Suku Bali

kelompok etnik pribumi yang berasal dari kepulauan Bali
(Dialihkan dari Orang Bali)

Suku Bali (bahasa Bali: ᬳᬦᬓ᭄‌ᬩᬮᬶ, translit. anak Bali; disebut juga wong Bali atau krama Bali) adalah suku bangsa mayoritas di pulau Bali, yang menggunakan bahasa Bali dan mengikuti budaya Bali. Menurut hasil Sensus Penduduk Indonesia 2010, ada kurang lebih 3,9 juta orang Bali di Indonesia.[1] Sekitar 3,3 juta orang Bali tinggal di Provinsi Bali dan sisanya terdapat di Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Lampung, Bengkulu dan daerah penempatan transmigrasi asal Bali lainnya.[1]

Suku Bali
Templat:Script/Balinese (Anak Bali)
Pakaian adat pernikahan orang Bali.
Daerah dengan populasi signifikan
 Indonesia 3.946.416[1]
Bali3.336.065
Nusa Tenggara Barat119.407
Sulawesi Tengah115.812
Lampung104.810
Sulawesi Tenggara49.411
Sumatera Selatan38.552
Sulawesi Selatan27.330
Jawa Barat20.832
Jawa Timur20.363
DKI Jakarta15.181
Sulawesi Barat14.657
Sulawesi Utara14.347
Kalimantan Selatan11.999
Bahasa
Bahasa Bali dan Bahasa Indonesia
Agama
Mayoritas
95,22% Hindu Bali
Minoritas
 • 3,24% Islam Sunni
 • 1,26% Kristen (Protestan & Katolik)
 • 0,26% Budha
 • 0,02% Lainnya[2]
Kelompok etnik terkait
Suku Sasak/Lombok, Suku Sumbawa, Suku Jawa, Suku Osing, Suku Madura

Asal usul

Asal usul suku Bali terbagi ke dalam tiga periode atau gelombang migrasi:

  1. Gelombang pertama terjadi sebagai akibat persebaran penduduk yang terjadi di Nusantara selama zaman prasejarah;
  2. Gelombang kedua terjadi secara perlahan selama masa perkembangan agama Hindu di Nusantara;
  3. Gelombang ketiga merupakan gelombang terakhir yang berasal dari Jawa, ketika Majapahit runtuh pada abad ke-15—seiring dengan Islamisasi yang terjadi di Jawa—sejumlah rakyat Majapahit memilih untuk melestarikan kebudayaannya di Bali, sehingga membentuk sinkretisme antara kebudayaan Jawa klasik dengan tradisi asli Bali.

Kebudayaan

Para gadis memakai sabuk, baju Bali asli
Para gadis Bali memakai kebaya modern

Kebudayaan Bali terkenal akan seni tari, seni pertujukan, dan seni ukir. Miguel Covarrubias mengamati bahwa setiap orang Bali layak disebut sebagai seniman, sebab ada berbagai aktivitas seni yang dapat mereka lakukan—terlepas dari kesibukannya sebagai petani, pedagang, kuli, sopir, dan sebagainya—mulai dari menari, bermain musik, melukis, memahat, menyanyi, hingga bermain lakon. Dalam suatu desa yang bobrok sekalipun dapat dijumpai sebuah pura yang indah, pemain gamelan andal, dan bahkan aktor berbakat.[3] Bahkan sesajen yang dibuat wanita Bali memiliki sisi artistik pada jalinan potongan daun kelapa dan susunan buah-buahan yang rapi dan menjulang.[4] Menurut Covarrubias, seniman Bali adalah perajin amatir, yang melakukan aktivitas seni sebagai wujud persembahan, dan tidak peduli apakah namanya akan dikenang atau tidak.[5] Seniman Bali juga merupakan peniru yang baik, sehingga ada pura yang didekorasi dengan ukiran menyerupai dewa khas Tionghoa, atau dihiasi relief kendaraan bermotor, yang mereka contoh dari majalah asing.[6]

Gamelan merupakan bentuk seni musik yang vital dalam berbagai acara tradisional masyarakat Bali. Setiap jenis musik disesuaikan dengan acaranya. Musik untuk piodalan (hari jadi) berbeda dengan musik pengiring acara metatah (mengasah gigi), demikian pula pernikahan, ngaben, melasti, dan sebagainya.[7] Gamelan yang beraneka ragam pun disesuaikan dengan berbagai jenis tari yang ada di Bali. Menurut Spies, seni tari membuat utuh kehidupan masyarakat Bali sekaligus menjadi elemen penting dalam serangkaian upacara adat maupun pribadi yang tidak ada habisnya.[8]

Sebagaimana di Jawa, suku Bali juga mengenal pertunjukan wayang, tetapi dengan bentuk wayang yang lebih menyerupai manusia daripada wayang khas Jawa. Suku Bali juga memiliki aspek-aspek unik yang terkait dengan tradisi religius mereka. Kehidupan religius mereka merupakan sinkretisme antara agama Hindu-Buddha dengan tradisi Bali.

