Kereta api Bima

layanan kereta api di Indonesia

Kereta api Bima adalah kereta api kelas eksekutif satwa sekelas argo yang dioperasikan PT Kereta Api Indonesia (Persero) di Pulau Jawa dengan jurusan Stasiun Gambir (GMR) - Stasiun Surabaya Gubeng (SGU) dan Stasiun Surabaya Gubeng (SGU) - Stasiun Malang (ML) dan sebaliknya dengan melewati jalur selatan. Meskipun kelas satwa, KA Bima adalah KA Eksekutif sekelas Argo dan menggunakan kereta Argo, dalam hal ini adalah KA eks-Argo Bromo (K1 0 95 xx JAKK).

Kereta Api Bima
Berkas:Plat Daop 1 Bima.PNG
Berkas:KA 33 Bima.jpg
KA 33 Biru Malam Ekspres
Ikhtisar
JenisEksekutif Satwa
SistemKereta api cepat
StatusBeroperasi
LokasiDaop 8 Surabaya
TerminusJakarta Gambir
Surabaya Gubeng dan Malang Kotabaru
Stasiun12
Layanan2
Operasi
Dibuka1 Juni 1967 (gerbong tidur), 9 Juni 1990 (kelas Eksekutif), 1 Agustus 2002 (Eksekutif Argo)
PemilikPT Kereta Api Indonesia
OperatorDaerah Operasi 8 Surabaya
DepoSDT(Sidotopo)
RangkaianCC201, CC203, CC204, dan CC206
Data teknis
Panjang lintas981 km
Lebar sepur1.067 mm
Kecepatan operasi60 s.d. 195 km/jam
Jumlah rute41-44
Peta rute
Kereta api Bima/rute

Kereta api Bima pertama kali diluncurkan pada tanggal 1 Juni 1967[1]; mengawali sejarah pengoperasian kereta api berpengatur suhu ruangan/ Air Conditioner bersistem Modern di Indonesia. KA ini melayani perjalanan koridor Jakarta - Surabaya lewat Purwokerto, Yogyakarta, Solo, dan Madiun.

Asal-usul nama

Nama Bima merupakan singkatan dari Biru Malam, karena, pada awal peluncurannya, rangkaian kereta api ini bercat biru dan beroperasi pada malam hari. Selain itu, kata Bima dianalogikan pula dengan nama dari salah satu tokoh Mahabharata, Bima yang memang digambarkan memiliki karakter tubuh tinggi besar, kokoh, kekar, kuat dan pemberani. Karakter itu dilekatkan pada KA Bima untuk menggambarkan kehandalan perjalanan dan kualitas pelayanannya yang selalu siap dalam berbagai keadaan.

Sejarah[1]

Kereta tidur

KA Bima ini diresmikan pada tanggal 1 Juni 1967 dengan menggunakan gerbong tidur berwarna biru buatan pabrik Görlitz Waggenbau, Jerman Timur dan menjadi KA pertama yang menggunakan gerbong pembangkit (DPPW). Awalnya peta rute KA ini mengikuti arah pendahulunya, Bintang Sendja. Yaitu, setelah dari Jakarta Gambir melewati Cirebon, kemudian melewati Semarang, kemudian menuju Kedungjati dan Solo Jebres serta Madiun dan Jombang, hingga akhirnya tiba di Surabaya. Tetapi, beberapa minggu berikutnya, rute KA diubah hingga melewati Purwokerto dan Yogyakarta, hingga sekarang.

Selama dekade 1960-an hingga awal 1980-an, KA Bima beroperasi dengan stamformasi (urutan rangkaian): satu buah lokomotif (berstriping/livery hijau-kuning PNKA/PJKA), dua gerbong SAGW (eksekutif kelas I), dua gerbong SBGW (eksekutif kelas II), satu gerbong FW (makan), dan satu gerbong DPPW (pembangkit) plus satu gerbong barang; semua gerbong berwarna biru tua. KA ini menjadi KA eksekutif AC pertama di Indonesia dan menjadi KA yang populer. Ada kebanggan tersendiri (prestisi) bagi siapa pun yang pernah menaiki KA Bima. Apalagi pada masa itu, kenyamanan moda transportasi lain tidak mampu menyamai kenyamanan yang ditawarkan KA Bima. Kualitas pelayanan KA Bima sekelas dengan hotel berbintang, sehingga menghemat biaya akomodasi dan transportasi sekaligus. KA Bima juga menghiasi berbagai media.

