Keraton Surakarta Hadiningrat

bangunan istana di Indonesia
Revisi sejak 26 Oktober 2016 02.40 oleh AABot (bicara | kontrib) (Bot: Penggantian teks otomatis (-Pranala Luar +Pranala luar))

Keraton Surakarta (Bahasa Jawa: Hanacaraka, ꦑꦼꦫꦡꦺꦴ​ꦟ꧀ꦯꦸꦫꦑꦂꦡ​ꦲꦢꦶꦟꦶꦁꦫꦡ꧀, Karaton Surakarta Hadiningrat) adalah istana resmi Kasunanan Surakarta yang terletak di Kota Surakarta, Jawa Tengah. Keraton ini didirikan oleh Susuhunan Pakubuwana II pada tahun 1744 sebagai pengganti Istana/Keraton Kartasura yang porak-poranda akibat Geger Pecinan 1743.

Sri Radya Laksana, lambang Kasunanan Surakarta.

Walaupun Kasunanan Surakarta tersebut secara resmi telah menjadi bagian Republik Indonesia sejak tahun 1945, kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi sebagai tempat tinggal Sri Sunan dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan tradisi kerajaan hingga saat ini. Keraton ini kini juga merupakan salah satu objek wisata utama di Kota Surakarta. Sebagian kompleks keraton merupakan museum yang menyimpan berbagai koleksi milik kasunanan, termasuk berbagai pemberian dari raja-raja Eropa, replika pusaka keraton, dan gamelan. Dari segi bangunannya, keraton ini merupakan contoh arsitektur istana Jawa tradisional yang terbaik.

Sejarah

 
Susuhunan Pakubuwana X bersama Sultan Hamengkubuwana VII dan putra mahkota Kesultanan Yogyakarta berfoto bersama di Bangsal Maligi, Keraton Surakarta (sekitar tahun 1910-1921).

Kesultanan Mataram yang kacau akibat pemberontakan Trunajaya tahun 1677 ibukotanya oleh Susuhunan Amangkurat II dipindahkan di Kartasura. Pada masa Susuhunan Pakubuwana II memegang tampuk pemerintahan, Mataram mendapat serbuan dari pemberontakan orang-orang Tionghoa yang mendapat dukungan dari orang-orang Jawa anti VOC tahun 1742, dan Mataram yang berpusat di Kartasura saat itu mengalami keruntuhannya. Kota Kartasura berhasil direbut kembali berkat bantuan Adipati Cakraningrat IV, penguasa Madura Barat yang merupakan sekutu VOC, namun keadaannya sudah rusak parah. Susuhunan Pakubuwana II yang menyingkir ke Ponorogo, kemudian memutuskan untuk membangun istana baru di Desa Sala sebagai ibukota Mataram yang baru.

Bangunan Keraton Kartasura yang sudah hancur dan dianggap "tercemar". Susuhunan Pakubuwana II lalu memerintahkan Tumenggung Hanggawangsa bersama Tumenggung Mangkuyudha, serta komandan pasukan Belanda, J.A.B. van Hohendorff, untuk mencari lokasi ibu kota/keraton yang baru. Untuk itu dibangunlah keraton baru berjarak 20 km ke arah tenggara dari Kartasura, tepatnya di Desa Sala, tidak jauh dari Bengawan Solo. Untuk pembangunan keraton ini, Susuhunan Pakubuwana II membeli tanah seharga selaksa keping emas yang diberikan kepada akuwu (lurah) Desa Sala yang dikenal sebagai Ki Gede Sala. Saat keraton dibangun, Ki Gede Sala meninggal dan dimakamkan di area keraton.

Setelah istana kerajaan selesai dibangun, nama Desa Sala kemudian diubah menjadi Surakarta Hadiningrat. Istana ini pula menjadi saksi bisu penyerahan kedaulatan Kesultanan Mataram oleh Susuhunan Pakubuwana II kepada VOC pada tahun 1749. Setelah Perjanjian Giyanti tahun 1755, keraton ini kemudian dijadikan istana resmi bagi Kasunanan Surakarta.

Arsitektur

 
Gapura Gladhag.
 
Alun-alun Lor (Utara).

Keraton (Istana) Surakarta merupakan salah satu bangunan yang eksotis di zamannya. Salah satu arsitek istana ini adalah Pangeran Mangkubumi (kelak bergelar Sultan Hamengkubuwana I) yang juga menjadi arsitek utama Keraton Yogyakarta. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika pola dasar tata ruang kedua keraton tersebut (Yogyakarta dan Surakarta) banyak memiliki persamaan umum. Keraton Surakarta sebagaimana yang dapat disaksikan sekarang ini tidaklah dibangun serentak pada 1744-1745, namun dibangun secara bertahap dengan mempertahankan pola dasar tata ruang yang tetap sama dengan awalnya. Pembangunan dan restorasi secara besar-besaran terakhir dilakukan oleh Susuhunan Pakubuwana X yang bertahta 1893-1939. Sebagian besar keraton ini bernuansa warna putih dan biru dengan arsitekrur gaya campuran Jawa-Eropa.

Secara umum pembagian keraton meliputi: Kompleks Alun-alun Lor/Utara, Kompleks Sasana Sumewa, Kompleks Siti Hinggil Lor/Utara, Kompleks Kamandungan Lor/Utara, Kompleks Sri Manganti Lor/Utara, Kompleks Kedaton, Kompleks Kamagangan, Kompleks Sri Manganti Kidul/Selatan (?) dan Kamandungan Kidul/Selatan, serta Kompleks Siti Hinggil Kidul/Selatan dan Alun-alun Kidul/Selatan. Kompleks keraton ini juga dikelilingi dengan baluwarti, sebuah dinding pertahanan dengan tinggi sekitar tiga sampai lima meter dan tebal sekitar satu meter tanpa anjungan. Dinding ini melingkungi sebuah daerah dengan bentuk persegi panjang. Daerah itu berukuran lebar sekitar lima ratus meter dan panjang sekitar tujuh ratus meter. Kompleks keraton yang berada di dalam dinding adalah dari Kamandungan Lor/Utara sampai Kamandungan Kidul/Selatan.

