Kanjeng Ratu Kidul

Ratu pantai selatan di Indonesia

Sri Gusti Kanjeng Ratu Kidul (bahasa Jawa: ꧋ꦱꦿꦶꦒꦸꦱ꧀ꦠꦶꦏꦚ꧀ꦗꦼꦁꦫꦠꦸꦏꦶꦢꦸꦭ꧀) adalah tokoh legenda yang sangat populer di kalangan masyarakat Pulau Jawa yaitu Jawa Barat , Jawa Tengah , Jawa Timur dan pulau Bali. Sosok ini secara umum sering disamakan dengan Nyi Roro Kidul, meskipun sebenarnya dia berdua sangatlah berbeda. Pada umumnya dia menampakkan diri hanya untuk memberi isyarat / peringatan akan datangnya suatu kejadian penting. [1] Dalam mitologi Jawa, Kanjeng Ratu Kidul merupakan ciptaan dari Dewa Kaping Telu. Ia mengisi alam kehidupan sebagai Dewi Padi (Dewi Sri) dan dewi-dewi alam yang lain. Sedangkan Nyi Rara Kidul awalnya merupakan putri Kerajaan Sunda yang diusir ayahnya karena ulah ibu tirinya. Cerita-cerita yang terkait antara "Ratu Kidul" dengan "Rara Kidul" bisa dikatakan berbeda fase tahapan kehidupan menurut mitologi Jawa.

Ilustrasi Sri Gusti Kanjeng Ratu Ayu KIdul

Kanjeng Ratu Kidul memiliki kuasa atas ombak keras samudra Hindia dari istananya yang terletak di jantung samudra. Menurut kepercayaan Jawa, ia merupakan pasangan spiritual para Raja dari Mataram Hingga para Raja keturunannya di Surakarta dan Jogja, dimulai dari Panembahan Senapati. Namun, kini ia dipandang sebagai ibu spiritual para Susuhunan Surakarta maupun sultan jogja. Kedudukannya berhubungan dengan Hutan Krendhawahana dalam pewayangan disebut Alas Setragandamayit/Dandangmagore Kahyangan atau tempat tinggal bersemayam berstananya Batari Durga Permoni

(Ratunya penguasa para makhluk halus tak kasat mata dengan nama demit,Jin,Setan,Hantu,Prewangan,Demit,Ilu- Ilu ,Banaspati , Wedon ,Jerangkong dan lain lain yang berkaitan dengan bau mistis gaib ), Keraton-Laut Selatan yang berpusat di Keraton Kasunanan Surakarta. Pengamat sejarah kebanyakan beranggapan, keyakinan akan Kanjeng Ratu Kidul memang dibuat untuk melegitimasi kekuasaan dinasti Mataram.

Nama dan wujud

sunting

Karaton Surakarta menyebutnya sebagai Sri Gusti Kanjeng Ratu Ayu Kencono Sari atau Sri Gusti Kanjeng Ratu Ayu Keconohadisari[2] Ia dipercaya mampu untuk berubah wujud menjadi mak lampir beberapa kali dalam sehari.[3] Sultan Hamengkubuwana IX menggambarkan pengalaman pertemuan spiritualnya dengan sang Ratu; ia dapat berubah wujud dan penampilan, sebagai seorang wanita muda biasanya pada saat bulan purnama, dan sebagai wanita tua di waktu yang lain.[4] Babad Dipanegara menceritakan kedatangan Ratu Kidul selalui didahului pancaran sebesar sinar (daru).[5]

Asal usul

sunting

Legenda mengenai penguasa mistik laut selatan ini tidak diketahui dengan pasti sejak kapan dimulai. Namun, legenda ini mencapai puncak tertinggi karena pengaruh kalangan penguasa keraton dinasti Mataram Islam (Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kesultanan Jogja). Dalam kepercayaan tersebut, Kanjeng Ratu Kidul merupakan "istri spiritual" bagi raja-raja kedua keraton tersebut. Pada saat tertentu, keraton memberikan persembahan di Pantai Parangkusuma, Bantul, Pantai Parangtritis Bantul dan di Pantai Paranggupita, Wonogiri. Panggung Sanggabuwana artinya dalam artian Bahasa Indonesia yaitu Panggung Penyangga dunia atau Jagad Raya di kompleks Karaton Kasunanan Surakarta dan Panggung Krapyak di Keraton Yogyakarta Hadiningrat dipercaya merupakan tempat bercengkerama antara

Sri Gusti Kanjeng Sinuwun Susuhunan Pakubuwowono hingga Sri Gusti Kanjeng Sinuwun Sultan Hamengkubuwono (raja) dengan Kanjeng Ratu. Konon, Sang Ratu tampil sebagai perempuan muda dan cantik pada saat bulan muda hingga purnama, terapi berangsur-angsur menua pada saat bulan menuju bulan mati.

