Surau Latiah terletak di Kampai Tabu Karambia, Lubuk Sikarah, Kota Solok, Sumatra Barat, Indonesia. Surau ini didirikan pada awal abad ke-19 oleh Syekh Sihalahan. Bangunannya berbentuk menyerupai rumah gadang, rumah adat tradisonal Minangkabau. Sejak didirikan sampai sekarang, konstruksinya tidak banyak mengalami perubahan, kecuali bagian dinding yang telah diberi plester dan material atap yang telah berganti dari ijuk menjadi seng.[1][2]

Surau Latiah
Surau Latiah
PetaKoordinat: 0°48′17.284″S 100°39′30.881″E / 0.80480111°S 100.65857806°E / -0.80480111; 100.65857806
Agama
AfiliasiIslam
KepemimpinanWakaf
Lokasi
LokasiKampai Tabu Karambia, Lubuk Sikarah, Kota Solok, Sumatra Barat, Indonesia
Arsitektur
TipeSurau
Gaya arsitekturMinangkabau
Peletakan batu pertama1902
Spesifikasi
Panjang21,5 meter
Lebar11 meter

Surau ini telah ditetapkan sebagai cagar budaya yang dilindungi oleh pemerintah pada 2007.[3][2]

Sejarah

Keberadaan Surau Latiah berkaitan dengan figur Syekh Sihalahan, seorang ulama Minangkabau yang mendakwahkan Islam di daerah Solok dan sekitarnya. Ia bernama asli Husin bin Mahmud, sedangkan Sihalahan merujuk pada nama daerah di Tanah Datar, tempat ia dulunya pernah berdakwah sebelum pindah ke Solok. Semasa hidupnya, Syekh Sihalahan pernah belajar di berbagai tempat, terakhir ia berguru kepada Syekh Aminullah, cucu dari Syekh Supayang. Saat berdakwah di Solok, ia mendapat hambatan dari kakaknya sendiri, seorang pemuka adat bergelar Datuk Bandaro dengan jabatan Angku Lareh. Jabatan ini membuat kakaknya cenderung berpihak kepada Belanda.[2][1][4]

Berdasarkan penelusuran Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batusangkar, Surau Latiah didirikan pada 1902. Surau ini merupakan salah satu bangunan ibadah umat Muslim tertua di Kota Solok.[5] Secara fisik, bentuk bangunan surau menyerupai rumah gadang dengan atap gonjong. Satu-satunya komponen ruang yang mencirikan sebagai tempat peribadatan adalah mihrab di bagian tengah sisi barat.[6]

Ketika berdiri, Surau Latiah awalnya hanya berdinding bambu yang dianyam atau disebut sasak dan beratapkan ijuk. Setelah Syekh Sihalahan meninggal pada 9 Muharram 1336 (sekitar Juli 1917), dinding dinding bangunan diberi plester dengan semen. Bagian lantai dan loteng telah diganti dengan material baru pada 1997 oleh BP3 Batusangkar. Pada bagian tiang dalam masjid (asli) sudah dilapisi oleh ahli waris dengan papan guna perkuatan dan pencegahan terhadap rayap.[2][7]

Selain sebagai tempat ibadah dan menuntut ilmu, Surau Latiah dahulunya digunakan sebagai tempat ibadah suluk. Suluk merupakan ajaran tasawuf dalam Islam yang artinya jalan atau cara untuk mendekatkan diri pada Allah. Tidak semua surau bisa menjadi tempat suluk, karena terbatasnya ulama yang bisa membimbing orang-orang yang ingin melakukan ibadah suluk. Para peserta suluk di Surau Latiah berasal dari berbagai daerah, seperti: Tanah Datar, Padang Panjang, dan Sijunjung. Namun tradisi bersuluk di surau ini sudah tidak dilakukan lagi, terakhir kali dilakukan pada 2003.[8][9]

Konstruksi

Denah bangunan Surau Latiah berukuran panjang 21,5 meter dan lebar 11 meter.[1] Dinding bangunan terbuat dari kayu yang dikombinasikan dengan plester (pasir dan semen). Bagian atap berbentuk gonjong dengan bahan terbuat dari seng, sedangkan kerangkanya terbuat dari kayu dan bambu. Atap ditopang oleh 12 tiang.[2][7]

Pintu masuk berada di sisi utara dan di sisi timur. Terdapat bukaan berua jendela di sisi selatan, sisi barat, dan sisi timur. Ruangannya terbagi atas ruang salat dan beberapa kamar yang digunakan untuk kegiatan suluk. Kamar tersebut berada pada sisi timur dari ruang utama yang pintunya tidak penuh hingga ke bagian bawah, dan sebuah ruangan dengan pintu penuh hingga ke bagian bawah.[2][7]

Mihrab menjorok keluar bangunan dan membujur dari arah utara ke selatan. Pada bagian atas pintu dan jendela terdapat hiasan kerawang. Hiasan ktersebut berbentuk setengah lingkaran dengan motif suluran yang di tengahnya terdapat lambang mahkota. Motif tersebut terbentuk sebagai pengaruh yang dibawa oleh bangsa Belanda.[6][7]

Peninggalan Syekh Sialahan

 
Rumah gadang peninggalan Syekh Sihalahan di Kampai Tabu Karambia pada 1911. Dalam foto, Syekh Sialahan berdiri nomor tiga dari kanan.

Di surau ini, terdapat manuskrip berupa naskah berbahasa Arab dalam abjad gundul peninggalan Syekh Sialahan. Ketika ditemukan oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Solok pada April 2018, kondisinya sudah bercerai-berai dan dibungkus dengan kertas koran.[10]

Syekh Sialahan meninggal pada 9 Muharram 1336 (sekitar Juli 1917). Di sisi timur dalam kompleks surau, terdapat makam Syekh Sialahan berupa susunan bata berplester. Nisannya menyatu dengan jirat, dengan bentuk nisan berbentuk undakan, pada bagian kepala nisan terdapat empat buah undakan dan pada bagian kaki nisan terdapat tiga buah undakan. Saat ini, makam Syekh Sihalahan telah diberi cungkup dan dibuatkan bangunan yang disusun dengan bata berplester dengan ukuran 4 x 3 meter. Atap cungkup terbuat dari seng.[8][2]

Selain itu, seperti kebanyakan masjid dan surau tua lainnya di Minangkabau, surau ini memiliki bedug atau disebut tabuah dalam bahasa Minang. Bersebalahan dengan surau, terdapat rumah gadang peninggalan Syekh Sihalahan.[6]

Referensi

Daftar pustaka

Pranala luar