Kompleks Alun-alun Lor/Utara

 
Pagelaran Sasana Sumewa.
 
Bagian dalam Pagelaran Sasana Sumewa.

Kompleks ini meliputi Gladag, Pangurakan, Alun-alun Lor, dan Masjid Agung Surakarta. Gladag yang sekarang dikenal dengan Perempatan Gladag di Jalan Slamet Riyadi Surakarta. Pada zaman dahulu, space area di sekitar Gladag dan gapura kedua dipakai sebagai tempat menyimpan binatang hasil buruan sebelum digladag (dipaksa) dan disembelih di tempat penyembelihan. Wujud arsitektur pada kawasan Gladag ini mengandung arti simbolis ajaran langkah pertama dalam usaha seseorang untuk mencapai tujuan ke arah Manunggaling Kawula Gusti (Bersatunya Rakyat dengan Raja). Alun-alun merupakan tempat diselenggarakannya upacara-upacara kerajaan yang melibatkan rakyat. Selain itu alun-alun menjadi tempat bertemunya Sri Sunan dan rakyatnya. Di pinggir alun-alun ditanami sejumlah pohon beringin. Di tengah-tengah alun-alun terdapat dua batang pohon beringin (Ficus benjamina; Famili Moraceae) yang diberi pagar. Kedua batang pohon ini disebut Waringin Sengkeran (harfiah = beringin yang dikurung) yang diberi nama Dewadaru dan Jayadaru.

Di sebelah barat alun-alun utara berdiri Masjid Agung Surakarta. Masjid raya ini merupakan masjid resmi kerajaan dan didirikan oleh Susuhunan Pakubuwana III pada tahun 1750 (Kasunanan Surakarta merupakan kerajaan Islam). Bangunan utamanya terdiri dari atas serambi dan masjid induk. Di sebelah utara alun-alun terdapat bangsal kecil yang disebut Bale Pewatangan dan Bale Pekapalan. Tempat ini pada zaman dahulu dipergunakan oleh prajurit dan kudanya untuk beristiahat setelah berlatih. Beberapa balai lain terdapat disekitar alun-alun yang dipergunakan untuk karyawan-karyawan keraton menempatkan kudanya. Tempat menambatkan kuda sudah tidak dapat dijumpai lagi saat ini. Bangunan-bangunan lain di sekeliling alun-alun sekarang dipergunakan sebagai kios penjual cinderamata. Di sebelah barat daya Alun-alun Lor (ke arah Pasar Klewer) dan sebelah timur laut (ke arah Pasar Beteng dan Pusat Grosir Solo) terdapat dua gapura besar yang berfungsi sebagai pintu keluar dari Alun-alun Lor yang bernama Gapura Batangan dan Gapura Klewer.

Kompleks Sasana Sumewa dan Kompleks Siti Hinggil Lor/Utara

 
Tratag Siti Hinggil Lor yang disebut Sasana Sewayana.
 
Bangsal Witana dengan Krobongan Bale Manguneng di tengahnya.
Berkas:Bale Bang Keraton Surakarta.jpg
Bale Bang di sebelah barat Bangsal Witana, sebagai tempat penyimpanan gamelan.

Sasana Sumewa merupakan bangunan utama terdepan di Keraton Surakarta. Tempat ini pada zamannya digunakan sebagai tempat untuk menghadap para punggawa (pejabat menengah ke atas) dalam upacara resmi kerajaan. Di kompleks ini terdapat sejumlah meriam yang diberi nama Kyai Pancawura atau Kyai Sapu Jagad, Kyai Syuhbrasta, Kyai Segarawana dan Kyai Santri. Meriam ini dibuat pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma. Di sebelah selatan Sasana Sumewa terdapat kompleks Siti Hinggil. Di halaman Sasana Sumewa juga terdapat Tugu Tomaswarsa, yaitu tugu yang didirikan untuk memperingati usia 200 tahun Kasunanan Surakarta.

Sasana Sumewa sendiri adalah bangunan yang berada di sebelah selatan pohon Waringin Gung dan Waringin Binatur. Bangunan besar ini memiliki citra konstruksi atap kampung tridenta (atap kampung berjajar tiga dengan bagian tengah lebih kecil) yang disangga oleh kolom tembok persegi berjumlah 48 buah. Atap dan langit-langit bangunan ini terbuat dari bahan seng. Sedangkan lantai bangunan ini ditinggikan dan diplester. Sesuai dengan namanya (pagelaran = area terbuka; sasana = tempat = rumah; sumewa = menghadap), fungsi Sasana Sumewa pada zaman dulu adalah sebagai tempat menghadap Pepatih Dalem, para Bupati, dan atau Bupati Anom kebawah golongan luar. Kegiatan menghadap Sri Sunan tersebut biasanya dilakukan pada saat-saat seperti hari besar Bagda Mulud (yang diselenggarakan tiga kali dalam setahun), ulang tahun Sri Sunan, peringatan naik tahta, dan sebagainya. Di tengah-tengah bangunan ini terdapat Bangsal Pangrawit (salah satu sisa bangunan bangsal di Keraton Kartasura yang ikut dipindahkan ke Keraton Surakarta pada tahun 1745), sebuah bangsal kecil yang berfungsi sebagai tempat singgasana tahta Sri Sunan ketika upacara-upacara kebesaran dan ketika melantik pejabat kerajaan.

