Muhammad, nabi dan rasul utama agama Islam, dikenal juga dalam sejarah atas kepemimpinan dan peran diplomatiknya atas komunitas Islam saat itu. Ia membangun komunikasi dengan para pemimpin suku maupun pemimpin negara lain dengan mengirim utusan yang membawa surat darinya,[1][2] atau bahkan mengunjunginya (kunjungann ke Ta'if).[3] Korespondensi melalui surat antara lain dilakukannya dengan Heraclius (kaisar Romawi ), Raja Negus (penguasa Ethiopia) dan Khusrau (penguasa Persia).

Saat hijrah ke Madinah, ia mengubah situasi politik dan sosial yang selama puluhan tahun dipenuhi oleh persaingan antar suku yang didominasi suku Aus dan Khazraj.[4] Salah satu cara yang ia gunakan untuk mencapai kondisi ini adalah penandatangan perjanjian kesepakatan yang dikenal dengan nama Piagam Madinah,[1] sebuah dokumen yang berisikan peraturan-peraturan mengenai kehidupan sosial antar semua elemen masyarakat di sana. Hasilnya adalah terbentuknya sebuah komunitas yang bersatu di Madinah dibawah pimpinannya.[5][6]

Hijrah pertama ke Abbisinia (615)

Ajaran Muhammad kepada publik Mekkah mendapat rintangan yang sangat berat dari para pemuka Quraish di sana. Walaupun Muhammad sendiri dalam kondisi yang lebih aman karena berada dalam perlindungan pamannya (Abu Thalib, pemimpin Bani Hasyim), namun para pengikutnya sendiri tidak lepas dari gangguan. Beberapa orang pengikutnya disiksa, dipenjarakan atau dibiarkan kelaparan.[7] Oleh karena itu ia kemudian berkeputusan mengirimkan 15 muslim untuk melakukan emigrasi ke Abbisinia (Ethiopia saat ini), untuk mencari suaka di bawah pemimpin kristen di sana (Raja Negus).[8]. Emigrasi ini walaupun awalnya dimaksudkan untuk menghindari siksaan suku Quraish, kemudian juga membuka jalur ekonomi antara kedua pihak [5] [9]

Para pemuka Quraish, demi mendengar usaha tersebut, mengirimkan sekelompok orang yang dipimpin oleh Amr bin Ash dan Abdullah bin Abu Rabia untuk mengejar pada muslim. Namun, mereka tidak berhasil dalam pengejarannya karena para muslim berhasil mencapai wilayah yang aman. Mereka kemudian menghadap Raja Negus dan berusaha membujuknya untuk mengembalikan para migran muslim tersebut. Kemudian pada sebuah pertemuan dengan Negus dan para Pendeta Ethiopia, Ja'far bin Abi Thalib mewakili para muslim meyampaikan apa yang diajarkan Muhammad dan mengutip ayat Al Qur'an mengenai Islam dan Kristen, termasuk beberapa ayat dari surat Maryam.[10] Dalam hadits Ja'far dikatakan berucap :

Wahai Raja! Kami tenggelam dalam kebodohan dan barbarisme; kami menyembah berhala dan hidup jauh dari kesucian, kami memakan bangkai, berbicara mengenai hal-hal yang sangat buruk, mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, keramahtamahan dan kehidupan bertetangga; kami tidak mengenal hukum melainkan siapa yang kuatlah yang benar; kemudian Allah membangkitkan seorang manusia diantara kami, yang kelahiran, kejujuran dan kesuciannya kami sadari; kemudian ia menyeru kepada keesaan tuhan dan mengajarkan untuk tidak menyekutukan apapun denganNya. Melarang kami menyembah berhala; menyuruh kami berkata jujur, menjadi orang yang dapat dipercaya, menunjukkan belas kasihan, menghormati hak tetangga dan keluarga kami; Melarang kami membicarakan yang buruk tentang wanita, memakan bagian anak yatim; Menyuruh kami menjauhkan diri dari orang-orang jahat, tidak berlaku jahat; Menyuruh melakukan shalat, membayar zakat dan berpuasa Kami mempercayainya, menerima ajarannya dan perintahnya untuk menyembah Allah dan tidak menyekutukanNya dengan apapun, kami melakukan apa yang ia ijinkan dan menjauhi apa yang ia larang. Dan karena ini, orang-orang dari suku kami telah bangkit melawan kami, menyiksa kami agar kami kembali menyembah berhala dan melakukan hal-hal buruk lainnya. Mereka menyiksa dan melukai kami, dan kami sama sekali tidak mendapatkan keamanan berada diantara mereka, dan kami datang ke negaramu berharap kau akan melindungi kami dari mereka[11][12]

Raja Negus, tertarik dengan perkataan ini kemudian mengijinkan para migran tersebut untuk tinggal, dan mengirim para duta Quraish pulang.[10] Diperkirakan bahwa Negus kemudian masuk Islam.[13] Setelah membangun hubungan baik dengan Negus, Muhammad kemudian mengirim kelompok lainnya untuk hijrah ke Abbisinia sehingga total migram muslim ditempat itu mencapai sekitar 100 orang.[8]

Hijrah ke Ta'if

Ikrar Aqabah

Reformasi Madinah

Kehidupan sosial di Madinah sebelum hijrah

Konstitusi Madinah

Efek

Perjanjian Hudaibiyah

Korespondensi dengan pemimpin lain

Surat untuk Heraklius

Surat untuk Negus

Surat untuk Khusrau

Lain-lain

Lihat pula

Catatan kaki

  1. ^ al-Mubarakpuri (2002) p. 412
  2. ^ Irfan Shahid, Arabic literature to the end of the Umayyad period, Journal of the American Oriental Society, Vol 106, No. 3, p.531
  3. ^ Watt (1974) p. 81
  4. ^ Watt. al-Aws; Encyclopaedia of Islam
  5. ^ a b Buhl; Welch. Muhammad; Encyclopaedia of Islam
  6. ^ Watt (1974) pp. 93—96
  7. ^ Forward (1998) p. 14
  8. ^ a b Forward (1998) p. 15
  9. ^ Watt (1974) pp. 67—68
  10. ^ a b van Donzel. al-Nadjāshī; Encyclopaedia of Islam
  11. ^ al-Mubarakpuri (2002) p. 121
  12. ^ Ibn Hisham, as-Seerat an-Nabawiyyah, Vol. I, pp. 334—338
  13. ^ Vaglieri. Dja'far b. Abī Tālib; Encyclopaedia of Islam

Pranala luar