Sampoerna
Sampoerna (merujuk kepada kata "sempurna") adalah nama sebuah keluarga di Surabaya, Jawa Timur yang merupakan perintis PT HM Sampoerna Tbk, perusahaan rokok terbesar di Indonesia. Generasi pertama dari keluarga ini adalah Liem Seeng Tee, yang merantau ke Indonesia dari kampung halamannya di Fujian, Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1898.[1] Dialah yang mendirikan perusahaan rokoknya pada tahun 1913. Generasi keduanya adalah Aga Sampoerna, putra Liem, sedangkan generasi ketiganya adalah Putera Sampoerna. Generasi berikutnya dipimpin Michael, putra Putera.
Sejarah
Merantau ke Surabaya (1893 - 1912)
Sejarah keluarga Sampoerna bermula saat Liem Seeng Tee lahir di Tiongkok pada tahun 1893. Ia merupakan anak dari Liem Tioe dan Tan Sie Nio.[2] Keluarga kecil ini tinggal dan menetap di sebuah desa kecil di wilayah Anxi, Tiongkok.[3] Pada musim dingin yang parah pada tahun 1897, Tan Sie Nio tiba-tiba wafat, meninggalkan Liem Seeng Tee yang kala itu masih berumur 5 tahun dan kakak perempuannya yang berusia 6 tahun.[3][1] Sepeninggal istrinya, Liem Tioe memutuskan untuk meninggalkan Anxi pada 1898.[4] Ia membawa serta kedua anak serta seluruh harta keluarga di keranjang dan bergerak ke arah Amoy.[4] Dari sana, ia berlayar ke Penang.[2].
Sesampainya di Penang, ia menemukan bahwa ternyata kota ini kurang aman.[5] Penang saat itu diselemuti kekacauan akibat pertentangan antara imigran dan pemerintah, serta perselisihan antar sesama komunitas Tionghoa.[5] Liem Tiou pun memutuskan untuk pindah lagi dan berlayar ke Surabaya, Jawa Timur.[5] Namun saat ia mencoba memesan tiket kapal, ia menyadari bahwa ia tidak memiliki cukup uang.[5] Ia akhirnya memutuskan untuk memberikan anak perempuannya ke sebuah keluarga Hokkien dan mendapatkan uang adopsi dari sana.[5]
Dengan uang yang ia dapat, ia dan anaknya bisa berlayar 621 mil melewati Selat Malaka ke Jawa Timur, yang kala itu dikuasai oleh Hindia Belanda.[1] Namun enam bulan setelah sampai di sana, Liem Tioe meninggal akibat kolera.[6] Menjelang wafatnya, ia menitipkan anak laki-lakinya, Liem Seeng Tee, ke sebuah keluarga Hokkien di Bojonegoro.[6] Karena keterbatasan, Liem Seeng Tee tidak bersekolah.[7] Namun semasa tinggal di keluarga ini, Liem Seeng Tee mempelajari baik bahasa Hokkien maupun bahasa Mandarin.[1] Di sini ia juga membantu usaha kecap keluarga tirinya, dan belajar cara berbisnis dari sana.[1]
Di usia sebelas tahun, Liem Seeng Tee memutuskan untuk tinggal di tempat lain.[7] Ia bekerja di sebuah restoran kecil dan tinggal di sana dalam kondisi serba keterbatasan.[7] Ia dibayar dengan gaji sangat murah dan malamnya ia tidur di meja yang ada di sana.[7] Setelah beberapa lama, ia memutuskan untuk berganti pekerjaan untuk mendapatkan pemasukan yang lebih baik.[7] Pemilik restoran menyetujui dan bahkan memberikan sedikit uang kepadanya.[7] Ia menggunakan uang itu untuk membeli sepeda bekas dan mulai berjualan batu bara di Surabaya.[7]
Setelah beberapa lama, ia memutuskan untuk berhenti berjualan batu bara dan beralih menjadi penjual makanan untuk penumpang di kereta kelas bawah.[1] Selama delapan belas bulan, tanpa libur sehari pun, Liem Seeng Tee berjualan di kereta-kereta yang beroperasi antara Surabaya dan Jakarta, menjual roti dan makanan yang dikantungkan di sarungnya.[1] Setelah itu, ia dipekerjakan oleh perusahaan kereta untuk melayani penumpang kelas satu yang sebagian besar adalah warga Belanda, dan di sana ia belajar bahasa Belanda.[8]
Memulai bisnis keluarga (1912 - 1933)
Sebelum memulai pekerjaannya di kereta, Liem bertemu dengan peranakan Tionghoa bernama Siem Tjiang Nio yang tinggal di pusat kota Surabaya.[1] Ketika ia berusaha melamarnya, orang tua Siem Tjiang Nio tidak setuju karena ia tidak memiliki pendidikan dan pekerjaan tetap, latar belakang keluarganya pun tidak jelas.[9] Namun kakek dan nenek Siem Tjiang Nio percaya kepadanya dan bersedia memberikan restu mereka.[9] Liem pun menikahi Siem Tjiang Nio secara diam-diam pada tahun 1912.[1] Pasangan ini tinggal di Jalan Gang Gembong, Surabaya. Di sini, Siem Tjiang Nio juga membuka usaha dengan berjualan kue.[10].
