Kholil al-Bangkalani
al-'Alim al-'Allamah asy-Syaikh Muhammad Kholil bin Abdul Lathif al-Bangkalani al-Maduri al-Jawi asy-Syafi'i (bahasa Arab: العالم العلامه الشيخ محمد خليل بن عبد اللطيف البنكلانى المدورى الجاوى الشافعى) atau lebih dikenal dengan nama Syaikhona Kholil atau Syekh Kholil (lahir di Kemayoran, Bangkalan, Bangkalan, 1820 – meninggal di Martajasah, Bangkalan, Bangkalan, 1925 pada umur antara 104 – 105 tahun)[3] adalah seorang Ulama kharismatik dari Pulau Madura, Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Di masyarakat santri, Syaikhona Kholil juga dikenal sebagai Waliyullah. Seperti cerita Wali Songo, banyak cerita kelebihan di luar akal atau karamah Syekh Kholil terkisah dari lisan ke lisan, terutama di lingkungan masyarakat Madura.[3]
Syekh Kholil al-Bangkalani | |
---|---|
Gelar | al-'Alim al-'Allamah asy-Syaikh |
Nama | Muhammad Kholil |
Nasab | bin Abdul Lathif |
Nisbah | al-Bangkalani al-Maduri al-Jawi asy-Syafi'i |
Lahir | Muhammad Kholil 1820 Masehi 1235 Hijriyah Kemayoran, Bangkalan, Bangkalan, Jawa Timur |
Meninggal | 1925 (umur 104–105) 29 Ramadan 1343 Hijriyah Martajasah, Bangkalan, Bangkalan, Jawa Timur |
Dimakamkan di | Komplek Pasarean Syekh Muhammad Kholil, Bangkalan, Madura[2] |
Nama lain | Syekh Kholil Bangkalan, Mbah Kholil Bangkalan |
Kebangsaan | Indonesia |
Etnis | Madura |
Zaman | 12 Hijriyah |
Firkah | Sunni |
Mazhab Fikih | Syafi'i |
Dipengaruhi oleh | |
Istri | Nyai Asyik |
Biografi
Syekh Kholil al-Bangkalani berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH Abdul Lathif, mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah Abdul Lathif adalah Kiai Hamim, putra dari Kiai Abdul Karim bin Kiai Muharram bin Kiai Asror Karomah bin Kiai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman inilah yang merupakan cucu dari Sunan Gunung Jati dari pihak ibu.[4]
Pada usia 24 tahun, Syekh Kholil menikahi Nyai Asyik, putri Lodra Putih.
Pendidikan
Syekh Kholil dididik dengan sangat ketat oleh ayahnya. Mbah Kholil kecil memiliki keistimewaan yang haus akan ilmu, terutama ilmu Fiqh dan nahwu. Bahkan ia sudah hafal dengan baik 1002 bait nadzam Alfiyah Ibnu Malik sejak usia muda.
Setelah dididik, orang tua Mbah Kholil kecil kemudian mengirimnya ke berbagai pesantren untuk menimba ilmu. Mengawali pengembaraannya, Mbah Kholil muda belajar kepada Kiai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan ia pindah ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian ke Pondok Pesantren Keboncandi. Selama belajar di Pondok Pesantren ini beliau belajar pula kepada Kiai Nur Hasan yang menetap di Pondok Pesantren Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Di setiap perjalanannya dari Keboncandi ke Sidogiri, ia tak pernah lupa membaca Surat Yasin.
Sewaktu menjadi santri, Mbah Kholil telah menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik. Disamping itu ia juga merupakan seorang Hafidz Al-Quran dan mampu membaca Al-Qur’an dalam Qira'at Sab'ah.