Siti Hinggil Lor merupakan suatu kompleks yang dibangun di atas tanah yang lebih tinggi dari sekitarnya. Kompleks ini memiliki dua gerbang, satu di sebelah utara yang disebut dengan Kori Wijil dan satu di sebelah selatan yang disebut dengan Kori Renteng. Pada tangga Siti Hinggil sebelah utara terdapat sebuah batu yang digunakan sebagai tempat pemenggalan kepala Trunajaya yang disebut dengan Sela Pamecat. Terdapat delapan pucuk meriam yang diletakkan di sebelah utara Siti Hinggil Lor, dari barat ke timur masing-masing adalah Kyai Bringsing, Kyai Bagus, Kyai Nakula, Kyai Kumbarawa, Kyai Kumbarawi, Kyai Sadewa, Kyai Alus, dan Kyai Mahesa Kumali atau Kyai Kadal Buntung.

Bangunan utama di kompleks Siti Hinggil Lor adalah Sasana Sewayana yang digunakan para pembesar dalam menghadiri upacara kerajaan. Selain itu terdapat Bangsal Manguntur Tangkil. Bangsal ini berfungsi sebagai tempat singgasana tahta Sri Sunan saat menerima para pimpinan. Kemudian di sebelah selatan terdapat Bangsal Witana, tempat persemayaman pusaka kebesaran kerajaan selama berlangsungnya upacara. Bangsal yang terakhir ini memiliki suatu bangunan kecil di tengah-tengahnya yang disebut dengan Krobongan Bale Manguneng, tempat persemayaman pusaka keraton Kangjeng Nyai Setomi, sebuah meriam yang konon dirampas oleh tentara Kesultanan Mataram dari VOC saat menyerbu Batavia. Di sebelah timur Sasana Sewayana dan Witana, terdapat dua bangunan bangsal, yaitu Bangsal Gandhekan Tengen di bagian utara yang digunakan untuk tempat memukul Gamelan Kodhok Ngorek, dan Bangsal Angun-angun di bagian selatan sebagai tempat untuk memukul Gamelan Munggang. Di sebelah baratnya berdiri dua bangunan, masing-masing adalah Bangsal Gandhekan Kiwa di sisi utara yang digunakan sebagai tempat menyiapkan sarana pesta dan upacara, serta Bale Bang di sisi selatan yang digunakan sebagai tempat menyimpan gamelan. Sisi luar timur-selatan-barat kompleks Siti Hinggil Lor merupakan jalan umum yang dapat dilalui oleh masyarakat yang disebut dengan Supit Urang (harfiah = capit udang).

Kompleks Kamandungan Lor/Utara

Berkas:Kori brojonolo lor.jpg
Kori Brajanala Lor (dengan Bangsal Brajanala Tengen dan Bangsal Brajanala Kiwa) dilihat dari Jalan Supit Urang.
 
Bangunan Kori Kamandungan Lor atau Balerata dilihat dari halaman Kamandungan Lor.
 
Garasi kereta kencana keraton di sebelah barat halaman Kamandungan Lor.

Kori Brajanala (Kori Brojonolo) atau Kori Gapit merupakan pintu gerbang masuk utama dari arah utara ke dalam halaman Kamandungan Lor. Gerbang ini sekaligus menjadi gerbang cepuri (kompleks dalam istana yang dilingkungi oleh dinding istana yang disebut baluwarti) yang menghubungkan Jalan Supit Urang dengan halaman dalam istana dan Kawasan Baluwarti. Gerbang ini dibangun oleh Susuhunan Pakubuwana III dengan gaya Semar Tinandu. Semar Tinandu merupakan gerbang yang memiliki atap trapesium, seperti joglo, tanpa tiang dan hanya ditopang oleh dinding yang menjadi pemisah satu kompleks dengan kompleks berikutnya.

Di sisi kanan dan kiri (barat dan timur) dari Kori Brajanala sebelah dalam terdapat Bangsal Wisamarta Tengen dan Bangsal Wisamarta Kiwa, sementara di sisi luarnya (menghadap Jalan Supit Urang) terdapat Bangsal Brajanala Tengen dan Bangsal Brajanala Kiwa. Masing-masing tempat ini berfungsi sebagai lokasi jaga pengawal istana. Selain itu di timur gerbang ini terdapat menara lonceng, dengan lonceng besarnya yang disebut Jam Panggung. Di bagian atas pintu gerbang terdapat sengkalan memet berupa kulit sapi persegi, yang diartikan sebagai Lulang Sapi Siji atau Wolu Ilang Sapi Siji, yang dibaca sebagai tahun 1708 Jawa (1782 Masehi) yang merupakan tahun pembangunan Kori Brajanala oleh Susuhunan Pakubuwana III. Dari halaman ini pula dapat dilihat sebuah menara megah yang disebut dengan Panggung Sangga Buwana (Panggung Songgo Buwono/Menara Songgo Buwono) yang terletak di kompleks berikutnya, Kompleks Sri Manganti.

Di tengah-tengah kompleks ini hanya terdapat halaman kosong, yang juga merupakan jalan yang biasa dilalui masyarakat umum. Bangunan yang terdapat dalam kompleks ini hanya di bagian tepi halaman. Di sisi timur dan barat halaman ini terdapat barak prajurit, yang pada zaman dulu untuk barak sisi timur digunakan oleh prajurit Kasunanan Surakarta dan barak sisi barat digunakan oleh prajurit KNIL. Sekarang bangunan-bangunan tersebut berfungsi sebagai kantor-kantor. Di masing-masing sisi halaman Kamandungan Lor terdapat dua gerbang untuk menuju ke kawasan dalam Baluwarti, masing-masing adalah Kori Gapit Wetan dan Kori Gapit Kulon.