Setelah beberapa saat bekerja di kereta, Liem mendapatkan kesempatan untuk bekerja di sebuah perusahaan rokok di Lamongan yang berjarak sekitar 46 km dari kota Surabaya.[9]. Meskipun jauh, ia memutuskan untuk mengambil pekerjaan ini karena upahnya yang menarik.[9]. Setelah enam bulan bekerja dan dengan uang tabungannya ia menyewa kios kecil di Jalan Cantian Pojok, Surabaya.[1] Di sini ia menjual berbagai keperluan pokok, termasuk rokok.[11] Selain itu, untuk menambah pemasukan, ia juga berkeliling berjualan rokok ke pengecer dan grosir dengan menggunakan sepeda.[11] Pada tahun 1913, ia mendirikan badan usaha dengan nama Handel Maatschappij Liem Seeng Tee.[11]
Pada tahun 1914, dilakukan pembangunan jembatan baru dan karenanya arus lalu lintas diarahkan melalui jalan di depan toko Lieem Seeng Tee.[1] Karenanya, pembeli menjadi berlimpah dan bisnis Lieem tumbuh dengan cepat.[12] Pada tahun 1915, anak pertamanya, Swie Hwa lahir, diikuti oleh anak keduanya Swie Ling pada tahun 1915.[12] Namun pada tahun 1916, toko kecil ini mengalami kebakaran parah yang menghancurkan bangunan beserta isinya.[12] Beruntung atas bantuan dari keluarga dan koleganya, Liem berhasil membangun kembali rumah dan tokonya dalam waktu satu minggu.[13]
Tak lama setelah rumahnya terbakar, Liem mendapatkan kabar bahwa ada sebuah perusahaan pedagang rokok yang bangkrut dan terpaksa menjual berbagai jenis rokok. Dengan bantuan tabungan dari istrinya, Liem membeli aset-aset perusahaan tersebut. Setelah melakukan pembelian ini, usahanya berkembang makin pesat. Toko Liem disukai karena campuran tembakaunya yang khas dan bisa disesuaikan dengan keinginan pembelinya.
Pada tahun 1921, anak perempuannya, Sie Nio, lahir, diikuti oleh kelahiran Hew Nio pada tahun 1926. Karena baik bisnis maupun jumlah keluarganya semakin besar, Liem memutuskan untuk pindah ke Jalan Gembong nomor 72-73.
Pada masa ini ia bereksperimen dengan campuran tembakau dan akhirnya ia berhasil menciptakan Dji Sam Soe, sebuah merek yang menjadi sumber kesuksesan keluarganya hingga empat generasi ke depan. Liem Seeng Tee bertekad menjadikan perusahaannya sebagai "Raja Tembakau" dengan menempatkan huruf Tionghoa "Ong" (王), yang berarti "raja", di depan produk unggulannya, Dji Sam Soe. Kemudian ia menggabungkan simbol "Ong" dengan huruf Tionghoa yang berarti "rakyat" sehingga menghasilkan kombinasi huruf Tionghoa yang bermakna "Sampoerna".
