Kerusuhan Mei 1998

Kerusuhan massa, demonstrasi anti-pemerintah, dan pembangkangan sipil di Indonesia pada bulan Mei 1998
Revisi sejak 20 Januari 2020 00.20 oleh HsfBot (bicara | kontrib) (Bot: Mengganti kategori yang dialihkan Pelanggaran HAM menjadi Pelanggaran Hak Asasi Manusia)

Kerusuhan Mei 1998 adalah kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa yang terjadi di Indonesia pada 13 Mei-15 Mei 1998, khususnya di Ibu Kota Jakarta namun juga terjadi di beberapa daerah lain. Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998. Hal inipun mengakibatkan penurunan jabatan Presiden Soeharto, serta pelantikan B. J. Habibie.

Kerusuhan Mei 1998
Bagian dari Kejatuhan Soeharto
Berkas:May 1998 riot.jpg
Orang-orang yang menjarah toko etnis Tionghoa pada tanggal 14 Mei
Tanggal4–8 dan 12–15 Mei 1998
LokasiKerusuhan utama terjadi di Medan, Jakarta, dan Surakarta.
SebabKritik terhadap pemerintah Orde Baru, dan keruntuhan ekonomi akibat dari krisis finansial Asia 1997.
HasilPengunduran diri Presiden Soeharto dan pembentukan Kabinet Reformasi Pembangunan di bawah pimpinan B. J. Habibie
Peta lokasi kerusuhan Mei 1998

Kerusuhan

Pada kerusuhan ini banyak toko dan perusahaan dihancurkan oleh amuk massa—terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa[1]. Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Medan dan Surakarta. Terdapat ratusan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa dan mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut[2][3]. Sebagian bahkan diperkosa beramai-ramai, dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh. Dalam kerusuhan tersebut, banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia. Tak hanya itu, seorang aktivis relawan kemanusiaan yang bergerak di bawah Romo Sandyawan, bernama Ita Martadinata Haryono, yang masih seorang siswi SMU berusia 18 tahun, juga diperkosa, disiksa, dan dibunuh karena aktivitasnya. Ini menjadi suatu indikasi bahwa kasus pemerkosaan dalam Kerusuhan ini digerakkan secara sistematis, tak hanya sporadis.

Amuk massa ini membuat para pemilik toko di kedua kota tersebut ketakutan dan menulisi muka toko mereka dengan tulisan "Milik pribumi" atau "Pro-reformasi" karena penyerang hanya fokus ke orang-orang Tionghoa. Beberapa dari mereka tidak ketahuan, tetapi ada juga yang ketahuan bukan milik pribumi. Sebagian masyarakat mengasosiasikan peristiwa ini dengan peristiwa Kristallnacht di Jerman pada tanggal 9 November 1938 yang menjadi titik awal penganiayaan terhadap orang-orang Yahudi dan berpuncak pada pembunuhan massal yang sistematis atas mereka di hampir seluruh benua Eropa oleh pemerintahan Jerman Nazi.

Sampai bertahun-tahun berikutnya Pemerintah Indonesia belum mengambil tindakan apapun terhadap nama-nama yang dianggap kunci dari peristiwa kerusuhan Mei 1998. Pemerintah mengeluarkan pernyataan yang menyebutkan bahwa bukti-bukti konkret tidak dapat ditemukan atas kasus-kasus pemerkosaan tersebut, tetapi pernyataan ini dibantah oleh banyak pihak.

Sebab dan alasan kerusuhan ini masih banyak diliputi ketidakjelasan dan kontroversi sampai hari ini. Namun umumnya masyarakat Indonesia secara keseluruhan setuju bahwa peristiwa ini merupakan sebuah lembaran hitam sejarah Indonesia, sementara beberapa pihak, terutama pihak Tionghoa, berpendapat ini merupakan tindakan pembasmian (genosida) terhadap orang Tionghoa, walaupun masih menjadi kontroversi apakah kejadian ini merupakan sebuah peristiwa yang disusun secara sistematis oleh pemerintah atau perkembangan provokasi di kalangan tertentu hingga menyebar ke masyarakat.

Pengusutan dan penyelidikan

Tidak lama setelah kejadian berakhir dibentuklah Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk menyelidiki masalah ini. TGPF ini mengeluarkan sebuah laporan yang dikenal dengan "Laporan TGPF" [4]

Mengenai pelaku provokasi, pembakaran, penganiayaan, dan pelecehan seksual, TGPF menemukan bahwa terdapat sejumlah oknum yang berdasar penampilannya diduga berlatar belakang militer[5]. Sebagian pihak berspekulasi bahwa Pangab saat itu (Wiranto) dan Pangdam Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin melakukan pembiaran atau bahkan aktif terlibat dalam provokasi kerusuhan ini[6][7][8].

Pada 2004 Komnas HAM mempertanyakan kasus ini kepada Kejaksaan Agung namun sampai 1 Maret 2004 belum menerima tanggapan dari Kejaksaan Agung.[9]

Penuntutan Amendemen KUHP

Pada bulan Mei 2010, Andy Yentriyani, Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat di Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), meminta supaya dilakukan amendemen terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Menurut Andy, Kitab UU Hukum Pidana hanya mengatur tindakan perkosaan berupa penetrasi alat kelamin laki-laki ke alat kelamin perempuan. Namun pada kasus Mei 1998, bentuk kekerasan seksual yang terjadi sangat beragam. Sebanyak 85 korban saat itu (data Tim Pencari Fakta Tragedi Mei 1998), disiksa alat kelaminnya dengan benda tajam, anal, dan oral. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut belum diatur dalam pasal perkosaan Kitab UU Hukum Pidana.[10]

Lihat pula

Rujukan

  1. ^ http://www.semanggipeduli.com/Sejarah/frame/kerusuhan.html
  2. ^ Hamid, Usman. MENATAP WAJAH KORBAN. Solidaritas Nusa Bangsa, Jakarta, 2005
  3. ^ http://groups.yahoo.com/group/bhinneka/message/2249
  4. ^ Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Tanggal 13-15 Mei 1998, Situs SemanggiPeduli.com, 23 Oktober 1998. Diakses pada 15 Mei 2010.
  5. ^ Ester Indahyani Jusuf, dkk. KERUSUHAN MEI 1998 – FAKTA, DATA&Analisis. 2005. Jakarta. Kerjasama Solidaritas Nusa Bangda, APHI, dan TIFA.
  6. ^ Femi Adi Soempeno& AA Kunto A. PERANG PANGLIMA – SIAPA MENGKHIANATI SIAPA?. 2009. GALANG PRESS, Yogyakarta.
  7. ^ http://www.politikindonesia.com/readhead.php?id=14&jenis=itk
  8. ^ Meicky Shoreamanis Panggabean. 2008. KEBERANIAN BERNAMA MUNIR-Mengenal Sisi-Sisi Personal Munir. Bandung: Mizan
  9. ^ Komnas HAM Pertanyakan Kasus Mei 1998. Tempo Interaktif, 1 Maret 2004. Diakses pada 15 Mei 2010.
  10. ^ Tempo Interaktif, Perempuan Korban Mei 1998 Butuh Amandeman KUHP

Pranala luar