Saat usianya mencapai 24 tahun setelah menikah, Mbah Kholil memutuskan untuk pergi ke Makkah. Utuk ongkos pelayaran bisa ia tutupi dari hasil tabungannya selama nyantri di Banyuwangi, sedangkan untuk makan selama pelayaran, konon Mbah Kholil berpuasa. Hal tersebut dilakukannya bukan dalam rangka menghemat uang, akan tetapi untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah agar perjalanannya selamat. [4]
Karya-karyanya
Al-Matnus Syarif
Sesuai namanya, kitab Al-Matnus Syarif al-Mulaqqab bi Fat-hil Latif ini merupakan kitab matan (inti) yang berbicara mengenai fundamen dasar hukum Islam (ilmu fiqih). Yang menarik dari kitab setebal 52 halaman ini, adalah bukan hanya karena kemasyhuran penulisnya, melainkan kitab ini telah menampilkan landscape keilmuan yang selama ini terkesan rumit, menjadi demikian lugas dan mudah difahami. [5]
Guru-gurunya
Syekh Kholil pernah berguru kepada beberapa ulama, di antaranya[6][7]:
- K.H. Abdul Lathif (Ayahnya)
- K.H. Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban
- K.H. Nur Hasan di Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan
- Syekh Nawawi al-Bantani di Mekkah
- Syekh Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi
- Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan di Mekkah
- Syeikh Mustafa bin Muhammad Al-Afifi Al-Makki di Mekkah
- Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud Asy-Syarwani di Mekkah
Murid-muridnya
Berikut merupakan murid-murid dari Syekh Kholil[4] :
- K.H. Muhammad Hasan Sepuh - pendiri Pesantren Zainul Hasan Genggong, Probolinggo
- K.H. Hasyim Asy’ari - pendiri Nahdlatul 'Ulama, pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang
- K.H. Abdul Wahab Hasbullah - pengasuh Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang
- K.H. Bisri Syansuri - pengasuh Pondok Pesantren Denanyar, Jombang
- K.H. Manaf Abdul Karim - pendiri Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri
- K.H. Ma'sum - Lasem, Rembang
- K.H. Munawir - pendiri Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta
- K.H. Bisri Mustofa - pendiri Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang
- K.H. Nawawi - pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan
- K.H. Ahmad Shiddiq - pengasuh Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyah, Jember
- K.H. As'ad Syamsul Arifin - pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah, Asembagus, Situbondo
- K.H. Abdul Majjid - Batabata, Pamekasan
- K.H. Toha - pendiri Pondok Pesantren Batabata, Pamekasan
- K.H. Abi Sujak - pendiri Pondok Pesantren Astatinggi, Kebunagung, Sumenep
- K.H. Usymuni - pendiri Pondok Pesantren Pandian, Sumenep
- K.H. Zaini Mun'im - Paiton, Probolinggo
- K.H. Khozin - Buduran, Sidoarjo
- K.H. Abdullah Mubarok - pendiri Pondok Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya
- K.H. Mustofa - pendiri Pondok Pesantren Macan Putih, Blambangan
- K.H. Asy'ari - pendiri Pondok Pesantren Darut Tholabah, Wonosari, Bondowoso
- K.H. Sayyid Ali Bafaqih - pendiri Pondok Pesantren Loloan Barat, Bali
- K.H. Ali Wafa - Tempurejo, Jember
- K.H. Munajad - Kertosono, Nganjuk
- K.H. Abdul Fatah - pendiri Pondok Pesantren Al-Fattah, Tulungagung
- K.H. Zainul Abidin - Kraksaan, Probolinggo
- K.H. Zainuddin - Nganjuk
- K.H. Abdul Hadi - Lamongan
- K.H. Zainur Rasyid - Kironggo, Bondowoso
- K.H. Karimullah - pendiri Pondok Pesantren Curah Damai, Bondowoso
- K.H. Muhammad Thohir Jamaluddin - pendiri Pondok Pesantren Sumber Gayam, Madura
- K.H. Hasan Mustofa - Garut
- K.H. Raden Fakih Maskumambang - Gresik
- Ir. Soekarno - Presiden Republik Indonesia pertama, menurut penuturan K.H. As'ad Samsul Arifin, Bung Karno meski tidak resmi sebagai murid Syekh Kholil, namun ketika sowan ke Bangkalan, Syekh Kholil memegang kepala Bung Karno dan meniup ubun-ubunya.[8]
Cerita Syekh Kholil dengan Murid-muridnya
Adapun cerita Syekh Kholil dengan murid-muridnya adalah sebagai berikut[9]:
Kiai Ma'sum Lasem
Kiai Ma'shum - Lasem, Rembang: Dikurung, Disuruh Ngajar dan Didoakan
Dalam buku Manaqib Mbah Ma’shum Lasem diceritakan bahwa suatu hari Syekh Kholil Bangkalan meminta santrinya untuk membuat kurungan ayam jago sebab akan datang jagoan dari tanah Jawa ke Bangkalan. Keesokan harinya datang seorang pemuda bernama Muhammadun (nama Mbah Ma’shum waktu muda) yang berusia 20 tahun dari tanah Jawa. Oleh Syekh Kholil, pemuda itu diminta masuk ke dalam kurungan ayam jago yang telah dibuat santrinya. Dengan penuh takzim pemuda itu pun masuk dan duduk berjongkok ke dalam kurungan ayam jago. Syekh Kholil kemudian berkata kepada santri-santrinya, "Inilah yang kumaksudkan sebagai ayam jago dari tanah Jawa yang kelak akan menjadi jagoan tanah Jawa."
