Yangere (disebut juga Tali Dua), adalah alat musik tradisional yang berasal dari Kabupaten Halmahera Utara, provinsi Maluku Utara. Musik ini merupakan salah satu hasil adaptasi budaya dari musik bangsa Eropa, yakni Portugis, yang dibawa pada masa penjajahan bangsa barat ke Indonesia. Pada umumnya, alat musik ini bisa dimainkan oleh semua komunitas atau kalangan di Halmahera, Maluku Utara.[1] Dan, dalam perkembangannya, musik ini biasanya dimainkan dalam acara tertentu saja, seperti acara hajatan, pernikahan, acara kampung dan acara keagamaan umat Kristen di Halmahera.[1]

Sejarah

Pada awal abad ke-16, bangsa Portugis memiliki seni musik berupa balada yang dimainkan dengan alat-alat musik seperti biola, banyo, gitar, rebana dan cello.[2] Alat-alat musik ini kemudian dimainkan di beberapa tempat di Indonesia, ketika Portugis menjajah Indonesia. Musik ini kemudian diadaptasi oleh penduduk setempat dengan menggunakan bahan-bahan yang ada dari alam sekitar yakni berupa kayu.[2] Adapun nama lokal dari pohon atau kayu tersebut ialah pohon Pule atau disebut juga kayu Yangere, yang terdapat di Tobelo, sehingga musik inipun kemudian diberi nama musik Yangere.[2]

Dengan tercipta alat musik yang diadopsi dari Portugis, warga pun mulai belajar untuk memainkannya. Pada awalnya musik Yangere dimainkan oleh sekelompok orang, yang dimainkan pada saat malam hari.[2] Memainkan musik ini kerap dilakulan ketika para warga kampung tengah beristirahat dari aktivitas berkebun. Pada sekitar tahun 80-an musik Yangere hanya didengar di pesta-pesta kebun pada saat panen atau ketika sekelompok pemuda duduk berkumpul di sudut-sudut jalan kampung. Pada awal tahun 90-an, musik Yangere mulai ditampilkan pada acara-acara resmi seperti peringatan hari-hari besar atau acara-acara pertemuan antar warga setempat. Sejak saat itu juga, musik Yangere mulai diadaptasi untuk mengiringi lagu-lagu pujian di gereja bagi pemeluk agama Kristen.[2] Tidak hanya sampai disitu, dalam perkembangannya dan demi merajut kebersamaan antar agama di Halmahera Utara, pada Lebaran 2018 lalu, pertunjukan band Yangere dari komunitas Kristen, turut memeriahkan Lebaran 2018. Hal ini menunjukkan adanya keharmonisan antar umat beragama. Perbedaan keyakinan bisa bersatu dalam alunan musik tradisional Yangere.[1]

Selain di Kota Tobelo, musik Yangere juga dapat ditemui di beberapa daerah lain di Maluku Utara dan Maluku. Daerah-daerah persebaran musik Yangere antara lain ada di seluruh pelosok Halmahera Utara, lalu di Kecamatan Galela Selatan, Kecamatan Ibu, Sahu dan Kota Jailolo. Dalam persebarannya nama Yengere pun turut dipakai di daerah-daerah tersebut.[1]

Bahan dan Cara Pembuatan

Pekerjaan utama warga sekitar turut memengaruhi terciptanya alat musik Yangere. Secara umum, mata pencaharian atau pekerjaan penduduk Maluku saat itu ialah bercocok tanam atau berkebun. Sehingga masyarakat sangat mudah menemukan berbagai pohon atau bahan untuk membuat alat musik Yangere. Ketika mereka hendak membuka kebun baru, mereka dapat menebang pohon kayu Telur atau disebut juga pohon Pule (Alstonia scholaris). Kayu dari pohon inilah yang digunakan untuk membuat alat musik Yangere, juga untuk Bas Kasteh atau Tali Dua. Kayu ini dipilih karena sangat mudah diukir, ringan dan dapat menghasilkan suara yang cukup sempurna saat dimainkan.[2] Pohon ini sendiri telah tumbuh hampir di seluruh wilayah Maluku dan juga Maluku Utara.

Proses pembuatan instrumen-instrumen musik tersebut dilakukan ketika kayu Yangere masih dalam keadaan mentah atau belum kering. Hal ini dilakukan karena kayu Yangere ini sangat mudah pecah jika diolah ketika kayu sudah kering.[3] Ketika kayu telah ditebang dan dibersihkan, maka alat musik Yangaren dapat langsung dibentuk sesuai bentuk dan ukuran Yangare pada umumnya.

Instrumen Pengiring Yangere

Memainkan alat musik Yangere selalu dipadukan dengan berbagai alat musik tradisional lainnya yang diciptakan oleh warga sekitar sejak dulu. Dengan adanya perpaduan alat musik inilah, maka tercipta alunan musik yang sangat indah untuk didengar. Instrumen pendukung musik Yangere terdiri dari Bas Kasteh atau Tali Dua, Hitara Lamoko, Koroncongan, Kolole, Loca-loca dan Tam-tam. Sedangkan, sumber melodi vocal berasal dari orang-orang yang menyanyikan lagu dalam musik Yangere. Instrumen-instrumen tersebut pada umumnya terbuat dari kayu Yengere atau Pohon Pule, terkecuali loca-loca atau ceker.[3]

