Sejarah Johor
Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. |
Sejarah Johor dimulai pada masa pemerintahan Kesultanan Malaka. Sebelumnya daerah Johor merupakan bagian dari Kesultanan Malaka, kemudian Malaka jatuh akibat penaklukan Portugal pada tahun 1511.[1] Berdasarkan Sulalatus Salatin, setelah wafatnya Sultan Malaka, Mahmud Syah tahun 1528 di Kampar, Sultan Alauddin Syah, salah seorang putra raja Malaka, menjadikan Johor sebagai pusat pemerintahannya dan kemudian dikenal sebagai Kesultanan Johor.
Sebagai pewaris Malaka, Sultan Johor menganggap wilayah Johor, Pahang, Selangor, Singapura, Kepulauan Riau, dan daerah-daerah di Sumatera seperti Deli, Siak, Rokan, Inderagiri, Batu Bara, dan Jambi sebagai wilayah kedaulatannya.[2][3] Pengaruh perjanjian London tahun 1824 bekas wilayah Kesultanan Johor dibagi atas wilayah jajahan Inggris dan Belanda. Setelah kemerdekaan Malaysia, Johor kemudian menjadi salah satu negara bagian Malaysia pada tahun 1963.
Perang Segi Tiga
Sesudah Sultan Alauddin Syah membangun pusat pemerintahan baru pada kawasan muara Sungai Johor, perlawanan terhadap penaklukan Portugal terus berlanjut. Pada masa yang sama, dari kawasan utara Pulau Sumatera, muncul kekuatan baru di Aceh yang mulai melakukan ekspansi wilayah kekuasaan dengan menaklukan beberapa kawasan Melayu dan berusaha mengontrol jalur pelayaran di Selat Melaka. Kesultanan Aceh selain juga mencoba menyerang kedudukan Portugal di Malaka, juga menyerang kedudukan Sultan Johor. Pada tahun 1613, Sultan Iskandar Muda menaklukan Johor, Sultan Johor beserta seluruh kerabatnya ditawan dan dibawa ke Aceh.
Pada tahun 1641, Belanda berhasil merebut Malaka dari Portugal,[4] dan Belanda mengakui kedaulatan Sultan Johor atas wilayah kekuasaannya dan pada saat bersamaan kawasan muara Sungai Johor kembali muncul sebagai salah satu pelabuhan dagang di Semenanjung Malaya.
Perang Johor-Jambi
Krisis antara Johor dan Jambi bermula disaat kedua belah pihak berselisih paham mengenai perebutan kawasan yang bernama Tungkal. Pada masa ini Johor diperintah oleh Sultan Abdul Jalil Syah III dan pemerintahan lebih banyak dimainkan oleh Raja Muda. Dalam usaha untuk mendapatkan Tungkal dari tangan orang Jambi, orang Johor telah menghasut penduduk Tungkal untuk memberontak. Hal ini menimbulkan kemarahan Pemerintah Jambi. Namun kekuatan Johor yang disegani pemerintah Jambi pada waktu itu menyebabkan Jambi memilih untuk berdamai. Ketegangan antara Johor dan Jambi dapat diredakan karena perkawinan antara Raja Muda Johor dengan Puteri Sultan Jambi pada tahun 1659.[butuh rujukan]
Namun persengketaan antara Johor dan Jambi kembali meletus dikarenakan tindakan kedua-dua pihak yang saling menghina kedaulatan kerajaan masing-masing. Johor kembali berperang dengan membawa 7 buah kapal untuk menyerang perkampungan nelayan Jambi pada bulan Mei 1667. Kegiatan perdagangan semakin merosot akibat perperangan yang terjadi karena tidak ada jaminan keselamatan kepada pedagang untuk menjalankan perdagangan di kawasan bergolak ini. Hal ini menyebabkan kerugian ekonomi kepada Johor. Puncak peristiwa peperangan ini terjadi saat Pengeran Dipati Anum mengetuai sebuah angkatan perang untuk menyerang dan memusnahkan Johor secara mengejutkan pada 4 April 1673. Serangan ini telah melumpuhkan sistem pemerintahan kerajaan Johor. Dalam usaha menyelamatkan diri, Raja Muda bersama seluruh penduduk Johor telah lari bersembunyi di dalam hutan. Bendahara Johor ditawan dan dibawa pulang ke Jambi.[butuh rujukan]
Sultan Abdul Jalil Syah III juga melarikan diri ke Pahang. Baginda akhirnya meninggal dunia di sana pada 22 November 1677. Perperangan yang menyebabkan kekalahan kerajaan Johor ini telah mengakibatkan kerugian yang besar kepada Johor kerana Jambi telah bertindak merampas semua barang berharga milik kerajaan Johor termasuk 4 tan emas, sebagian besar senjata api yang merupakan simbol kemegahan dan kekuatan Johor. Kehilangan senjata api dan tentara dalam jumlah besar menyebabkan kerajaan Johor tidak dapat berbuat apa-apa, dan hal ini secara tidak langsung meruntuhkan kerajaan Johor.