Liem Seeng Tee sendiri sangat percaya dengan mitos Tiongkok bahwa angka 9 mempunyai makna akan kesempurnaan dan keberuntungan, dengan dijumlahkannya angka 234 menjadi 9, Liem percaya bahwa kelak perusahaannya akan selalu beruntung. Oleh Sebab itu, dimulai dari merek dagang pertamanya Dji Sam Soe, nama perusahaannya HM Sampoerna, serta jumlah bintang beserta sudut-sudutnya mengandung angka 9. Filosofi itulah yang dipegang terus hampir satu abad lamanya.
Taman Sampoerna (1933 - 1942)
Meskipun telah menjadi badan usaha pada tahun 1913, butuh waktu hingga 19 tahun sebelum akhirnya Liem mampu membeli dan membuka pabrik besar untuk usahanya. Pada tahun 1932, Liem membeli sebuah properti bekas panti asuhan dari sebuah yayasan Belanda. Kompleks gedung ini cukup luas, dilengkapi dengan sebuah audiotorium dan dua rumah. Liem kemudian merenovasinya dan pindah ke sana pada tahun 1933, kemudian memberinya nama "Taman Sampoerna."
Auditorium di gedung tersebut pun diubah menjadi teater dan bioskop yang dilengkapi proyektor moderen, menampilkan film-film Barat yang populer kala itu. Teater ini buka setiap hari, kecuali di hari tahun baru Tionghoa. Beberapa tokoh populer yang pernah mendatangi teater ini antara lain Charlie Chaplin (pada 1932) serta Soekarno (pada 1938).
Setiap harinya, pekerja datang pukul 05.00 untuk sarapan di kantin. Kebanyakan bekerja selama 12-15 jam sehari, tujuh hari seminggu.
Selain Dji Sam Soe, Sampoerna juga membuat rokok lain seperti Sampoerna Star, Summer Palace, dan Statue of Liberty. Dji Sam Soe merupakan satu-satunya produk Sampoerna yang tidak bisa dibeli secara kredit - para agen harus membayar dengan uang kas untuk mendapatkannya. Nilai Dji Sam Soe ketika itu sangat tinggi, dan seringkali digunakan sebagai alat tukar menggantikan mata uang kolonial Belanda yang kurang stabil.
Perang dan kemerdekaan (1942 - 1949)
Ketika mendengar tentara Jepang sudah memasuki wilayah Wonokromo, Liem membuka pintu koperasi dan ruang persediaan sehingga karyawannya bisa mengambil semua yang ada di sana - ia memilih memberikannya kepada tetangga dan karyawan alih-alih dirampas tentara Jepang. Sekitar enam jam setelah Belanda menyerah di Wonokromo, pasukan Jepang datang ke Taman Sampoerna. Liem kemudian ditahan dan di saat yang sama, Tjiang Nio ditodong dan dipaksa membuka brankas dan penyimpanan harta keluarga. Namun sebelum pergi, seorang perwira Jepang menceritakan bahwa ia pun memiliki istri dan tiga anak yang menunggunya di rumah. Tak tega melihat anak-anak Liem dan Tjiang Nio menderita, perwira Jepang tersebut memberikan empat buah perhiasan untuk dijual. Di penjara Koblen, Surabaya, Liem dituduh membantu RRT dalam perang melawan Jepang dengan mengirimkan dana ke sana. Liem menolak tuduhan ini, namun ia tetap dikirim ke kamp konsentrasi di Ngawi, Jawa Timur, sekitar dua jam Barat Daya Surabaya. Tentara Jepang kemudian menggunakan pabrik Liem untuk memproduksi rokok mereka sendiri, "Fuji."
Meski berpindah-pindah, sebagian besar masa penahanan Liem dihabiskan di penjara Cimahi. Berkat kontak personal yang dimiliki, keluarga Liem bisa mengirimkan barang-barang seperti surat, makanan kaleng, dan rokok untuk Liem di penjara. Di penjara ini, Liem yang ketika itu bisa berbicara dalam bahasa Mandari, Hokkien, Jawa, Belanda, dan Indonesia, mempelajari cara menulis huruf Tiongkok dari sesama tahanan. Tak beberapa lama, anak Liem juga ikut ditahan Jepang - Swie Hwa dipenjara selama sembilan bulan karena melakukan bisnis rokok sementara Swie Lieng ditahan atas tuduhan menjadi mata-mata Belanda.
