Baabullah

Pahlawan Revolusi Kemerdekaan

Sultan Baabullah (10 Februari 1528 (?) – Juli 1583) atau Babullah, juga dikenali sebagai Baab atau Babu dalam sumber Eropa, merupakan sultan ke-7 dan penguasa ke-24 Kesultanan Ternate di Kepulauan Maluku yang memerintah antara tahun 1570 dan 1583. Ia dianggap sebagai Sultan teragung dalam sejarah Ternate dan Maluku karena keberhasilannya mengusir penjajah Portugis dari Ternate dan membawa kesultanan tersebut kepada puncak kejayaannya di akhir abad ke-16. Sultan Baabullah juga dikenali dengan gelar "Penguasa 72 Pulau", berdasarkan wilayah kekuasaannya di Indonesia timur, yang mencakup sebagian besar Kepulauan Maluku, Sangihe dan sebagian dari Sulawesi. Pengaruh Ternate pada masa kepemimpinannya bahkan mampu menjangkau Solor (Lamaholot), Bima (Sumbawa bagian timur), Mindanao, dan Raja Ampat.[1] Peran Maluku dalam jaringan niaga Asia meningkat secara signifikan karena perdagangan bebas hasil rempah dan hutan Maluku pada masa pemerintahannya.[2]

Baabullah
Sultan Ternate
Berkuasa1570–1583
PendahuluKhairun Jamil
PenerusSaid Barakati
Kelahiran(1528-02-10)10 Februari 1528 (?)
KematianJuli 1583
Nama takhta
Sultan Baabullah Datu Syah
AyahKhairun Jamil
IbuBoki Tanjung
AgamaIslam

Kehidupan awal

Masa muda

Menurut tradisi, Baabullah dilahirkan pada 10 Februari 1528. Meski begitu, tanggal ini mungkin terlalu awal, karena ayahnya, Sultan Khairun Jamil (memerintah 1535–⁠1570), lahir pada sekitar tahun 1522 menurut catatan Portugis.[3] Kaicili (pangeran) Baab merupakan putra tertua, atau setidaknya salah satu yang tertua, dari Sultan Khairun dan permaisurinya Boki Tanjung,[4] putri Sultan Alauddin I dari Bacan.[5] Menurut satu catatan hikayat yang disusun jauh di kemudian hari oleh penulis Ternate Naidah, Baab juga merupakan anak angkat dari Sultan Bacan.[6] Tak banyak yang diketahui mengenai masa kecilnya, kecuali bahwa ayahnya memberikan pendidikan dalam hal-hal keagamaan; ia diajari untuk "berdakwah kepada masyarakat", yang ditafsirkan sebagai tanda bahwa ia memiliki pengetahuan yang menyeluruh tentang al-Qur'an.[7] Kaicili Baab dan saudara-saudaranya kemungkinan mendapatkan pemahaman ilmu agama dari mubalig dan ilmu peperangan dari ahli militer.[8]

Sejak kecil, ia menemani ayahnya kemana-mana, termasuk ketika sang sultan diasingkan untuk sementara ke Goa pada tahun 1545 hingga 1546.[9] Beranjak dewasa, ia membantu ayahnya menjalankan pemerintahan kesultanan, dan ikut menandatangani surat perjanjian vasalisasi Ternate kepada Portugis pada tahun 1560—surat Indonesia tertua dengan stempel kesultanan yang masih bertahan.[10] Sumber-sumber Portugis semasa mengenali Baab sebagai calon pewaris takhta (herdeiro do reino) Ternate, walaupun ada pula sumber lain yang menyebut bahwa ia memiliki satu atau dua saudara dengan klaim takhta yang lebih kuat.[11][12]