Kanjeng Ratu Kidul dan Nyi Rara Kidul

sunting

Dalam keyakinan orang Jawa, Kanjeng Ratu Kidul memiliki pembantu setia bernama Nyai atau Nyi Rara Kidul. Nyi Rara Kidul menyukai warna hijau dan dipercaya suka mengambil orang-orang yang mengenakan pakaian hijau yang berada di pantai wilayahnya untuk dijadikan pelayan atau pasukannya. Karena itu, pengunjung pantai wisata di selatan Pulau Jawa, baik di Pelabuhan Ratu, Pangandaran, Cilacap, pantai-pantai di selatan Yogyakarta, hingga Semenanjung Purwa di ujung timur, selalu diingatkan untuk tidak mengenakan pakaian berwarna hijau.

Di kalangan masyarakat Sunda, Ratu Kidul merupakan titisan dari seorang putri Pajajaran yang bunuh diri di laut selatan karena diusir oleh keluarganya karena ia menderita penyakit yang membuat anggota keluarga lainnya malu. Dalam kepercayaan Jawa berkembang anggapan bahwa tokoh ini bukanlah Ratu Laut Selatan yang sesungguhnya, melainkan diidentikkan dengan Nyi Rara Kidul, pembantu setia Kanjeng Ratu Kidul. Hal ini berdasarkan dugaan bahwa Ratu Kidul berusia jauh lebih tua dan menguasai Laut Selatan jauh lebih lama sebelum sejarah Kerajaan Pajajaran

Menurut pengalaman seorang spiritualis pada tahun 1998, ia bertemu dengan Kanjeng Ratu Kidul di pantai Parang Tritis, Yogyakarta. Saat itu, Eyang Ratu Kidul didampingi oleh Nyi Rara Kidul. Keduanya persis tetapi Eyang Ratu Kidul kulitnya kuning langsat, sementara Nyi Rara Kidul agak coklat. Selain itu, Eyang ratu Kidul mempunyai aura putih jernih dan gemerlapan seperti berlian, bulat mengelilingi seluruh tubuhnya. Sedangkan aura Nyi Rara Kidul berwarna putih susu seperti cahaya lampu putih, tipis putih mengikuti postur tubuhnya. Ia diberi penjelasan bahwa Nyi Rara Kidul adalah patih atau kepala pengawalnya. Nyi Rara Kidul adalah makhluk halus jenis jin yang mengabdi dan berguru kepada Eyang ratu. Nyi Rara Kidul ditugaskan untuk mengontrol dan meredam angkara murka dari makhluk-makhluk gaib jenis jin dan kekuatan gaib serta ilmu gaib yang berada disepanjang pantai selatan Pulau Jawa.

Sri Gusti Kanjeng Ni Mas Ayu Ratu Anginangin

sunting

Dalam Serat Darmogandhul, sebuah karya sastra Jawa Baru yang menceritakan jatuhnya Majapahit akibat serbuan Kerajaan Demak, Ni Mas Ratu Anginangin adalah ratu seluruh makhluk halus di pulau Jawa dan memiliki kerajaan di laut selatan. Hampir seluruh isi Serat Darmagandul merupakan bentuk turunan dari cerita babad Kadhiri.