Pada awal nyantri, Mbah Lasem malah disuruh mengajarkan Alfiyah kepada santri-santri Syekh Kholil di dalam kamar yang tidak ada penerangnya. Mbah Ma’shum hanya nyantri selama 3 bulan. Ketika hendak pulang, Mbah Kholil memanggilnya seraya mendoakannya dengan doa Sapu Jagad. Saat Mbah Ma’shum melangkah pergi beberapa meter, ia dipanggil kembali oleh Syekh Kholil lalu didoakan dengan doa yang sama. Hal ini terjadi berulang hingga 17 kali.
Kiai Hasyim Asy'ari
Kiai Hasyim Asy’ari - Tebuireng, Jombang: Disuruh Manjat, Angon dan Masuk Septictank
Ketika awal nyantri, Hasyim Asy’ari muda disuruh naik ke atas pohon bambu, sementara Syekh Kholil terus mengawasi dari bawah sembari memberi isyarat agar terus naik dan tidak boleh turun sampai ke pucuk pohon bambu tersebut. Kiai Hasyim dengan takzim terus naik sesuai perintah gurunya. Begitu sampai di pucuk, Syekh Kholil mengisyaratkan agar Kiai Hasyim langsung loncat ke bawah. Tanpa pikir panjang Kiai Hasyim langsung meloncat dan selamat. Ternyata hal tersebut hanya ujian Kepatuhan seorang santri kepada Kiainya.
Sebagai murid, Kiai Hasyim tidak pernah mengeluh ketika disuruh apa pun oleh gurunya, termasuk ketika disuruh menggembalakan kambing dan sapi, mencari rumput dan membersihkan kandang. Ia menerima titah gurunya itu sebagai khidmat (dedikasi) kepada Sang Guru.
Selain itu, saat Syekh Kholil kehilangan cincin pemberian istrinya yang jatuh di kamar mandi, Kiai Hasyim memohon izin untuk mencarinya. Setelah diizinkan, sejurus kemudian beliau masuk ke septictank dan mengeluarkan isinya. Setelah dikuras seluruhnya, dan badan Kiai Hasyim penuh dengan kotoran, akhirnya cincin milik gurunya berhasil ditemukan. Betapa senang sang guru melihat muridnya telah berhasil mencarikan cincinnya hingga terucap doa: "Aku rida padamu wahai Hasyim, Kudoakan dengan pengabdianmu dan ketulusanmu, derajatmu ditinggikan. Engkau akan menjadi orang besar, tokoh panutan, dan semua orang cinta padamu." [10]
Kiai Wahab Hasbullah
Kiai Wahab Hasbullah - Tambak Beras, Jombang: Dianggap Macan
Pada suatu hari di bulan Syawal, Syekh Kholil memanggil semua santri dan memerintahkan agar penjagaan pondok diperketat karena tidak lama lagi akan ada macan masuk ke pondok.
Sejak itu, setiap hari semua santri melakukan penjagaan yang ketat di pondok pesantren. Hal ini dilakukan karena di dekat pondok pesantren ada hutan rimba, sehingga khawatir jika ada macan muncul dari hutan tersebut.
Setelah beberapa hari ternyata macan yang ditunggu-tunggu tidak juga muncul. Pada minggu ketiga, Syekh Kholil memerintahkan para santri untuk berjaga ketika ada pemuda kurus, tidak terlalu tinggi dan membawa tas koper seng masuk ke komplek pondok pesantren.
Begitu sampai di depan rumah Syekh Kholil, pemuda itu mengucapkan salam. Mendengar salam pemuda tersebut, Syekh Kholil justru malah berteriak memanggil para santrinya “Hai santri-santri, macan! macan! Ayo kepung, jangan sampai masuk ke pondok.” Mendengar teriakan Syekh Kholil, serentak para santri berhamburan membawa apa saja yang bisa dibawa untuk mengusir pemuda tersebut. Para santri yang sudah membawa pedang, celurit, tongkat mengerubuti “macan” yang tidak lain adalah pemuda itu. Muka pemuda itu menjadi pucat pasi ketakutan. Karena tidak ada jalan lain, akhirnya pemuda tersebut lari meninggalakn komplek pondok.
