Raden Trunajaya
Raden Trunajaya (1649 – 2 Januari 1680), juga dieja Trunojoyo dan menyatakan dirinya sebagai Panembahan Maduretna Panatagama,[2] adalah seorang bangsawan dari Madura yang dikenal memimpin Pemberontakan Trunajaya terhadap pemerintahan Kesultanan Mataram di Jawa.
Trunajaya | |
---|---|
Lahir | 1649 Arosbaya (kini Bangkalan), Madura, Kesultanan Mataram |
Meninggal | 2 Januari 1680 Payak, Jawa Timur, Kesultanan Mataram |
Nama lain | Panembahan Maduretna Panatagama |
Dikenal atas | Pemberontakan Trunajaya |
Kehidupan awal
suntingTrunajaya lahir sekitar tahun 1649.[3] Pamannya adalah seorang pangeran Sampang, Cakraningrat II.[4] Trunajaya merupakan keturunan dari raja terakhir Madura Barat[a] yang dipaksa tinggal di Mataram setelah dianeksasi dalam Penaklukan Surabaya oleh Sultan Agung dari Mataram.[6]
Trunajaya membenci Amangkurat I karena ayahnya dibunuh atas perintahnya pada 1656 dan intrik dalam keraton membuat Trunajaya meninggalkan Keraton Plered dan pindah ke Kajoran, sebuah daerah berjarak sekitar 26 kilometer utara laut dari keraton dan berada di dalam kawasan suci Tembayat.[3]
Kehidupan di Kajoran
suntingDi Kajoran, Trunajaya bertemu dengan Raden Kajoran, seorang bangsawan yang merupakan keturunan dari keluarga Sunan Bayat dan Wangsa Mataram, dan menikahi putri sulungnya. Raden Kajoran kemudian memperkenalkan Trunajaya dengan putra mahkota Amangkurat I, kelak Amangkurat II pada 1670 dan mendorong pemahaman antara menantunya yang merasa diremehkan dan putra mahkota yang menyimpan dendam terhadap ayahnya. Hasilnya adalah persekongkolan melawan Amangkurat I.[3][6]
Pemberontakan terhadap Kesultanan Mataram
suntingPada 1674, Trunajaya memimpin pemberontakan terhadap raja Mataram Amangkurat I dan Amangkurat II dengan dukungan dari para pejuang asal Makassar yang dipimpin oleh Karaeng Galesong.[7] Pemberontakan bergerak cepat dan ibu kota Mataram Keraton Plered berhasil direbut pada pertengahan 1677.
Selepas jatuhnya Plered, Amangkurat I melarikan diri ke pantai utara bersama putra sulungnya Amangkurat II dan meninggalkan putra bungsunya Pangeran Puger. Karena tampak lebih tertarik pada keuntungan dan balas dendam daripada menjalankan kerajaan yang sedang direbut, pemberontak Trunajaya menjarah keraton dan mundur ke bentengnya di Kediri, meninggalkan Pangeran Puger menguasai keraton yang lemah.
Ketika dalam perjalanan menuju Batavia meminta perlindungan VOC, Amangkurat I meninggal dunia di Tegal. Amangkurat II kemudian naik menjadi raja Mataram menggantikan ayahnya.[7] Amangkurat II pun hampir tidak berdaya sebagai raja setelah melarikan diri tanpa sebuah pasukan atau sumber daya untuk membangunnya. Sebagai upaya untuk mendapatkan kerajaanya kembali, ia membuat konsesi kepada VOC. Ia berjanji akan memberikan Semarang jika VOC membantu ia untuk menumpas pemberontakan.
VOC setuju, karena bagi mereka, sebuah Kesultanan Mataram yang stabil yang sangat berutang budi kepada mereka akan membantu memastikan kelanjutan perdagangan dengan syarat-syarat yang menguntungkan. Pasukan VOC, terdiri dari pasukan bersenjata ringan dari Makassar dan Ambon, di samping tentara Eropa yang dipersenjatai lengkap, pertama kali mengalahkan Trunajaya di Kediri pada November 1678. Trunajaya sendiri ditangkap pada 1679 di dekat Ngantang, Malang. Awalnya, dia diperlakukan dengan hormat sebagai tawanan komandan VOC. Takut bahwa ia akan mengakhiri persekutuan antara Mataram dengan VOC, Amangkurat II memutuskan untuk menikam Trunajaya dengan keris sebagai hukuman saat melakukan kunjungan seremonial ke kediaman bangsawan di sebuah desa bernama Payak, Jawa Timur, pada 2 Januari 1680.[8]
Peninggalan
suntingPemberontakan Trunajaya dikenang sebagai perjuangan heroik bagi rakyat Madura melawan kekuatan asing Kesultanan Mataram dan VOC. Muncul usulan agar Raden Trunajaya diangkat menjadi Pahlawan Nasional.[9][10] Namanya kemudian diabadikan sebagai nama bandar udara di Sumenep, Bandar Udara Trunojoyo dan Universitas Trunojoyo di Bangkalan, Madura.
Catatan
suntingReferensi
suntingCatatan kaki
sunting- ^ ""Vorst Mangkoe Rat II doorsteekt met zijn kris, genaamd "de eerwaarde Blabor", den opstandeling Troenadjaja, dien hij met zijne twee vrouwen Kliting Koening en Kliting Woengoe, zusters van den vorst voor zich had laten komen, niettegenstaande dien opst..." Leiden University Libraries Digital Collections.
- ^ Hoëvell 1849, hlm. 214.
- ^ a b c Ricklefs 1981, hlm. 70.
- ^ Pigeaud & De Graaf 2012, hlm. 87.
- ^ Pigeaud & De Graaf 2012, hlm. 16.
- ^ a b Pigeaud & De Graaf 2012, hlm. 67-68.
- ^ a b Soekmono 2003, hlm. 68.
- ^ Pigeaud & De Graaf 2012, hlm. 82-83.
- ^ "Trunajaya Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional". Berita LIPI. Kompas. 6 Mei 2006. Diakses tanggal 12 Maret 2022.
- ^ Ghazi, Mohammad (14 Agustus 2020). "Usulan Pangeran Trunojoyo Sebagai Pahlawan Nasional Dimatangkan". Media Indonesia. Diakses tanggal 12 Maret 2022.
Daftar pustaka
sunting- Hoëvell, W. R. V. (1849). Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie͏̈ (dalam bahasa Belanda). Becht.
- Pigeaud, T. G. Th.; De Graaf, H. J. (2012) [1972]. Islamic States in Java 1500–1700 (dalam bahasa Inggris). Den Haag: Brill.
- Ricklefs, M.C. (1981). A History of Modern Indonesia C. 1300 to the Present (dalam bahasa Inggris). London: The Macmillan Press. ISBN 978-1-349-16645-9. [pranala nonaktif permanen]
- Soekmono, R. (2003) [1973]. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3 (edisi ke-2). Yogyakarta: Penerbit Kanisius. ISBN 979-413-291-8.