KA Eksekutif

Rupanya selama tahun 1967-1984 menjadi masa-masa indah KA Bima sebagai KA tidur. Akan tetapi, dengan alasan sosial daripada alasan finansial, gerbong SAGW akhirnya dihapus. Sebagai persiapan, PJKA akhirnya mengimpor dua rangkaian gerbong eksekutif buatan pabrik Arad, Rumania, bernomor seri K1-847xx (dibuat tahun 1984, nomor baru: K1 0 84 xx[catatan 1], saat ini kereta eksekutif ini digunakan untuk eksekutif campuran/diretrofit). Rangkaian gerbong ini difungsikan untuk mengganti gerbong SAGW yang berhenti beroperasi. Gerbong ini adalah gerbong dengan tempat duduk, tidak seperti gerbong SAGW-nya Görlitz yang merupakan gerbong tidur.

Gerbong Arad ini dirangkai bersama gerbong SBGW. Sementara itu, sisa gerbong tidur SAGW sempat dipakai sebentar di layanan PJKA lainnya, seperti kereta api Mutiara Utara, Senja, atau Mutiara Selatan sebelum diistirahatkan. Tiga di antaranya menjadi gerbong kenegaraan, kini menjadi gerbong pariwisata, antara lain Nusantara, Bali, dan Toraja.

Gerbong K1-847xx ini diyakini sebagai gerbong eksekutif terburuk yang pernah dimiliki oleh PJKA. Akibatnya, pada saat itulah, menurunlah kualitas pelayanan KA Bima. KA Bima tetap menggunakan stamformasi K1 dan SBGW (KT-677xx) hingga akhir dekade 1980-an, dan setelah awal dekade 1990-an, SBGW berhenti beroperasi. Gerbong SAGW dan SBGW diubah menjadi gerbong eksekutif duduk dengan menghilangkan tempat tidur dan menggantinya dengan tempat duduk. Sistem penomoran SAGW dan SBGW diubah menjadi K1-67xxx (nomor baru: K1 0 67 xx, saat ini kereta eksekutif ini digunakan untuk eksekutif campuran/diretrofit).[catatan 1]

Peran SBGW kemudian digantikan oleh gerbong kuset (couchette). Gerbong ini dimodifikasi dari gerbong ekonomi buatan pabrik Nippon Sharyo yang sudah ada sejak 1964 dengan menambahkan AC, sekat ruangan, dan memasang tempat tidur yang paten. Namun, hingga tahun 1995, kebijakan Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka) yang lebih mengejar okupansi daripada kualitas layanan membuat era gerbong tidur telah berakhir. Akhirnya, KA Bima berubah menjadi gerbong eksekutif biasa.

Regenerasi

Pada tahun 1995, lahirlah KA Argo, yakni Argo Bromo JS 950 dan Argo Gede (semua gerbong bernomor BP/M1/K1 0 95 xx). Keberadaan kereta-kereta api ini menggeser layanan KA Bima dari posisi puncak kereta unggulan. Para penumpang lebih memilih KA Argo karena waktunya yang lebih cepat (Argo Bromo 9 jam, Bima 13 jam). Rute Argo Bromo yang melewati lintas utara (Pantura) ini mengikuti pendahulunya, Mutiara Utara dan Suryajaya, dan melewati kota besar seperti Semarang dan Bojonegoro, tidak seperti KA Bima yang melewati Purwokerto dan Yogyakarta yang terkesan lebih jauh.

