Suku Dayak Banyadu

suku bangsa di Indonesia
Revisi sejak 8 April 2017 16.10 oleh HsfBot (bicara | kontrib) (Bot: Perubahan kosmetika)

Suku Dayak Banyuke adalah salahsatu sub-suku Dayak yang mendiami Provinsi Kalimantan Barat. Sebutan "Dayak Banyuke" diambil dari nama kota orang Banyadu pada masa lalu yaitu kota Banyuke yang merupakan sebuah Bandong (ibukota atau pusat pemerintahan) orang Banyadu pada masa lalu, yang pada saat ini hanya berupa sebuah kampung yang terletak di desa Samade kecamatan Banyuke hulu. Sedangkan sebutan "Suku Dayak Banyadu" diambil dari istilah dalam bahasa mereka sendiri yaitu asal kata " Nyadu" yang artinya " Tidak" kata ini digunakan sebagai istilah pembeda dialek dengan dialek Dayak lainnya.

Dayak Banyadu
Wilayah Penyebaran

Kabupaten Landak Kabupaten Bengkayang Kabupaten Sanggau Republik Indonesia

Dialek Banyadu
Agama Katolik 60 %, Protestan30 % & Sisanya Agama Adat ( Agama Jubata )
Kelompok Dialek Terdekat Dialek Suku Dayak Bakati, Dialek Suku Dayak Kanayatn & Dialek Suku Dayak Bidayuh

Sejarah Eksistensi

Berdasarkan cerita dan analisa terhadap bahasa mereka. Kita dapat mengetahui bahwa Dayak Banyuke atau Orang Banyadu adalah subsuku Dayak yang terbentuk dari asimilasi atau pencampuran antara Dayak Bidayuhik Bakati dengan Dayak Kanayatn. Mereka adalah subsuku Dayak yang terbentuk dari percampuran antara anak cucu kakek Salutok Salunukng bersama pengikutnya dengan anak-cucu Kakek Lubish dan pengikutnya.

Salutok Salunukng adalah salahsatu putra raja terakhir Dayak Bidayuh dari kerajaan Sikukng (Sungkung). Raja Sikukng yang terakhir ini bernama Siang Nuk Nyinukng. Kejadian ini terjadi beribu-ribu tahun, sebelum tahun masehi (tahun kelahiran kristus). Awalnya Salutok Salunukng bersama adiknya yang bernama Buta Sabangam (nenek moyang suku Dayak Bakati) beserta bersama para pengikut mereka, diutus oleh Ayahanda mereka untuk menempati tanah di bagian selatan Sungkung. Di dalam perjalanan Adiknya, Butag Sabangam tidak dapat melanjutkan perjalanan ke selatan, kemudian mereka berpisah. Pada saat berpisah sebagian besar pengikut mereka memilih menemani Buta Sabangam. Akhirnya Salutok Salunukng bersama sebagian kecil pengikutnya, yang masing-masing membawa serta keluarganya memilih melanjutkan perjalanan ke selatan.

Pada suatu masa, keturunan mereka yang masih berbahasa Dayak Bidayuh berasimilasi dengan warga Dayak Bakati yaitu sub-suku Dayak keturunan Butag Sabangam dan pengikutnya. Karena jumlah orang Bakati lebih banyak menyebabkan mereka ikut menggunakan bahasa Bakati yaitu varian baru dari bahasa Dayak Bidayuh. Setelah berabad-abad mereka bercampur dan mendiami kawasan dimana kota Bengkayang berada saat ini. Kemudian mereka membangun kerajaan bersama yang diberi nama kerajaan Bawakng. Hingga pada suatu masa, warga Dayak Kanayatn dengan rombongan besar dari tanah asal mereka dikawasan pesisir barat mendatangi kota Bawakng-Basawag yaitu ibukota (Bandong) dari kerajaan Bawakng. Disana mereka tinggal bersama dengan orang Bakati. Kedatangan mereka terjadi dimasa pemerintahan raja Saapangko (Sepinggangku / setinggi pinggangku) yaitu masa dimana kerajaan Bawakng mulai jaya, yang pada orang Kanayatn dikenal dengan sebutan masa “Bawakng Nagari Subayatn (Bawakng negeri surgawi). Kejayaan kerajaan Bawakng inilah yang membuat warga Dayak Kanayatn mendatanginya. Setelah warga Kanayatn tinggal, mereka berbaur dengan warga Bakati bahkan banyak orang Kanayatn yang menikah dengan para pembesar kerajaan. Bawakng Basawag (buah bertahunan) yaitu ibukota kerajaan Bawakng yang terletak di Singakng (lereng) gunung Bawang. Istilah Bawakng adalah kosakata dalam bahasa Bidayuhik kuno sebelum digantikan dengan istilah “buah”yaitu kosakata serapan dari bahasa Dayak Kanayatn. Dan kata “basawag” sendiri terbentuk dari kata “ba” yaitu istilah imbuhan yang bearti “ber”. Dan kata “sawag” yaitu kosakata dari bahasa Bidayuhik untuk menyebutkan “tahun”. Dengan demikian kota Bawakng-Basawag berarti “buah bertahunan”, hal ini disebabkan oleh kawasan kota Bawakng Basawag dahulu adalah kawasan yang menghasilkan beragam jenis buah tropis sepanjang tahun.

