Monastisisme

organisasi non pemerintah
Revisi sejak 13 Juni 2016 09.37 oleh AABot (bicara | kontrib) (Bot: Penggantian teks otomatis (-Praktek +Praktik))

Monastisisme (Bahasa Yunani μοναχός, monakhos, dari akar kata μονός, Monos, sendiri), adalah sebuah praktik keagamaan di mana seseorang menyangkali tujuan-tujuan duniawi dengan maksud agar dapat membaktikan hidupnya semata-mata bagi karya rohani.

Banyak agama memiliki unsur-unsur monastik, termasuk Buddhisme, kekristenan, Hinduisme, dan Jainisme, meskipun ekspresinya berbeda-beda. Orang-orang yang menjalani kehidupan monastik biasanya disebut monakhos, biarawan, rahib, bruder, frater, atau saudara, jika berjenis kelamin laki-laki, dan biarawati, rubiah, suster, atau saudari jika berjenis kelamin perempuan.

Monastisisme Buddha

Ordo para rahib dan rubiah agama Buddha (Sangha) didirikan oleh Gautama Buddha semasa hidupnya sekitar 2500 tahun lampau. Gaya hidup monastik Buddhis berakar pada gaya hidup sekte-sekte para asketik pengermbara yang sudah ada sebelumnya, yang beberapa diantaranya pernah dipelajari oleh Sang Buddha, dan pertama-tama sangat bersifat eremetis. Para rahib dan rubiah diharapkan untuk hidup dengan sangat sedikit barang milik pribadi, yang didermakan oleh umat Buddha. Umat awam juga menyediakan makanan sehari-hari yang dibutuhkan para rahib, dan menyediakan tempat bernaung bagi para rahib bilamana dibutuhkan.

 
Rahib muda Agama Buddha di Tibet.

Sesudah Sang Buddha wafat, ordo monastik Buddhis berkembang menjadi suatu gerakan senobitis. Praktik tinggal bersama selama musim hujan (vassa), yang diajarkan oleh Sang Buddha, sedikit demi sedikit berkembang menjadi kehidupan monastik bersifat menetap yang berpusat pada hidup dalam sebuah komunitas. Sebagian besar dari tata tertib modern yang ditaati oleh para rahib dan rubiah—Patimokkha—berkaitan dengan kehidupan dalam komunitas, dan berisi rincian metode-metode yang tepat untuk hidup dan berhubungan dalam sebuah komunitas rahib atau rubiah. Jumlah peraturan yang harus ditaati berbeda-beda antara ordo yang satu dengan ordo yang lain; para rahib Theravada memiliki sekitar 227 peraturan. Terdapat lebih banyak lagi peraturan khusus bagi para bhikkhuni (rubiah).

Monastisisme Buddha dengan tradisi konsiliernya, misi-misi, dan sebagai sumber pegetahuan dan melek aksara menyebar dari India sampai ke Timur Tengah dan bahkan sampai ke Barat. Monastisisme Kristiani mengikuti jejak langkah mereka di daerah-daerah tempat Kaisar Ashoka pernah mengirimkan misi-misi Agama Buddha.

Ordo monastik Buddhis terdiri atas dewan para bhikkhu (laki-laki) dan dewan para bhikkhuni (perempuan). Awalnya dewan ini hanya beranggotakan kaum pria namun berkembang hingga mencakup pula kaum wanita setelah ibu tiri Sang Buddha, Mahaprajapati, memohon untuk diizinkan menjalani hidup sebagai seorang bhikkhuni.

Para rahib dan rubiah diharapkan untuk menjalankan berbagai peran dalam komunitas Buddhis. Pertama-tama dan yang terutama, mereka diharapkan untuk melestarikan doktrin dan tata tertib yang kini dikenal sebagai Buddhisme. Mereka juga diharapkan untuk memberikan teladan bagi umat biasa, dan menjadi "lahan kebajikan" bagi umat biasa yang mencari pahala dengan memberikan sumbangan dan dukungan bagi para rahib. Sebagai balasan atas dukungan umat, para rahib dan rubiah diharapkan untuk monks and nuns are expected to live an austere life focused on the study of Buddhist doctrine, the practice of meditation, and the observance of good moral character.

