Na (aksara Bali)
Na kojong atau Na adalah salah satu aksara wianjana (huruf konsonan) dalam sistem penulisan aksara Bali, yang melambangkan bunyi /n/. Jika dialihaksarakan menjadi huruf Latin, maka aksara ini ditulis "Na".[1][2] Aksara ini termasuk dalam kelompok Dantya (labials),[2] yaitu aksara yang melambangkan bunyi yang dihasilkan dengan melekatkan lidah ke lengkung kaki gigi bagian atas.
Na | |
Aksara Jawa | Aksara Bali |
---|---|
Huruf Latin | Na |
Fonem | [na] |
Warga aksara | dantya |
Pasangan (nglegena) | |
Gantungan |
Fonem
Na kojong atau Na diucapkan seperti huruf "n" pada kata: "namun" (bahasa Indonesia), nāraka (bahasa Sanskerta), napi (bahasa Bali), nib (bahasa Inggris). Bunyi "n" tersebut dihasilkan dengan cara melekatkan lidah ke lengkung kaki gigi bagian atas. Maka dari itu, berdasarkan dasar pengucapannya, Na termasuk warga aksara Dentya (dentals). Karena Na termasuk bunyi nasal/sengau, maka tidak ada aksara mahaprana (hembusan keras) untuk Na, demikian pula Ma dan kelompok huruf konsonan nasal lainnya.
Penggunaan
Dantya (gigi) |
---|
Murdhanya (tarik-belakang) |
Talawya (langit-langit) |
Penggunaan aksara Na kojong atau Na sama dengan penggunaan Na (Dewanagari: न) dalam abjad bahasa Sanskerta.[1] Dalam sistem penulisan dengan aksara Bali, Na digunakan pada kata-kata yang mengandung bunyi /n/, baik dari bahasa Bali, maupun bahasa non-Bali. Selama Na kojong tidak dibubuhi oleh pangangge suara, maka ia dibaca "na" (lafal: /nə/ atau /na/, tergantung kata).
Apabila dalam suatu kata terkandung bunyi /n/ yang menyusul bunyi /r/ (contohnya: "warna", "purna", "sirna", dsb), maka apabila disalin menjadi aksara Bali, huruf N pada kata tersebut patut ditulis dengan Na rambat, bukan Na kojong.[3] Hal ini dianjurkan karena penulisan kata-kata dengan menggunakan aksara Bali harus memperhatikan daerah artikulasi. Menurut aturan tradisional tentang aksara Bali, posisi lidah saat mengucapkan bunyi /r/ adalah murdhanya (langit-langit keras). Sehingga apabila bunyi /r/ disusul bunyi /n/ (contohnya huruf N pada kata "warna") maka, bunyi /n/ (dantya) berubah menjadi bunyi /ɳ/ (murdhanya).
Apabila dalam suatu kata terkandung bunyi /n/ (konsonan dental/warga dantya) yang disusul oleh bunyi /c/ atau /ɟ/ (konsonan palatal/warga talawya), maka bunyi /n/ tersebut berubah menjadi bunyi /ɲ/ (konsonan nasal langit-langit). Contohnya: "ranjang", "pancing", "panjang", "manja", dsb. Dalam aksara Bali, konsonan nasal langit-langit dilambangkan dengan huruf Nya (huruf Latin: Ñ). Maka dari itu, apabila dalam suatu kata ada huruf N yang diikuti oleh huruf C maupun J, bila disalin menjadi aksara Bali, huruf N tersebut patut ditulis dengan Nya, bukan Na kojong.[4]
Apabila dalam suatu kata ada bunyi /n/ yang diikuti oleh /ʈ/ maupun /ɖ/ (konsonan retrofleks/warga murdhanya), maka bunyi /n/ (konsonan gigi) tersebut akan berubah menjadi /ɳ/ (konsonan tarik belakang). Maka dari itu, apabila dalam suatu kata ada huruf Na kojong yang dilekati oleh gantungan Ta latik maupun Da madu, huruf Na kojong tersebut patut diganti dengan Na rambat.[5]
Lihat pula
Catatan kaki
Referensi
- Tinggen, I Nengah. 1993. Pedoman Perubahan Ejaan Bahasa Bali dengan Huruf Latin dan Huruf Bali. Singaraja: UD. Rikha.
- Surada, I Made. 2007. Kamus Sanskerta-Indonesia. Surabaya: Penerbit Paramitha.
- Simpen, I Wayan. Pasang Aksara Bali. Diterbitkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah Tingkat I Bali.