Pada tanggal 27 Agustus 1945, sepuluh hari setelah Soekarno menyatakan kemerdekaan Indonesia, Liem dilepaskan dari penjara dan bertemu keluarganya di Jakarta. Dari sana, mereka bersama-sama berjuang kembali ke Taman Sampoerna. Namun sesampainya di sana, mereka menemukan bahwa baik rumah maupun pabrik mereka sudah hancur dijarah. Rumah mereka di Ngaglik pun ditempati penghuni liar sehingga mereka terpaksa mengungsi mencari tempat tinggal sementara. Mereka tinggal di sana selama beberapa minggu hingga akhirnya bisa kembali ke rumah mereka. Sejak peristiwa ini terjadi, tanggal 27 Agustus, tanggal pelepasan Liem, dirayakan dengan acara Selamatan setiap tahunnya.
Pada tahun 1946, para pejuang kemerdekaan saat itu menangkapi mereka yang dicurigai bekerja sama dengan penjajah, sebagian besar merupakan orang Belanda atau orang Tiongkok. Karena alasan ini, Swie Ling mengungsi bersama anaknya Thian Tao (2 tahun kala itu), dan istrinya, Nan, yang sedang mengandung. Awalnya mereka mengungsi ke Hong Kong, namun untuk keselamatan, Nan diungsikan ke Belanda sementara Swie Ling kembali ke Surabaya yang saat itu masih dalam keadaan kacau. Nan akhirnya melahirkan anak kedua mereka, Tien Pao, di Schiedam, Belanda. Pada tahun 1948, Swie Ling meninggalkan Surabaya dan pergi ke Jakarta untuk menemui istri dan kedua anaknya yang terlebih dahulu sampai di sana. Tak lama, Nan melahirkan putra ketiganya, Thian Hok.
Pada tahun 1949, meski Surabaya masih dilanda kekacauan, Liem berhasil membangun kembali Taman Sampoerna beserta teaternya. Tidak hanya itu, karena beberapa bagian hancur total, ia merombak dan menatarkan fasilitas di sana. Di akhir 1949, Taman Sampoerna sudah aktif sepenuhnya seperti sedia kala.
Pembangunan kembali (1949 - 1954)
Pada tahun 1950-an, fisik Liem Seeng Tee menjadi lemah, yang terutama diakibatkan kondisi yang dialaminya saat berada dalam tahanan tentara Jepang. Namun ia tetap meneruskan kebiasaan menginspeksi pabrik dan bertemu dengan staf serta manajernya. Pada masa ini, terdapat pertentangan antara Liem Seeng Tee dengan anaknya, Swie Ling. Untuk menghindari pertikaian lebih dalam, istri Liem kemudian mengusulkan pada anaknya untuk pindah dari Surabaya ke Bali. Enam bulan kemudian, Swie Lieng menemukan tempat yang cocok di Diponegoro dan mendirikan pabrik di sana dan menamainya PT Panama dengan merek produk Panamas Kuning. Meneruskan tradisi ayahnya, ia mendirikan rumah bambu dekat pabriknya tersebut. Untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik, Nan, istri Swie Ling, membawa anak-anaknya tinggal di Hong Kong, kemudian di Melbourne, dan akhirnya mereka dikuliahkan di Texas.
Kebangkitan komunis di Indonesia (1954 - 1960)
Kebangkitan komunis di Indonesia mengakibatkan timbul perpecahan antara manajemen dan pekerja di berbagai perusahaan, tak terkecuali perusahaan Swie Ling. Karena perpecahan ini, ia tak bisa lagi datang melihat pabriknya di jam kerja dan menyerahkan pengelolaannya ke manajer yang loyal kepadanya. Pada akhir tahun 1954, polisi datang ke pabrik untuk menyelidiki pelanggaran terhadap aturan kerja serikat buruh. Mereka pun menangkap beberapa manajer Swie Ling dan memenjarakannya. Mendengar ini, Swie Ling langsung mendatangi kantor polisi setempat, mengabaikan permintaan keluarganya untuk tetap tinggal. Ia meminta polisi tersebut menahannya alih-alih menangkap manajernya, karena mereka hanya mengikuti perintahnya. Setelah debat yang cukup lama, kepala polisi kemudian setuju dan menahan Liem selama sepuluh tahun. Di kemudian hari Liem berkomentar bahwa penjara tersebut terasa seperti hotel mewah bila dibandingkan penjara yang ia tempati selama masa penjajahan Jepang.