Selanjutnya, setelah beberapa abad kemudian. Keturunan Salutok Salunukng yang telah berbahasa Bakati yang tinggal disebelah selatan gunung panokng (Bukit Jamur Bengkayang) mulai berhubungan secara intensif dengan warga keturunan Kakek Lubish yang bermukim disebelah barat daya gunung panokng. Kakek Lubish dan keturunannya berbicara menggunakan bahasa Dayak Kanayatn (orang Bananag). Kakek Lubish adalah salahsatu pemimpin dari warga yang berbahasa Kanayatn yang meninggalkan kota Bawakng Basawag. Beliau dan rombongannya hendak menuju kerajaan Keokng-Kannakng milik Dayak Tobag-Mali, untuk menyebarkan agama Jubata. Kepergian beliau tidak dapat dilanjutkan karena beliau jatuh sakit yang akhirnya memaksakan beliau dan pengikutnya berhenti dan tinggal di selatan gunung panokng.

Lama-kelamaan terjadi proses asimilasi (percampuran) antara anak-cucu keturunan Salutok Salunukng yang telah berbahasa Bakati dengan abak-cucu keturunan kakek Lubish yang berbahasa Dayak Kanayatn (orang Bananag). Percampuran bahasa mereka berkembang menjadi Varian bahasa baru yang dikenal dengan sebutan bahasa Banyadu.

Sebelum orang banyadu menyebar mendiami pedalaman daerah Landak, Bengkayang dan Sanggau kapuas, orang Banyadu mendiami daerah asalnya di daerah Banyuke hulu di Kecamatan Banyuke Hulu kabupaten Landak Kalimantan barat sekarang. Dahulu sebelum menyebar, seluruh orang banyadu mendiami sebuah kota atau kampung besar. Kota yang dibangun oleh orang Banyadu pertamakali itu bernama “Banyuke”. Kota Banyuke dijadikan Bannokng (Baca: Bandong / bandung, untuk anda yang tidak bisa logat Dayak). Istilah Bannokng / bandung sendiri adalah istilah yang bermakna sebagai “pusat pemerintahan atau ibukota” suatu bentuk pemerintahan. Wilayah pemerintahan orang Banyadu ini dinamai Banua Satona yang ber-bandung pada kota Banyuke. Seringkali kota Banyuke yang merupakan Bandong dari banua Satona ini hanya di sebut dengan nama Bandong satona saja, tentu saja yang dimaksudkan adalah Bandong (ibukota / pusat pemerintahan) dari banua Satona.