Faktor lain yang mengakibatkan Argo Bromo lebih cepat adalah penguatan bantalan rel lintas Pantura yang sudah direncanakan sebelumnya (yang dahulu bertekanan gandar rendah karena sebagian merupakan bekas jalur trem). Dengan begitu, KA Argo Anggrek bisa dilalui oleh lokomotif besar (CC203 saat itu) dengan kecepatan penuh 120 km/jam. Selama bertahun-tahun KA Bima sudah makin terlupakan. Pilihan mereka justru tertuju kepada KA semacam Argo Bromo atau Sembrani. Perjalanan KA yang lama dan jauh mengakibatkan orang kurang tertarik naik KA Bima.

Akan tetapi, kemunculan Argo Bromo Anggrek produksi PT Inka tahun 1997 (P/K1/M1 0 97 xx) membuat armada Argo Bromo menjadi surplus. Maka rangkaian Argo Bromo dialihkan kepada KA Bima. Namun, gerbong Argo eks-JS 950 ini terkadang bisa dipakai untuk lintas utara lagi jika gerbong Anggrek mengalami masalah. Hal ini disebabkan karena jumlah gerbong Anggrek sangat terbatas serta kerjanya berlebihan sehingga mudah rusak. Kemunculan gerbong Anggrek tambahan tahun 2001 (P/K1/M1 0 01 xx) mengakibatkan gerbong JS 950 mulai tahun 2002 dipakai seterusnya untuk KA Bima, hingga saat ini.

Pada awal tahun 2014, KA Bima kini diperpanjang rutenya hingga stasiun Malang. Pada tanggal 1 Juni 2014 KA Bima diubah nomor gapekanya dari 33-34 menjadi 41-42. Namun ada yang menyebutkan bahwa KA Bima memiliki nomor gapeka 41-42 (Gambir-Surabaya Gubeng pp) dan 43-44 (Surabaya Gubeng-Malang Kota Baru pp).

Lokomotif

Berkas:KA 33 Biru Malam.jpg
KA Bima semasa ditarik CC204.

Semasa PNKA-PJKA, ada beragam lokomotif yang paling sering digunakan, seperti BB200, BB201, atau CC200. Bagi sebagian orang, BB301 lebih identik dengan awal-awal operasi KA Bima. Walaupun pada tahun 1977 muncul lokomotif CC201 buatan General Electric yang juga pernah menarik KA Bima, namun BB301 adalah loko yang paling sering digunakan untuk menarik KA Bima. Namun, seiring menurunnya kemampuan lokomotif BB301, pada tahun 1990, akhirnya CC201 dioperasikan sebagai loko favorit KA Bima.

Mulai pada tahun 1995, lokomotif CC203 didatangkan sebagai penarik KA eksekutif, mengganti CC201 yang saat itu turun pangkat. Akhirnya CC203 menjadi andalan KA Bima. Namun, sejak hadirnya CC204, CC203 dan CC204 menjadi andalan KA Bima. Namun, mulai tahun 2013, lokomotif CC206 telah menggantikan CC203 dan CC204 menjadi andalan KA Bima dan KA eksekutif lainnya juga.

Sebagai KA eksekutif unggulan, KA Bima selalu menggunakan lokomotif yang terbaru, dalam hal ini adalah CC206.

Kelas dan rangkaian

Di awal pengoperasiannya, KA Bima dilengkapi dengan kereta berfasilitas tempat tidur kelas I (SAGW) dan kelas II (SBGW)[1] dan eksterior kereta yang sengaja dicat dengan warna biru. Seiring waktu, kereta tidur mulai diganti dengan kereta bertempat duduk. Sejak tanggal 9 Juni 1990 KA Bima mengalami perubahan interior menjadi kereta kelas eksekutif dengan tetap dilengkapi fasilitas pendingin ruangan (AC) dengan menghapus fasilitas kereta bertempat tidur. Tetapi, kereta tidur (couchette) digunakan sampai tahun 1995 dan akhirnya dihilangkan.