Alat musik "Bas Kasteh" atau Tali Dua, merupakan alat musik yang ruang resonansinya berbentuk persegi dan diberi gagang atau laras dengan dipasangkan tali atau senar. Biasanya masyarakat setempat menggunakan tali pancing. Bas Kasteh atau Tali Dua dimainkan dengan cara dipetik atau dipukul. Bas Kasteh dipukul menggunakan tongkat yang disebut "tongkat gogohara" yang terbuat dari rotan atau kayu berukuran kecil, dimana panjangnya dapat disesuaikan sesuai kebutuhan.[1]

Kemudian, "Kolole" merupakan alat musik yang bentuknya menyerupai Juk dan berfungsi sebagai pengiring satu. Kolole memiliki 3 buah tali senar dan cara memainkannya ialah dengan dipetik. Selanjutnya adalah alat musik "Koroncongan" berbentuk seperti Kolole dan juga memiliki tiga tali senar dan dimainkan dengan cara dipetik, namun ukuran alat musik Koroncongan lebih besar dari Kolole. Alat musik selanjutnya adalah "Hitaara Lamoko" memiliki bentuk menyerupai Kolole dan Koroncongan, hanya saja bentuknya lebih besar. Hitaara Lamoko memiliki lima tali atau senar dan dimainkan dengan cara dipetik.[3]

Sedikit berbeda dengan instrumen pengiring lainnya, alat musik loca-loca merupakan instrumen yang terbuat dari buah kelapa atau batok kelapa yang sudah tua. Pembuatannya dengan mengeluarkan isi kelapanya lalu dikeringkan, setelahnya dipasang sebuah tangkai yang terbuat dari kayu. Untuk bentuk alat musik ini sendiri sangat menyerupai Kapuraca. Ruang resonansi loca-loca diisi dengan buah tasbih kering atau mumurutu. Cara memainkannya ialah tangkainya digenggam dengan kedua tangan lalu digetarkan sesuai irama musik yang diinginkan. Selain Loca-loca, alat musik lainnya sebagai pengiring Yangere ialah Tam-tam. Tam-tam merupakan salah satu alat perkusi sebagai pelengkap pada musik Yangere. Tam-tam dimainkan seperti halnya memainkan dram.[3]

Selain dari semua pengiring yang telah disebutkan tadi, ada pula instrumen tambahan lainnya yakni Tifa, ada Tifa besar dan juga Tifa kecil, serta ada pula suling bambu. Instrumen tambahan ini berfungsi layaknya instrumen lainnya yakni sebagai penyelaras satu kesatuan musik pengiring Yangere.[3] Dengan demikian, ketika semua alat musik sudah lengkap, alunan musik dan suara penyanyi akan terdengar indah.

Warisan Budaya Takbenda Indonesia 2018

Musik Yangere sendiri mengandung nilai sosial bagi masyarakat Maluku Utara, yakni membangun kebersamaan atau gotong royong. Meskipun musik Yangere pada awalnya hanya merupakan musik rakyat yang dimainkan untuk melepas lelah sehabis berkebun atau saat sedang santai, kini menjadi alat musik khas Maluku Utara yang memiliki nilai berharga bagi masyarakatnya. Terciptanya kebersamaan pun terjalin disaat memainkan alat-alat musik Yangere. Musik Yangere juga mengandung sebuah nilai estetika yang artinya bahwa sebuah kreativitas para pemain Yangere dan penyanyi, dapat menciptakan atau menggubah lagu melalui alat-alat musik Yangere sehingga dapat dinikmati dan menjadi sarana hiburan masyarakat.[3]

Yangere inipun ditetap sebagai salah satu Warisan Budaya Takbenda Indonesia 2018 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,[4] di Gedung Kesenian Jakarta 10 Oktober 2018. Berbagai budaya dari seluruh Indonesia ditetap sebagai warisan budaya, supaya masyarakat bisa menjaga dan melestarikan budaya-budaya yang ada tersebut hingga bisa dinikmati oleh generasi masa depan Indonesia.

Sebelumnya, pada bulan Oktober hingga September 2016 lalu, musik Yangere turut ditampilkan dalam memeriahkan acara Wonderful Morotai Islands Festival 2016 di Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara,guna memperkenalkan berbagai budaya dan tradisi Maluku Utara dalam festival tersebut.[5] Pemerintah pusat dan daerah di seluruh Indonesia, berupaya keras mempromosikan budaya-budaya Indonesia, baik berupa alat musik, makanan, tarian, pemandangan, cagar budaya, dan lain-lain, sehingga dunia semakin tertarik untuk mengunjungi Indonesia yang penuh dengan berbagai budaya yang berbeda-beda.

Referensi

  1. ^ a b c d e "Merajut Bingkai Kebersamaan Band Yangere Nasrani, Ramaikan Baronda Lebaran di Tobelo". www.gamalamanews.com. Diakses tanggal 27 Februari 2019. 
  2. ^ a b c d e f "Yangere, Musik Tradisional Masyarakat Galela, Halmahera Utara". www.kebudayaan.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 26 Februari 2019. 
  3. ^ a b c d e f "Buku Penetapan WBTb 2018" (PDF). www.warisanbudaya.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 26 Februari 2019. 
  4. ^ "Yangere Tali Dua, Halmahera Utara". www.dapobud.kemdikbud.go.id. Diakses tanggal 27 Februari 2019. 
  5. ^ "Morotai Semakin Bergairah Dengan Bertambahnya Koleksi Museum". www.m.cnnindonesia.com. Diakses tanggal 28 Maret 2019. 

Pranala luar