Samuksone Sang Prabu Joyoboyo lan putrane putri kang aran Ni Mas Ratu Pagêdhongan, Buta Locoyo lan kiyai Tunggulwulung ugo podho muksa; Ni Mas Ratu Pagêdhongan dadi ratuning dhêmit nuso Jowo, kuthone ono segoro kidul sarto jêjuluk Ni Mas Ratu Anginangin. Sakabehe lêlêmbut kang ono ing lautan dharatan sarta kanan keringe tanah Jowo, kabeh podho sumiwi marang Ni Mas Ratu Anginangin.ꦱꦩꦸꦏ꧀ꦱꦺꦴꦤꦺꦱꦁꦥꦿꦧꦸꦗꦺꦴꦪꦺꦴꦧꦺꦴꦪꦺꦴꦭꦤ꧀ꦥꦸꦠꦿꦤꦺꦥꦸꦠꦿꦶꦏꦁꦄꦫꦤ꧀ꦤꦶꦩꦱ꧀ꦫꦠꦸꦥꦒꦼꦣꦺꦴꦔꦤ꧀‌ꦧꦸꦠꦭꦺꦴꦕꦺꦴꦪꦺꦴꦭꦤ꧀ꦏꦶꦪꦻꦠꦸꦁꦒꦸꦭ꧀ꦮꦸꦭꦸꦁꦈꦒꦺꦴꦥꦺꦴꦣꦺꦴꦩꦸꦏ꧀ꦱ;ꦤꦶꦩꦱ꧀ꦫꦠꦸꦥꦒꦼꦣꦺꦴꦔꦤ꧀ꦝꦣꦶꦫꦠꦸꦤꦶꦁꦣꦼꦩꦶꦠ꧀ꦤꦸꦱꦺꦴꦗꦺꦴꦮꦺꦴ꧈ꦏꦸꦛꦺꦴꦤꦺꦎꦤꦺꦴꦱꦼꦒꦺꦴꦫꦺꦴꦏꦶꦢꦸꦭ꧀ꦱꦂꦠꦺꦴꦗꦼꦗꦸꦭꦸꦏ꧀ꦤꦶꦩꦱ꧀ꦫꦠꦸꦄꦔꦶꦤꦔꦶꦤ꧀꧈ꦱꦏꦧꦺꦲꦺꦊꦊꦩ꧀ꦧꦸꦠ꧀ꦏꦁꦎꦤꦺꦴꦆꦁꦭꦻꦴꦠꦤ꧀ꦝꦫꦠꦤ꧀ꦱꦂꦠꦏꦤꦤ꧀ꦏꦼꦫꦶꦔꦺꦠꦤꦃꦗꦺꦴꦮꦺꦴ꧈ꦏꦧꦺꦃꦥꦺꦴꦣꦺꦴꦱꦸꦩꦶꦮꦶꦩꦫꦁꦤꦶꦩꦱ꧀ꦫꦠꦸꦄꦔꦶꦤꦔꦶꦤ꧀꧈

Saat moksanya Sang Prabu Jayabaya dan putrinya yang bernama Ni Mas Ratu Pagedhongan, Buta Locaya dan Kyai Tunggul Wulung juga sama-sama moksa. Ni Mas Ratu Pagedhongan menjadi ratu makhluk halus pulau Jawa, kotanya berada di laut selatan serta dijuluki Ni Mas Ratu Anginangin. Seluruh makhluk halus yang ada di lautan daratan serta kanan-kirinya tanah Jawa, semua sama-sama takluk kepada Ni Mas Ratu Anginangin.

Serat Centhini juga menyebut nama Ratu Anginangin sebagai pemilik istana di laut selatan. Buaya putih penjelmaan Prabu Dewatacengkar, raja Medang Kamulan sebelum kedatangan Aji Saka, adalah musuhnya. Ia memberi gelar Jaka Linglung yang saat itu masih belum memiliki nama sebagai Linglung Tunggulwulung dan menjodohkannya dengan Nyai Blorong. Serat Centhini menulis kesediaan Ratu Anginangin menjadi tunangan Aji Saka atas perantaraan Jaka Linglung.[6]

R.Ay Ajar Cemara Tunggal

sunting

Sebuah cerita rakyat dari Jawa Barat menceritakan seorang penerawang pria bernama Ajar Cemara Tunggal dari Gunung Kombang di Kerajaan Pajajaran. Sebenarnya, ia adalah seorang wanita cantik, bibi buyut dari Raden Jaka Suruh. Ia mengubah dirinya menjadi dukun dan memberitahu Raden Jaka Suruh untuk menuju timur pulau Jawa dan mendirikan kerajaan di lokasi sebuah pohon maja yang hanya memiliki buah satu butir. Karena buah maja rasanya pahit, kerajaan yang didirikannya bernama Majapahit. Cemara Tunggal berjanji akan menikahi pendiri Majapahit dan setiap penerus dari garis keturunan yang sulung untuk membantu mereka dalam setiap permasalahan. Roh Cemara Tunggal dianggap menjadi "ratu-lelembut dari selatan" yang menguasai seluruh lelembut.[7]

