Mahalabiu adalah salah satu bentuk sastra lisan Banjar berupa ujaran pendek atau cerita singkat, umumnya tidak lebih dari 15 kalimat, yang mengandung candaan atau teka-teki/tebakan. Mahalabiu biasanya membuat orang memikirkan makna konotasi dari cerita tersebut. Meskipun kadang mengandung teka-teki, tetapi mahalabiu dapat dibedakan dari cucupatian (teka-teki khas Banjar) yang lebih tradisional/kuno. Bahasa Banjar yang digunakan dalam bermahalabiu tidak banyak terpengaruh dari bahasa lain atau bahasa Indonesia.[1][2]

Asal kata

Mahalabiu ditengarai berasal dari kata Halabiu, yakni nama sebuah kademangan/distrik dari wilayah administratif Onderafdeeling Alabio dan Balangan pada masa penjajahan Hindia Belanda. Kata Halabiu mendapatkan awalan ma- dalam bahasa Banjar yang artinya kurang lebih memiliki sifat seperti orang-orang Halabiu. Pendapat lain menyatakan bahwa mahalabiu berasal dari kata mahala ‘tanggung’ dan biu (bentuk singkat Halabiu) sehingga dapat diartikan bahwa mahalabiu adalah ungkapan yang tanggung atau belum selesai sehingga membuat orang berpikir maknanya apa.[3]

Bentuk dan contoh

Mahalabiu dapat dibagi menjadi dua, yakni mahalabiu yang berupa candaan dan yang berisi teka-teki.[1] Contoh mahalabiu yang mengandung candaan:[2]

Orang nagara bajual parang panjang gasan orang bahuma, ujar orang nagara, parangku ngini kada sadidikit wajanya, bila bilong bulikakan haja. Tabaraung orang Halabiu nang manukar, limbah dipakai gasan manabas ka pahumaan sakalinya bilung mata parang ngintuh, lalu dibulikakan ai ulih orang Halabiu ka orang nagara, ujar orang nagara bulikakan saurang haja, kada dibulikakan lawan aku pang, tapakalah ai orang halabiu.

Orang Nagara berjualan parang yang panjang untuk petani. Kata orang Nagara, “Parangku ini banyak besinya, bila bengkok kembalikan saja. Ketika itu orang Halabiu yang membelinya. Setelah dipakai untuk memotong rerumputan di sawah ternyata bengkok mata parangnya. Dikembalikanlah parang itu tadi ke pembelinya. Lalu kata orang Negara, “Kembalikan sendiri, bukan dikembalikan kepadaku. Penjelasan: Ternyata maksud kembalikan adalah dibetulkan sendiri, bukan dikembalikan ke penjualnya.

Mahalabiu yang mengandung teka-teki umumnya dibarengi kata "Tangguh Ikam, napa nah?" yang artinya "Kamu tebak apa ya?" Contoh mahalabiu yang mengandung tebakan:[1]

"Amun cangang ka hadapan maharap pambariannya. Amun cangang ka atas mangharap ganalnya pambariannya. Amun cangang ka bawah maliat tampat bardirinya. Tangguh ikam, napa nah?"

Kalau memandang ke depan mengharapkan pemberiannya. Kalau memandang ke atas mengharapkan besarnya pemberiannya. Kalau memandang ke bawah melihat tempat berdirinya. Kamu tebak, apa ya? Jawaban: "orang mengail". Orang mengail jika melihat ke depan, mengharapkan pemberian Tuhan berupa ikan. Ketika kail sudah menjerat ikan dan ditarik, maka orang melihat ke arah atas pancingnya, mengharap mendapatkan ikan yang besar. Kalau melihat ke bawah, orang tersebut akan melihat tempat berdiri dirinya sendiri.

Contoh mahalabiu yang pendek, hanya berupa satu kalimat:[1]

"Takuliling masigit kada taliat tikar sambahiyang."

"Sekeliling mesjid tidak terlihat tikar sembahyang." Penjelasan: Permainan kata yang bermakna ganda, yakni "tikar untuk sembahyang" dan "tikar yang melakukan sembahyang."

Catatan kaki

  1. ^ a b c d Effendi, Rustam. "EKSISTENSI SASTRA LISAN MAHALABIU BAGI MASYARAKAT BANJAR KALIMANTAN SELATAN". LITERA, Volume 11, Nomor 2, Oktober 2012. 
  2. ^ a b Ramadhan, Juhairi. "WACANA HUMOR CERITA MAHALABIU". Scribd. Diakses tanggal 2020-02-08. 
  3. ^ Effendi, Rustam (2018-01-26). "MAHALABIU: MEDIA KRITIK SOSIAL MASYARAKAT BANJAR (MAHALABIU: THE MEDIA OF SOCIAL CRITICS OF BANJAR SOCIETY)". JURNAL BAHASA, SASTRA DAN PEMBELAJARANNYA (JBSP) (dalam bahasa Inggris). 7 (2): 173–183. doi:10.20527/jbsp.v7i2.4418. ISSN 2580-5932.