Bangunan utama di kompleks ini adalah Kori Kamandungan Lor/Utara (atau disebut juga Balerata), sebuah gerbang dengan teras terbuka yang bagian atasnya dihiasi dengan ukiran besar berwarna biru-putih (dibuat pada masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwana X). Di bagian atas gerbang Balerata terdapat gambar bendera merah putih dan bermacam senjata perang, di mana di tengahnya terdapat gambar daun kapas, dan di atasnya terdapat gambar mahkota, gambar tersebut secara keseluruhan disebut Sri Makutha Raja, yang merupakan simbol dari keraton Jawa tempo dulu. Pada dindingnya juga dipasang beberapa kaca pengilon, yaitu sebuah cermin berukuran besar. Di sebelah kiri dan kanan Balerata terdapat los-los sebagai tempat parkir kereta-kereta dan mobil-mobil yang akan dipakai oleh Sri Sunan. Sekarang tempat ini berfungsi sebagai Museum Kereta Keraton. Los-los kereta milik keraton juga terdapat di sebelah barat halaman Kamandungan Lor (melewati Kori Gapit Kulon), tepatnya di sisi utara Kori Talang Paten dan Panggung Indra (Panggung Indro/Menara Indro). Kori Talang Paten sendiri merupakan sebuah gerbang sekunder yang terletak di sebelah barat halaman Kamandungan Lor, yang merupakan salah satu jalan masuk menuju Sasana Narendra, tempat kediaman Sri Sunan yang terletak tidak jauh dari Kompleks Karaton Kilen (kawasan tertutup di sebelah barat Kompleks Kedaton).

Kompleks Sri Manganti Lor/Utara

 
Kori Sri Manganti Lor dan Panggung Sangga Buwana.
 
Bangsal Marcukundha.

Untuk memasuki kompleks ini dari sisi utara harus melalui sebuah pintu gerbang yang disebut dengan Kori Kamandungan Lor. Di depan sisi kanan dan kiri gerbang yang bernuansa warna biru dan putih ini terdapat dua arca Dwarapala yang dibuat pada tahun 1930. Di sisi kanan dan kiri pintu besar ini terdapat cermin besar dan diatasnya terdapat suatu hiasan yang terdiri dari senjata dan bendera yang ditengahnya terdapat lambang kerajaan. Hiasan ini disebut dengan Gendera Gula Klapa. Di halaman Sri Manganti terdapat dua bangunan utama yaitu Bangsal Smarakatha disebelah barat dan Bangsal Marcukundha di sebelah timur.

Pada zamannya Bangsal Smarakatha digunakan untuk menghadap para pegawai menengah ke atas dengan pangkat Bupati Lebet ke atas. Tempat ini pula menjadi tempat penerimaan kenaikan pangkat para pejabat senior. Sekarang tempat ini digunakan untuk latihan menari dan mendalang. Kata asmarakatha sendiri memiliki arti sebagai dawuh kang nengsemake atau perkataan yang menyenangkan. Di bagian timur Bangsal Smarakatha terdapat koridor yang menghubungkan Kori Kamandungan Lor dengan Kori Sri Manganti Lor.

Bangsal Marcukundha pada zamannya digunakan untuk menghadap para opsir prajurit, untuk kenaikan pangkat pegawai dan pejabat junior, serta tempat untuk menjatuhkan vonis hukuman bagi kerabat Sri Sunan. Sekarang tempat ini untuk menyimpan Krobongan Madirengga, sebuah tempat untuk upacara sunat/khitan para putra Sri Sunan. Selanjutnya, di sebelah timur bangunan tersebut terdapat sebuah ruang yang menghadap ke barat, yang digunakan sebagai Kantor Wedana.

Di sisi barat daya Bangsal Marcukundha terdapat sebuah menara bersegi delapan yang disebut dengan Panggung Sangga Buwana. Menara yang memiliki tinggi sekitar tiga puluh lima meter ini sebenarnya terletak di dua halaman sekaligus, yaitu pada halaman Sri Manganti dan halaman Kedaton. Namun pintu utamanya terletak di halaman Kedaton. Bagian selatan kompleks ini terdapat Kori Sri Manganti Lor yang menghubungkan Kompleks Sri Manganti dengan Kompleks Kedaton sebagai kawasan inti dari keraton secara keseluruhan.

Kompleks Kedaton

 
Susuhunan Pakubuwana X saat menerima kunjungan Raja Rama V beserta rombongan dari Kerajaan Siam di Bangsal Maligi (foto sekitar tahun 1895-1910).
Berkas:Bangsal-maligi.jpg
Bangsal Maligi tampak dari arah timur.
Berkas:Sasana sewaka.jpg
Bagian dalam bangunan Pendapa Sasana Sewaka dilihat dari Paningrat sisi selatan.

Kori Sri Manganti Lor menjadi pintu untuk memasuki kompleks Kedaton dari utara. Pintu gerbang yang dibangun oleh Susuhunan Pakubuwana IV pada tahun 1792 ini disebut juga dengan Kori Ageng. Bangunan ini memiliki kaitan erat dengan Pangung Sangga Buwana secara filosofis. Pintu yang memiliki gaya Semar Tinandu ini digunakan untuk menunggu tamu-tamu resmi kerajaan. Bagian kanan dan kiri pintu ini dipasang beberapa cermin besar dan dihiasi oleh ragam hias berwarna putih-biru di atas pintu gerbang. Di sisi barat gerbang ini terdapat bangunan Nguntarasana (ruang tunggu para pangeran sebelum menghadap Sri Sunan) dan Kantor Sasana Wilapa.

