Meulaboh
Meulaboh adalah ibu kota Kabupaten Aceh Barat, Aceh, Indonesia. Kota ini terletak sekitar 175 km tenggara Kota Banda Aceh di Pulau Sumatera. Meulaboh meliputi Kecamatan Johan Pahlawan, sebagian Kaway XVI dan Kecamatan Meureubo. Meulaboh adalah kota kelahiran Pahlawan Nasional Teuku Umar Johan Pahlawan. Meulaboh merupakan kota terbesar di pesisir barat-selatan Aceh dan salah satu area terparah akibat bencana tsunami yang dipicu oleh gempa bumi Samudra Hindia 2004. Pekerjaan sebagian besar penduduknya mencerminkan kehidupan perkotaan, yakni perdagangan dan jasa.
Meulaboh | |
---|---|
Negara | Indonesia |
Provinsi | Aceh |
Kabupaten | Aceh Barat |
Sejarah
Meulaboh dahulu dikenal sebagai Negeri Pasi Karam.[1] Nama tersebut kemungkinan ada kaitannya dengan peristiwa terjadinya tsunami di Kota Meulaboh pada masa lalu, yang pada tanggal 26 Desember 2004 terjadi kembali.
Catatan sejarah menunjukan bahwa Meulaboh sudah ada sejak 4 abad yang silam, yaitu pada masa Sultan Sultan Saidil Mukamil (1588-1604) naik tahta. Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636), negeri itu ditambah pembangunannya. Pada waktu itu mulai dibuka perkebunan merica, tapi negeri ini tidak begitu ramai karena belum dapat menandingi Negeri Singkil yang banyak disinggahi kapal dagang untuk memuat kemenyan dan kapur barus. Lalu pada masa pemerintahan Sultan Djamalul Alam, Negeri Pasi Karam kembali ditambah pembangunannya dengan memperluas pembukaan kebun merica. Untuk mengelola kebun-kebun itu didatangkan orang-orang dari Pidie dan Aceh Besar.
Dalam bukunya, HM.Zainuddin mengatakan bahwa nama Kota Meulaboh berasal dari pemberian orang-orang Minang. Menurutnya, ketika orang Minang tiba di Teluk Pasi Karam, kaum pendatang itu sepakat untuk berlabuh disikolah kito berlaboh, kata mereka. Menurut pendapat versi ini, semenjak itulah Negeri Pasi Karam lambat laun dikenal dengan nama Meulaboh yaitu dikait-kaitkan dengan kisah pendaratan pendatang dari Minangkabau tersebut.
Pendapat lain mengatakan bahwa Meulaboh telah dikenal sejak abad ke XV, sementara para Datuk yang hijrah ke Meulaboh baru tiba pada abad ke XVIII, faktanya ada jarak waktu yang sangat jauh disini. Pendapat lain mengatakan, kata "Meulaboh" itu berasal dari bahasa Aceh yang umum digunakan oleh suku Aceh setempat.
Secara harfiah, Kata Meulaboh berasal dari kata "laboh", yang menurut Kamus Aceh-Indonesia terbitan Pusat Pembinaan Departemen Pendidikan, Lembaga Pengembangan dan Bahasa dan Kebudayaan Tahun 1985 yang disusun oleh Aboe Bakar dkk dijelaskan bahwa kata Laboh dalam bahasa Aceh artinya (verb): membuang, melemparkan, menjatuhkan, jatuh, turun, bergantung rendah: "pat ji Laboh pukat?" Di manakah mereka berpukat? "pakon laboh that tangui ija? Tapeumanyang bacut!" Mengapa Anda memakai kain rendah sekali?. Tinggikanlah sedikit. "bak jiplueng-plueng ka laboh di aneuk nyan", Ketika berlari-lari, jatuhlan anak itu. Meulaboh; teulaboh: dibuang, diturunkan, meulaboh; teulaboh saoh: Sauh sudah di buang, teungoh ji meulaboh: mereka sedang berlabuh.