Legenda

sunting

Legenda Kesultanan Mataram

sunting

Legenda Jawa dari abad ke-16 menyatakan Kanjeng Ratu Kidul sebagai pelindung dan pasangan spiritual para raja Kerajaan Mataram. Panembahan Senapati (1586-1601 M), pendiri Kesultanan Mataram, dan cucunya Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645 M) menyebut Kanjeng Ratu Kidul sebagai mempelai mereka. Hal tersebut tertuang dalam Babad Tanah Jawi.[8]

Menurut legenda, pangeran Panembahan Senopati berkeinginan untuk mendirikan sebuah kerajaan yang baru, yaitu Kesultanan Mataram, untuk melawan kekuasaan Kesultanan Pajang. Ia melakukan tapa di pantai Parang Kusumo yang terletak di selatan kediamannya di Kota Gede. Meditasinya menyebabkan terjadinya fenomena supernatural yang mengganggu kerajaan di Laut Selatan. Sang Ratu datang ke pantai untuk melihat siapa yang menyebabkan gangguan di kerajaannya. Saat melihat pangeran yang tampan, ia jatuh cinta dan meminta Panembahan Senopati untuk menghentikan tapanya. Sebagai gantinya, sang Ratu penguasa alam spiritual di laut selatan setuju untuk membantunya dalam mendirikan kerajaan yang baru. Untuk menjadi pelindung spiritual kerajaan tersebut, sang Ratu dilamar oleh Panembahan Senopati untuk menjadi pasangan spiritualnya serta semua penggantinya nanti, yaitu para raja Mataram.

Babad Dipanegara

sunting

Babad Dipanegara mengisahkan pertemuan antara Ratu Kidul dengan Pangeran Diponegoro sebanyak dua kali, yaitu pada tahun 1805 dan pertengahan Juli 1826. Pertemuan pertama terjadi di Gua Langse, Pantai Parangtritis di selatan Yogyakarta, pada saat Pangeran Diponegoro tengah bersamadi sehingga Ratu Kidul tidak berkeinginan untuk mengganggu. Pertemuan kedua berlangsung pada saat terjadinya Perang Diponegoro (1825-1830). Pada pertemuan kedua, Ratu Kidul yang ditemani dua patihnya -yaitu Nyi Roro Kidul dan Raden Dewi- menawarkan bantuan dalam perang tetapi dengan syarat Pangeran Diponegoro bersedia memohon kepada Allah Ingkang Rabulngalimin agar Ratu Kidul diperkenankan kembali menjadi manusia. Namun, Pangeran Diponegoro menolak dengan halus dengan alasan bahwa pertolongan hanya datang dari Hyang Agung sehingga ia tidak akan bersekutu dengan makluk gaib. Hal ini sesuai dengan tujuan utamanya untuk berperang, yaitu untuk memajukan agama Islam di seluruh Jawa.[5]

Ritual dan kepercayaan

sunting

Tari Bedhaya Ketawang

sunting

Naskah tertua yang menyebut-nyebut tentang tokoh mistik ini adalah Babad Tanah Jawi.[9] Panembahan Senopati adalah orang pertama yang disebut sebagai Raja yang menyunting Sang Ratu Kidul. Dari kepercayaan ini diciptakan Tari Bedhaya Ketawang dari kraton Kasunanan Surakarta (pada masa Sunan Pakubuwana I), yang digelar setiap tahun pada Upacara Ageng kenaikan Tahta Sri Sunan atau disebut Jumenengan , yang dipercaya sebagai persembahan kepada Kanjeng Ratu Kidul. Sunan duduk di samping kursi kosong yang disediakan bagi Sang Ratu Kidul.

Pelabuhan Ratu dan kota-kota pesisir lainnya

sunting

Pelabuhan Ratu adalah sebuah kota nelayan di Jawa Barat. Masyarakat setempat menyelenggarakan hari suci khusus untuk Kanjeng Ratu Kidul setiap tanggal 6 April. Hari tersebut merupakan hari peringatan bagi penduduk lokal dan mereka memberikan banyak persembahan untuk menyenangkan sang Ratu. Para nelayan lokal juga menyelenggarakan ritual sedekah laut setiap tahunnya, memberikan persembahan seperti nasi, sayuran, dan berbagai produk pertanian, hingga ayam, tenunan batik, dan kosmetik. Persembahan tersebut dilarungkan ke laut sebagai persembahan untuk Ratu. Para nelayan lokal percaya persembahan mereka akan menyenangkan Ratu Laut Selatan sehingga ia akan memberkahi mereka dengan hasil tangkapan yang berlimpah serta memberikan cuaca yang bagus, tidak terlalu banyak badai serta ombak.[10]