Hubungan Ternate-Portugis

Ternate yang merupakan pusat utama perdagangan cengkeh memiliki ketergantungan erat pada Portugis sejak mereka mendirikan benteng di sana pada tahun 1522.[13] Pada awalnya, elit Ternate menganggap bahwa Portugis yang memegang kuasa atas bandar persinggahan di Melaka serta memiliki persenjataan yang relatif lebih unggul dapat dijadikan sebagai sekutu yang berguna. Namun, setelah beberapa waktu, perilaku para serdadu Portugis yang tidak disukai masyarakat setempat memicu penolakan. Hubungan antara Sultan Khairun dan kapten-kapten Portugis tidak begitu mulus, walaupun mereka tetap membantunya mengalahkan negeri-negeri lain di Maluku, seperti Kesultanan Tidore dan Jailolo.[14][15]

Konflik antara Ternate dan Portugis pecah pada tahun 1560-an, ketika Muslim di Ambon meminta bantuan dari Sultan untuk mencegah orang-orang Eropa yang mencoba mengkristenkan daerah tersebut. Sultan Khairun pun mengirimkan sebuah armada di bawah pimpinan Kaicili Baab untuk mengepung desa Kristen Nusaniwi pada tahun 1563. Namun, pengepungan ini dibatalkan setelah tiga kapal Portugis datang.[16] Selama beberapa waktu setelah tahun 1564, orang-orang Portugis terpaksa meninggalkan Ambon secara keseluruhan, walaupun mereka kembali menetap di sana pada tahun 1569.[17] Baab juga ikut andil dalam sebuah ekspedisi ke bagian utara Sulawesi pada 1563 untuk membawa wilayah tersebut ke dalam kuasa kesultanan pimpinan ayahnya. Petinggi Portugis memahami bahwa penaklukan semacam ini akan diikuti dengan penyebaran agama Islam yang dapat menggoyahkan posisi mereka di Nusantara, sehingga mereka pun berusaha mendahuluinya dengan usaha pengkristenan penduduk Manado, Pulau Siau, Kaidipang, dan Toli-Toli, antara lain.[18]

 
Lukisan tentara pribumi dari Maluku dalam Kodeks Boxer, akhir abad ke-16

Terlepas dari segala perselisihan ini, hubungan Ternate-Portugis tidak sepenuhnya rusak. Saat Gonçalo Pereira mengirimkan sebuah ekspedisi ke Filipina pada tahun 1569, misalnya, penguasa Tidore, Bacan dan Ternate diminta untuk ikut menyertai. Dari Ternate, Kaicili Baab memimpin armada dengan lima belas kora-kora (perahu bercadik besar). Namun, karena Ternate tidak begitu tertarik pada ekspedisi ini, Baab membelokkan armadanya di tengah perjalanan untuk menuju Selat Melaka dan melakukan aksi bajak laut di sana. Terlepas dari desersinya, ia tetap kehilangan sekitar 300 orang dalam perjalanan ini. Ekspedisi Portugis pun berakhir dengan kegagalan, yang diam-diam disyukuri oleh Sultan Khairun.[19] Meski begitu, Baab tetap merasa tidak senang ayahnya terlalu ramah dengan orang-orang Eropa.[20]

Kematian Sultan Khairun

Selepas perselisihan mengenai kepemilikan Pulau Ambon, Khairun semakin meningkatkan kekuatan Ternate hari demi hari. Perkembangan ini membuat pemimpin-pemimpin Portugis khawatir. Wilayah pengaruh Portugis di Halmahera diserang oleh pasukan-pasukannya. Sebagai penguasa jalur laut, Khairun juga dapat menghentikan pengiriman suplai bahan pangan yang vital dari Moro di Halmahera ke pemukiman Portugis di Ternate.[21] Pada tahun 1570 Kapten Diogo Lopes de Mesquita (1566-1570) secara resmi melakukan rekonsiliasi dengan sang Sultan, tetapi hal ini tidak menurunkan ketegangan antar kedua pihak.[22]

