Andi Abdullah Bau Massepe
Letnan Jenderal TNI Andi Abdullah Bau Massepe (lahir di Massepe, Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, pada tahun 1918 - wafat di Parepare, Sulawesi Selatan, pada tanggal 2 Februari 1947 pada umur tahun) adalah pejuang heroik dari daerah Sulawesi Selatan. Ia merupakan Panglima pertama TRI Divisi Hasanuddin dengan pangkat Letnan Jendral[1]. Ia dianugerahi gelar Pahlawan nasional Indonesia oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 9 November 2005 dalam kaitan peringatan Hari Pahlawan 10 November 2005.[2]
Bau Massepe | |
---|---|
Lahir | Andi Abdullah Bau Massepe 1918 Massepe, Kabupaten Sidenreng Rappang, Hindia Belanda |
Meninggal | 2 Februari 1947 Suppa, Pinrang, Sulawesi |
Kebangsaan | Indonesia (1945–47) |
Nama lain | Datu Suppa |
Dikenal atas | Tokoh perjuangan Kemerdekaan Indonesia |
Bau Massepe | |
---|---|
Datu Suppa | |
Datu Suppa ke-25 | |
Berkuasa | 1938–1947 |
Pendahulu | Andi Makkasau |
Pengganti | I Soji Datu Kanjenne |
Permaisuri | Andi Maccaya Linge Daeng Singara Andi Bau Soji Datu Kanjenne |
Anak Detail |
|
Ayah | Andi Mappanyukki |
Ibu | Besse Arung Bulo |
Biografi
Kelahiran
Andi Abdullah Bau Massepe adalah putra dari Andi Mappanyukki (salah satu pahlawan Nasional dari Sulawesi Selatan) dan ibunya Besse Arung Bulo (putri Raja Sidenreng, anak dari La Sadapotto Addatuang Sidenreng dengan Baeda Addatuang Sawitto) di daerah Massepe, Kabupaten Sidenreng Rappang. (Massepe dahulunya merupakan salah satu pusat kerajan Addatuang (kerajaan) Sidenreng.
Dia adalah pewaris tahta dari dua kerajaan besar di Sulawesi Selatan yaitu Kerajaan Bone dan Gowa. Ia juga merupakan pewaris tahta dari lima kerajaan di sebelah barat Danau Sidenreng yaitu Suppa, Allita, Sidenreng Rappang dan Sawito.
Keturunan raja/bangsawan
Bau Massepe merupakan anak Raja dari Kerajaan Bone yakni Andi Mappanyukki yang juga seorang pejuang dari Sulawesi Selatan pada tanggal 10 November 2004 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendapat penghargaan sebagai Pahlawan Nasional.
Perkawinan
Semasa hidupnya Abdullah Bau Massepe pernah tiga kali beristri.
- Istri yang pertama bernama Andi Maccaya melahirkan putri bernama Andi Habibah,
- Istri yang kedua bernama Linge Daeng Singara melahirkan
- seorang putra yang bernama Andi Ibrahim dan
- seorang putri bernama Andi Subaedah Bau te’ne.
- Pada tahun 1933 menikah dengan Andi Bau Soji Datu Kanjenne yang kemudian dianugerahi putra-putri yang masing-masing bernama:
- Bau Kuneng, (Datu Lolo)
- Bau Amessangeng,(Datu Iccang)
- Bau Dala Uleng (datu Uleng) dan
- Bau Fatimah.(datu Toeng)
Pendidikang
Semasa hidupnya pernah mengecap pendidikan formal pada Sekolah Rakyat selama 1 tahun (1924), HIS (Hollands Inslander School (selesai 1932). Selain itu Dia juga memperoleh pendidikan dilingkungan kerajaan yang dikenal dengan pangngadereng dikalangan budaya Bugis Makassar
Raja-raja di Sulawesi Selatan
Andi Abdullah Bau Massepe merupakan Datu Suppa ke 25 berdasarkan silsilah Dia adalah ana' mattola di Suppa. Dia adalah pewaris tahta dari dua kerajaan besar di Sulawesi Selatan yaitu Kerajaan Bone dan Gowa. Ia juga merupakan pewaris tahta dari lima kerajaan di sebelah barat Danau Sidenreng yaitu Suppa, Allita, Sidenreng Rappang dan Sawito.
Kepemimpinan
Jabatan pada organisasi yang pernah dipimpin oleh dia antara lain:
- Panglima Pertama TNI Divisi Hasanuddin dengan pangkat Lentan Jenderal
- Ketua Bunken Kanrekan Pare-Pare, Ketua Organisasi SUDARA afderling Pare-Pare
- Ketua Pusat Keselamatan Rakyat Penasehat Pemuda/Pandu Nasional Indonesia
- Ketua Umum BPRI (Badan Penunjang Republik Indonesia)
- Kordinator perjuangan bersenjata bagi pemuda di Sulawesi Selatan
Tanda Jasa
- Piagam Gelar Pahlawan Nasional dari President Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono pada 7 November 2005
- Bintang Mahaputra Adipradana dari President RI, Susilio Bambang Yudhoyono, pada tahun 2005
- Angugerah Bintang Gerilja Setjara Anumerta dari President RI, Ir.Soekarno, nomor 175, 12 Agustus 1959
Kematian
Andi Abdullah Bau Massepe wafat ditembak oleh pasukan Mayor Raymond Westerling -Korps Baret Merah Belanda- pada tanggal 2 Februari 1947 setelah ditahan selama 160 hari. Wafat 10 hari sesudah konferensi Pacekke (tanggal 20 Januari 1947). Makam dia dapat ditemukan di Taman Makam Pahlawan kota Pare-Pare (110 kilometer utara Kota Makassar). Perihal kematiannya dalam wawancara pihak keluarga (Hajjah Andi Habibah, putri tertua dia) menyatakan tidak ditembak mati oleh Westerling, tetapi diduga dibunuh dengan menyumbat pernapasannya. Kematiannya pun disembuyikan oleh pihak Belanda dan tidak adapun sanksi mata yang melihat dia terbunuh.
Pejuang yang teguh
Dia diakui sebagai pejuang yang teguh pendirian dan berani berkorban demi tegaknya NKRI. Hal ini diakui oleh Westerling yang disampaikan kepada istrinya, A. Soji Petta Kanjenne, dia berkata; “suamimu adalah jantan dan laki-laki pemberani. Ia bertanggung jawab atas semua tindakannya, tidak mau mengorbankan orang lain demi kepentingan sendiri, sikap jantan ini sangat saya hormati.”
Pesan-pesan dia
Beberapa pesan dia yang sangat heroik yang dapat dijadikan inspirasi bagi generai muda sekarang dalam melanjutkan pembangunan negara ini antara lain:
"Lebih baik ditembak mati daripada menyerah kepada Belanda" Pesan kepada Andi Pangerang Petta Rani, merupakan saudara tiri nya, yang menjadi Gubernur Sulawesi Selatan
"Tetaplah memelihara anak kita, sekolahkan semuanya, karena kalau bukan saya yang menikmati hasil perjuangan ini, maka anak-anak serta pemuda-pemuda yang sedang tumbuh yang akan menikmatinya". (pesan kepada istrinya Andi Soji Datu Kanjenne sewaktu dia di penjara KIS di Makassar)
"Jangan nikahi dengan keluarga atau golongan orang-orang Belanda dan antek-anteknya. Lebih baik memelihara dan bersahabat dengan anjing daripada bersahabat dengan orang Belanda dan orang-orang anti republik" (dimuat di Harian Fajar,17 April 2003)