Indonesia yang memperdulikan tentang korupsi dikarenakan sebagian masyarakat pun dalam kemiskinan dan keterpurukan, Jumlah penduduk miskin pada maret 2022 sebesar 26,16 juta orang[1].

Tugu Antikorupsi di Pekanbaru, Provinsi Riau. Meski dibangun oleh pemerintah setempat untuk memperingati Hari Antikorupsi, dana pembangunannya justru dikorupsi.

Perkembangan korupsi di Indonesia juga mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun hingga kini pemberantasan korupsi di Indonesia belum mampu atau menunjukkan titik terang melihat peringkat.

Meskipun tidak menjamin korupsi menjadi berkurang, perlu dilaksanakan untuk melakukan revisi secara komprehensif terhadap Undang-Undang tentang Pemberantasan Korupsi[2].

Pemberantasan korupsi di Indonesia

Pemberantasan korupsi di Indonesia dibagi dalam 3 periode, yaitu pada masa Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi.

Orde Lama

Dasar Hukum: KUHP (awal), UU 24 tahun 1960

Antara 1951–1956 isu korupsi mulai diangkat oleh koran lokal seperti Indonesia Raya yang dipandu Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Pemberitaan dugaan korupsi Ruslan Abdulgani menyebabkan koran tersebut kemudian diberedel. Kasus 14 Agustus 1956 ini adalah peristiwa kegagalan pemberantasan korupsi yang pertama di Indonesia, dimana atas intervensi PM Ali Sastroamidjoyo, Ruslan Abdulgani, sang menteri luar negeri, gagal ditangkap oleh Polisi Militer. Sebelumnya Lie Hok Thay mengaku memberikan satu setengah juta rupiah kepada Ruslan Abdulgani, yang diperoleh dari ongkos cetak kartu suara pemilu. Dalam kasus tersebut mantan Menteri Penerangan kabinet Burhanuddin Harahap (kabinet sebelumnya), Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe berhasil ditangkap.

Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar justru kemudian dipenjara tahun 1961 karena dianggap sebagai lawan politik Sukarno.

Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dan asing di Indonesia tahun 1958 dipandang sebagai titik awal berkembangnya korupsi di Indonesia. Upaya Jenderal AH Nasution mencegah kekacauan dengan menempatkan perusahaan-perusahaan hasil nasionalisasi di bawah Penguasa Darurat Militer justru melahirkan korupsi di tubuh TNI.

Jenderal Nasution sempat memimpin tim pemberantasan korupsi pada masa ini, namun kurang berhasil.

Pertamina adalah suatu organisasi yang merupakan lahan korupsi paling subur.

Kolonel Soeharto, panglima Diponegoro saat itu, yang diduga terlibat dalam kasus korupsi gula, diperiksa oleh Mayjen Suprapto, S Parman, MT Haryono, dan Sutoyo dari Markas Besar Angkatan Darat. Sebagai hasilnya, jabatan panglima Diponegoro diganti oleh Letkol Pranoto, Kepala Staffnya. Proses hukum Soeharto saat itu dihentikan oleh Mayjen Gatot Subroto, yang kemudian mengirim Soeharto ke Seskoad di Bandung. Kasus ini membuat DI Panjaitan menolak pencalonan Soeharto menjadi ketua Senat Seskoad[3][4].

Dasar Hukum: UU 3 tahun 1971

Korupsi orde baru dimulai dari penguasaan tentara atas bisnis-bisnis strategis.

Reformasi

Dasar Hukum: UU 31 tahun 1999, UU 20 tahun 2001

Pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini dilakukan oleh beberapa institusi:

  1. Tim Tastipikor (Tindak Pidana Korupsi)
  2. Komisi Pemberantasan Korupsi
  3. Kepolisian Negara Republik Indonesia
  4. Kejaksaan Republik Indonesia
  5. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan[5].

Upaya Penanggulangan Kejahatan Korupsi dengan Hukum Pidana

Upaya Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal dengan Politik kriminal atau criminal policy oleh G. Peter Hoefnagels kebijakan penerapan hukum pidana (criminal law application) (Nawawi Arif : 2008), Secara garis besar upaya penanggulangan kejahatan dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu melalui jalur penal (dengan menggunakan hukum pidana) dan jalur non-penal (diselesaikan di luar hukum pidana dengan sarana-sarana non-penal), upaya penal dengan memanggil atau menggunakan hukum pidana atau dengan menghukum atau memberi pidana atau memberi penderitaan atau nestapa bagi pelaku korupsi, salah satu cara untuk memberantas korupsi adalah dengan membentuk lembaga yang independen yang khusus menangani korupsi, menyediakan sarana bagi masyarakat yang hendak mengkomplain apa yang dilakukan oleh lembaga Pemerintah baik dari eksekutif, legislatif, yudikatif, Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia serta deretan pegawainya dan lain sebagainya, lembaga tersebut harus memberikan edukasi kepada pemerintah dan masyarakat, lembaga independen Ombudsman patut mengembangkan kepedulian serta pengetahuan masyarakat mengenai hak mereka untuk mendapat perlakuan yang baik, jujur dan efisien dari pegawai pemerintah (UNODC : 2004)[6]

Upaya penanggulangan korupsi selain dengan hukum pidana juga dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dengan menetapkan Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi pada tanggal 20 Juli 2018.