Lopes de Mesquita mengundang Khairun ke kediamannya di São João Baptista (Benteng Kastela) pada tanggal 25 February 1570 untuk sebuah jamuan, dengan dalih bahwa ia hendak mengajak sang sultan mendiskusikan masalah serius. Khairun menyanggupi undangan ini dan datang sendiri ke dalam benteng, sebab pengawal tidak diperbolehkan masuk. Martim Afonso Pimentel, keponakan sang kapten, diperintahkan untuk berjaga di sisi dalam gerbang. Begitu Khairun hendak beranjak keluar, Pimentel menikamnya dengan belati hingga sang sultan gugur.[23]

Masa pemerintahan

Kenaikan takhta

Kematian tragis Sultan Khairun memicu kemurkaan orang-orang Ternate serta raja-raja Maluku lainnya. Dewan diraja Ternate, yang didukung oleh para kaicili dan sangaji (penguasa daerah), mengadakan musyawarah di Pulau Hiri dan menetapkan Kaicili Baab sebagai Sultan Ternate berikutnya, dengan gelar Sultan Baabullah Datu Syah. Menurut satu riwayat yang tercatat di kemudian hari, pada pertemuan itu mereka berikrar: "Apa yang mesti kita segani dari Portugis jika kita menyadari kekuatan kita sendiri? Apa yang mesti kita takuti, apa yang dapat membuat kita putus asa? Bangsa Portugis memuliakan orang yang merampok paling banyak, dan yang bergelimang kejahatan serta dosa-dosa besar ... Negeri kita adalah tanggungan kita, dan begitu pula perlindungan akan orang tua, istri, anak-anak dan kemerdekaan kita."[24] Sultan bermaksud untuk berperang demi menegakkan kembali agama Islam di Maluku, membawa Kesultanan Ternate menjadi kekuatan utama, dan mengusir orang-orang Portugis dari negerinya.[25][26]

Tak lama setelah penobatannya, Sultan Baabullah menyumpahkan permusuhan yang tak dapat lagi didamaikan kepada orang-orang Portugis di seluruh wilayah kekuasaannya.[27] Untuk menguatkan posisinya, Baabullah menikahi saudari Sultan Gapi Baguna dari Tidore.[28][5] Beberapa raja Maluku lainnya menyisihkan sejenak perselisihan mereka dan bergabung di bawah pasukan Baabullah dan bendera Ternate. Begitu pula sejumlah penguasa daerah di sekitar Maluku. Baabullah juga didukung oleh beberapa panglima yang cakap dalam peperangan, seperti Sultan Jailolo, penguasa Sula Kapita Kapalaya, dan juga panglima laut Ambon Kapita Rubohongi beserta anaknya Kapita Kalasinka.[29]

Pengusiran Portugis

 
Penggambaran tahun 1601 untuk kora-kora yang digunakan oleh penguasa Ternate

Sebagai balasan atas pembunuhan Khairun, Baabullah meminta agar Lopes de Mesquita dibawa ke hadapannya untuk diadili. Benteng-benteng Portugis di Ternate, yaitu Tolucco, Santa Lucia dan Santo Pedro jatuh dalam waktu singkat, menyisakan São João Baptista (kediaman Mesquita) sebagai pertahanan terakhir. Di bawah komando Baabullah, pasukan Ternate mengepung São João Baptista dan memutuskan hubungan benteng tersebut dengan dunia luar; suplai makanan dari luar tidak diperbolehkan masuk kecuali sejumlah kecil sagu yang hampir-hampir tidak dapat membantu penduduk benteng bertahan hidup. Walaupun begitu, pasukan Ternate sesekali memperbolehkan pertemuan antara penduduk benteng yang dikepung dengan masyarakat pulau lainnya—sebab banyak penduduk asli Ternate kala itu yang memiliki hubungan kekerabatan dengan Portugis melalui pernikahan. Dalam kondisi tertekan seperti ini, orang-orang Portugis mengangkat Alvaro de Ataide sebagai kapten baru mereka menggantikan Lopes de Mesquita. Namun, pergantian kepemimpinan ini tidak menggoyahkan niat Baabullah untuk mengusir orang-orang Eropa.[30]