Berkas:Banyuke Village 1.jpg
Desa Banyuke Sekarang. Bekas Bandong Banua Satona

Sejak di mulainya masa Pengayauan di kalangan Bangsa Dayak, nenek moyang Dayak Banyadu mulai menyebar keluar dari Bandong Banua-nya. Orang Banyadu yang menyebar pada masa itu di rintis oleh para prajurit Kayau yang melakukan pengayauan serta penaklukan terhadap subsuku Dayak lain, akibatnya orang Banyadu ( orang yang berasal dari Bandong Banyuke) dimasa lalu menjadi sangat terkenal dan disegani serta di takuti oleh subsuku Dayak lain. Meskipun terkenal dengan kegagahan dan keberaniannya, adakalanya para prajurit Kayau Dayak Banyadu tidak berhasil menaklukkan subsuku Dayak lain, para prajurit kayau Dayak Banyadu yang tidak berhasil membawa Kepala manusia ini, memilih tidak pulang dan menetap di daerah taklukannya serta membangun pemukiman baru di situ dan mengawini gadis-gadis didaerah taklukannya tersebut. umumnya kepergian prajurit Kayau Dayak Banyadu zaman dulu di lakukan melalui jalur sungai, dengan perahu mereka menyusuri hilir sungai yang diberi nama sama seperti nama Bandong-nya yaitu sungai Banyuke. Selain karena aktivitas Pengayauan, penyebaran orang Banyadu juga terjadi karena alasan perladangan, masyarakat pada masa itu mulai mencari daerah baru yang jauh dari Bandong-nya untuk berladang, Sebagai akibatnya banyuke yang sebelumnya berupa sebuah kampung besar / kota lama-kelamaan mengecil hingga hanya menjadi sebuah kampung kecil, karena di tinggal menyebar oleh penduduknya. Ketika berada di luar Bandongnya itulah yang menyebabkan orang Dayak banyadu zaman dulu di kenal dengan sebutan orang Banyuke oleh masyarakat Dayak yang menjadi tetangga negerinya, hal ini terjadi, karena mengingat mereka berasal dari kota Banyuke.

Cukup sering terjadi kekeliruan akan masyarakat Dayak yang disebut Banyuke ini, terutama generasi muda sekarang di mana dalam anggapan mereka yang disebut orang Banyuke adalah Suku Dayak kanayatn yang berdialek Banane / Bangape alias orang Darit dan cenderung teguh meyakininya, padahal yang benar adalah untuk sebutan masyarakat Dayak yang berdialek Banyadu. Hal ini tentu didasari oleh alasan bahwa semua desa atau semua penduduk yang tinggal di hilir dekat muara dan di hulu dari sungai yang mengalir di daerah tersebut adalah orang Banyadu, dan terlebih di karenakan asal kata banyuke itu adalah dari nama kota yang menjadi Bandong atau Bandung (pusat pemerintahan / ibukota) dari Banua Satona milik orang Banyadu yang terletak di hulu sungai Banyuke tersebut.

Wilayah Penyebaran

Berkas:Peta Dayak Banyuke Barat.jpg
Dayak Banyuke (Orang Banyadu) Bagian Barat. Posisi Desa Banyuke Bekas Bandong Banua Satona Berbentuk Kotak Biru Di Bagian Hulu Sungai Banyuke.

Setelah sekian lama orang Banyadu kuno mendiami kota Banyuke tersebut, secara perlahan mereka mulai membangun beberapa pemukiman (Tamakng) baru disepanjang sungai Banyuke dan anak-anak sungai Banyuke. Meskipun kebanyakan warga kota Banyuke membangun tamakng di sepanjang DAS Banyuke, dari mereka ada juga yang langsung membangun parokng dipedalaman seperi parokng insang dan parokng pentek. Hingga suatu masa penduduk kampung-kampung baru tersebut semakin banyak dan karena alasan untuk berladang mereka akhirnya mulai merambah kawasan-kawasan hutan diluar bantaran DAS Banyuke. Dari kampung-kampung disepanjang sungai Banyuke dan anak-anak sungai Banyuke tersebut, kemudian orang Banyadu membangun parokng (Kampung ladang) disekitar ladang-ladang yang mereka buka, warga tamakng untang membangun parokng santibak, paranuk dan madas (taria). Warga dari tamakng bandol membangun parokng lo’ekng, dan parokng  sinto dan tamakng bantinga. Warga padakng pio membangun parokng adokng dan sebuah parokng yang telah ditinggalkan warganya yang pindah ke adokng (kampet) parokng itu terletak di antara padakng pio dan sinto sekarang. Warga tamakng madakng membangun parokng palai dan nyangkut (ocoh).

