Sri Aji Kresna Kepakisan
Bagian dari seri mengenai |
---|
Sejarah Indonesia |
Garis waktu |
Portal Indonesia |
Sri Aji Kresna Kepakisan adalah raja yang memerintah Pulau Bali di bawah kekuasaan kerajaan Jawa Majapahit (1293-c. 1527). Beliau adalah putra dari Dang Hyang Kepakisan dan cucu dari Mpu Tantular. Ia diperkirakan memerintah pada pertengahan abad ke-14 tepatnya pada tahun saka 1274 atau 1350 Masehi beberapa sumber menyatakan bahwa beliau dinobatkan sebagai raja bali pada tanggal 4 Oktober 1350 Masehi dan menjadi nenek moyang dari raja-raja Bali dan Klungkung selanjutnya.[1]
Kedatangan dari Majapahit
Menurut sumber yang hampir kontemporer, Kakawin Nagarakretagama, Bali ditaklukkan oleh pasukan Majapahit pada tahun 1343. Dalam tradisi Jawa dan Bali di kemudian hari, penaklukan ini diceritakan kembali dalam berbagai versi sumber-sumber lokal. Babad Dalem, sebuah kronik dari yang diselesai ditulis pada abad ke-18, menceritakan bahwa Bali mengalami kekacauan dan pemberontakan setelah penaklukan Majapahit.[2] Untuk memperbaiki hal ini, Patih (menteri utama) Gajah Mada mengangkat bangsawan Jawa Sri Aji Kresna Kepakisan sebagai penguasa vasal Bali. Sri Aji Kresna Kepakisan adalah cucu seorang Brahmana namun berkat Gajah Mada dirinya diangkat menjadi anggota kasta Ksatria. Menurut legenda setempat, Ibunya adalah makhluk spiritual, sebuah apsara. Kedua kakak laki-lakinya diangkat menjadi penguasa di Blambangan dan Pasuruan di Jawa.
Sri Aji Kresna Kepakisan diceritakan mendarat di pantai Lebih, Gianyar lalu pergi ke utara dan mendirikan sebuah istana atau puri di Samprangan, Gianyar bekas markas militer Majapahit sebelum menyerang kerajaan bali Bedahulu. Bersamanya terdapat beberapa aristokrat dari Jawa, yang menetap di sekitar puri dan membantu penguasa dalam pemerintahannya. Namun, penduduk lama di desa dataran tinggi, Bali Aga, dengan keras menolak pemerintahan dan peraturan yang dibuat oleh para penguasa Jawa ini. Keengganan mereka tersebut hampir membuat sang raja kembali ke Jawa. Mendengar tentang masalah yang menimpa vasalnya, Gajah Mada mengirimkan ekspedisi untuk meredam pemberontakan, Patih Majapahit ini juga menganugrahi keris, Ki Lobar dan segenap Pusaka ke Samprangan untuk melegitimasi kekuasaan Sri Aji Kresna Kepakisan atas pulau Bali. Dengan bantuan dari Jawa, Sri Aji Kresna Kepakisan mengatasi semua perlawanan yang ada baik dengan jalur militer dan pendekatan secara kekeluargaan. Pada saat kematiannya, ia digantikan oleh anak sulungnya yang kemudian bergelar Dalem Samprangan, tetapi oleh petinggi kerajaan dianggap kurang cakap dalam memerintah lalu anak keempat dari Sri Aji Kresna Kepakisan mengambil alih tahta dan pusat istana dipindahkan ke arah tenggara tepatnya ke Gelgel di dekat pantai selatan.[3]
Konteks budaya dan sejarah
Kisah penaklukan Majapahit terhadap Bali dan imigrasi orang Jawa ke pulau tersebut memiliki dampak yang sangat besar terhadap citra diri orang Bali. Cita-cita budaya Bali ditelusuri kembali ke model Jawa, dan Majapahit berdiri sebagai simbol kuat peradaban disana. Latar belakang sejarah pemerintahan Sri Aji Kresna Kepakisan di Bali bersifat kontroversial. Prasasti tembaga, yang konon tertanggal 1471, menyebutkan Ratu Pakisan dari Majapahit yang tampak seperti sosok yang sama. Hal tersebut akan menempatkannya lebih dari satu abad kemudian daripada penaklukan Majapahit, meskipun keaslian prasasti tersebut tetap harus diverifikasi.[4] Juga putra bungsunya Dalem Ketut, yang mendirikan istana Gelgel, seharusnya selamat dari jatuhnya Majapahit di Jawa (awal abad ke-16). Laporan tertua yang menyebutkan asal mula raja-raja Bali, sebuah teks geografis oleh Manuel Godinho de Erédia dari Portugis (tahun 1600), menegaskan bahwa raja-raja ini berasal dari penguasa Blambangan di Jawa Timur.[5]
Lihat pula
Referensi
- ^ Sudiarga, I Made (2000). Kidung Pamancangah (ghora sirikan): Alih Aksara dan Alih Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
- ^ Putra, Tjokorda Raka (2015). Babad dalem: warih ida dalem Sri Aji Kresna Kepakisan. ISBN 9786028953382.
- ^ C.C. Berg (1927). De middeljavaansche historische traditië. Santpoort: Mees. hlm. 103–6.
- ^ I. B. Putu Bangli (2005). Mutiara dalam budaya Hindu Bali. Denpasar: Paramita.
- ^ H. Hägerdal (1995), 'Bali in the Sixteenth and Seventeenth Centuries; Suggestion for a Chronology of the Gelgel Period', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde hlm. 151.
Bacaan lebih lanjut
- C.C. Berg (1927). De middeljavaansche historische traditie. Santpoort.
- A.J. Bernet Kempers (1991). Monumental Bali; Introduction to Balinese Archaeology & Guide to the Monuments. Berkeley & Singapore. ISBN 0-945971-16-8.
- Creese, Helen (1991). "Balinese babad as historical sources; A reinterpretation of the fall of Gelgel". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 147.
- Nordholt, Henk Schulte (1980). "Macht, mensen en middelen; Patronen en dynamiek in de Balische politiek ca. 1700-1840". Doctoraalscriptie. Amsterdam.
- Nordholt, Henk Schulte (1996). The Spell of Power; A History of Balinese Politics. Leiden. ISBN 90-6718-090-4.
- Wiener, Margaret J. (1995). Visible and Invisible Realms; Power, Magic, and Colonial Conquest in Bali. Chicago & London. ISBN 0-226-88580-1.
Didahului oleh: Astasuraratna Bumi Banten |
Raja Bali Abad ke-14? (1337-1343) |
Diteruskan oleh: Dalem Samprangan |