Selagi pengepungan tersebut berlangsung, pasukannya menyerang wilayah-wilayah yang menjadi pusat misi Yesuit di Halmahera, dan memaksa penguasa Bacan yang sudah dibaptis untuk beralih kembali ke Islam pada sekitar tahun 1571.[26] Pada tahun 1571 sebuah armada Ternate dengan enam kora-kora besar di bawah pimpinan Kapita Kalasinka menyerbu Ambon.[31] Pasukan Ternate juga berhasil menaklukkan wilayah Hoamoal (di Seram), Ambelau, Manipa, Kelang dan Boano. Tentara Portugis yang dikomandoi Sancho de Vasconcellos berusaha dengan susah payah untuk mempertahankan benteng-benteng mereka, dan kehilangan kuasa mereka di laut atas perdagangan cengkeh.[32] Dengan bantuan penduduk setempat yang sudah masuk Kristen, Vasconcellos sempat berhasil menangkal serangan Ternate di Pulau Buru selama beberapa waktu,[33] akan tetapi wilayah tersebut jatuh ke Ternate tak lama setelah serangan baru dilancarkan di bawah pimpinan Kapita Rubohongi.[34][35]

Pada tahun 1575 sebagian besar tanah Portugis di Maluku telah diambil alih oleh Ternate, dan suku-suku serta negeri-negeri yang mendukung Portugis telah benar-benar tersudut. Hanya São João Baptista saja yang masih dalam pengepungan. Selama lima tahun sebelumnya orang Portugis beserta keluarga mereka mengalami kesulitan hidup di dalam benteng yang terputus dari dunia luar tersebut. Sultan Baabullah menuntut agar orang-orang Portugis di dalam benteng segera menyerahkan diri untuk meninggalkan Ternate, dan berjanji akan memberikan kapal serta suplai agar mereka dapat mencapai Ambon. Sementara itu penduduk benteng yang berasal dari Ternate diperbolehkan tinggal selama mereka mengakui pemerintahan kesultanan. Kapten Nuno Pereira de Lacerda menerima persyaratan tersebut.[36][37]

Maka, orang-orang Portugis pun menyerah dan pergi meninggalkan Ternate tak lama kemudian. Sultan Baabullah memegang janjinya dan tidak ada satu pun dari mereka yang dilukai. Ia menyatakan bahwa orang-orang Portugis tetap dapat berkunjung sebagai pedagang dan harga cengkeh untuk mereka tidak akan berubah. Sebuah kapal dari Melaka datang menjemput sisa-sisa orang Portugis di Ternate dan membawa mereka berlayar menuju Ambon.[38][37] Sebagian dari mereka melanjutkan perjalanan ke Melaka sementara yang lain pergi menuju Solor dan Timor untuk berpartisipasi dalam perdagangan kayu cendana.[39] Baabullah menahan sejumlah kecil orang Portugis di dalam benteng dan baru membiarkan mereka pergi setelah mereka yang terlibat dalam pembunuhan Khairun dihukum.[37]

Kunjungan Francis Drake

 
Pertemuan antara Francis Drake dan Baabullah pada tahun 1579

Sang raja akhirnya datang dari benteng, bersama 8 atau 10 orang anggota dewan yang menyertainya, dalam naungan payung yang sangat mewah (dengan hiasan bersepuh emas di tengahnya), dan dipagari dengan 12 tombak yang matanya diarahkan ke bawah: orang-orang kita (yang disertai oleh Moro, saudara Sultan) bangkit untuk menemuinya, dan ia dengan sangat ramah menyambut dan berbasa-basi dengan mereka.

