Irfan Hielmy

ulama Jawa Barat

K.H. Irfan Hielmy rahimahullah lahir di Ciamis, Jawa Barat, 25 Desember 1933 meninggal dunia, 18 Mei 2010) adalah seorang ulama besar di Jawa Barat Pengasuh Pesantren Darussalam Ciamis, pernah menjabat Ketua MUI Kabupaten Ciamis. Dikenal sebagai satu di antara lima ulama kharismatik Jawa Barat. Empat ulama kharismatik Jabar yang lebih dulu wafat yakni KH. Ilyas Ruhiyat (sesepuh Ponpes Cipasung Tasikmalaya), KH. Anwar Musaddad (sesepuh Ponpes Musadadiah Garut), KH. Totoh Abdul Fatah (sesepuh Ponpes Al-Jawami Cileunyi Bandung), serta K.H. Abdulah Abbas (sesepuh Ponpes Buntet, Cirebon). K.H. Irfan Hielmy merupakan sesepuh sekaligus ulama kharismatik Jawa Barat yang terus mengabdikan hidupnya untuk kemaslahatan umat dan bangsa.

K.H. Irfan Hielmy
Lahir(1933-12-25)25 Desember 1933
Belanda Cijeungjing, Ciamis, Masa Penjajahan Hindia Belanda
Meninggal18 Mei 2010(2010-05-18) (umur 76)
Indonesia Bandung
KebangsaanIndonesia
PekerjaanPengasuh Pesantren Darussalam Ciamis
Ketua MUI Kabupaten Ciamis
Suami/istriHj. Siti Masitoh
AnakDr. K.H. Fadlil Munawwar Manshur,MS
Dra. Hj. Eulis Fadlilah jauhar Nafisah, M.Pd.I
K.H. Dr. Fadlil Yani Ainusyamsi, MBA., M.Ag
Dra. Hj. Ani Hafni Zahra Fadlilah Laila, M.Pd.I
Dase Fadlil Yusdi Mubarak, S.H.

Kelahiran

K.H. Irfan Hielmy bin K.H. Ahmad Fadhil Allohu yarham, dilahirkan di Ciamis pada 25 Desember 1933, adalah ulama besar dari Kabupaten Ciamis, putra dari K.H. Ahmad Fadhil rahimahullah. Lahir di kalangan keluarga yang religius, beliau mulai mengkaji agama Islam klasik dari ayahanda beliau, Kyai Ahmad Fadlil bin H. Abdul Jalal bin Buyut Uyut Masitoh. Dari garis keturunan ayahnya, K.H. Irfan Hielmy memiliki darah ulama. Ibunya bernama Siti Maemunah binti Siti Fatimah binti Uyut Eyang Audaya. Selain memiliki darah ulama, K.H. Irfan Hielmy juga memiliki darah bangsawan dari nenek pihak ayah yang bernama Rd. Natamirah bin Rd. Bratakusumah (Wedana Rancah pada waktu itu).[1]

Pendidikan

KH Irfan Hielmy rahimahullah sejak muda menuntut ilmu di berbagai Pesantren, kemudian mendirikan Pesantren bersama ayahanda beliau, K.H. Ahmad Fadhil yakni Pesantren Darussalam Ciamis, Jawa Barat. Sampai akhir hayatnya beliau memimpin Pesantren Darussalam, sebuah Pesantren yang menjadi pusat pendidikan, da’wah dan pembangunan. Pesantren Darussalam memiliki lembaga pendidikan formal dan non formal. Pendidikan formal yang diselenggarakan mulai dari tingkat prasekolah, tingkat dasar, menengah, dan pendidikan tinggi. Institut Agama Islam Darussalam Ciamis IAID mengelola Program Diploma, Program Sarjana, dan Program Magister Strata Dua.

Karya Tulis Beliau

  1. Bunga Rampai menuju Khairu Ummah (1994.
  2. Dakwah bi al-Hikmah (1997).
  3. Kumpulan Materi Pokok Khutbah Jum'at (1997).
  4. Masyarakat Madani: Suatu Ikhtiar Dalam Menyongsong Era Milenium Baru (1998.)
  5. Pendekatan Keagamaan Dalam Menyelesaikan Masalah Kemasyarakatan (1998).
  6. Ukhuwwah Ahlus Sunnah: Khazanah Aqidah, Moral dan Spiritual dari Pesantren (1999)
  7. Pesan Moral dari Pesantren (1999).
  8. Wacana Islam, Bahan Telaah Anak Bangsa (2000.)
  9. Sentuhan Wahyu, Penyejuk Kalbu (2003), dll.