Kepercayaan

 
Pura, rumah ibadah umat Hindu Bali.
 
Kegiatan persembahyangan Hindu Bali di suatu desa di Sulawesi Tengah.
 
Kantor sinode Gereja Kristen Protestan Bali di Mengwi Kabupaten Badung.

Sebagian besar suku Bali beragama Hindu. Sebanyak 3,2 juta umat Hindu Indonesia tinggal di Bali,[1] dan sebagian besar menganut kepercayaan Hindu aliran Siwa-Buddha, sehingga berbeda dengan Hindu India.

Para pendeta dari India yang berkelana di Nusantara memperkenalkan sastra Hindu-Buddha kepada suku Bali berabad-abad yang lalu. Masyarakat menerimanya dan mengkombinasikannya dengan mitologi pra-Hindu yang diyakini mereka.[9] Suku Bali yang telah ada sebelum gelombang migrasi ketiga, dikenal sebagai Bali Aga, sebagian besar menganut agama berbeda dari suku Bali pada umumnya. Mereka mempertahankan tradisi animisme.

Eksistensi kepercayaan suku Bali tak lepas dari campur tangan serta dukungan pemerintah kolonial Belanda, beberapa naturalist, elit Bali dan masyarakat Belanda. Pemerintah kolonial melarang misionaris beroperasi di Bali pada 1881. Pada 1924, misi Katolik Roma ke Bali ditolak elite Bali dan pegawai kolonial mendukung hal itu. Selain itu, misionaris Protestan Belanda yang mau masuk ke Bali pada 1931 juga ditentang.[10]

Setelah beberapa kali dilakukan penolakan, pada tanggal 11 November 1931 ketua Christian and Missionary Alliance (CMA), R. A. Affray, membaptiskan 12 orang Bali asli di Yeh Poh, sungai kecil dekat dusun Untal-untal di Desa Dalung. Dari sinilah sebagian suku Bali mulai menganut agama Kristen Protestan dengan gerejanya yaitu Gereja Kristen Protestan Bali (GKPB). Desa Blimbingsari di Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana adalah salah satu desa di mana penduduknya mayoritas suku Bali yang beragama Kristen.[11]

Tata cara penamaan

Suku Bali memiliki cara tersendiri dalam menamai anak-anak mereka. Dengan penamaan yang khas ini, masyarakat Bali dapat dengan mudah mengetahui kasta dan urutan lahir dari seseorang. Tidak jelas sejak kapan tradisi pemberian nama depan ini mulai ada di Bali. Menurut pakar linguistik dari Universitas Udayana, Prof. Dr. I Wayan Jendra, S.U. Nama depan itu pertama kali ditemukan muncul pada abad ke-14, yakni saat raja Gelgel, yang saat itu bergelar "Dalem Ketut Kresna Kepakisan", yang merupakan putra keempat dari "Sri Kresna Kepakisan" yang dinobatkan oleh Mahapatih Majapahit, Gajah Mada, sebagai perpanjangan tangan Majapahit di Bali. "Dalem Ketut Kresna Kepakisan" kemudian dilanjutkan oleh putranya, yakni "Dalem Ketut Ngulesir". Namun, Prof. Jendra belum dapat memastikan apakah tradisi pemberian nama depan itu sebagai pengaruh Majapahit atau bukan. Tetapi, hal ini telah menjadi tradisi di Bali dan hingga akhir abad ke-20, masyarakat Bali pun masih menggunakannya.

Sistem Strata Sosial

Sistem kehidupan masyarakat Bali disebut Wangsa berbeda dengan catur warna di Weda, wangsa yaitu sistem kekeluargaan yang diatur menurut garis keturunan. Meski saat ini tidak lagi diberlakukan secara kaku sebagaimana pada masa lampau, tetapi dalam beberapa hal masih dipertahankan. Misalnya dalam tradisi upacara adat dan perkawinan masih dikenal pembedaan berdasarkan galur keturunan leluhur yang mengarah pada wangsa di masa lalu.