Karena tingginya semangat untuk nyantri ke pondok yang diasuh oleh Syekh Kholil, keesokan harinya pemuda itu mencoba memasuki pesantren lagi. Meskipun begitu, dirinya tetap memperoleh perlakuan yang sama seperti sebelumnya. Karena rasa takut dan kelelahan akhirnya pemuda tersebut tidur di bawah kentongan yang ada di musala pesantren. Ketika tengah malam, dirinya dibangunkan dan dimarah-marahi oleh Syekh Kholil. Meski demikian, setelah itu dirinya diajak oleh Syekh Kholil ke rumahnya dan dinyatakan sebagai salah satu santri dari pondok yang beliau pimpin.
Sejak itu, pemuda tersebut resmi sebagai santri pondok. Pemuda yang dimaksud itu adalah Abdul Wahab Hasbullah yang menjadi salah satu pendiri NU. Ternyata apa yang diprediksi oleh Syekh Kholil menjadi kenyataan, Abdul Wahab Hasbullah benar-benar menjadi “Macan” NU.
Kiai As'ad
Kiai As’ad - Asembagus, Situbondo: Uang Barakah
Ketika Kiai As’ad masih menjadi santri Syekh Kholil, ia pernah disuruh mengantarkan tongkat ke Kiai Hasyim Asy’ari di Jombang. Di lain hari ia disuruh mengantarkan tasbih kepada Kiai Hasyim juga. Syekh Kholil hanya memberikan bekal beberapa uang logam. Ketika Kiai As’ad naik bus atau kereta, bolak-balik kondektur tidak menagih tiket kepadanya, demikian pula ketika akan menyeberangi Selat Madura, seseorang tiba-tiba mengajaknya naik ke kapal bersamanya secara cuma-cuma. Setelah turun dari kapal, beliau kembali ditawari naik kendaraan ke Jombang, beliau menerima tawaran ini dengan rasa syukur. Kiai As’ad yakin hal ini karena doa dan barakah dari sang guru melalui uang logam yang diberikan Syekh Kholil.
Kiai Bahar Sidogiri
Kiai Bahar - Sidogiri, Pasuruan: Mimpi Basah
Pada suatu pagi, seorang santri bernama Bahar dari Sidogiri merasa gundah karena tidak bisa salat subuh berjamaah. Bahar absen salat jamaah bukan karena malas, tetapi disebabkan halangan junub. Pasalnya, semalam Bahar bermimpi tidur dengan seorang wanita. Sangat dipahami kegundahan Bahar, sebab wanita itu adalah istri Syekh Kholil, gurunya.
Menjelang subuh, terdengar Syekh Kholil marah besar sambil membawa sebilah pedang seraya berucap, "Santri kurang ajar! santri kurang ajar!" Para santri yang sudah ke masjid untuk salat berjamaah merasa heran dan bertanya-tanya siapa yang dimaksud santri kurang ajar itu.
Subuh itu Bahar memang tidak ikut salat berjamaah, tetapi bersembunyi di belakang pintu masjid. Seusai salat subuh berjamaah, Syekh Kholil menghadapkan wajahnya kepada semua santri seraya bertanya, “Siapa santri yang tidak ikut berjamaah?”. Semua santri merasa terkejut, tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Para santri menoleh ke kanan-kiri mencari tahu siapa yang tidak hadir. Ternyata yang tidak hadir waktu itu hanyalah Bahar.
Kemudian Syekh Kholil memerintahkan mencari Bahar dan dihadapkan kepadanya. Setelah diketemukan, Bahar dibawa ke masjid. Syekh Kholil menatap tajam-tajam kepada Bahar seraya berkata, "Bahar, karena kamu tidak hadir salat subuh berjamaah maka harus dihukum. Tebanglah dua rumpun bambu di belakang pesantren dengan petok ini". Petok adalah sejenis pisau kecil, dipakai menyabit rumput. Setelah menerima perintah itu, segera Bahar melaksanakan dengan tulus walau kesulitan.
Setelah itu Syekh Kholil memerintahkan Bahar untuk memakan nasi yang ada di nampan sampai habis. Sekali lagi Bahar dengan patuh menerima hukuman dari Syekh Kholil. Setelah Bahar melaksanakan hukuman yang kedua, ia lalu disuruh makan buah-buahan yang telah tersedia di nampan lain sampai habis.
