Kultur organisasi adalah sebuah sistem makna bersama yang dianut oleh para anggota yang membedakan suatu organisasi dari organisasi-organisasi lainnya[1]. Sistem makna bersama ini adalah sekumpulan karakteristik kunci yang dijunjung tinggi oleh organisasi[2].

Kultur organisasi sebagai istilah deskriptif

Kultur organisasi berkaitan dengan bagaimana karyawan memahami karakteristik kultur suatu organisasi, bukan dengan apakah mereka menyukai karakteristik itu atau tidak[2]. Kultur organisasi adalah suatu sikap deskriptif, bukan seperti kepuasan kerja yang lebih bersifat evaluatif[2]. Penelitian mengenai kultur organisasi berupaya mengukur bagaimana karyawan memandang organisasi mereka: Apakah mendorong kerja tim? Apakah menghargai inovasi? Apakah menekan inisiatif? Sebaliknya, kepuasan kerja berusaha mengukur respons afektif terhadap lingkungan kerja, seperti bagaimana karyawan merasakan ekspektasi organisasi, praktik-praktik imbalan, dan sebagainya[2].

Karakteristik kultur organisasi

Penelitian menunjukkan bahwa ada tujuh karakteristik utama yang, secara keseluruhan, merupakan hakikat kultur organisasi[3].

  • Inovasi dan keberanian mengambil risiko. Sejauh mana karyawan didorong untuk bersikap inovatif dan berani mengambil risiko.
  • Perhatian pada hal-hal rinci. Sejauh mana karyawan diharapkan menjalankan presisi, analisis, d perhatian pada hal-hal detail.
  • Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen berfokus lebih pada hasil ketimbang pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut.
  • Orientasi orang. Sejauh mana keputusan-keputusan manajemen mempertimbangkan efek dari hasil tersebut atas orang yang ada di dalam organisasi.
  • Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan-kegiatan kerja di organisasi pada tim ketimbang pada indvidu-individu.
  • Keagresifan. Sejauh mana orang bersikap agresif dan kompetitif ketimbang santai.
  • Stabilitas. Sejauh mana kegiatan-kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo dalam perbandingannya dengan pertumbuhan.

Nilai dominan dan subkultur organisasi

Kultur organisasi mewakili sebuah persepsi yang sama dari para anggota organisasi atau dengan kata lain, kultur adalah sebuah sistem makna bersama[4] Karena itu, kita bisa berharap bahwa individu-individu yang memiliki latar belakang yang berbeda atau berada di tingkatan yang tidak sama dalam organisasi akan memahami kultur organisasi dnegan pengertian yang serupa[4].

Sebagian besar organisasi memiliki kultur dominan dan banyak subkultur[5]. Sebuah kultur dominan mengungkapkan nilai-nilai inti yang dimiliki bersama oleh mayoritas anggota organisasi[5]. Ketika berbicara tentang kultur sebuah organisasi, kita merujuk pada kultur dominannya, jadi inilah pandangan makro terhadap kultur yang memberikan kepribadian tersendiri dalam organisasi[6]. Subkultur cenderung berkembang di dalam organisasi besar untuk merefleksikan masalah, situasi, atau pengalaman yang sama yang dihadapi para anggota[5]. Subkultur mencakup nilai-nilai inti dari kultur dominan ditambah nilai-nilai tambahan yang unik[5].

Jika organisasi tidak memiliki kultur dominan dan hanya tersusun atas banyak subkultur, nilai kultur organisasi sebagai sebuah variabel independen akan berkurang secara signifikan karena tidak akan ada keseragaman penafsiran mengenai apa yang merupakan perilaku semestinya dan perilaku yang tidak semestinya[2]. Aspek "makna bersama" dari kultur inilah yang menjadikannya sebagai alat potensial untuk menuntun dan membentuk perilaku[2]. Itulah yang memungkinkan kita mengatakan, misalnya, bahwa kultur Microsoft menghargai keagresifan dan pengambilan risiko dan selanjutnya menggunakan informasi tersebut untuk lebih memahami perilaku dari para eksekutif dan karyawan Microsoft[7]. Tetapi, kita tidak dapat mengabaikan kenyataan bahwa banyak organisasi juga memiliki berbagai subkultur yang bisa mempengaruhi perilaku anggotanya[2].

Pengaruh kultur

Fungsi-fungsi kultur

Kultur memiliki sejumlah fungsi dalam organisasi. Pertama, hal ini berperan sebagai penentu batas-batas; artinya, kultur menciptakan perbedaan atau distingsi antara satu organisasi dengan organisasi lainnya[2]. Kedua, hal ini memuat rasa identitas suatu organisasi[2]. Ketiga, kultur memfasilitasi lahirnya komitmen terhadap sesuatu yang lebih besar daripada kepentingan individu[2]. Keempat, kultur meningkatkan stabilitas sistem sosial karena kultur adalah perekat sosial yang membantu menyatukan organisasi denan cara menyediakan standar mengenai apa yang sebaiknya dikatakan dan dilakukan karyawan[2]. Terakhir, kultur bertindak sebagai mekanisme sense-making serta kendali yang menuntun dan membentuk sikap dan perilaku karyawan[2]. Fungsi terakhir inilah yang paling menarik<ref>. Sebagaimana dijelaskan oleh kutipan berikut, kultur mendefinisikan aturan main


Referensi

  1. ^ Schein, E. H. (Inggris)Organizational Culture and Leadership, San Fransisco: Jossey-Bass, 1985. hal. 168
  2. ^ a b c d e f g h i j k l Robbins, Stephen P.; Judge, Timothy A. (2008). Perilaku Organisasi Buku 2, Jakarta: Salemba Empat. Hal.256-266
  3. ^ O'Reilly; Chatman, J; Caldwell, D. F. (Inggris)"People and Organizational Culture: A Profile Comparison Approach to Assessing Person-Organization Fit," Academy of Management Journal, hal. 487-516.
  4. ^ a b Meyerson, D;Martin, J. "(Inggris)"Cultural Change: An Integration of Three Different Views," Journal of Management Studies, 1987, hal. 623-647.
  5. ^ a b c d Yukl, G. (Inggris)Leadership in Organization, Saddle River: Prentice Hall, 2002, hal. 141-174.
  6. ^ Roberts, J. L. (Inggris)"Striking a Hot Match," Newsweek, 24 Januari 2005, hal. 54-55.
  7. ^ Hamm, S. (Inggris)"No Letup-and No Apologies," Business Week, 26 Oktober 1998, hal. 58-64.