Adipati Orang Franka
Adipati Orang Franka atau lengkapnya Adipati dan Pangeran Orang Franka (bahasa Latin: Dux et Princeps Francorum) adalah gelar yang pernah disandang oleh para pemangku tiga jabatan yang berbeda. Yang pertama adalah jabatan pembesar istana (bahasa Latin: maior palatii) raja-raja Franka dari wangsa Meroving; kekuasaan pembesar istana bertambah besar seiring menurunnya kekuasaan raja-raja Meroving. Yang kedua adalah jabatan orang nomor dua di bawah raja-raja Perancis terdahulu; sebagai gelar orang nomor dua di Kerajaan Perancis, gelar ini kadang-kadang diubah menjadi Adipati Perancis (bahasa Latin: Dux Franciae); Adipati Perancis yang terakhir, Hugo Kapet, naik takhta menjadi Raja Perancis pada 987. Yang ketiga adalah jabatan penguasa daerah-daerah permukiman orang Franka di Jerman, yakni wilayah yang disebut Kadipaten Kesukuan Franken.
Dalam gelar ini, kata "adipati" (bahasa Latin: dux, pemimpin) bermakna senapati atau panglima perang; kata "pangeran" (bahasa Latin: princeps, penghulu, pemuka, atau orang nomor satu), baik jika digunakan bersama atau tanpa gelar "adipati", mendekati makna penguasa berdaulat atau kedaulatan raja-raja; sementara frasa "orang Franka" (bahasa Latin: Francorum, kepunyaan orang-orang Franka) dapat saja mengacu pada suku Franka atau penduduk Negeri Franka (bahasa Latin: Francia), yakni negeri yang namanya berasal dari nama suku Franka (bahasa Latin: Franci).
Dux et Princeps Francorum
Sampai dengan akhir masa pemerintahan Raja Dagobert I, gelar princeps (penghulu) erat kaitannya dengan lingkungan istana. Kata ini digunakan sebagai gelar pembesar istana Kerajaan Neustria untuk pertama kalinya dalam naskah-naskah riwayat orang kudus pada pertengahan abad ke-7. Naskah Vita Eligii (Riwayat Eligius) hanya menyebut secara umum tentang principes (para penghulu) dari palatium (istana) Kerajaan Neustria, sementara naskah Vita Baldechildis (Riwayat Batildis) dan naskah Passio Leudegarii (Kisah Sengsara Leodegarius) menyebut para pembesar istana yang bernama Erkinoald dan Ebroin sebagai principes.[1] Pipin II pertama kali menyandang gelar princeps setelah berjaya memenangkan Pertempuran Tertry pada 687.[2][3] Baik Liber Historiae Francorum (Kitab Sejarah Orang Franka) maupun Vita Dagoberti Tertii (Riwayat Dagobert Ketiga) menggelari Pipin sebagai princeps, akan tetapi naskah Tawarikh Fredegar hanya menggelarinya dux (senapati).[1] Sejarawan Inggris, Beda, menggelari Pipin II sebagai dux Francorum, namun para pujangga Angli-Saksen abad ke-9 yang menerjemahkan tulisan Beda menggunakan istilah Froncna Cyning (Raja Orang Franka).[4] Penulis Tawarikh Fredegar menggelari Ragamfred sebagai princeps, namun seteru Ragamfred, yakni putra Pipin yang bernama Karel Martel, baru digelari princeps setelah mengalahkan Ragamfred pada 718.[5] Semenjak saat itu, sebutan princeps terus-menerus digunakan untuk menggelari Karel Martel dan keturunannya, yakni wangsa Karoling, baik dalam naskah-naskah riwayat maupun dalam naskah-naskah piagam.[1]
Pada tahun 742, cucu Pipin yang bernama Karloman menyelenggarakan Concilium Germanicum (Konsili Jermani). Dalam muktamar gerejawi itu, Karloman menyapa para hadirin sebagai "hamba-hamba Allah dan kawula-kawulaku yang agung ... di dalam kerajaanku" selaku seorang "adipati dan pangeran orang Franka".[6] Muktamar itu menghasilkan maklumat bahwasanya "tanpa perlindungan pangeran orang Franka, tidak mungkin orang sanggup membela warga Gereja, para imam, para rohaniwan, para biarawan dan biarawati milik Allah."[7][8] Ketika adik Karloman yang bernama Pipin Si Pendek menyandang gelar itu pada tahun 744, ia tidak lagi menyebut Negeri Franka sebagai "kerajaanku", karena kala itu Kilderik III dari wangsa Meroving telah dinobatkan menjadi raja.[9] Pemakaian gelar pangeran-adipati ini digunakan oleh generasi Karoling terdahulu untuk menunjukkan kesetaraan derajat mereka dengan para pangeran-adipati Aquitania yang juga tunduk pada raja-raja Meroving sebagai junjungan nominal belaka, bukan sebagai penguasa yang berdaulat atas mereka.[10]