Setelah itu Bahar diusir oleh Syekh Kholil seraya berucap dan menunjuk Bahar, "Hei santri, semua ilmuku sudah dicuri oleh orang ini". Dengan perasaan senang dan mantap, Bahar pun pulang meninggalkan pesantren Syekh Kholil menuju kampung halamannya, hingga akhirnya ia menjadi pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri keenam.
Karamah
Berikut adalah karamah yang dengan kehendak Allah dimiliki oleh Syekh Kholil al-Bangkalani[11][12]:
Ke Mekkah Naik Kerocok
Suatu sore di pinggir pantai daerah Bangkalan, Syekh Kholil ditemani oleh Kiai Syamsul Arifin ayahanda dari Kiai As’ad Situbondo. Bersama sahabatnya itu, mereka berbincang-bincang tentang pengembangan pesantren dan persoalan umat Islam di daerah Pulau Jawa dan Madura. Persoalan demi persoalan dibicarakan, tak terasa saking asyik berdiskusi matahari hampir terbenam. Padahal mereka belum melaksanakan shalat Asar, sementara waktunya hampir habis sehingga tidak mungkin melaksanakan shalat asar dengan sempurna dan khusyuk. Akhirnya Syekh Kholil memerintah Kiai Syamsul Arifin untuk mengambil kerocok (sejenis daun aren yang dapat mengapung di atas air) untuk dipakai perjalanan menuju Makkah. Setelah mendapatkan kerocok, lantas Syekh Kholil menatap ke arah Makkah, tiba-tiba kerocok yang ditumpanginya berjalan dengan cepat menuju Makkah. Sesampainya di Makkah, azan asar baru saja dukumandangkan. Setelah mengambil wudlu, Syekh Kholil dan Kiai Syamsul Arifin segera menuju shaf pertama untuk melaksanakan shalat asar berjamaah di Masjidil Haram.[13]
Mengobati Anak Pecandu Gula
Dikisahkan oleh K.H. Abdullah Syamsul Arifin, ketua PCNU Jember, terdapat seorang warga yang mempunyai anak dengan kelainan hobi mengonsumsi gula berlebih, bahkan setiap hari anak tersebut bisa menghabiskan sekian kilo gula pasir. Akhirnya ayah anak itu nyabis (sowan) ke Syekh Kholil Bangkalan. Di hadapan Syekh Kholil ia mengeluh soal kebiasaan anaknya menyantap gula. Ia berharap agar sang Syekh berkenan menyembuhkan penyakit yang mendera anaknya. Namun Syekh Kholil malah menjawab permohonan si ayah dengan menyuruhnya datang kembali satu minggu kemudian. Tamu tersebut pamit, namun sejak saat itu kebiasaan si anak semakin menjadi-jadi dan semakin banyak gula yang dihabiskan setiap hari, dimakan begitu saja. Sang ayah tetap memenuhi perintah Syekh Kholil untuk datang kembali ke rumahnya seminggu kemudian. Setelah pertemuan yang kedua, anak tersebut berhenti total mengonsumsi gula.
Konon, selama seminggu Syekh Kholil bertirakat. Tidak makan makanan atau minuman yang berbahan gula pasir. Pesannya sederhana, jika ingin menyuruh sesuatu maka harus mengerjakannya dulu. Kalau ingin melarang sesuatu terhadap orang lain maka yang bersangkutan dahulu yang wajib memberi contoh jika ingin larangannya dipatuhi.[14]
Tertawa Keras saat Salat
Pada suatu hari, saat salat jamaah yang dipimpin oleh seorang kiai di sebuah pesantren tempat Syekh Kholil muda mencari ilmu, ia tertawa cukup keras. Setelah selesai salat sang kiai menegur Syekh Kholil muda atas sikapnya tersebut yang memang dilarang dalam Islam. Ternyata Syekh Kholil muda masih terus tertawa meskipun kiai sangat marah terhadapnya. Akhirnya ia menjawab hal yang menyebabkannya tertawa keras, bahwa ketika salat berjamaah berlangsung dia melihat sebuah "berkat" (makanan yang dibawa pulang sehabis kenduri) di atas kepala sang Kiai. Mendengar jawaban tersebut sang kiai sadar dan malu atas salat yang dipimpinnya. Karena sang kiai ingat bahwa selama salat berlangsung dia merasa tergesa-gesa untuk menghadiri kenduri yang mengakibatkan salatnya tidak khusyuk.