Pesantren Darussalam

Satu hal yang acap dikenang oleh alumni Pesantren Darussalam adalah kebersahajaan pesantren ini dalam keseharian santrinya. Bahkan, seperti yang kerap terucap dari K.H. Irfan Hielmy (Alm)-pendiri Pesantren Modern Darussalam yang selalu mengajarkan kebersahajaan- setiap kali menerima kunjungan tamu, selalu disambut dengan kalimat yang sama, seolah menegaskan bagaimana seharusnya santri Darussalam mengambil posisi dengan kerendah-hatian, "selamat datang di tempat kami, pesantren yang sangat sederhana."

Ihwal kebersahajaan dan kesederhanaan Darussalam ternyata sama tuanya dengan sejarah pesantren ini. Nun di paruh 1929, 84 tahun silam, K.H. Ahmad Fadlil (wafat th. 1950), ayahanda K.H. Irfan Hielmy (wafat tahun 2010), memulai kisah kebersahajaan dengan sebuah masjid dan sebuah bilik sebagai asrama. Santri yang pertama kali mondok adalah pemuda-pemuda setempat yang tidak hanya diajari ilmu-ilmu agama, akan tetapi diajak mengolah sawah, bercocok tanam dan diberi contoh bagaimana memelihara bilik dan memakmurkan masjid. Pesantren Tjidewa, sebutan untuk komunitas baru itu, dengan cepat mendapat simpati serta dukungan dari masyarakat sekitar dan lebih banyak lagi santri yang mondok.

Adalah suami-istri Mas Astapradja dan Siti Hasanah yang mewakafkan tanahnya di Kampung Kandanggajah, Desa Dewasari, Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis Jawa Barat kepada K.H. Ahmad Fadlil. Dibantu oleh masyarakat dan santri, Pesantren Tjidewa menapaki guratan sejarah dengan optimisme menghilangkan benalu yang menempel dalam ajaran Islam.

Menjelang proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, di Pesantren Tjidewa sudah mondok 400 orang santri yang mengaji ilmu tafsir, ilmu hadits, sejarah dan perbandingan madzhab, di samping kitab-kitab ilmu sharaf dan ilmu nahwu.

Keputusan K.H. Ahmad Fadlil dengan hanya menerima santri putra tidak terlepas dari kondisi saat itu yang tidak bisa terlepas dari kontelasi keamanan akibat penjajahan Belanda. Akan tetapi karena didorong oleh keinginan untuk melepaskan diri dari cengkraman penjajah dan ditambah dengan meluapnya semangat santri untuk menghalau Belanda, K.H. Ahmad Fadlil juga mengajarkan strategi berdiplomasi mengatasi tekanan penjajah. Apalagi dengan kemampuannya berbahasa Belanda yang didapat dari kakeknya sejak di Sekolah Rakyat (Vervolg School)- dengan mudah bisa menyerap berbagai informasi yang kelak berguna sebagai modal berdiplomasi.

Lebih dari itu, penguasaan terhadap teks berbahasa Arab telah tampak sejak Ahmad Fadlil muda berhasil menghapalkan kitab-kitab seperti Jauharul Maknun, 'Uqudul Juman, Talkhisul Miftah dan syair-syair nya. Bahkan, pada usia 31 tahun ia telah berhasil menerjemahkan Qashidah Burdah karya Muhammad Said al-Busyiri. Sampai sekarang, Qashidah Burdah berbahasa sunda yang merupakan karya terjemahan masterpiece K.H. Ahmad Fadlil masih terdengar dibaca dan didendangkan oleh santri-santri di banyak pesantren tradisional terutama di Jawa Barat.