Seorang rahib, disebut Bhikkhu dalam bahasa Pali atau Bhikshu dalam bahasa Sanskerta, pertama-tama ditahbiskan sebagai Samanera (novis) untuk jangka waktu setahun atau lebih. Para novis kerap ditahbiskan pada usia yang sangat belia, akan tetapi umumnya tidak di bawah usia 8 tahun. Para samanera hidup sesuai dasasila, namun tidak diwajibkan menaati seluruh peraturan monastik. Tahbisan yang lebih tinggi, yakni status penuh sebagai seorang Bhikkhu, biasanya hanya diberikan kepada pria yang sudah berusia 20 tahun atau lebih. Para rubiah mengikuti tahapan yang sama, akan tetapi diwajibkan untuk hidup sebagai samanera selama jangka waktu yang lebih lama- biasanya 5 tahun.

Regulasi tata tertib bagi para rahib dan rubiah dimaksudkan untuk menciptakan suatu kehidupan yang bersahaja dan terfokus, bukannya sekadar matiraga perseorangan. Selibat sangatlah penting dalam disiplin monastik.

Monastisisme Hindu

Dalam upayanya untuk mencapai tujuan hidup rohaniah, beberapa umat Hindu memilih jalan monastisisme (sanyāsa). Kaum monastik ini berkomitmen untuk hidup bersahaja, selibat, menjauhi perkara duniawi, dan memusatkan pikirannya pada Tuhan.[1] Rahib hindu disebut sanyāsī, sādhu, atau swāmi.[2] Rubiah disebut sanyāsini, sadhavi, atau swāmini. Renunsiasi semacam itu sangat dihormati dalam masyarakat Hindu, karena cara hidup mereka yang menghindari sikap mementingkan diri sendiri dan perkara duniawi menjadi inspirasi bagi para kepala rumah tangga yang memperjuangkan renunsiasi mental. Beberapa biarawan hidup dalam biara, yang lainnya mengembara dari satu tempat ke tempat lain, menggantungkan hidup pada anugerah Tuhan belaka.[3] Mendermakan makanan atau keperluan lain kepada para sadhu diyakini umat Hindu sebagai suatu kebajikan besar. Para sādhu harus diperlakukan dengan penuh rasa hormat dan welas asih, baik oleh orang miskin maupun orang kaya, orang baik ataupun orang jahat. Mereka juga tidak boleh berbeda sikap terhadap pujian, umpatan, kesenangan, dan penderitaan.[4] Seorang sādhu biasanya dapat dikenali dari pakaiannya yang berwarna jingga. Umumnya para rahib Waisnawa menggunduli kepala mereka kecuali di area kecil pada belakang kepala mereka, sedangkan para rahib Saiwa membiarkan rambut dan janggut mereka tumbuh panjang.

Kaul renunsiasi seorang sadhu biasanya melarangnya untuk:

  • memiliki harta benda pribadi kecuali sebuah mangkuk, sebuah cawan, dua setel pakaian dan alat-alat bantu kesehatan semisal kacamata;
  • berhubungan, memandangi, memikirkan, bahkan berdekatan dengan wanita;
  • makan demi kesenangan;
  • memiliki atau bahkan menyentuh uang atau barang-barang berharga lainnya dalam bentuk dan cara apa pun;
  • menjalin hubungan-hubungan yang bersifat pribadi.

Monastisisme Kristiani

 
Rahib Trapis berdoa dalam selnya.

Monastisisme dalam kekristenan memiliki pelbagai bentuk kehidupan religius guna menanggapi panggilan Yesus dari Nazaret untuk mengikutiNya. Monastisisme Kristiani mulai tumbuh sejak permulaan sejarah Gereja, mengikuti teladan-teladan dan gagasan-gagasan dari Kitab Suci, termasuk yang tercantum dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, meskipun kitab tersebut tidak mewajibkannya dijalani dalam institusi tertentu. Monastisisme Kristiani ditata menurut peraturan rohani (misalnya Peraturan Santo Basil, Peraturan Santo Benediktus, Regula Karmel) dan, pada masa kini, hukum Gereja dari tiap denominasi Kristiani yang memiliki kehidupan monastik.

