Imperialisme media
Imperialisme media adalah suatu proses di mana kepemilikan, struktur, serta distribusi konten suatu media dalam beberapa negara begitu berpengaruh pada negara-negara lain, tanpa adanya perlawanan dari negara-negara yang dipengaruhi. Penguasaan suatu negara terhadap negara lain dalam konteks ini dilakukan dengan menggunakan kekuasaan halus (soft power), bukan hard power dengan mengandalkan kekuatan militer.[1]
Halaman ini sedang dipersiapkan dan dikembangkan sehingga mungkin terjadi perubahan besar. Anda dapat membantu dalam penyuntingan halaman ini. Halaman ini terakhir disunting oleh Mirani Pramitasari (Kontrib • Log) 4 hari 451 menit lalu. Jika Anda melihat halaman ini tidak disunting dalam beberapa hari, mohon hapus templat ini. |
Dominasi atas budaya populer
Negara-negara Barat menguasai media di seluruh dunia, tak terkecuali dengan negara dunia ketiga yang begitu terkesan dengan budaya dari Barat sehingga muncul suatu bentuk peniruan budaya melalui media yang ada. Dengan adanya proses peniruan, di sisi lain, kebudayaan asli dari negara yang bersangkutan menjadi semakin terkikis bahkan mengalami kehancuran secara perlahan.[2]
Adanya dominasi kebudayaan barat atas budaya populer yang disalurkan melalui berbagai kanal media didukung oleh beberapa hal. Pertama, negara-negara Barat memiliki modal untuk menjalankan suatu perusahaan yang bergerak di bidang media. Kedua, negara-negara Barat memiliki keunggulan dalam hal teknologi.[2]
Diskursus
Diskursus tentang imperialisme media semakin menggeliat pada tahun 1970-an, khususnya di negara-negara Amerika Latin melalui para pemikirnya yaitu Antinio Paquali, Luis Ramiro Beltran, Mario Kaplun, F. Rayyes Matta. Sementara itu, di Jerman muncul yang dinamakan Mazhab Frankfurt yang mencetuskan teori kritis terhadap ilmu osial, termasuk juga dlam bidang komunikasi.[3]
Dominasi Barat mencakup berita, budaya populer, bahasa Inggris sebagai bakasa internasional, serta teknologi komunikasi.[4]
Imperialisme media mendasarkan teorinya pada teori makro komunikasi yang lebih mengutamakan arus informasi satu arah.[5]
Melawan imperialisme media
Negara-negara berkembang menunjukkan perlawanan terhadap imperialisme budaya melalui media dengan menciptakan karya-karya yang diharapkan dapat menandingi budaya populer dari negara Barat, contohnya adalah munculnya produksi film Bollywood sebagai tandingan terhadap film-film Hollywood; telenovela yang berasal dari Amerika Latin; film-film laga dari negara-negara Asia Timur seperti Cina, Korea dan Jepang; serta film-film dari Timur Tengah yang selalu mendapat reaksi positif dalam suatu perhelatan acara perfilman dunia.[6]
Bahkan dewasa ini, K-Pop di kalangan anak muda semakin terkenal dan malah ditiru oleh anak-anak muda tersebut. Selain itu juga, kehadiran musik nasyid dari Timur Tengah begitu digandrungi oleh anak-anak muda yang agamis, dan bahkan bisa menular karena adanya efek dari media sosial.[7]
Pengaruh budaya dari negara luar bukan hanya dari aspek budaya populer saja semisal musik, film, tetapi juga dalam hal makanan. Anak-anak muda perkotaan menjadi tidak asing lagi dengan sajian makanan khas Cina, Korea, Timur Tengah.[2]
Referensi
- ^ Malik, Dedy Djamaluddin (Oktober 2014). "GLOBALISASI DAN IMPERIALISME BUDAYA DI INDONESIA". Communication. 5 (2).
- ^ a b c Ardian, Heldi Yunan (Juni 2017). "KOMUNIKASI DALAM PERSPEKTIF IMPERIALISME KEBUDAYAAN". Perspektif Komunikasi. 1 (1). line feed character di
|title=
pada posisi 41 (bantuan) - ^ Malik, Dedy Djamaluddin (Oktober 2014). "GLOBALISASI DAN IMPERIALISME BUDAYA DI INDONESIA". Communication. 5 (2): 4.
- ^ Malik, Dedy Djamaluddin (Oktober 2014). "GLOBALISASI DAN IMPERIALISME BUDAYA DI INDONESIA". Communication. 5 (2): 7.
- ^ Malik, Dedy Djamaluddin (Oktober 2014). "GLOBALISASI DAN IMPERIALISME BUDAYA DI INDONESIA". Communication. 5 (2): 8.
- ^ Malik, Dedy Djamaludin (Oktober 2014). "GLOBALISASI DAN IMPERIALISME BUDAYA DI INDONESIA". Communication. 5 (2): 9.
- ^ Malik, Dedy Djamaludin (Oktober 2014). "GLOBALISASI DAN IMPERIALISME BUDAYA DI INDONESIA". Communication. 5 (2): 13–14.