Sebagaimana yang telah kami gambarkan sebelumnya, ia bersuara lirih, bicaranya halus, dengan keanggunan sikap seorang raja, dan berkebangsaan Moor. Pakaiannya mengikut gaya penduduk negerinya, tetapi jauh lebih mewah, sebagaimana dituntut oleh keberadaan dan statusnya; dari pinggang ke tanah ia mengenakan kain bersulam emas yang mewah; betisnya dibiarkan tersingkap, tetapi tapak kakinya tertutup sepatu dari kulit berwarna merah; hiasan kepalanya bertatahkan berbagai cincin berlapis emas, selebar satu atau satu setengah inci, yang membuatnya indah dan agung dipandang, mirip seperti mahkota; di lehernya ia mengenakan kalung rantai dari emas murni yang mata rantainya besar sekali dan satu rangkaian rangkap; di tangan kirinya terdapat Intan, batu Zamrud, batu Merah Delima dan batu Pirus, 4 batu permata yang sangat indah dan sempurna; di tangan kanannya; pada satu cincin terdapat satu batu Pirus besar dan sempurna, dan pada cincin lain terdapat banyak Intan berukuran lebih kecil, yang ditatahkan dengan sangat indah.

The World Encompassed by Sir Francis Drake, hlm. 91

Pada tanggal 3 November 1579, Sultan Baabullah menerima kunjungan dari penjelajah Inggris Francis Drake, yang kala itu sedang memimpin sebuah ekspedisi pelayaran keliling dunia (ekspedisi keliling dunia kedua yang berhasil diselesaikan setelah Ekspedisi Magellan-Elcano). Drake menggambarkan Baabullah sebagai pria yang "berperawakan tinggi, sangat gemuk dan kuat, dengan wajah yang terkesan ramah dan layaknya bangsawan".[40] Baabullah menerima tamunya dengan gembira, mendatangi armada Drake untuk menyambut mereka di sana. Sang sultan menyatakan pertemanan abadinya dengan Ratu Elizabeth, dengan maksud untuk mengajak serta Inggris dalam perseteruan melawan Portugis.[41] Drake sendiri memang sengaja memilih berlabuh di Ternate karena mengetahui bahwa Ternate merupakan musuh Portugis.[42] Meski begitu, Drake menahan diri dari menyanggupi ajakan Baabullah untuk menyerbu orang-orang Portugis yang kini menetap di Tidore.[43]

Setelah perbincangan babak pertama berakhir, Baabullah mengirimkan hidangan mewah bagi Drake dan para awaknya di kapal. Hidangan yang disajikan mencakup nasi, ayam, tebu, air gula, buah-buahan, dan sagu. Drake merasa terkesan dengan Baabullah, dan menggambarkannya sebagai figur yang populer di kalangan rakyatnya.[44] Namun, ia tidak berhasil menegosiasikan hak dagang eksklusif bagi Inggris karena penolakannya atas permintaan Baabullah untuk membantu Ternate menyerang Portugis. Sumber Spanyol bahkan menyatakan bahwa sempat terjadi cekcok antara dirinya dan Baabullah, sebab ia menolak untuk membayar bea ekspor sebesar 10% yang telah ditetapkan oleh Sultan untuk hasil bumi Ternate. Kedua pihak baru berdamai setelah Drake mengirimkan sejumlah hadiah untuk Sultan dan berjanji akan memberikan bantuan persenjataan bagi Ternate.[45] Drake pun bersegera meninggalkan Ternate pada tanggal 9 November dengan sejumlah kecil cengkeh berkualitas tinggi, dan melanjutkan perjalanan melalui Sulawesi, Barativa (kemungkinan di Nusa Tenggara Timur?) dan Jawa.[46][44]