Di sekitar lokasi Pantai Palabuhanratu, tepatnya di Karang Hawu, terdapat petilasan (persinggahan) Ratu Pantai Selatan yang dapat dikunjungi untuk melakukan ritual tertentu ataupun hanya sekadar melihat-lihat. Di komplek keramat ini terdapat sekurangnya dua ruangan besar yang didalamnya terdapat beberapa makam yang dipercaya penduduk sebagai makam Eyang Sanca Manggala, Eyang Jalah Mata Makuta, dan Eyang Syeh Husni Ali. Di beberapa ruangan juga terpampang gambar penguasa Laut Selatan.

Kanjeng Ratu Kidul juga diasosiasikan dengan Parangtritis, Parangkusumo, Pangandaran, Karang Bolong, Ngliyep, Puger, Banyuwangi, dan berbagai tempat di sepanjang pantai selatan Jawa[10] seperti Tulungagung.

Pantai Parangkusumo dan Parangtritis di Yogyakarta sangat berhubungan dengan legenda Kanjeng Ratu Kidul. Parangkusumo merupakan tempat Panembahan Senapati bertemu Kanjeng Ratu Kidul. Saat Sultan HB IX meninggal tanggal 3 Oktober 1988, majalah Tempo menulis bahwa para pelayan keraton melihat penampakan Kanjeng Ratu Kidul untuk menyampaikan penghormatan terakhirnya kepada sri sultan.[11]

Sedekah laut

sunting

Masyarakat nelayan pantai selatan Jawa setiap tahun melakukan sedekah laut sebagai persembahan kepada sang Ratu agar menjaga keselamatan para nelayan dan membantu perbaikan penghasilan. Upacara ini dilakukan nelayan di pantai Pelabuhan Ratu, Ujung Genteng, Pangandaran, Cilacap, Sakawayana dan sebagainya. Sebagian besar para wisatawan yang berkunjung baik itu lokal maupun manca negara datang ke Pelabuhan Ratu karena keindahan panoramanya sekaligus tradisi ritual ini. Disaat-saat tertentu banyak acara ritual yang sering digelar penduduk setempat sebagai rasa terima kasih mereka terhadap sang penguasa laut selatan.

Ruang khusus di hotel

sunting

Pemilik hotel yang berada di pantai selatan Jawa dan Bali menyediakan ruang khusus bagi Sang Ratu. Yang terkenal adalah Kamar 327 dan 2401 di Hotel Grand Bali Beach. Kamar 327 adalah satu-satunya kamar yang tidak terbakar pada peristiwa kebakaran besar Januari 1993. Setelah pemugaran, Kamar 327 dan 2401 selalu dirawat, diberi hiasan ruangan dengan warna hijau, diberi suguhan (sesaji) setiap hari, tidak untuk dihuni dan khusus dipersembahkan bagi Ratu Kidul. Hal yang sama juga dilakukan di Hotel Samudra Beach di Pelabuhan Ratu. Kamar 308 disiapkan khusus bagi Ratu Kidul. Di Yogyakarta, Hotel Queen of The South di dekat Parangtritis mereservasi Kamar 33 bagi Sang Kanjeng Ratu.

Hotel Samudra Beach Hotel, Pelabuhan Ratu, Jawa Barat, menyediakan kamar 308 yang dicat berwarna hijau untuk Kanjeng Ratu Kidul.[12] Setidaknya pada awal tahun 1966,[13] presiden pertama Indonesia, Sukarno, terlibat dalam penentuan lokasi serta ide Hotel Samudra Beach Hotel. Di depan kamar 308 terdapat pohon Ketapang tempat Sukarno memperoleh inspirasi spiritualnya.[14] Di dalam kamar tersebut juga dipasang lukisan terkenal "Nyai Rara Kidul" oleh Basuki Abdullah.