Dux Franciae
Selembar piagam dari masa pemerintahan Raja Odo (888–898) bagi gedung gereja Saint-Aignan d'Orléans, yang memuat nama Robert Si Perkasa dengan gelar dux Francorum, adalah naskah palsu buatan abad ke-17.[11]
Antara 936 sampai 943, gelar dux Francorum dihidupkan kembali atas permintaan [[Hugh the Great|Hugo Agung], pembesar yang paling berkuasa di Perancis. Raja Louis IV mengeluarkan selembar piagam pada 936 yang menyebut nama Hugo dengan gelar dux Francorum, dan selembar piagam yang dikeluarkan oleh Hugo sendiri pada 937 juga menyebut namanya dengan gelar ini. Meskipun demikian, gelar ini tidak istimewa, karena gelar "bupati" (bahasa Prancis: comes) juga tetap ia sandang.[12] Dalam salah satu piagam yang dikeluarkannya, Raja Louis memaklumkan bahwa Hugo adalah orang nomor dua di bawahnya di seluruh wilayah kerajaannya.[13] Pemaknaan dux Francorum sebagai gelar orang nomor dua di Kerajaan Perancis tidak disetujui secara umum. Menurut Flodoard dari Reims, Raja Louis hanya sekadar "mempercayakan pemerintahan kadipaten Perancis"[14] kepada Hugo pada 943 sebagai ganjaran atas jasanya memulangkan raja dari pembuangan. Wilayah Kadipaten Perancis atau Kadipaten Negeri Franka (ducatus Franciae) meliputi kawasan di antara Sungai Loire dan Sungai Seine, yakni bekas wilayah Kerajaan Neustria.[15]
Dux Francorum Orientalium
Sedikit sekali keterangan mengenai kemunculan Kadipaten Franken dalam "jajaran kepemimpinan suku bangsa Franka di kerajaan timur". Adipati Franken pertama yang jelas diketahui jati dirinya adalah Kondrad Tua, yang juga merangkap jabatan sebagai Adipati Thuringia. Pada 906, Kondrat Tua wafat dan digantikan oleh putranya, Kondrad Muda. Kondrat Muda terpilih menjadi Raja Jerman pada 911, tanpa menanggalkan gelar adipatinya. Meskipun tampaknya adik Kondrad, yakni Eberhard, yang memimpin Kadipaten Franken pada masa pemerintahan Raja Heinrich I (919–936), namanya pertama kali disebut-sebut dengan gelar dux Francorum dalam dokumen yang berasal dari permulaan masa pemerintahan Raja Otto I (936–73).[16]
Pada 956, Otto Orang Sali mewarisi Nahegau dari ayahnya, Kondrad Si Merah, kemudian menguasai pula Wormsgau, Speyergau, Niddagau dan kabupaten-kabupaten di antara Sungai Neckar dan Sungai Rhein, yakni Elsenzgau, Kraichgau, Enzgau, Pfinzgau dan mungkin pula Ufgau.[17] Otto menyandang gelar Adipati Carinthia sejak 978 sampai 985, dan setelah turun dari tampuk kekuasaan Carinthian, ia digelari Wormatiensis dux Francorum ("Adipati Orang Franka dari Worms"), yakni gelar adipati tituler yang pertama kali dianugerahkan di Kerajaan Jerman. Putranya, Kondrad, yang menggantikannya menjadi Adipati Carinthia, juga menyandang gelar "Adipati Worms".[18]
Raja Jerman, Kondrad III, juga menyandang gelar "Adipati Orang Franka Timur" (dux Francorum orientalium), sebelum terpilih menjadi raja.[19]
Catatan
- ^ a b c Lewis 1976, hlm. 404 n. 149.
- ^ Wolfram 1971, hlm. 38.
- ^ Depreux, hlm. 64.
- ^ Loyn 1953, hlm. 514 n. 6.
- ^ Lewis 1976, hlm. 404 n. 149. Secara teknis, si penulis tawarikh tidak secara langsung menggelari Ragamfred sebagai princeps, tetapi hanya meriwayatkan "kepangeranan" (bahasa Latin: principatus) Ragamfred.
- ^ Wolfram 1971, hlm. 38: servi Dei et optimates mei ... qui in regno meo sunt ... dux et princeps Francorum.