Monastisisme Kristiani merupakan suatu jalan hidup rohani (yang juga disebut "jalan penyempurnaan") yang disambut sebagai sebuah panggilan Allah dari keinginan untuk beroleh kehidupan kekal dalam hadirat-Nya. Pada Khotbah di Bukit dalam sabda-sabda bahagiaNya (jalan hidup yang benar menurut hukum Allah), Yesus menyampaikan kepada khalayak ramai yang mendengarkan khorbahNya untuk menjadi "Sempurna sama seperti Bapamu di Surga adalah sempurna" (Mat. 5:48). Tatkala berbicara kepada para pengikutNya, Yesus menyampaikan pula sebuah undangan untuk hidup selibat bagi orang-orang "yang kepadanya telah diberikan karunia" (Mat. 19:10-12); dan ketika ditanya apa lagi yang perlu selain menaati hukum Taurat agar dapat "masuk ke dalam kehidupan kekal", Dia menganjurkan mereka untuk menjual segala harta benda duniawi yang mereka miliki lalu membagi-bagikan hasil penjualannya kepada orang-orang miskin kemudian mengikuti Dia, "jikalau engkau ingin menjadi sempurna" (Mat. 19:16-22 = Mar. 10:17-22 = Luk. 18:18-23).

Dalam Kitab Suci Perjanjian Baru terdapat bukti mengenai kehidupan monastik Kristiani, seperti pelayanan yang dilaksanakan oleh para janda dan para perawan. Pada akhirnya, pertama-tama di Syria dan kemudian di Mesir, umat Kristiani mulai merasa terpanggil juga untuk menjalani kehidupan monastik eremitik (dengan semangat "Teologi Padang Gurun" dari Perjanjian Lama guna mencapai pembaharuan rohani dankembali kepada Allah). Santo Antonius Agung disebut-sebut oleh Athanasius sebagai salah seorang "Rahib Pertapa" awal. Mulai di Mesir, kehidupan monastik menumbuhkan monastisisme senobitik sebagaimana yang terutama dikenal di Barat. Khususnya di Timur Tengah monastisisme eremitik tetap menjadi pola monastisisme yang paling umum sampai surutnya kekristenan Syria pada akhir Abad pertengahan.

Akan tetapi tidak semua orang cocok dengan kehidupan terpencil, dan muncul banyak laporan mengenai adanya pertapa-pertapa yang megalami gangguan mental. Jelas dibutuhkan bentuk-bentuk bimbingan rohani yang terorganisir; dan sekitar tahun 318 Santo Pakhomius mulai mengorganisir para pengikutnya dalam apa yang nantinya menjadi biara senobitik Kristiani yang pertama. Tak lama kemudian, lembaga-lembaga serupa didirikan pula di seluruh padang gurun Mesir serta seluruh kawasan Timur Kekaisaran Romawi. Biara-biara Timur yang termasyhur meliputi:

Di Barat, perkembangan terpenting terjadi tatkala peraturan-peraturan bagi komunitas-komunitas monastik ditulis, Peraturan Santo Basil dianggap merupakan yang pertama. Tanggal persis ditulisnya Peraturan Sang Guru masih problematis; namun peraturan tersebut dianggap mendahului Peraturan Santo Benediktus yang disusun oleh Benediktus dari Nursia bagi biaranya di Monte Cassino, Italia (± 529), dan biara-biara lain yang telah didirikannya. Peraturan Santo benediktus menjadi peraturan yang paling umum dipergunakan selama Abad Pertengahan dan masih tetap dipergunakan sekarang ini. Peraturan Augustinian , karena keringkasannya, telah diadopsi oleh berbagai komunitas, terutama oleh para Kanon Reguler.

Sekitar abad ke-12, ordo Fransiskan, Karmelit, Dominikan, dan Augustinian memutuskan untuk hidup dalam biara-biara perkotaan di tengah-tengah umat ketimbang di pertapaan-pertapaan terpencil.