Sistem wangsa ini bermula pada abad XIV saat Kerajaan Bali ditundukkan oleh Majapahit. Pada mulanya wangsa ini dibuat dan dimaksudkan untuk membedakan antara kaum penguasa asal Majapahit dari Jawa yang diberi kuasa memerintah di Bali, dengan masyarakat lokal yang ditaklukkan. Mereka dan keluarganya yang berasal dari Majapahit meski berjumlah minoritas, tetapi memegang penuh semua urusan kehidupan bernegara. Mereka membentuk sendiri strata sosial kelas atas yang berpuncak pada Dinasti Kepakisan, yang berasal dari Majapahit.

Mereka menguasai seluruh Pulau Bali dengan membagi kekuasaan di antara mereka, para panglima dan keturunannya. Para raja, bangsawan, pendeta, pembesar Keraton, punggawa militer, abdi Keraton, beserta keluarga mereka yang berasal dari Jawa (Majapahit) menciptakan 3 kelas teratas untuk kalangan mereka.

  • Untuk kalangan Pendeta dan pemuka agama diberikan kedudukan sebagai Brahmana.
  • Untuk Raja, kaum bangsawan, petinggi kerajaan, dan bala tentaranya diberikan warna Kesatria.
  • Untuk para abdi keraton, ahli-ahli pembuat senjata, para cendikiawan, dsb yang berasal dari Jawa diberikan warna Waisya.
  • Sedangkan untuk masyarakat Bali taklukan yang jumlahnya mayoritas tidak diberikan kedudukan. Mereka semuanya dimasukkan dalam kelas paling bawah di Bali dikenal dengan istilah "Jaba". Hal inipun diberlakukan kepada keturunan keluarga penguasa Bali kuno pra Majapahit dari Dinasti Warmadewa yang melebur dalam masyarakat Jaba setelah kehilangan kekuasaan mereka.

Sistem wangsa ini pada awalnya juga dibuat sebagai alur pembagian profesi yang berhak diturunkan kepada generasi penerusnya dan tidak boleh diambil oleh wangsa lainnya. Selain itu juga berlaku dalam upacara keagamaan sesuai kedudukan wangsa mereka, terkait besar upacara dan jumlah sesajen yang diwajibkan kepada mereka. Dalam praktiknya diberlakukan pula pada perkawinan, di mana wanita yang berasal dari tri wangsa menikahi pria dari jaba akan kehilangan hak wangsanya serta keturunannya. Begitu juga sebaliknya, para istri diberikan hak naik Wangsa dengan upacara adat pada Wangsa suaminya. Wanita yang telah naik Wangsa karena perkawinan ini kemudian disebut Jero. Seluruh keturunan sah mereka berhak menyandang wangsa yang sama dengan ayahnya sesuai aturan Paternalisme.

Sistem wangsa ini masih kuat dipertahankan dalam sistem penamaan masyarakat Bali. Mereka memberikan awalan nama yang menunjukkan wangsa keluarga mereka.[12] [13]

Galeri

Catatan kaki

  1. ^ a b c d "Kewarganegaraan Suku Bangsa, Agama, Bahasa 2010" (PDF). demografi.bps.go.id. Badan Pusat Statistik. 2010. hlm. 23–41. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 12 Juli 2017. Diakses tanggal 23 Februari 2022. 
  2. ^ Aris Ananta; Evi Nurvidya Arifin; M Sairi Hasbullah; Nur Budi Handayani; Agus Pramono (2015). Demography of Indonesia's Ethnicity. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 273. 
  3. ^ Vickers 2012, hlm. 293.
  4. ^ Vickers 2012, hlm. 294.
  5. ^ Vickers 2012, hlm. 296.
  6. ^ Vickers 2012, hlm. 298.
  7. ^ Spies 1938, hlm. 6–10.
  8. ^ de Zoete 1938, hlm. 6–10.
  9. ^ Steve Lansing, Three Worlds of Bali. Praeger, 1983.
  10. ^ Hussein Abdulsalam, Sejarah Hindu Bali: Upaya Menuntut Pengakuan dari Negara, diakses tanggal 16 Juni 2019 
  11. ^ "Desa Blimbingsari, Wisata Religi yang Padukan Gereja dengan Sentuhan Budaya Bali". www.jawaban.com. Diakses tanggal 23 Februari 2022. 
  12. ^ Sadnyini, Ida Ayu, CASTE SYSTEM OF HINDU COMMUNITY IN BALI: HISTORICAL JURIDICAL PERSPECTIVE (PDF), diakses tanggal 2019-06-16 
  13. ^ Sejarah Adanya Kasta di Bali, diakses tanggal 16 Juni 2019 

Daftar pustaka

  • Vickers, Adrian (2012), Bali Tempo Doeloe, Jakarta: Komunitas Bambu, ISBN 978-602-9402-07-0 
  • de Zoete, Beryl; Spies, Walter (1938), Dance and Drama in Bali, London: Faber and Faber Ltd.