Tari Bedaya Ketawang

salah satu tarian di Indonesia
Revisi sejak 15 Februari 2015 22.29 oleh Wagino Bot (bicara | kontrib) (penggantian teks otomatis dengan menggunakan mesin AutoWikiBrowser, replaced: beliau → dia)

Tari Bedhaya Ketawang berasal dari kata bedhaya berarti penari wanita di istana.[1][2] Sedangkan ketawang berasal dari kata yang berarti langit, identik dengan mendhung atau awan tempatnya di atas, sesuatu yang di atas dinamakan tinggi makna simbolisnya yaitu luhur.[1] Tari Bedhaya Ketawang menjadi tari suguhan sakral yang berarti suci yang menyangkut Ketuhanan, dimana segala sesuatu tidak akan terjadi tanpa kehendak TuhanYang Maha Esa.[1]

Sacred Dance Bedhoyo Ketawang A

Sejarah

Ada beberapa sejarah yang mengungkapkan pembentukan tarian ini.[2] Yaitu,Sultan Agung yang memerintah Mataram dari tahun 1613-1645, suatu hari melakukan laku ritual semedi.[3] Dalam keheningan cipta, rasa, dan karsa itu, sang raja mendengar suara tetembangan dari arah tawang atau langit.[3] Dia begitu terkesima dan tak mampu menyembunyikan keterpesonaannya.[3] Begitu selesai bersemedi dia memanggil empat orang pengiringnya yaitu Kanjeng Panembahan Purboyo, Kyai Panjang Mas, Pangeran Karang Gayam II, dan Tumenggung Alap-alap.[3] Sultan Agung mewedarkan hasil kesaksian batinnya pada mereka.[3] Lalu, terciptalah sebuah tarian yang diberi nama Bedhaya Ketawang.[3] Dikisahkan pula bahwa dalam pertapaanya raja pertama atau pendahulu kerajaan Mataram yang bernama Panembahan Senapati ing Alaga Sayiddin Panatagama bertemu dan melakukan cinta kasih dengan Ratu Kencanasari atau yang dikenal juga dengan Kanjeng Ratu Kidul yang kemudian menjadi cikal bakal tarian ini.[2]

Makna

Tarian ini memiliki tiga makna yaitu

  • Adat Upacara, menurut adatnya tarian ini hanya bisa dilakukan pada setahun sekali saja yaitu pada hari ulang tahun tahta kerajaan.[2]
  • Sakral, Karena pencipta dari tarian ini berasal dari Ratu kidul, konon kabarnya dia selalu hadir pada saat latihan ataupun pada saat tarian ini dipentaskan[2]
  • Religius,karena tarian ini juga mengajarkan tentang filsafah hidup serta menanyakan untuk tujuan apa manusia hidup selama di dunia.[2]

Ritual

Sebelum melakukan pementasan baik penari maupun Keraton selalu memiliki kebiasaan atau ritual yang harus dijalankan, seperti:[2]

 
Kraton Yogyakarta2-5
  • Penari

Sebelum menarikan tarian ini kesembilan penari ini melakukan ritual puasa tertentu, harus suci lahir dan batin serta tidak dalam keadaan datang bulan.[2] Untuk itu disiapkan penari cadangan untuk menggantikan para penari yang tiba-tiba mendapat halangan pada saat akan pementasan.[2] Kesucian para penari benar-benar diperhatikan karena konon kabarnya Kanjeng Ratu Kidul akan datang menghampiri para penari yang gerakannya masih salah pada saat latihan berlangsung.[2]

  • Keraton

Keraton juga harus melakukan ritual tertentu yaitu larungan atau labuhan yang berarti persembahan korban berupa sesaji ke 4 titik mata angin.[2] Keempat mata angin tersebut dimulai di bagian arah utara untuk Gunung Merapi dengan penguasa Kanjeng Ratu Sekar.[2] Di bagian arah selatan untuk Segoro Kidul Laut Selatan dengan penguasa Ratu Kidul. Di bagian barat, untuk Tawang Sari dengan penguasa Sang Hyang Pramori Durga di hutan Krendowahono.[2] Dan terakhir, di bagian timur untuk Tawang Mangu dengan penguasa Argodalem Tirtomoyo, dan Gunung Lawu dengan penguasa Kyai Sunan Lawu.[2]

Posisi Penari

Banyaknya Penari dalam tarian ini berjumlah 9 orang.[4] Jumlah sembilan penari Bedhaya Ketawang adalah simbol makrokosmos jagad raya yang ditandai dengan sembilan arah mata angin dan mikrokosmos merupakan simbol alam semesta dengan segala isinya.[1] Masing-masing penari tersebut memiliki sebutan dan simbol pemaknaan tersendiri untuk posisinya.[2]

  • Penari pertama disebut Batak yang disimbolkan sebagai pikiran dan jiwa,[2][3]
  • Penari kedua disebut Endhel Ajeg yang disimbolkan sebagai keinginan hati atau nafsu[2][3]
  • Penari ketiga disebut Endhel Weton yang disimbolkan sebagai tungkai kanan[2][3]
  • Penari keempat disebut Apit Ngarep yang disimbolkan sebagai lengan kanan[2][3]
  • Penari kelima disebut Apit Mburi yang disimbolkan sebagai lengan kiri[2][3]
  • Penari keenam disebut Apit Meneg yang disimbolkan sebagai tungkai kiri[2][3]
  • Penari ketujuh disebut Gulu yang disimbolkan sebagai badan[2][3]
  • Penari kedelapan disebut Dhada yang disimbolkan sebagai badan[2][3]
  • Penari kesembilan disebut Dan Boncit yang disimbolkan sebagai organ seksual.[2][3] Nomor sembilan disini direpresentasikan sebagai konstelasi bintang-bintang dari arti Ketawang.[4]

Kostum

Kostum yang digunakan oleh para penari Bedaya Ketawang adalah dodot ageng yang digunakan oleh pengantin Jawa atau disebut juga basahan.[2] Menggunakan gelung bokor mengkurep yang berukuran lebih besar daripada gaya Yogyakarta[2][5]

Referensi

  1. ^ a b c d pranala,teks tambahan
  2. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z pranala,teks tambahan
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o pranala,teks tambahan
  4. ^ a b pranala,teks tambahan
  5. ^ pranala,teks tambahan