Pendapat bahwa asal muasal penamaan Kota Meulaboh oleh orang Minang itu perlu dipertanyakan lagi, mengingat Kota Meulaboh sendiri telah ada sejak 402 tahun lalu, sedangkan Perang Paderi baru terjadi pada abad XVIII. Disamping itu, sebutan Meulaboh juga terdapat pada banyak tempat di Aceh Barat. Ada Babah Meulaboh, Tanjong Meulaboh, Meulaboh Dua (ini malah di Nagan Raya) dan Krueng Meulaboh. Nama itu sama umumnya dengan penggunaan kata "padang" pada kampung atau tempat-tempat di Aceh, karena dalam bahasa Aceh sendiri, kata "padang" dapat diartikan sebagai tempat atau tanah luas/lapang; misalnya: Kuta Padang, Padang Panyang, Padang Sikabu, Blang Padang, Padang Tiji dan lain-lain. Berdasarkan fakta tersebut, kisah pendaratan warga Minang di Pasi Karam belum dapat dijadikan bukti konkrit bahwa nama itu diberi oleh orang Minang.
Kedatangan para Datuk itu benar adanya, namun ada pendapat yang menyebutkan bahwa mereka itu orang Aceh yang didatangkan kesana pada masa Sultan Iskandar Muda, yaitu ketika Aceh menguasai pesisir pantai barat Sumatera Barat, tidak sampai ke pedalaman pusat Kerajaan Pagaruyung. Para petinggi Aceh di pesisir barat itu menjadi pemangku adat dan pemerintahan. Namun peran mereka tereduksi akibat adanya reformasi yang dilakukan kaum paderi yang terpengaruh paham Wahabi di Arab Saudi. Tercatat tiga orang ulama yang pulang dari mengikuti pendidikan di Arab. Mereka adalah Haji Piobang, Haji Miskin dan Haji Sumanik. Ajaran pembaruan Islam yang dibawa tiga orang haji ini, membuat gundah masyarakat Minangkabau yang waktu itu beraliran Sunni. Karena terdesak oleh kaum paderi, para datuk itu ingin pulang kampung (kembali ke Aceh) dan sebagian lagi tidak.
Namun terdapat beberapa kelemahan pada pendapat ini, yaitu apabila orang-orang tersebut adalah orang Aceh, kenapa mereka disebut Aneuk Jamee (Anak Tamu) setelah sampai di Aceh?, dan kenapa mereka adanya di Meulaboh dan beberapa tempat di pesisir barat Aceh?. Kalau memang mereka orang-orang pemerintahan Aceh tentulah mereka punya kampung halaman asli, dan tentu mereka akan kembali kesana.
Yang kedua, penguasaan Aceh hanya di pesisir pantai ketika Pagaruyung dalam keadaan lemah, dan tidak pernah sampai ke pedalaman Minangkabau. Sedangkan para datuk dan rombongannya itu berasal dari pedalaman, yaitu Rawa atau Rao, Pasaman, Agam dan Sumpu atau Sumpu, Tanah Datar. Orang-orang yang tidak setuju dengan Kaum Padri banyak yang meninggalkan kampung halamannya untuk menghindari perang. Mereka tidak hanya ke utara (pantai barat Sumatera) tapi juga ada yang ke Semenanjung Malaya dan berbagai wilayah lainnya.
Setelah menetap di wilayah baru, para Datuk dan rombongannya itu hidup berbaur dengan masyarakat setempat, bahkan ada yang menjadi pemimpin, di antaranya: Datuk Machdum Sakti dari Rawa, Datuk Raja Agam dari Luhak Agam dan Datuk Raja Alam Song Song Buluh dari Sumpu.
Mereka menebas hutan dan mendirikan pemukiman yang menjadi tiga daerah. Datuk Machdum Sakti membuka negeri di Mereubo, kemudian pindah kearah Woyla, Datuk Raja Agam di Ranto Panyang dan Datuk Raja Alam Song Song Buluh di Ujong Kala yang kemudian menikah dengan anak salah seorang yang berpengaruh di sana.
Menurut H.M Zainuddin, ketiga Datuk utama tersebut juga memerintahkan warganya untuk membuka ladang, sehingga kehidupan mereka jadi makmur. Ketiga Datuk itu pun kemudian sepakat untuk menghadap Sultan Mahmudsyah (1830-1839) untuk memperkenalkan diri.
Ketika menghadap Sultan, masing-masing Datuk membawakan satu botol mas urai sebagai buah tangan. Mereka meminta kepada raja Aceh agar memberikan batas-batas negeri mereka. Permintaan itu dikabulkan, Raja Alam Song Song Buluh kemudian diangkat menjadi Uleebalang Meulaboh dengan ketentuan wajib mengantar upeti tiap tahun kepada bendahara kerajaan.