Halaman utama Kompleks Kedaton ini dialasi dengan pasir hitam dari pantai selatan dan ditumbuhi oleh 72 batang pohon sawo kecik (Manilkara kauki; Famili Sapotaceae) yang ditanam atas prakarsa Susuhunan Pakubuwana IX. Selain itu halaman ini juga dihiasi dengan patung-patung bergaya eropa. Kompleks ini memiliki bangunan utama diantaranya adalah Sasana Sewaka, Bangsal Maligi, Dalem Ageng Prabasuyasa atau Dhatulaya, Sasana Handrawina, dan Panggung Sangga Buwana. Pada halaman ini juga terdapat beberapa patung-patung bergaya Eropa.

Sasana Sewaka aslinya merupakan bangunan peninggalan pendapa Keraton Kartasura. Pada masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwana XII tepatnya pada tahun 1985 tempat ini (bersama dengan Bangsal Maligi, Dalem Ageng Prabasuyasa, dan Sasana Handrawina) pernah mengalami musibah kebakaran. Di bangunan ini pula Sri Sunan bertahta dalam upacara-upacara kebesaran kerajaan seperti tingalandalem jumenengan (peringatan hari kenaikan tahta) dan ulang tahun Sri Sunan. Pendapa besar ini dikelilingi oleh selasar pada masing-masing sisinya yang disebut Paningrat. Pada selasar bagian selatan terdapat dua rangkaian gamelan yaitu Kyai Kadukmanis dan Kyai Manisrengga. Di tengah-tengah bangunan terdapat lampu kristal rasaksa yang disebut Kyai Remeng.

Di sebelah barat bangunan Sasana Sewaka terdapat Sasana Parasdya, sebuah pringgitan atau tempat menggelar pertunjukan wayang kulit. Di sebelah barat Sasana Parasdya terdapat Dalem Ageng Prabasuyasa (praba = cahaya, suyasa = rumah/kediaman). Tempat ini merupakan bangunan inti dan terpenting dari seluruh bangunan yang ada di Keraton Surakarta. Di tempat inilah disemayamkan pusaka-pusaka kebesaran dan juga singgasana tahta (Dhampar Kencana) Sri Sunan serta regalia yang menjadi simbol kerajaan. Di lokasi ini pula Sri Sunan bersumpah ketika mulai bertahta sebelum upacara pemahkotaan dihadapan rakyat dan tamu undangan di Siti Hinggil Lor. Di sisi timur Sasana Sewaka terdapat Bangsal Maligi yang dibangun pada masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwana IX pada tahun 1882, berfungsi sebagai tempat mengkhitankan putra Sri Sunan dari permaisuri.

Bangunan berikutnya adalah Sasana Handrawina. Tempat ini digunakan sebagai tempat perjamuan makan resmi kerajaan. Kini bangunan ini biasa digunakan sebagi tempat seminar maupun gala dinner tamu asing yang datang ke kota Surakarta. Di depan Sasana Handrawina terdapat tiga bangunan serupa bangsal yang berukuran kecil yaitu Bangsal Bujana (tempat menjamu pengikut tamu agung), Bangsal Pradangga (tempat memukul gamelan), dan Bangsal Musik (tempat memainkan musik moderen atau orkes). Pada bagian selatan Sasana Handrawina terdapat bangunan dua lantai yang disebut Sasana Pustaka, perpustakaan istana yang berfungsi sebagai tempat menyimpan berbagai kitab kuno dan naskah-naskah kerajaan. Bangunan utama lainnya di kompleks ini adalah Panggung Sangga Buwana. Menara ini digunakan sebagai tempat meditasi Sri Sunan sekaligus untuk mengawasi Benteng Vastenburg milik Belanda yang berada tidak jauh dari istana. Bangunan yang memiliki lima lantai ini juga digunakan untuk melihat posisi bulan untuk menentukan awal suatu bulan.

 
Bagian dalam bangunan Dalem Ageng Prabasuyasa, dengan senthong atau petanen gading yang menghadap ke selatan (foto sekitar tahun 1910-1930).
 
Bagian dalam bangunan Sasana Handrawina.
Berkas:Taman Sari Bandengan.jpg
Kolam buatan dan tempat meditasi Sri Sunan di dalam kawasan Taman Sari Bandengan.

Panggung Sangga Buwana ini didirikan saat pemerintahan Susuhunan Pakubuwana III. Pembangun Panggung Sangga Buwana adalah Kyai Baturetna, seorang tukang batu, dan Kyai Nayawreksa, seorang tukang kayu (kalang) pada saat itu. Di atas atap menara terdapat figur seseorang sedang menaiki seekor naga yang sekaligus sebagai candrasengkala Naga Muluk Tinitihan Janma (harfiah = naga terbang dikendarai manusia). Arti sengkala tersebut adalah tahun 1708 Jawa (1782 Masehi), tahun pembuatan menara. Menara ini pernah terbakar pada tahun 1954 dan selesai dipugar kembali pada tahun 1978.

Pada sisi timur Kompleks Kedaton terdapat Museum Keraton Surakarta yang diresmikan pada masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwana XII. Bangunan yang dijadikan museum tersebut merupakan bekas Kompleks Kadipaten atau Panti Pangarsa, sebuah kawasan kantor-kantor urusan rumah tangga istana. Kantor-kantor yang terdapat dalam Kompleks Kadipaten adalah Bale Kretarta (Kantor Pemerintah Keraton), Reksa Hardana (Kantor Kas dan Keuangan Keraton), Sitaradya (Kantor Pembesar Pemerintah Keraton), Kantor Mandrasana (Kantor Urusan Kebutuhan Harian), Bale Karta (Kantor Urusan Perbelanjaan Keraton), serta Gedong Karyalaksana (tempat memasak). Pintu masuk utama kawasan museum ini terdapat di Jalan Sidikara (dari halaman Kamandungan Lor ke arah selatan melewati Kori Gapit Wetan), sekaligus menjadi pintu masuk utama bagi wisatawan umum yang ingin menuju Kompleks Kedaton.

