Langgur

Revisi sejak 2 Mei 2016 16.42 oleh Japra Jayapati (bicara | kontrib) (←Membuat halaman berisi ''''Langgur''' adalah ibukota dari Kabupaten Maluku Tenggara di Provinsi Maluku, Indonesia. Langgur menggantikan Tual sebagai ibukota Kabupaten Ma...')
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Langgur adalah ibukota dari Kabupaten Maluku Tenggara di Provinsi Maluku, Indonesia. Langgur menggantikan Tual sebagai ibukota Kabupaten Maluku Tenggara berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2011, tanggal 20 Juli 2011, tentang Pemindahan Ibukota Maluku Tenggara dari Wilayah Kota Tual ke Wilayah Kecamatan Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara yang selanjutnya disebut Kota Langgur.

Sejarah

Ohoingur

Kota Langgur bermula dari sebuah pemukiman kecil di pesisir timur Pulau Kei Kecil bernama Ohoingur (Kampung Pasir). Ohoingur adalah salah satu dari kampung-kampung yang menurut tradisi bernaung di bawah kekuasaan Raja Tual di Pulau Kai Dullah. Tidak seperti Namser dan Har, Ohoingur tidak tergolong pemukiman yang besar dan ramai, karena bukan tempat persinggahan utama para saudagar nusantara yang berlayar ke Kepulauan Aru, Papua, dan pesisir utara Australia. Kurangnya kontak langsung dengan dunia luar menjadikan warga Ohoingur teguh berpegang pada kepercayaan warisan leluhur, meskipun banyak warga Tual dan beberapa kampung di sekitarnya sudah memeluk agama Islam.

Karena Kei tidak menghasilkan cengkih, pala, maupun emas, kepulauan ini nyaris diabaikan oleh VOC, dan hanya segelintir orang asing yang pernah menyinggahinya. Setelah VOC bangkrut pada 1796, Pemerintah Kolonial Hindia-Timur Belanda membentuk Gubernemen Maluku Selatan (Bahasa Belanda: Gouvernement der Zuid Molukken) yang juga meliputi kepulauan Kei dan pulau-pulau tenggara lainnya. Karena Pemerintah Kolonial Belanda menilai penyelenggaraan administrasi secara langsung di daerah tanpa hasil bumi bernilai tinggi akan lebih besar pasak dari pada tiang, maka kepulauan Kei pun hanya dikunjungi secara berkala atau bilamana timbul situasi genting yang memerlukan campur tangan pemerintah. Pejabat Gubernemen akan mengelilingi kepulauan ini dengan kapal uap berbendera Belanda dan diperlengkapi meriam guna menjalin atau memperbaharui persekutuan dengan para pemimpin pribumi setempat, atau untuk menyelesaikan pertikaian besar. Bilamana para pemimpin pribumi datang menghadap, Gubernemen akan menghadiahi mereka dengan cendera mata berupa tongkat-jalan berkepala perak (rottingknoppen), panji-panji, seperangkat senjata, dan kadang-kadang sepucuk meriam perunggu demi meninggikan derajat sekutu-sekutu yang setia itu.

Kebijakan etis baru yang diberlakukan pada 1870 mewajibkan Pemerintah Kolonial Belanda untuk "membimbing dan membantu masyarakat pribumi mencapai taraf peradaban yang lebih tinggi, sehingga mereka dapat menikmati buah-buah dari kerja, usaha, dan ketertiban." Pada 1870 juga, untuk meningkatkan investasi di daerah jajahan, pemerintah Batavia mengeluarkan sebuah Akta Agraria (Agrarische Wet) baru yang memperbolehkan usaha swasta mendapatkan hak sewa guna selama 75 tahun, yang dapat dialihkan kepemilikannya, atas tanah yang tidak diusahakan.

Pada 1882, Gubernemen Maluku Selatan membentuk sebuah Posthouderschaap di Tual sebagai penyelia urusan-urusan pemerintahan di daerah ini. Pada tahun yang sama, Adolf Langen, seorang pengusaha Jerman, mencoba peruntungannya dengan membuka usaha penggergajian kayu di Tual untuk menyuplai kayu ulin gergajian kepada pusat-pusat pembuatan kapal di Makassar dan Batavia.

Langen yang terkesan dengan dampak positif karya misi Katolik pada masyarakat Larantuka di pulau Flores beranggapan bahwa hal yang sama dapat pula terjadi pada masyarakat Kei. Pada 1887, Langen mengirimkan sepucuk surat kepada Uskup Adamus Carel Claessens, Vikaris Apostolik Batavia, memintanya mendirikan misi Katolik di kepulauan Kei.

Langgur

Untuk membendung pesatnya perkembangan agama Islam yang mereka curigai memupuk fanatisme dan pemberontakan, Pemerintah Kolonial Belanda dengan segera mengabulkan permohonan Gereja Katolik untuk membuka misi di kepulauan Kei. Pada 1888, dua orang misionaris Heilig Hart (Misionaris Hati Kudus) tiba di Tual. Agama Islam yang sudah kuat berakar di Tual membuat usaha mereka sia-sia.

Setahun kemudian, Ohoingur dilanda wabah kolera. Jan Kusters, salah seorang misionaris, datang membagi-bagikan obat-obatan kepada penduduk Ohoingur dan akhirnya berhasil mendapatkan kepercayaan dan rasa hormat mereka. Pada 1889 untuk pertama kalinya dilakukan upacara pembaptisan di Ohoingur, dan pada 1890 misi dipindahkan ke Ohoingur.

Misi Katolik di Ohoingur didukung oleh D. Heyting, Residen Ambon, dan dikunjungi oleh penggantinya G.W.W.C. van Hoëvell. Ketika warga Ohoingur menolak memberikan sumbangan untuk ongkos ibadah haji isteri seorang kapitan Tual, mereka dibela oleh Residen. Ohoingur dilepaskan dari pengaruh Raja Tual oleh Residen dengan mengangkat kepala kampung Ohoingur menjadi Orang Kaya dengan status yang setara dengan Raja Tual.

Warga Ohoingur berpendapat bahwa kemajuan dan kebebasan yang mereka dapatkan berpunca pada gagasan Adolf Langen. Sebagai penghargaan atas jasa-jasa usahawan Jerman yang beragama Kristen Protestan dari Gereja Lutheran itu, mereka menyebut kampungnya dengan nama lain, Langgur, yang konon berasal dari kata-kata Langen Gur (Langen Sang Guru). Nama Ohoingur digunakan dalam percakapan yang menggunakan bahasa Kei, sementara nama Langgur digunakan bilamana mereka bercakap-cakap dalam bahasa lain.

Referensi

  • Timothy Lindsey (2008). Indonesia, Law and Society. Federation Press.
  • Jan Sihar Aritonang, Karel Adriaan Steenbrink (2008). A History of Christianity in Indonesia. BRILL.
  • Karel A. Steenbrink (2002). Catholics in Indonesia, 1808-1900: A Documented History. KITLV Press.