Penjajahan Belanda dan Inggris
Setelah Kesultanan Siak Sri Inderapura membuat perjanjian dengan Inggris tanggal 31 Agustus 1818, menjadikan Singapura dan Johor berada dalam pengawasan Inggris. Kemudian Belanda menekan Sultan Siak dalam perjanjian tahun 1822 untuk tidak membuat sembarang kerjasama tanpa persetujuan dari Belanda serta wilayah Kepulauan Riau menjadi bagian kolonial Belanda. Pengaruh dari Traktat London tahun 1824 antara Inggris dan Belanda, secara garis besar membagi bekas wilayah Kesultanan Johor atas dua bagian, kemudian mereka menempatkan raja bawahan pada masing-masing kawasan, sehingga muncul dualisme kepemimpinan pada bekas wilayah Kesultanan Johor, Sultan Husain yang didukung oleh Inggris di Singapura sedangkan Sultan Abdul Rahman Muadzam Syah yang berkedudukan di Lingga didukung oleh Belanda dari Tanjungpinang.
Daftar raja Johor
Berikut daftar raja Johor
Periode | Nama Raja | Catatan dan peristiwa penting | ||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
1528-1564 | Sultan Alauddin Syah* | |||||||||||
1564-1570 | Sultan Muzaffar Syah* | |||||||||||
1570-1597 | Sultan Abdul Jalil Syah* | Serangan Portugal tahun 1587 | ||||||||||
1597-1615 | Sultan Alauddin Syah II* | Serangan Portugal tahun 1604, Membuat perjanjian dengan VOC tahun 1606 | ||||||||||
1613-1615 | Masa peralihan | Penaklukan Aceh tahun 1613 | ||||||||||
1615-1623 | Sultan Abdullah Ma'ayat Syah | Dibawah pengaruh Aceh | ||||||||||
1623-1673 | Sultan Abdul Jalil Syah II | Melepaskan diri dari Aceh selepas mangkatnya Sultan Iskandar Muda | ||||||||||
1673-1677 | Masa peralihan | Penaklukan Jambi tahun 1673 | ||||||||||
1677-1685 | Sultan Ibrahim Syah | |||||||||||
1685-1699 | Sultan Mahmud Syah | |||||||||||
1699-1718 | Masa peralihan | Klaim Raja Kecil sebagai pewaris sah tahta Johor | ||||||||||
1718-1722 | Raja Kecil | |||||||||||
1722-1728 | Masa peralihan | Pemberontakan Raja Sulaiman, Raja Kecil pindah ke Siak | ||||||||||
1728-1760 | Raja Sulaiman | Bendahara Johor | ||||||||||
1760-1770 | Masa peralihan | Penaklukan Raja Ismail | ||||||||||
1770-1779 | Sultan Abdul Jalil Muazzam Syah Raja Muhammad Ali |
Raja Siak | ||||||||||
1779-1781 | Raja Ismail | |||||||||||
1781-1791 | Raja Yahya | |||||||||||
1791-1811 | Sultan Sayyid Ali | |||||||||||
1811-1818 | Sultan Sayyid Ibrahim | |||||||||||
1818-1819 | Masa peralihan | Siak melepas Johor, kemudian diperebutkan Inggris di Singapura dan Belanda di Tanjungpinang | ||||||||||
1819-1824 | Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah** Sultan Husain*** |
Johor diklaim oleh 2 raja | ||||||||||
1824-1855 | Masa peralihan | Johor menjadi jajahan Inggris**** | ||||||||||
1855-1862 | Daeng Ibrahim | Tumenggung Johor***** | ||||||||||
1862-1895 | Sultan Abu Bakar ibni Daeng Ibrahim | |||||||||||
1895-1959 | Sultan Ibrahim ibni Sultan Abu Bakar | Kemerdekaan Malaysia, Johor menjadi bagian dari Malaysia | ||||||||||
1959-1981 | Sultan Ismail ibni Sultan Ibrahim | |||||||||||
1981-2010 | Sultan Iskandar ibni Sultan Ismail | |||||||||||
2010- sekarang | Sultan Ibrahim Ismail ibni Sultan Iskandar | |||||||||||
Catatan: * Berdasarkan Sulalatus Salatin versi Raffles. ** Raja Lingga dibawah perlindungan Belanda. *** Raja Singapura dibawah perlindungan Inggris. **** Pengaruh Perjanjian London tahun 1824. ***** Diangkat oleh Inggris menjadi raja di Johor. |
Lihat pula
Catatan kaki
Rujukan
- Leonard Y. Andaya (1971). The Kingdom of Johor, 1641-1728: a study of economic and political developments in the Straits of Malacca. Cornell University.
- Hooker, Virginia Matheson (2003). A Short History of Malaysia. Allen & Unwin. ISBN 1-86448-955-3.
- Barbara Watson Andaya; Leonard Y. Andaya (1984). A History of Malaysia. Palgrave Macmillan.