Sebelah barat Kompleks Kedaton merupakan tempat tertutup bagi masyarakat umum dan jarang dipublikasikan sehingga tidak banyak yang mengetahui kepastian sesungguhnya. Kawasan ini juga melingkupi kawasan Karaton Kilen (harfiah = istana barat), yang merupakan tempat tinggal resmi Sri Sunan dan keluarga kerajaan yang masih digunakan hingga sekarang. Kawasan tertutup ini terhitung mulai dari sebelah barat dan selatan Dalem Ageng Prabasuyasa. Di sebelah selatan bangunan ini terdapat Dalem Pakubuwanan, sebagai kediaman permaisuri tertua Sri Sunan yang bertahta. Pada kawasan Pakubuwanan ini juga terdapat taman asri yang disebut Nganjarsari. Di bagian selatan Pakubuwanan terdapat pendapa yang menghadap ke arah utara, dinamakan Pendapa Parankarsa yang berfungsi sebagai tempat bersantai Sri Sunan dan keluarganya.

Kompleks lain yang terdapat dalam kawasan tertutup ini adalah Kompleks Argapura atau Gunungan, yang terletak di belakang Dalem Ageng Prabasuyasa. Kawasan bukit buatan ini dikelilingi taman yang disebut Baleretna. Fungsi dari kompleks ini adalah sebagai replika Gunung Meru (melambangkan pusat alam semesta) dalam mitologi Jawa pra-Islam dan sebagai tempat Sri Sunan dan keluarganya berlidung jika sewaktu-waktu istana diserang musuh.

Di sisi barat Kompleks Argapura, terdapat Taman Sari Bandengan. Di tengah-tengah kolam buatan manusia ini berdiri bangunan semacam musala yang digunakan sebagai ruang meditasi oleh Sri Sunan dan para pangeran. Di belakang tepian kolam terdapat tempat yang berisi batu meteor keramat dan tangga dari batu yang menuju ruang meditasi. Pada sisi utara kolam terdapat bangunan Banoncinawi, kediaman para selir Sri Sunan. Bagian barat Kompleks Taman Sari Bandengan terdapat masjid yang bersifat pribadi yaitu Masjid Pudyasana. Kawasan Karaton Kilen sendiri terletak di sebelah selatan Taman Sari Bandengan, dibangun pada masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwana X dengan nama lengkap Karaton Kilen ing Prabasana. Bangunan-bangunan lain yang berada di kawasan bagian barat Keraton Surakarta yang tertutup ini termasuk Keputren (kediaman putri-putri Sri Sunan), Kasatriyan (kediaman putra-putra Sri Sunan), Sasana Putra, dan Sasana Narendra.

Kompleks Magangan, Sri Manganti Kidul/Selatan, Kamandungan, serta Siti Hinggil Kidul/Selatan

 
Bangsal Magangan.
 
Kori Brajanala Kidul.

Kompleks Magangan dahulunya digunakan oleh para calon pegawai kerajaan. Di tempat ini terdapat sebuah pendapa di tengah-tengah halaman yang disebut Bangsal Magangan, yang dipugar pada masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwana XIII. Di sekeliling halaman ini ada bangunan-bangunan untuk menempatkan perlengkapan prajurit seperti keris, pedang, tombak, bedil, pistol, dan pakaian seragam prajurit untuk upacara hari-hari besar kerajaan. Kompleks berikutnya, Sri Manganti Kidul/Selatan dan Kamandungan Kidul/Selatan hanyalah berupa halaman yang digunakan saat upacara pemakaman Sri Sunan maupun permaisuri. Di sekitar Kori Kamandungan Kidul adalah pelataran yang bersifat lebih terbuka untuk umum.

Kompleks terakhir, Siti Hinggil Kidul/Selatan, memiliki sebuah bangunan kecil. Kini kompleks ini digunakan untuk memelihara pusaka keraton yang berupa sekawanan kerbau albino keturunan kerbau pusaka Kyai Slamet (hidup pada masa Susuhunan Pakubuwana II). Kori Brajanala Kidul/Selatan memberikan akses ke Siti Hinggil Kidul. Siti Hinggil Kidul sendiri adalah suatu komplek bangunan pendapa terbuka, yang dikelilingi oleh barisan pagar besi pendek. Pada zaman dahulu di sekitarnya terdapat empat meriam, dua diantaranya kemudian diambil pemerintah untuk diletakkan di AMN Magelang. Berbeda dengan kompleks Siti Hinggil Lor yang megah, komplek Siti Hinggil Kidul dan bangunan maupun kori lain di sebelah selatan keraton berbentuk lebih sederhana dan dibuat dari material yang lebih sederhana pula.

Disebelah selatan Siti Hinggil Kidul dapat dijumpai Alun-alun Kidul/Selatan, alun-alun ini bersifat lebih pribadi dibandingkan Alun-alun Lor/Utara. Alun-alun Kidul dikelilingi oleh tembok benteng yang tinggi dan disekitarnya terdapat beberapa rumah bangsawan dan juga wong cilik yang mencari nafkah di area tersebut. Pada bagian ini, terdapat sebuah bangunan yang di dalamnya disemayamkan sebuah gerbong kereta yang digunakan untuk membawa jenazah Susuhunan Pakubuwana X menuju ke pemakaman Astana Imogiri.

Tembok yang mengelilingi alun-alun mempunyai pintu gerbang di tengah ujung selatan yang bernama Gapura Gading. Gapura ini berbentuk gerbang candi bentar, seperti halnya Gapura Gladag. Pada tahun 1932, Susuhunan Pakubuwana X, menambahkan pintu gerbang di sebelah selatan Gapura Gading, dengan bentuk mengikuti bentuk gerbang masuk Alun-alun Kidul dari arah barat dan timur. Ketiga gerbang di Alun-alun Kidul ini dikenal dengan sebutan Tri Gapurendra.

