Tanah Grogot, Paser

ibu kota Kabupaten Paser, Indonesia
Revisi sejak 21 Oktober 2019 10.40 oleh Ezagren (bicara | kontrib) (Membatalkan 1 suntingan oleh 180.246.168.125 (bicara) (TW))

Tana Paser / Tanah Grogot (disingkat: TGT[1]) adalah sebuah kecamatan yang terletak di Kabupaten Paser, Provinsi Kalimantan Timur, Indonesia.

Tanah Grogot
Kantor camat Tanah Grogot
Kantor kecamatan Tanah Grogot
Peta lokasi kecamatan Tanah Grogot
Peta lokasi Kecamatan Tanah Grogot
Negara Indonesia
ProvinsiKalimantan Timur
KabupatenPaser
Pemerintahan
 • Camat...
Populasi
 • Total... jiwa jiwa
Kode Kemendagri64.01.04 Edit nilai pada Wikidata
Kode BPS6401040 Edit nilai pada Wikidata
Luas... km²
Kepadatan... jiwa/km²
Desa/kelurahan15/1
Peta
PetaKoordinat: 1°55′12″S 116°12′0″E / 1.92000°S 116.20000°E / -1.92000; 116.20000

Sejarah

Asal usul nama Tanah Grogot

 
Masjid Agung Nurul Falah

Asal-usul nama Kota Tanah Grogot[2] berdasarkan cerita setempat tidak dapat dilepaskan dari peristiwa sejarah di Sulawesi Selatan. Menurut Lontara Wajo dikisahkan ketika Raja Bone yang bernama La Patau Matanna Tika mengundang Arung Matoa Wajo La Salewangeng untuk menghadiri pesta melubangi telinga putrinya. Saat itu ikut pula La Madukelleng yang merupakan keponakan dari Arung Matoa Wajo La Salewangeng. Sebagaimana kebiasaan bahwa sudah menjadi kegemaran bangsawan Bugis dalam setiap pesta raja-raja pada masa dahulu diadakan acara sabung ayam.

Pada pelaksanaan sabung ayam tersebut terjadi ketidakadilan dalam penyelenggaraan acara, saat ayam putera Raja Bone mati dikalahkan oleh ayam Arung Matowa Wajo. Kemenangan itu tidak diakui oleh orang Bone dan mereka berpendapat bahwa pertarungan tersebut sama kuatnya. Hal ini menyebabkan terjadinya keributan dan berujung pada perkelahian yang mengakibatkan korban di pihak Bone lebih banyak dibandingkan korban di pihak Wajo. Dengan adanya perkelahian tersebut Raja Bone menuntut kepada Wajo agar La Madukelleng menyerahkan diri untuk mempertanggungjawabkan atas perbuatannya yang dianggap salah. Akan tetapi orang Wajo tidak bersedia memenuhi permintaan Raja Bone. Sebelum Kerajaan Wajo diduduki pasukan Bone, karena tidak mau dijajah La Maddukeleng beserta para pengikutnya merantau meninggalkan Wajo untuk menghindari balas dendam yang akan dilakukan oleh Kerajaan Bone.

La Madukelleng dalam perantauannya dengan bermodalkan tiga ujung; ujung lidah sebagai bekal diplomasi, ujung badik untuk bertarung, dan ujung kelamin melalui perkawinan. Ia malang melintang di negeri orang mengukir kejayaan orang Bugis secara turun menurun. Dengan modal tersebut La Maddukeleng beserta para pengikutnya dan delapan orang bangsawan menengah, yaitu La Mohang Daeng Mangkona, La Pallawa Daeng Marowa, Puanna Dekke, La Siareje, Daeng Manambung, La Manja Daeng Lebbi, La Sawedi Daeng Sagala, dan La Manrappi Daeng Punggawa berangkat dari Paneki, dan pada awalnya menetap di Tanah Malaka (Malaysia Barat). Kemudian pindah dan menetap di wilayah Kerajaan Paser tepatnya di Muara Sungai Kandilo selama sepuluh tahun, sebelum kembali ke Wajo dan diangkat menjadi Raja di Kerajaan Wajo.