Pada tahun 1955, istri Liem, Tjiang Niao meninggal karena kanker. Tingkat kesehatan Liem yang kala itu juga tengah mengalami masalah akibat hubungan pekerja dan manajmen yang buruk pun mulai menurun. Pada tahun 1960, Liem Seeng Tee meninggal akibat gagal jantung di usia 63 tahun.
Generasi kedua
Dalam tradisi keluarga Tionghoa, ketika seorang kepala keluarga meninggal, yang mewariskan bisnis keluarga adalah anak tertua di keluarga tersebut. Namun saat itu, anak tertua Liem, Swie Hua, sudah memiliki bisnis perdagangan tembakau sendiri di Jawa Tengah dan Kudus yang kondisi finansialnya saat itu mendekati bahkan di atas Sampoerna. Anak keduanya, Swie Ling, sudah membangun pabrik rokok sendiri, PT Panamas, di Bali. Anak bungsunya, Kwang, tidak menunjukkan minat terhadap bisnis ini. Akhirnya bisnis rokok Sampoerna dilanjutkan oleh anak ketiga dan keempatnya, Sien dan Hwee, bersama dengan suami masing-masing.
Setelah kematian Liem, bisnis rokok Sampoerna jatuh memburuk. Hal ini diperparah dengan adanya konflik manajemen dan buruh, serta persaingan bisnis yang semakin ketat terutama dari perusahaan-perusahaan asing yang menjual rokok sigaret kretek mesin. Di tahun 1959, pabrik-pabrik rokok Sampoerna dapat dikatakan hampir tidak beroperasi. Sebagian besar mesin pengaduk dan pembuat sigaret sudah dijual dan perusahaan dalam kondisi terpecah-pecah, terancam kebangkrutan.
Swie Hwa, anak pertama Liem, merasa perlu melakukan sesuatu. Namun masalahnya ia sudah memiliki bisnis perdagangan tembakau sendiri. Ia pun mengirimkan surat kepada adiknya, Swie Ling, di Bali dan menceritakan kondisi Taman Sampoerna kini, memohonny auntuk kembali. Mendengar betapa terpuruknya Taman Sampoerna, Swie Ling setuju untuk kembali. Ia mulai merintis kembali perusahaan tersebut dan memfokuskan produksinya pada merek Dji Sam Soe.
Perusahaan keluarga Sampoerna
Anggota keluarga
Anggota keluarga Sampoerna pemimpin perusahaan
Generasi pertama
- Liem Seeng Tee (1893-1956)
Generasi kedua
- Boedi Sampoerna (29 Desember 1934-8 Agustus 2011)
- Aga Sampoerna (1915-1994)
- Putera Sampoerna
Generasi ketiga
Referensi
- ^ a b c d e f g h i j k Meeks, John N. (1994). "Sampoerna's Founder Story". http://houseofsampoerna.museum/. PT HM Sampoerna Tbk. Diakses tanggal 27 Mei 2014. Hapus pranala luar di parameter
|website=
(bantuan) - ^ a b Gessler 2007, hlm. 5.
- ^ a b Gessler 2007, hlm. 2.
- ^ a b Gessler 2007, hlm. 4.
- ^ a b c d e Gessler 2007, hlm. 9.
- ^ a b Gessler 2007, hlm. 10.
- ^ a b c d e f g Gessler 2007, hlm. 12.
- ^ Gessler 2007, hlm. 14.
- ^ a b c d Gessler 2007, hlm. 18.
- ^ Gessler 2007, hlm. 20.
- ^ a b c Gessler 2007, hlm. 23.
- ^ a b c Gessler 2007, hlm. 24.
- ^ Gessler 2007, hlm. 25.
Daftar pustaka
Gessler, Diana H. (2007). The Sampoerna Legacy: A Family & Business History. Putra Sampoerna Foundation. ISBN 978-981-05-8021-6.