Warisan Budaya

 
Para tamu agung pada perhelatan ke empat Pisowanan Ageng Tingalandalem Jumenengan Susuhunan Pakubuwana XIII pada tahun 2008.
 
Para peserta Kirab Mubeng Beteng memperingati pergantian Tahun Baru Jawa (Tahun Baru Hijriyah) yang dikenal sebagai Malam Satu Sura pada tahun 2013.
 
Suasana Grebeg Mulud memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad pada tahun 2015.

Selain memiliki kemegahan bangunan Keraton Surakarta juga memiliki suatu warisan budaya yang tak ternilai. Diantarannya adalah upacara-upacara adat, tari-tarian sakral, musik, dan pusaka. Upacara adat yang terkenal adalah upacara Garebeg, upacara Sekaten, dan upacara Malam Satu Sura. Upacara yang berasal dari zaman kerajaan ini hingga sekarang terus dilaksanakan dan merupakan warisan budaya Indonesia yang harus dilindungi.

Grebeg

Upacara Garebeg atau Grebeg diselenggarakan tiga kali dalam satu tahun kalender/penanggalan Jawa yaitu pada tanggal dua belas bulan Mulud (bulan ketiga), tanggal satu bulan Sawal (bulan kesepuluh) dan tanggal sepuluh bulan Besar (bulan kedua belas). Pada hari hari tersebut Sri Sunan mengeluarkan sedekahnya sebagai perwujudan rasa syukur kepada Allah atas kemakmuran kerajaan. Sedekah ini, yang disebut dengan Hajad Dalem, berupa pareden/gunungan yang terdiri dari gunungan kakung dan gunungan estri (lelaki dan perempuan).

Gunungan kakung berbentuk seperti kerucut terpancung dengan ujung sebelah atas agak membulat. Sebagian besar gunungan ini terdiri dari sayuran kacang panjang yang berwarna hijau yang dirangkaikan dengan cabai merah, telur itik, dan beberapa perlengkapan makanan kering lainnya. Di sisi kanan dan kirinya dipasangi rangkaian bendera Indonesia dalam ukuran kecil. Gunungan estri berbentuk seperti keranjang bunga yang penuh dengan rangkaian bunga. Sebagian besar disusun dari makanan kering yang terbuat dari beras maupun beras ketan yang berbentuk lingkaran dan runcing. Gunungan ini juga dihiasi bendera Indonesia kecil di sebelah atasnya.

Sekaten

Sekaten merupakan sebuah upacara kerajaan yang dilaksanakan selama tujuh hari untuk memperingati kelahahiran Nabi Muhammad. Konon asal usul upacara ini sejak Kesultanan Demak. Upacara ini sebenarnya merupakan sebuah perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad. Menurut cerita rakyat kata sekaten berasal dari istilah credo dalam agama Islam, Syahadatain. Sekaten dimulai dengan keluarnya dua perangkat Gamelan Sekati, Kyai Gunturmadu dan Kyai Guntursari, dari keraton untuk ditempatkan di depan Masjid Agung Surakarta. Selama enam hari, mulai hari keenam sampai kesebelas bulan Mulud dalam kalender Jawa, kedua perangkat gamelan tersebut dimainkan/dibunyikan (Bahasa Jawa: ditabuh) menandai perayaan sekaten. Akhirnya pada hari ketujuh upacara ditutup dengan keluarnya Gunungan Mulud. Saat ini selain upacara tradisi seperti itu juga diselenggarakan suatu pasar malam yang dimulai sebulan sebelum penyelenggaraan upacara sekaten yang sesungguhnya.

Kirab Mubeng Beteng atau Malam Satu Sura

Malam 1 Sura (1 Muharram) dalam masyarakat Jawa adalah suatu perayaan tahun baru menurut kalender Jawa. Malam 1 Sura jatuh mulai terbenam matahari pada hari terakhir bulan terakhir kalender Jawa (30/29 Besar) sampai terbitnya matahari pada hari pertama bulan pertama tahun berikutnya. Di Keraton Surakarta upacara ini diperingati dengan Kirab Mubeng Beteng (Perarakan Mengelilingi Benteng Keraton). Upacara ini dimulai dari kompleks Kamandungan Lor melalui Kori Brajanala Lor kemudian mengitari seluruh kawasan keraton dengan arah berkebalikan arah putaran jarum jam dan berakhir di halaman Kamandungan Lor. Dalam prosesi ini pusaka keraton menjadi bagian utama dan diposisikan di barisan depan kemudian baru diikuti para pembesar keraton, para pegawai dan akhirnya masyarakat. Suatu yang unik adalah di barisan terdepan ditempatkan pusaka yang berupa sekawanan kerbau albino keturunan kerbau pusaka kesayangan Susuhunan Pakubuwana II, Kyai Slamet, yang selalu menjadi pusat perhatian masyarakat.

Pusaka (Royal Heirloom) dan Tari-Tarian Sakral

Keraton Surakarta memiliki sejumlah koleksi pusaka kerajaan diantaranya berupa singgasana Sri Sunan, kereta kencana, perabotan sehari-hari, kitab dan naskah kuno, perangkat musik gamelan, serta berbagai koleksi senjata. Di antara koleksi gamelan adalah Kyai Guntursari dan Kyai Gunturmadu yang hanya dimainkan/dibunyikan pada saat upacara sekaten. Selain memiliki pusaka bendawi, Keraton Surakarta juga memiliki pusaka non-bendawi seperti tari-tarian khas yang hanya dipentaskan pada upacara-upacara tertentu. Sebagai contoh tarian sakral adalah Bedhaya Ketawang yang hanya dipentaskan pada saat pemahkotaan dan hari peringatan kenaikan tahta Sri Sunan.