Para Datuk itu pun setiap tahun mengantar upeti untuk Sultan Aceh, tapi lama kelamaan mereka merasa keberatan untuk menyetor langsung ke kerajaan, karena itu mereka meminta kepada Sultan Aceh yang baru Sultan Ali Iskandar Syah (1829-1841) untuk menempatkan satu wakil Sultan di Meulaboh sebagai penerima upeti. Permintaan ketiga Datuk itu dikabulkan oleh Sultan, dikirimlah ke sama Teuku Tjiek Lila Perkasa, Wazir Sultan Aceh untuk pemerintahan dan menerima upeti-upeti dari Uleebalang Meulaboh.
Para Datuk itu merasa sangat senang dengan kedatangan utusan Sultan yang ditempatkan sebagai wakilnya di Meulaboh itu. Mereka pun kemudian kembali meminta pada Sultan Aceh untuk mengirim satu wakil Sultan yang khusus mengurus masalah perkara adat dan pelanggaran dalam negeri. Permintaan itu juga dikabulkan, Sultan Aceh mengirim kesana Penghulu Sidik Lila Digahara yang menyidik segala hal yang berkaitan dengan pelanggaran undang-undang negeri.
Permintaan itu terus berlanjut. Kepada Sultan Aceh para Datuk itu meminta agar dikirimkan seorang ulama untuk mengatur persoalan nikah, pasahah dan hukum Syariat. Maka dikirimlah kesana oleh Sultan Aceh Teuku Tjut Din, seorang ulama yang bergelar Almuktasim-billah untuk menjadi kadhi Sultan Aceh di Meulaboh, keturunan dari Teuku Tjut Din ini adalah H. Teuku Alaidinsyah atau H. Tito dan Teuku H. A. Dade
Kemudian Meulaboh masuk dalam Federasi Kaway XVI karena fedrasi itu dibentuk oleh enam belas Uleebalang, yaitu Uleebalang Tanjong, Ujong Kala, Seunagan, Teuripa, Woyla, Peureumbeu, Gunoeng Meuh, Kuala Meureuboe, Ranto Panyang, Reudeub, Lango Tangkadeuen, Keuntjo, Gume/Mugo, Tadu, serta Seuneu’am, yang diketuai oleh Ulee Balang Ujong Kalak.
Silsilah Raja Meulaboh
Raja-raja yang pernah bertahta di kehulu-balangan Kaway XVI hanya dapat dilacak dari T. Tjik Pho Rahman, yang kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama T.Tjik Masaid, yang kemudian diganti oleh anaknya lagi yang bernama T.Tjik Ali dan digantikan anaknya oleh T.Tjik Abah (sementara) dan kemudian diganti oleh T.Tjik Manso yang memiliki tiga orang anak yang tertua menjadi Raja Meulaboh bernama T.Tjik Raja Nagor yang pada tahun 1913 meninggal dunia karena diracun, dan kemudian digantikan oleh adiknya yang bernama Teuku Tjik Ali Akbar, sementara anak T.Tjik Raja Nagor yang bernama Teuku Raja Neh, masih kecil.
Saat Teuku Raja Neh (ayah dari H.T.Rosman. mantan Bupati Aceh Barat) anak dari T. Tjik Raja Nagor besar ia menuntut agar kerajaan dikembalikan kepadanya, namun T.Tjik Ali Akbar yang dekat dengan Belanda malah mengfitnah T. Raja Neh sakit gila, sehingga menyebabkan T Raja Neh dibuang ke Sabang.
Pada tahun 1942 Jepang masuk ke Meulaboh, T.Tjiek Ali Akbar dibunuh oleh Jepang bersama dengan Teuku Ben, Keujreun Polem dan pada tahun 1978, mayatnya baru ditemukan di bekas Tangsi Belanda atau sekarang di Asrama tentara Desa Suak Indrapuri. Selanjutnya Meulaboh diperintah para Wedana dan para Bupati lalu pecah menjadi Aceh Selatan, Simeulue, Nagan Raya, Aceh Jaya.
Pemekaran Daerah
Kota Meulaboh merupakan ibukota Kabupaten Aceh Barat yang akan dinaikkan menjadi kotamadya. Kecamatan yang mungkin bergabung, meliputi:
Referensi
- ^ Zainuddin, H.M.; Tarik Atjeh dan Nusantara