Warga dari tamakng bale (Samoko Pu’utn) terutama keturunan-keturunan puak mereka yang bernama Neng Anjong membangun parokng bihatn dan parokng pancik yang tidak jauh dari tamakng-nya. Sebagian dari keturunan Neng Anjong lalu makin masuk ke pedalaman ke arah utara yang akhirnya membangun parokng nodor, parokng samoko ujung, parokng sanoriatn, parokng samo (lereng gunung samalap) dan  parokng tamakng sahu. Pada akhirnya parokng nodor, parokng samo, parokng sanoriatn dan parokng tamakng sahu bergabung di parokng samoko ujung, namun karena lokasi kampung yang sempit karena di kaki bukit akhirnya mereka membangun kampung baru di seberang sungai antawak. Untuk menyeberang sungai antawak orang samoko lalu membuat jembatan kecil yang dalam bahasa banyadu disebut titi. Titian itu dibuat dari batang bambu atau dalam bahasa Banyadu disebut tarekng. Karena titi (jembatan kecil) penyeberangan mereka dibuat dari tarekng (bambu) maka akhirnya mereka menamai kampung baru mereka dengan nama Tititarekng. Warga dari tamakng tamia ojol masuk ke pedalaman ke arah utara, mereka mengikuti jejak warga yang berasal dari tamakng bale. Dipedalaman ke arah utara tersebut mereka membangun parokng tamia sio.

Berkas:Banyadu.jpg
Seluruh Wilayah Asli Dayak Banyuke (orang Banyadu) Berwarna Biru Tua

Warga tamakng pangao membangun parokng sabah, parokng karasik (di kaki gunung), parokng pudo, dan parokng ampadatn. Warga tamakng magon membangun parokng barinang manyun, parokng manyun, parokng padakng manyun, parokng kase, parokng antong, parokng sahang, parokng pano alatn, dan parokng tamu. Warga dari tamakng Jarikng membangun parokng ngaro, parokng ojak, parokng sadange dan lain-lain, namun pada abad 15 masehi penduduk yang berasal dari tamakng Jarikng seluruhnya memakai bahasa baru yaitu bahasa Banane. Warga tamakng sunge lubakng membangun parokng tolok, parokng notos, parokng bangsal bahu. Warga tamakng amang membangun parokng paloh bamayak, parokng sunge dihatn, parokng sunge tuba, parokng sunge kunyit, parokng bangsal behe, parokng maran tayan dan parokng-parokng lainnya.

Orang banyadu yang berasal dari tamakng tapis di tepi sungai tenganap (sungai Landak) membangun parokng angkadu, parokng samabak, parokng tanjung petahi, parokng engkalong, parokng sangke, parokng sansa, parokng teinam, parokng kuru, parokng jaga, parokng sunge lonyekng dan parokng-parokng lainnya.

Warga Banyadu yang menempati tanah hadiah di DAS Balantiatn juga melakukan kegiatan perladangan, ladang-ladang mereka sampai di daerah hulu sungai tayan, karena semakin jauh dari kampung-kampung mereka di DAS balantiatn lalu memaksa mereka untuk membangun parokng (Kampung ladang) di sekitar ladang mereka. Adapun parokng-parokng orang Banyadu yang terdapat di daerah tayan hulu adalah di parokng barakak, parokng raman, parokng tapang, parokng sejirak, parokng pagong, parokng pangkalatn, parokng mansan, parokng sungei taras dan parokng sungei ringin dan lain-lain.

Budaya

Adat atau kebiasaan budaya masyarakat Banyadu umumnya sama dengan adat Dayak rumpun Klemantan lainnya, yang membedakannya hanya pada istilah penyebutannya saja. Beberapa contoh upacara adat yang dikenal warga Banyadu, adalah:

  • Rafush Gaatn ( Upacara adat pemberian nama kepada Bayi)
  • Babalak (Upacara Sunatan adat menurut agama Jubata), Upacara ini dimeriahkan sebagai sebuah pesta.
  • Kawen (Pernikahan), dimeriahkan sebagai sebuah pesta.
  • Ngandiow (Upacara pemanggilan dan pemberian makan arwah setelah tiga hari dikubur).
  • Badingin ( ritual peredaan amarah dan perpisahan dengan arwah, sebelum arwah meninggalkan alam dunia untuk menuju alam arwah, setelah seribu hari kematian).