Pemangku Adat Jawa Surakarta

Berkas:PB-XIII-beri-gelar-warga-negara-asing.png
Susuhunan Pakubuwana XIII saat melakukan pemberian gelar kehormatan kepada beberapa warga negara asing di Sasana Narendra, Kompleks Keraton Surakarta.

Semula Keraton Surakarta merupakan Lembaga Istana (Imperial House) yang mengurusi Sri Sunan dan keluarga kerajaan disamping menjadi pusat pemerintahan Kasunanan Surakarta. Setelah tahun 1946 peran Keraton Surakarta tidak lebih hanya sebagai Pemangku Adat Jawa khususnya garis/gaya Surakarta. Begitu pula Sri Sunan tidak lagi berperan dalam urusan kenegaraan sebagai seorang raja dalam artian politik melainkan sebagai Baginda Yang Dipertuan Pemangku Tahta Adat, simbol dan pemimpin informal kebudayaan. Fungsi keraton pun berubah menjadi pelindung dan penjaga identitas budaya Jawa khususnya gaya Surakarta. Walaupun dengan fungsi yang terbatas pada sektor informal namun Keraton Surakarta tetap memiliki kharisma tersendiri di lingkungan masyarakat Jawa khususnya di bekas wilayah Kasunanan Surakarta (Kota Surakarta, Kabupaten Sragen, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, dan Kabupaten Sukoharjo). Selain itu Keraton Surakarta juga memberikan gelar kebangsawanan kehormatan (honoriscausa) pada mereka yang mempunyai perhatian kepada budaya Jawa khususnya budaya Jawa gaya Surakarta maupun perhatian dan sumbangsih mereka terhadap eksistensi Keraton Surakarta, disamping mereka yang berhak karena hubungan darah maupun karena posisi mereka sebagai pegawai (abdi dalem) keraton.

Filosofi dan Mitologi seputar Keraton

 
Tarian sakral Bedhaya Ketawang yang hanya ditampilkan sekali dalam satu tahun.

Setiap nama bangunan maupun upacara, bentuk bangunan maupun benda-benda upacara, letak bangunan, begitu juga prosesi suatu upacara dalam keraton memiliki makna atau arti filosofi masing-masing. Namun sungguh disayangkan makna-makna tersebut sudah tidak banyak yang mengetahui dan kurang begitu mendapat perhatian.

Cermin besar di kanan dan kiri Kori Kamadungan mengadung makna introspeksi diri. Nama Kamandungan sendiri berasal dari kata mandung yang memiliki arti berhenti. Nama bangsal Marcukundha berasal dari kata Marcu yang berarti api dan kundha yang berarti wadah/tempat, sehingga kata Marcukundha berarti melambangkan suatu doa/harapan. Menara Panggung Sangga Buwana adalah simbol lingga dan Kori Sri Manganti di sebelah baratnya adalah simbol yoni. Simbol Lingga-Yoni dalam masyarakat Jawa dipercaya sebagai suatu simbol kesuburan. Dalam upacara garebeg dikenal dengan adanya sedekah Sri Sunan yang berupa gunungan. Gunungan tersebut melambangkan sedekah yang bergunung-gunung.

Selain itu Keraton Surakarta juga memiliki mistik dan mitos serta legenda yang berkembang di tengah masyarakat. Seperti makna filosofi yang semakin lenyap, mistik dan mitos serta legenda inipun juga semakin menghilang. Sebagai salah satu contoh adalah kepercayaan sebagian masyarakat dalam memperebutkan gunungan saat garebeg. Mereka mempercayai bagian-bagian gunungan itu dapat mendatangkan tuah berupa keuangan yang baik maupun yang lainnya.

Selain itu ada legenda mengenai usia Nagari Surakarta Hadiningrat. Ketika istana selesai dibangun muncul sebuah ramalan bahwa Kasunanan Surakarta hanya akan berjaya selama dua ratus tahun. Setelah dua ratus tahun maka kekuasaan Sri Sunan hanya akan selebar mekarnya sebuah payung (kari sak megare payung). Legenda inipun seakan mendapat pengesahan dengan kenyataan yang terjadi. Apabila dihitung dari pembangunan dan penempatan istana secara resmi pada 1745, maka dua ratus tahun kemudian tepatnya pada tahun 1945 negara Indonesia merdeka dan kekuasaan Kasunanan benar-benar merosot. Setahun kemudian pada 1946, Kasunanan Surakarta sebagai Daerah Istimewa Surakarta dibekukan oleh pemerintah Indonesia karena terjadi kekacauan politik saat itu dan pada akhirnya kekuasaan Sri Sunan benar-benar habis dan hanya tinggal atas tanah adat serta kerabat dekatnya saja.

Lihat Pula

Referensi

  • Aart van Beek (1990). Images of Asia: "Life in the Javanese Kraton". Singapore: Oxford University Press. ISBN 979-497-123-5. 
  • KRMH. Yasadipura (1994). Karaton Surakarta Hadiningrat, Bangunan Budaya Jawa sebagai Tuntunan Hidup/Pembangunan Budi Pakarti Kejawen. Macrodata Solo. 
  • John Pemberton (1994). On the Subject of "Java". New York: Cornell University Press. 
  • Periplus Edition Singapore (1997). Periplus Adventure Guide "Java Indonesia". Periplus Singapore. 
  • Dwi Ratna Nur Hajarini, Tugas Triwahyono, dan Restu Gunawan (1999). Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. ISBN 979-9335-01-9. 
  • Acara budaya dengan judul Pocung dalam episode Wewangunan Karaton Surakarta Hadiningrat disiarkan oleh JogjaTV [1]

Pranala luar