Perubahan layanan dilakukan lagi sejak tanggal 1 Agustus 2002 dengan mengganti rangkaian kereta api Bima dengan rangkaian kereta api sekelas Argo (eks-Argo Bromo JS-950, kode K1 0 95 xx) dengan kapasitas angkut sebanyak 300 - 400 orang (membawa rangkaian 6 - 8 kereta kelas eksekutif). Rangkaian KA Bima terdiri dari 6 - 8 kereta kelas eksekutif argo (K1), 1 Kereta Makan Eksekutif (KM1), 1 Kereta Pembangkit Listrik (P), dan 1 Kereta Bagasi (B). KA eks-Argo Bromo yang digunakan Bima memiliki ciri khas yaitu AC yang kotak (buatan 1995), berbeda dengan KA Argo setelahnya (buatan 1996, kereta Argo Lawu) yang AC-nya berbentuk lebih mengikuti lengkung atap tapi agak kotak, dan buatan 1998-2002 (Argo Dwipangga, Argo Muria, dll) yang AC-nya berbentuk melengkung mengikuti lekukan atap. Meskipun begitu, terkadang KA Bima memakai KA Argo generasi kedua atau KA Retrofit jendela pesawat.

Stasiun

Perjalanan Gambir - Surabaya Gubeng - Malang melalui Lintas Selatan ditempuh dalam waktu kurang lebih 13 jam dan berhenti di stasiun Jatinegara (arah ke Jakarta), Jatibarang, Cirebon, Purwokerto, Yogyakarta, Solo Balapan, Madiun, Jombang, Mojokerto, Surabaya Gubeng, Sidoarjo, Bangil, Lawang, Malang. Selain itu, banyak penumpang KA Bima yang melanjutkan perjalanan ke Denpasar, Jember, Pasuruan, Probolinggo dan Banyuwangi dengan menggunakan Kereta api Mutiara Timur.

Pada pagi harinya, rangkaian KA Bima yang berada di Surabaya digunakan untuk trayek Surabaya - Malang. Sedangkan KA Bima yang berada di Jakarta diistirahatkan di Manggarai untuk diberangkatkan kembali pada sore hari.

Jadwal perjalanan

Jadwal Perjalanan KA Bima Mulai 1 Juni 2014

Stasiun Kedatangan Keberangkatan
KA 41 (Surabaya Gubeng-Gambir)
Malang - 13.30
Lawang 13.57 14.02
Sidoarjo 15.11 15.18
Surabaya Gubeng 15.42 16.35
Mojokerto 17.11 17.16
Jombang 17.38 17.41
Wilangan 18.28 18.35
Madiun 19.05 19.10
Solo Balapan 20.20 20.28
Yogyakarta 21.11 21.20
Kutowinangun 22.30 22.39
Karanganyar 22.57 23.04
Sumpiuh 23.26 23.32
Purwokerto 00.08 00.13
Cirebon 02.09 02.15
Jatinegara 04.44 04.46
Gambir 04.56 -
KA 42 (Gambir-Surabaya Gubeng)
Gambir - 16.20
Jatibarang 18.29 18.31
Cirebon 19.00 19.05
Purwokerto 20.58 21.14
Tambak 21.54 22.03
Yogyakarta 23.42 23.51
Solo Balapan 00.34 00.41
Madiun 01.53 02.00
Jombang 03.11 04.15
Mojokerto 03.37 03.40
Surabaya Gubeng 04.15 06.00
Sidoarjo 06.23 06.26
Lawang 07.32 07.37
Malang 08.03 -
Stasiun Kedatangan Keberangkatan
KA 43 (Malang-Surabaya Gubeng)
Malang - 13.30
Lawang 13.57 14.02
Sidoarjo 15.11 15.18
Surabaya Gubeng 15.42 -
KA 44 (Surabaya Gubeng-Malang)
Surabaya Gubeng - 06.00
Sidoarjo 06.23 06.26
Lawang 07.32 07.37
Malang 08.03 -

Daftar kecelakaan

Berkas:KA InteriorKA Bima.JPG
Interior KA Eksekutif Bima

Catatan kaki

  1. ^ a b Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No. KM 45 tahun 2010.

Referensi

Pranala luar