- ^ Higgins 1933, hlm. 209: Sine patrocinio principis Francorum nec populam aecclesiae regere nec presbiteros vel clericos, monachos vel ancillas Dei defendere possum.
- ^ Boniface 1976, hlm. 91–94, Terjemahan dari maklumat Karloman.
- ^ Wolfram 1971, hlm. 39.
- ^ Wolfram 1971, hlm. 40.
- ^ Bautier 1961, hlm. 143.
- ^ Ganshof 1972, hlm. 15.
- ^ Dunbabin 2000, hlm. 47: est in omnibus regnis nostris secundus a nobis.
- ^ Ganshof 1972, hlm. 15: rex ei ducatum Franciae delegavit.
- ^ Dunbabin 2000, hlm. 47.
- ^ Jackman 1990, hlm. 89–91.
- ^ Pixton 2001, hlm. 1120–21.
- ^ Jackman 1990, hlm. 96.
- ^ Lyon 2012, hlm. 37.
Sumber
- Bautier, Robert-Henri (1961). "Le règne d'Eudes (888–898) à la lumière des diplômes expédiés par sa chancellerie". Comptes rendus des séances de l'Académie des Inscriptions et Belles-Lettres. 105 (2): 140–57. doi:10.3406/crai.1961.11298.
- Boniface (1976 [1940]). Ephraim Emerton, ed. The Letters of Saint Boniface. New York: Norton.
- Boussard, Jacques (1968). "Les destinées de la Neustrie du IXe au XIe siècle". Cahiers de civilisation médiévale. 11 (41): 15–28. doi:10.3406/ccmed.1968.1435.
- Dunbabin, Jean (2000). France in the Making, 843–1180. Oxford University Press.
- Depreux, Philippe (2012). "Le princeps pippinide et l'Occident chrétien". De Mahoma a Carlomagno: Los primeros tiempos (siglos VII–IX) (Acts of the XXXIX Semana de Estudios Medievales de Estella, 17–20 July 2012). Pamplona: Gobierno de Navarra. hlm. 61–97. ISBN 9788423533367.
- Jackman, Donald C. (1990). The Konradiner: A Study in Genealogical Methodology. Frankfurt: Vittorio Klostermann.
- Fanning, Steven (1995). "Neustria". Dalam Kibler, William W.; Zinn, Grover A.; Earp, Lawrence. Medieval France: An Encyclopedia. Routledge. hlm. 1249–50.
- Ganshof, François-Louis (1972). "À propos de ducs et de duchés au Haut Moyen Âge". Journal des savants. 1 (1): 13–24.
- Glenn, Jason (2001). "Robertians". Dalam Jeep, John M. Medieval Germany: An Encyclopedia. Routledge. hlm. 1069–70.
- Higgins, John Seville (1933). "The Ultramontanism of Saint Boniface". Church History. 2 (4): 197–210. doi:10.1017/s0009640700120566.
- Lewis, Archibald R. (1976). "The Dukes in the Regnum Francorum, A.D. 550–751". Speculum. 51 (3): 381–410. doi:10.2307/2851704.
- Loyn, H. R. (1953). "The Term Ealdorman in the Translations Prepared at the Time of King Alfred". The English Historical Review. 68 (269): 513–25. doi:10.1093/ehr/lxviii.cclxix.513.
- Lyon, Jonathan R. (2012). Princely Brothers and Sisters: The Sibling Bond in German Politics, 1100–1250. Cornell University Press.
- Pixton, Paul B. (2001). "Salians". Dalam Jeep, John M. Medieval Germany: An Encyclopedia. Routledge. hlm. 1119–22.
- Wolfram, Herwig (1971). "The Shaping of the Early Medieval Principality as a Type of Non-Royal Rulership". Viator. 2: 33–51.
Bacaan lebih lanjut
- Brunner, Karl (1973). "Der fränkische Fürstentitel im neunten und zehnten Jahrhundert". Mitteilungen des Instituts für österreichische Geschichtsforschung. Vienna. 24: 179ff.
- Kienast, Walther (1966). "Der Herzogstitel in Frankreich und Deutschland (9. bis 12. Jahrhundert)". Historische Zeitschrift. 203 (3): 532–80.
- Levillain, Léon (1913). "La succession d'Austrasie au VIIe siècle". Revue historique. 112: 62–93.
- Wolfram, Herwig (1967). "Intitulatio: Lateinische Königs- und Fürstentitel bis zum ende des 8. jahrhunderts". Lateinische Herrscher- und Fürstentitel im neunten und zehnten Jahrhundert. 21. Hermann Böhlaus.