Namun, setelah rombongan tersebut menetap di tempat tersebut, jauh di tanah Sulawesi Selatan berhubung tanah Wajo telah diduduki oleh Kerajaan Bone, banyak pula warga Wajo yang meninggalkan kampung kelahirannya mengikuti jejak rombongan La Madukelleng untuk berlayar menuju tanah Paser, sementara sebagian rombongan yang dipimpin La Mohang Daeng Mangkona menuju ke tanah Kutai dan membentuk pemukiman yang menjadi cikal bakal berdirinya Kota Samarinda. Dengan adanya peristiwa tersebut banyak pula orang Bugis yang pada awalnya berasal dari Wajo, saat itu bermukim dan terlibat dalam perdagangan di sekitar Sungai Kandilo.

Dalam keseharian rombongan orang Bugis-Wajo yang bermukim di pinggiran Sungai Kandilo sering mendengar suara arus yang sangat deras dari arus sungai yang menimbulkan suara gemuruh. Dari keadaan itulah orang Bugis-Wajo menamakan pemukiman mereka dengan sebutan Tanah Geroro-E (Geroro-E: suara gemuruh). Dari istilah inilah para Sultan Kerajaan Paser pada saat itu kemudian sering menyebut dengan Tanah Geroro-E yang lama kelamaan diperkirakan menjadi cikal bakal sebutan Kota Tanah Grogot.

Selanjutnya ketika di Kota Tanah Grogot sudah banyak orang Bugis yang bermukim di sepanjang Sungai Kandilo, datang pula utusan Belanda yang tertarik untuk mengadakan usaha perdagangan di Kota Tanah Grogot sekitar tahun 1829 M. Hal ini dikarenakan kondisi perniagaan Paser pada saat itu sudah cukup ramai dan strategis. Pedagang Belanda yang bernama Alexander Van Soow mengajukan permohonan langsung pada Sultan Kerajaan Paser untuk meminta izin membangun sebuah rumah sebagai tempat usaha untuk menjual garam dan candu. Dalam permohonannya tersebut berhubung lidah orang Belanda tidak bisa menyebut Tanah Geroro-E maka pada akhirnya disebut Tanah Grogod.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa sebutan Tanah Grogod tersebut lama kelamaan ejaannya disempurnakan menjadi Tanah Grogot. Dengan berjalannya waktu karena kondisi Kota Tanah Grogot semakin ramai setelah dihuni oleh orang Bugis, selanjutnya datang juga orang Banjar, Jawa, dan sebagainya yang menyebabkan penduduk Kota Tanah Grogot semakin banyak. Penduduk tersebut lebih dominan berasal dari Bugis dan Banjar, sehingga kebudayaan mereka cepat membaur dengan penduduk asli Suku Paser. Maka dari itu tidak mengherankan bahwa pada saat ini dapat dijumpai perpaduan budaya pada orang Paser di Kota Tanah Grogot. Seiring berjalannya waktu dan semakin banyaknya penduduk yang datang hingga Kota Tanah Grogot terus berkembang pesat. Pada akhirnya berdasarkan Undang-undang Nomor 27 tahun 1959 pada tanggal 29 Desember 1959, Kota Tanah Grogot diresmikan sebagai ibu kota Kabupaten Paser.

Pembagian administratif

  1. Kelurahan Tanah Grogot
  2. Desa Janju
  3. Desa Sempulang
  4. Desa Tepian Batang
  5. Desa Tanah Periuk
  6. Desa Pepara
  7. Desa Sungai Tuak
  8. Desa Rantau Panjang
  9. Desa Jone
  10. Desa Padang Pengrapat
  11. Desa Muara Pasir
  12. Desa Sungai Langir
  13. Desa Perepat
  14. Desa Pulau Rantau
  15. Desa Senaken
  16. Desa Tapis

Referensi

Galeri