Melalui sejarah yang panjang (berdiri tahun 1929 oleh K.H. Ahmad Fadlil), kini Pondok Pesantren Darussalam telah berkembang dan mencapai kemajuan yang sangat menggembirakan. Pondok Pesantren yang pada awal berdirinya hanya memiliki sebuah rumah tempat tinggal Kiayi, sebuah masjid dan sebuah asrama (pondok) yang sederhana, kini telah memiliki fasilitas bangunan yang relatif lengkap dan beberapa diantaranya cukup megah.

Disamping peningkatan fasilitas dan sarana pendidikan untuk santri, hal yang sangat penting lain adalah pengembangan sistem pendidikannya. ketika di banyak Pondok Pesantren lain masih mengkhususkan pada pengajian kitab, Pesantren Darussalam mulai merintis untuk menyelenggarakan pendidikan formal. Maka sejak dasawarsa 60-an, Pesantren Darussalam mulai memodernisasikan sistem pendidikannya dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan formal.

Pada tahun 1967, mulai dirintis penyelenggaraan sistem pendidikan modern dengan mengadaptasi model klasikal dan sampai saat ini semua jenjang pendidikan dar mulai Taman Kanak-kanak (TK) (di Pesantren Darussalam disebut Raudlatul Athfal/RA) hingga perguruan tinggi telah ada di pesantren ini.

Lembaga pendidikan formal yang pertama didirikan adalah Raudlatul Athfal (Taman Kanak-kanak) pada tahun 1967, kemudian pada tahun 1968 berdiri Madrasah Ibtidaiyah/MI (setingkat SD), lalu Madrasah Tsanawiyah Darussalam/MTsD (setingkat SMP) pada tahun 1968. kemudian berdiri Madrasah Aliyah Negeri Darussalam (setingkat SMA) pada tahun 1969. Selanjutnya didirikan SMA Plus Darussalam yang merupakan lembaga pendidikan swasta pada tahun 2003. Sedangkan Pendidikan Tinggi (PT) di Pondok Pesantren Darussalam adalah berbentuk Institut yang didirikan pada tahun 1970, dengan nama Institut Agama Islam Darussalam Ciamis (IAID) yaitu Perguruan Tinggi Agama Islam yang menggabungkan pendidikan akademik dengan pendidikan kepesantrenan, yaitu Pondok Pesantren Darussalam. Disamping itu, pada tahun 1995 diselenggarakan pula Ma'had 'Aly, yaitu pendidikan tinggi Pesantren Darussalam. Mahasantri Ma'had 'Aly ini terdiri dari lulusan Madrasah Aliyah dan para mahasiswa Institut Agama Islam Darussalam dari berbagai fakultas yang memenuhi persyaratan, diantaranya telah mampu membaca kitab-kitab kuning. [2]

Kini sudah ribuan alumni yang tersebar di berbagai penjuru nusantara dan berkiprah dalam berbagai bidang kehidupan dengan tidak melupaka pesan-pesan beliau rahimahullah. Tokoh muda alumni Pesantren Darussalam Ciamis di bidang pendidikan seperti Dr. Abad Badruzaman, Lc., M. Ag, kelahiran Ciamis 4 Agustus 1973 adalah Dekan Fakultas Ushuluddin, Adab & Dakwah IAIN Tulungagung Jawa Timur.[3]

Meninggal

K.H. Irfan Hielmy rahimahullah (Pengasuh Pondok Pesantren Darussalam Ciamis Jawa Barat Indonesia), wafat, Selasa, 04 Jumaadil Awwal 1431 Hijriyah/ 18 Mei 2010, pukul 06:00 WIB.[4]

K.H. Irfan Hielmy dalam Pandangan Tokoh

Prof. Dr. H. Endang Soetari Ad, M.Si,Rektor IAIN Sunan Gunung Djati (1995-2003) yang lahir di Ciamis, 11 Agustus 1945 menyatakan, bahwa K.H. Irfan Hielmy rahimahullah adalah ulama teladan yang menjadi panutan dan pigur keilmuan dan keluhuran akhlak, ‘Ulama yang menjadi pewaris nilai-nilai kejuangan Rasulullah SAW. . Kami dari jajaran Wargi Galuh Puseur, baik rengrengan Pangaping, Pakar, dan Pangurus, sering mendapat nasihat beliau untuk turut memikirkan pengembangan Tatar Galuh, untuk menuju Mahayunan Ayuna Kadatuan. [5]

Referensi

Pranala luar