Ditangkap lalu Dibebaskan oleh Belanda
Syekh Kholil pernah ditahan oleh penjajah Belanda karena dituduh melindungi beberapa orang yang terlibat perlawanan terhadap kolonial di pondok pesantrennya. Ketika Belanda mengetahuinya, Syekh Kholil ditangkap dengan harapan para pejuang menyerahkan diri. Tetapi ditangkapnya Syekh Kholil, malah membuat pihak Belanda pusing dan kewalahan; karena terjadi hal-hal yang tidak bisa mereka mengerti. Seperti tidak bisa dikuncinya pintu penjara, sehingga mereka harus berjaga penuh supaya para tahanan tidak melarikan diri. Di hari-hari selanjutnya, ribuan orang datang ingin menjenguk dan memberi makanan kepada Syekh Kholil, bahkan banyak yang meminta ikut ditahan bersamanya. Kejadian tersebut menjadikan pihak Belanda dan sekutunya merelakan Syekh Kholil untuk dibebaskan.
Rujukan
- Risalatun Nahdliyyah Fil Masailil 'Ashriyyah
Referensi
- ^ Heryanto, Doni (2017-01-23). "Ini Foto Syaichona Kholil Bangkalan Yang Asli". timesindonesia.co.id. Diakses tanggal 2017-05-11.
- ^ Mukhlasin, Darul (2014-10-12). "Makam K.H. Moh. Kholil Bangkalan Madura-1". pulaumadura.com. Diakses tanggal 2017-05-11.
- ^ a b Faishal, Nur (2016-04-24). "Cerita Mbah Kholil Bangkalan Terima Harimau Jadi Murid". viva.co.id. Diakses tanggal 2017-05-11.
- ^ a b c Bahtiar, Rio (2015-03-31). "Biografi Syaichona Kholil Bangkalan, Guru dari Kyai Sepuh Genggong". pzhgenggong.or.id. Diakses tanggal 2017-05-11.
- ^ Mahbib (2016-05-25). "al-Matnus Syarif, Kitab Fiqih Dasar Karya Syaikhona Kholil Bangkalan". NU Online. Diakses tanggal 2017-05-11. Hapus pranala luar di parameter
|website=
(bantuan) - ^ "Mengenal KH Kholil Bangkalan Madura, Guru Para Ulama Besar Di Jawa Timur". radarislam.com. 2016. Diakses tanggal 2017-05-11.
- ^ "Biografi Singkat Syekh Kholil Bangkalan Madura". dokumenpemudatqn.com. 2013-04-06. Diakses tanggal 2017-05-11.
- ^ Rifai, Muhammad (2009). KH. M. Kholil Bangkalan Biografi Singkat 1835-1925. Yogyakarta: Arruzz Media. hlm. 51 – 53. ISBN 9789792546354.
- ^ Zahasfan, Alvian Iqbal (2016). "Kisah Kiai Kholil Bangkalan dengan 5 Muridnya". datdut.com. Diakses tanggal 2017-05-11.
- ^ Zunus (2016-04-26). "Kala "Septic Tank" Berkahi Dua Ulama Besar". nu.or.id. Diakses tanggal 2017-05-11.
- ^ SM, Said (2016-11-11). "Kisah Karomah Kiai Kholil Bangkalan". daerah.sindonews.com. Diakses tanggal 2017-05-11.
- ^ Zahasfan, Alvian Iqbal (2016-01-22). "Karamah Kiai Kholil Bangkalan". datdut.com. Diakses tanggal 2017-05-11.
- ^ Rifai, Muhammad (2009). KH. M. Kholil Bangkalan Biografi Singkat 1835-1925. Yogyakarta: Arruzz Media. hlm. 105. ISBN 9789792546354.
- ^ Fathoni (2016-08-24). "Kisah Mbah Kholil Bangkalan Mengobati Anak Pecandu Gula". NU Online. Diakses tanggal 2017-05-11. Hapus pranala luar di parameter
|website=
(bantuan)
Pranala Luar
- (Indonesia) Website resmi NU Online
- (Indonesia) Rifa'i, Muhammad. 2010. KH. M. Kholil Bangkalan Biografi Singkat 1835-1925. Garasi Yogyakarta: Yogyakarta.