Selain upacara-upacara diatas. Orang Banyadu juga mengenal beberapa ritual pedukunan, diantaranya adalah:

  • Bapishag adalah pedukunan untuk menyembuhkan penyakit biologis secara gaib yang paling sederhana dan dengan perangkat ala kadarnya.
  • Bakangkokng adalah bentuk pedukunan yang dilakukan untuk menyembuhkan penyakit biologis secara gaib, yang disertai dengan awalan dan akhiran Pamang (Doa) yang dilakukan oleh imam.
  • Balenggang adalah bentuk pedukunan yang dilakukan untuk menyembuhkan penyakit biologis secara gaib, yang disertai dengan awalan dan akhiran Pamang (Doa) yang dilakukan oleh imam. Dalam prosesi ritualnya menggunakan musik tradisional, dan pohon sajian yang berisi beragam sajian persembahan yang akan dikelilingi oleh sang dukun. Dalam ritual ini dukun dibantu oleh seorang Dalang yang bertugas sebagai penabuh gendang dan melantunkan nyanyian-nyanyian sakral yang diperlukan. Ritual ini berlangsung semalam suntuk.
  • Baliatn adalah bentuk pedukunan yang diadakan untuk penyembuhan atau penangkal penyakit psikis. Fungsi ritual ini mirif seperti fungsi ritual ruwatan pada suku jawa. Ritual Baliatn pada Dayak Banyuke (orang Banyadu) adalah satu-satunya ritual pedukunan yang dimeriahkan dengan sebuah pesta.

Orang Banyadu juga lumrah memberi nama panggilan atau gelaran kepada anak-anak mereka. Nama-nama panggilan tersebut antara lain:

Pada anak laki-laki:

  • Odok / Udok = Anak laki-laki pemimpin
  • Otoh / Utoh = Anak laki-laki selanjutnya.
  • Oton / Uton = Anak laki-laki tumpuan / tulang punggung.
  • Onong = Anak laki-laki kesayangan.
  • Ugit = Anak laki-laki pengharapan
  • Are = Anak laki-laki sejati.

Pada anak Perempuan

  • Dala = Anak perempuan kesayangan.
  • Itet = Anak perempuan tumpuan.
  • Mahu = Anak perempuan sejati.
  • Olla = Anak perempuan yang rupawan.
  • Dara = Gadis sejati

Agama

Berkas:Imam Banyadu.jpg
Para Imam Agama Jubata Dayak Banyuke (Orang Banyadu Kab. Bengkayang)

Sistem religi orang Banyadu adalah agama adat atau agama Jubata. Agama ini sejatinya adalah agama yang sama dengan agama Nabi Abraham (Ibrahim) yang tersebar ke Kalimantan dilakukan oleh keluarga Neneng Galleber (Mbah Galbir). Pertamakali agama ini disebarkan kepada warga Dayak Kanayatn dipesisir. Selanjutnya disebarkan kepada Dayak Bakati di kota Bawakng Basawag pusat kerajaan Bawakng. Akhirnya oleh penguasa kerajaan Bawakng, agama Jubata dijadikan agama negara. Dari kota Bawakng Basawag, para keturunan Neng Galleber yang berasal dari Dayak Kanayatn secara rutin melakukan penyebaran agama Jubata ke kerajaan-kerajaan Dayak yang lain, antara lain ke kerajaan Sanujuh, kerajaan keokng-kannakng, ke kerajaan Tamputn Juwah dan lain-lain, hingga akhirnya menyebar ke seluruh pelosok pulau kalimantan.

Sistem kepercayaan ini sudah monoteis yang mana berpusat pada satu Tuhan yang disebut Jubata. Ketika imam Banyadu melakukan ritual agama adat sering nama Jubata disebut-sebut sebagai jubata yang digunung ini, atau gunung itu di daerah ini atau daerah itu, hal ini tidaklah bearti bahwa Jubata tersebut banyak jumlahnya namun lebih bermakna bahwa sang kuasa ( Tuhan ) ada di mana-mana atau berkuasa atas segala sesuatu.

Biasanya tempat ibadah agama Jubata dilakukan diatas Panyugu yaitu rangkaian batu mezbah yang sama fungsinya dengan mezbah-mezbah Nabi Abraham dan keluarganya di timur tengah dahulu. Agama Jubata telah eksis di kalimantan jauh sebelum kedatangan agama hindu, dan masih eksis hingga sekarang. Dimasa sekarang orang Banyadu adalah penganut Kristen Katholik, Kristen Protestan dan sisanya pengikut agama Jubata (Agama Adat).

Tokoh-Tokoh Dayak Banyadu

Pranala luar