Kini wujud-wujud monastisisme kristiani, yang banyak di antaranya bersifat ekumenis, berkembang di tempat-tempat seperti Komunitas Monastik Bose di Italia, Persaudaraan Monastik Yerusalem di seluruh eropa, dan Komunitas Taizé di Perancis, serta gerakan Neomonastisisme yang terutama bersifat protestan injili di Amerika.

Islam dan monastisisme

Banyak umat Muslim tidak meyakini monastisisme (dengan mengacu pada petunjuk Qur'an (Surah 57 ayat 27), di mana Allah berfirman bahwa monastisisme adalah praktik rekaan manusia yang tidak diwahyukan). Meskipun demikian, terdapat berbagai ordo atau "tariqah" sufi, yang menggiatkan praktik-praktik yang mirip dengan praktik-praktik monastisisme dalam agama-agama lain.

Para darwis — perintis ordo-ordo Sufi — yakin bahwa cinta adalah sebuah proyeksi dari esensi Tuhan bagi semesta alam. Banyak darwis adalah para asketik yang hidup dari amal dan berikrar menjalani hisup miskin. Meskipun ada beberapa dari mereka yang memilih untuk menjadi peminta-minta, yang lainnya mencari nafkah dalam profesi-profesi umum; misalnya banyak Qadirit di Mesir berprofesi sebagai nelayan.

Semua persaudaraan darwis yang murni merunut asal-usulnya dari dua sahabat karib Nabi Muhammad, yakni Ali ibn Abi Talib dan Abu Bakr. Bentuk persaudaraan mereka berbeda dari persaudaraan spiritual Kristiani yakni mereka tidak hidup bersama dalam sebuah 'biara'; bahkan sebenarnya mereka diharuskan berkeluarga, dan bermatapencaharian yang halal.

Tarian berputar, yang dipraktikkan ordo Mevlevi di Turki, hanyalah salah satu dari metode-metode fisik yang digunakan untuk mencapai ekstasi rohani (majdhb) dan hubungan dengan Allah. Para rifa'i, dalam kondisi mistis, menusuk tubuh mereka tanpa menimbulkan bahaya apa pun. Kelompok-kelompok lain termasuk Syadhili, sebuah ordo berbasis gnosis yang mempraktikkan 'hadra' atau 'hadirat', sebuah latihan pernapasan mirip tarian yang mencakup pengulang-ulangan nama-nama Illahi. Semua persaudaraan dan cabang-cabangnya yang murni melantunkan ayat-ayat Qur'an, dan wajib menaati syariah, atau hukum suci Islam.

Secara tradisional para rahib dalam Agama Islam dikenal dengan sebutan fakir. Istilah ini juga digunakan untuk menyebut para rahib Hindu.

Monastisisme Jain

Agama Jain memiliki dua cabang yang sekit berbeda satu sama lain dalam hal monastisisme. Para rahib digambara tidak mengenakan pakaian; sekalipun demikian mereka tidak menganggap diri mereka telanjang—mereka mengenakan alam. Para digambara percaya bahwa praktik tersebut merepresentasikan suatu penolakan terhadap kenyamanan ragawi dan kepemilikan pribadi—hanya para pertapa digambara yang diwajibkan menolak pakaian. Para pertapa digambara hanya memiliki dua barang: sebuah kemoceng bulu merak dan sebuah kendi. Mereka juga percaya bahwa kaum wanita tidak dapat mencapai moksha. Akibatnya, dari sekitar 6000 rubiah Jain, hanya 100 orang yang merupakan digambara. Kaum Shvetambara adalah sekte utama Jain yang lain. Kaum svetambara, tidak seperti kaum digambaras, tidak percaya bahwa pertapa harus mempraktikkan ketelanjangan, juga tidak percaya bahwa wanita tidak dapat mencapai moksha. Kaum shvetambara umumnya terlihat mengenakan masker agar tidak membunuh makhluk-makhluk kecil secara tidak sengaja pada saat menghirup napas.