Kepercayaan Kejawen

sunting

Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, sosok Ratu Kidul merupakan sosok agung yang dimuliakan dan dihormati. Masyarakat Jawa mengenal istilah "telu-teluning atunggal" ("tiga sosok yang menjadi satu kekuatan"), yaitu Eyang Resi Projopati, Panembahan Senopati, dan Ratu Kidul. Panembahan Senopati merupakan pendiri kerajaan Mataram Islam yang bertemu dengan Ratu Kidul ketika bertiwikrama sesuai arahan Sunan Kalijaga untuk memperoleh wangsit. Saat itu, ia bermaksud membangun sebuah keraton pada sebuah tempat yang sebelumnya sebuah hutan bernama "alas mentaok" (kini Kotagede di Daerah Istimewa Yogyakarta). Saat ia bertapa, semua alam menjadi kacau, ombak besar, hujan badai, gempa, dan gunung meletus. Ratu Kidul setuju membantu dan melindungi Kerajaan Mataram, bahkan dipercaya menjadi "istri spiritual" bagi Raja-raja trah Mataram Islam.

Agama Konghucu

sunting

Penghormatan serta pemuliaan kepada Kanjeng Ratu Kidul juga terdapat pada sebuah kelenteng yang terletak di Semarang, TITD. YUE YANG TANG, di jalan Rejosari Tengah II/28-30 Semarang, juga di Jakarta, yaitu di bilangan Pekojan, Jakarta Barat, yaitu di Vihara Kalyana Mitta.[15] Terdapat kepercayaan bahwa mitos mengenal Nyi Rara Kidul (dalam hal ini, nama Nyai Rara Kidul hanya menjadi panggilan populer Kanjeng Ratu Kidul) berasal dari kepercayaan Siwa-Buddha di Indonesia, yaitu kepercayaan kepada Tara (Bodhisatwa).[16]

Lihat pula

sunting

Referensi

sunting
  1. ^ Herman Utomo dan Silvie Utomo. 2008. Dialog dengan Alam Dewa. Jakarta: Kelompok Spiritual Universal.
  2. ^ Karaton Surakarta, Yayasan Pawiyatan Kabudayaan Karaton Surakarta, Sekilas Sejarah Keraton Surakarta, R.Ay. Sri Winarti P, 2004
  3. ^ Bogaerts, Els. Scription Van sunans, sultans en sultanes; Ratu Kidul in the Panitik Sultan Agungan - M.A. Thesis, Rijskuniversiteit Leiden, Holland
  4. ^ Sultan Hamengkubuwono IX memoire "Takhta untuk Rakyat"
  5. ^ a b Peter Carey. 2014. Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855), hal. 63-67. Penerjemah: Bambang Murtianto. Editor: Mulyawan Karim. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. ISBN 978-979-709-799-8.
  6. ^ Ranggasutrasna, Ngabei (1991). Centhini: Tambangraras-Amongraga, Jilid I, hal. 67-76. Jakarta: Balai Pustaka. ISBN 979-407-358-X. 
  7. ^ Babad Tanah Jawi by Dr. J.J. Ras - ISBN 90-6765-218-0 (7:16 - 9:1)
  8. ^ Babad Tanah Jawi by Dr. J.J. Ras - ISBN 90-6765-218-0 (34:100 - 36:1)
  9. ^ Lotte, von Lignau. 2003. Ratu Kidul, Meeresgöttin des Südens. Seminararbeit.
  10. ^ a b Legend of Borobudur, hal. 114: Dr. C.W. Wormser - Het Hooge Heiligdom - Uitgeverij W. Van Hoeve Deventer, N.V. Maatschappij Vorkink Bandoeng
  11. ^ PDAT, D&R (March 15, 1997). "Wawancara Sri Sultan Hamengkubuwono X" (dalam bahasa Indonesian). Tempo Nacional. 
  12. ^ Döhne, Roy James. "Room 308 A room for the Javanese goddess of The South Sea". Website Roy James. Diakses tanggal July 5, 2007. 
  13. ^ Schlehe, J. Tourism to Holy Sites and Pilgrimage to Hotel Rooms in Java. IIAS News.
  14. ^ Khouw, Ida Indawati. "Room No. 308 still retains its mystery". The Jakarta Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2008-12-10. Diakses tanggal December 20, 2006. 
  15. ^ Vihara Kalyana Mitta
  16. ^ Jordaan, Roy E. Oktober 1997. Asian Folklore Studies, Vol.56 No.2. Tara and Nyai Lara Kidul: images of the divine feminine in Java, hal. 285-312. (Inggris)

Bacaan lebih lanjut

sunting