"Tapi yang namanya strategi hanya dokumen berdebu jika kita sendiri tidak melaksanakan. Dalam Perpres Stranas Pencegahan Korupsi terkandung semangat agar Indonesia bebas dari korupsi. KPK pun tidak bisa berjalan sendiri."

— Presiden Joko Widodo, Sambutan di dalam acara penyusunan Tim Nasional Pencegahan Korupsi[7]

Faktor Korupsi

Para pelaku korupsi adalah para pegawai dan pejabat pemerintahan yang menempati posisi strategis yang telah mendapatkan kesejahteraan hidup enak, gaji besar, dan semua telah dimilikinya, alasan seorang pelaku kurupsi teori GONE yang dikemukakan oleh penulis Jack Bolangna ialah singkatan dari Greedy (Keserakahan), Opportunity (Kesempatan), Need (Kebutuhan) dan Exposure (Pengungkapan), seseorang yang korupsi pada dasarnya serakah dan tak pernah puas, tidak pernah merasakan cukup dalam diri Koruptor yang serakah, faktor penyebab korupsi meliputi dua paktor yaitu Internal merupakan penyebab korupsi dari diri pribadi, sedangkan faktor Eksternal karena sebab-sebab dari luar [8][9].

Faktor penyebab internal

  1. Keserakahan dan tamak adalah sifat yang membuat seorang selalu tidak merasa cukup atas apa yang dimiliki, selalu ingin lebih, dengan sipat tamak, seorang menjadi berlebihan mencintai harta,
  2. Gaya hidup konsumtif adalah sifat serakah ditambah gaya hidup yang konsumtif menjadi faktor pendorong internal korupsi, gaya hidup konsumtif misalnya barang-barang mewah dan mahal atau mengikuti tren kehidupan perkotaan yang serba glamor,
  3. Moral yang lemah adalah Seseorang dengan moral yang lemah mudah tergoda untuk melakukan korupsi, Aspek lemah moral lemahnya keimanan, kejujuran dan rasa malu melakukan tindakan korupsi[8][10].

Paktor Penyebab Eksternal

  1. Aspek sosial adalah seseorang berpengaruh dalam mendorong terjadinya korupsi, terutama keluarga, bukannya mengingatkan atau memberi hukuman, keluarga malah justru mendukung seseorang korupsi untuk memenuhi keserakahan mereka,
  2. Aspek Politik adalah keyakinan bahwa politik untuk memperoleh keuntungan yang besar menjadi faktor eksternal penyebab korupsi, tujuan politik untuk memperkaya diri pada akhirnya menciptakan money politics, dengan politik uang seseorang bisa memenangkan kontestasi dengan membeli suara membagi bagikan uang menyogok para pemilih melalui tim khusus yang telah dibentuk ditetapkan dan juga dengan anggota-anggota partai-nya,
  3. Aspek hukum adalah hukum sebagai penyebab korupsi bisa dilihat dari dua sisi, dari sisi perundang-undangan karena lemahnya penegakan hukum, koruptor akan mencari celah di undang-undang untuk bisa melakukan aksinya,
  4. Aspek ekonomi adalah sering dianggap sebagai penyebab utama korupsi, di antaranya tingkat pendapatan atau gaji yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan,
  5. Aspek Organisasi politik adalah organisasi tempat koruptor berada, biasanya, organisasi ini memberi andil terjadinya korupsi, karena membuka peluang dan kesempatan, karena adanya teladan integritas dari pemimpin, kultur yang benar, kurang memadai sistem akuntabilitas, atau lemahnya sistem pengendalian manajemen, di dapat dari sumber tepercaya didalam buku pendidikan Antikorupsi oleh Eko Handoyo, organisasi bisa mendapatkan keuntungan dari korupsi para anggotanya yang menjadi birokrat dan bermain menjadi pemain di antara celah-celah peraturan, Partai Politik menggunakan cara ini untuk membiayai organisasi mereka, pencalonan pejabat wilayah dan daerah juga kota menjadi sarana bagi partai politik untuk mencari dana bagi kelancaran roda organisasi, pada akhirnya terjadi money politics (politik uang) dan lingkaran korupsi kembali terjadi hingga Sekarang di tahun 2022 ini[8][10].

Pranala luar

Daftar pustaka

Referensi