Monastisisme dalam agama-agama lain

  • Ananda Marga memiliki rahib-rahib dan rubiah-rubiah (yaitu para acharya atau misionaris pria dan wanita) serta sekelompok kecil acharya keluarga. Para rahib dan rubiah ini terlibat dalam pelbagai macam pelayanan langsung pada umat, karena itu mereka tidak mengundurkan diri dari dunia ramai secara permanen. Mereka memang harus menjalani hidup selibat, hidup miskin, dan menaati banyak aturan hidup lain begitu mereka telah selesai menjalani pelatihan.
  • Bön diyakini memiliki sejarah monastik yang kaya. Biara-biara Bön masih ada sekarang ini, akan tetapi para rahib berdiam di tempat itu mempraktikkan Buddhisme-Bön.
  • Yudaisme tidak mendukung cita-cita monastik untuk hidup miskin dan selibat, namun dua ribu tahun lalu mengikrarkan kaul Nazir merupakan sebuah fitur umum dalam agama ini. Orang-orang Yahudi nazir berpantang makan produk-produk dari buah anggur, tidak memotong rambut, dan tidak menyentuh jenazah. Akan tetapi mereka tidak menarik diri dari masyarakat umum, dan mereka diizinkan menikah serta memiliki harta benda; lagi pula, dalam banyak kasus suatu kaul nazir berlaku untuk jangka waktu tertentu dan tidak bersifat permanen. Dalam Bahasa Ibrani modern, istilah Nazir kerap digunakan untuk menyebut kaum monastik non-Yahudi.
  • Manikeisme memiliki dua golongan pengikut, kaum pendengar, dan kaum terpilih. Kaum terpilih hidup terpisah dari kaum pendengar agar dapat berkonsentrasi dalam hal mengurangi pengaruh kebendaan duniawi. mereka menjalankannya melalui selibat, kemiskinan, pengajaran, dan berkhotbah. Oleh karena itu kaum terpilih sekurang-kurangnya bersifat separuh monastik.
  • Scientology melestarikan suatu "ordo persaudaraan" yang disebut Sea Organization atau disingkat Sea Org. Mereka hanya bekerja untuk Gereja Scientology dan telah menandatangani kontrak kerja untuk milyaran tahun. Para anggota Sea Org hidup secara komunal, kebutuhan mereka akan tempat bernaung, pangan, sandang, dan perawatan medis ditanggung oleh Gereja Scientology.
  • Agama Sikh secara khusus melarang praktik monastisisme. Oleh karena itu tidak ada biara atau kelompok-kelompok persaudaraan dalam agama Sikh.

Referensi

  1. ^ Swami Bhaskarananda, Essentials of Hinduism 112 (Viveka Press 1994) ISBN 1-884852-02-5
  2. ^ R.S. McGregor, The Oxford Hindi-English Dictionary (5th ed. 1999) ISBN 0-19-563846-8
  3. ^ Alex Michaels, Hinduism: Past and Present 316 (Princeton 1998) ISBN 0-691-08953-1
  4. ^ Swami Bhaskarananda, Essentials of Hinduism 112 (Viveka Press 1994) ISBN 1-884852-02-5.

Bacaan tambahan

  • Fracchia, Charles. Living Together Alone: The New American Monasticism. Harper & Row, 1979. ISBN 0-06-063011-6.
  • Gruber, Mark. 2003. Sacrifice In the Desert: A Study of an Egyptian Minority Through the Lens of Coptic Monasticism. Lanham: University Press of America. ISBN 0-7618-2539-8
  • Johnston, William M. (ed.). 2000. Encyclopedia of Monasticism. 2 jilid., Chicago: Fitzroy Dearborn Publishers.
  • Lawrence, C. H. 2001. Medieval Monasticism: Forms of Religious Life in Western Europe in the Middle Ages (edisi ke-3). New York: Longmans. ISBN 0-582-40427-4
  • Zarnecki, George. 1985. "The Monastic World: The Contributions of the Orders". halaman 36–66, in Evans, Joan (ed.). 1985. The Flowering of the Middle Ages. London: Thames and Hudson Ltd.

Pranala luar