Masa keemasan Ternate

Selepas kepergian Portugis, Sultan Baabullah mengambil alih São João Baptista dan memanfaatkannya sebagai benteng sekaligus istana kediamannya. Ia merenovasi serta memperkuat pertahanan benteng tersebut dan mengganti namanya menjadi Gammalamo. Di bawah perlindungan Baabullah, kapal-kapal dagang dari Melaka diperbolehkan singgah di Ternate setiap tahunnya, untuk memastikan bahwa arus niaga dengan kawasan sekitar serta Eropa tetap berlangsung dengan baik. Hanya saja, hak-hak istimewa kini ditiadakan, sehingga pedagang Barat diperlakukan serupa pedagang dari negeri lainnya dan mendapatkan pengawasan yang ketat. Sultan Baabullah bahkan mengeluarkan peraturan yang mengharuskan setiap orang Eropa yang singgah ke Ternate untuk melepaskan topi dan sepatu mereka, sebagai pengingat agar mereka tahu diri dan menjaga sikap.[47]

Sultan Baabullah merawat dan merintis jejaring persekutuan dengan penguasa-penguasa dan negeri-negeri lain di Nusantara. Muslim Jawa dari negeri-negeri pasisir (pantai utara) Jawa menjadi sekutu utama Ternate.[48] Beberapa misi dikirimkan kepada wilayah-wilayah yang diklaim oleh Ternate untuk menuntut kesetiaan mereka kepada kebijakan-kebijakan Sultan. Pada tahun 1580 Baabullah disebut memimpin sebuah ekspedisi pelayaran besar-besaran (hongi) yang mengunjungi sejumlah tempat di Sulawesi. Sang sultan sempat pula singgah ke Makassar dan bertemu dengan raja Gowa, Tunijalloʼ. Kedua penguasa ini mengikat perjanjian persekutuan. Kemudian, Baabullah mengajak Tunijalloʼ untuk masuk Islam, tetapi Tunijalloʼ menolak permintaan tersebut secara halus. Walaupun begitu, sebagai tanda pertemanan, Baabullah menawarkan untuk membantu renovasi Benteng Somba Opu di pantai timur Gowa. Setelah beranjak dari Gowa, armada Ternate menaklukkan wilayah Selayar di selatan Sulawesi.[49]

Di bawah kepemimpinan Baabullah, Kesultanan Ternate menggapai masa jayanya. Kombinasi dari pengaruh sosiopolitik agama Islam, imbas dari keberadaan Portugis (yang sebelumnya menyuplai persenjataan serta mendorong penyeragaman pertanian cengkeh demi efisiensi), serta harga cengkeh yang semakin melonjak, memperkuat dan memperluas cengkeraman Ternate atas jalur perdagangan rempah.[50] Pada awal masa pemerintahannya, Sultan mengirimkan armada untuk menaklukan Buru, Seram, dan sebagian wilayah Ambon. Pada ekspedisi tahun 1580 negeri-negeri di Sulawesi Utara juga ditaklukkan. Tradisi setempat menyebutkan bahwa Ternate menggabungkan strategi interferensi atas persaingan kekuasaan internal dan politik perkawinan untuk mendapatkan pengaruh. Raja Humonggilu dari Limboto, misalnya, meminta bantuan Ternate untuk mengalahkan saingannya, Raja Pongoliwu dari Gorontalo. Humonggilu lalu menikahi adik Baabullah, Jou Mumin.[51] Sementara, saudari dari raja yang dikalahkan dibawa ke Ternate untuk dinikahkan dengan seorang bangsawan. Baabullah sendiri dsiebut-sebut menikahi seorang putri dari Teluk Tomini bernama Owutango, yang memiliki peran penting dalam penyebaran agama Islam di kawasan tersebut.[52] Dalam ekspedisi yang sama, wilayah Banggai, Tobungku (keduanya di Sulawesi Timur), Tiworo (Sulawesi Tenggara) dan Buton juga jatuh ke dalam kuasa Sultan.[53] Pengaruh Ternate bahkan mencapai Solor, yang menjadi gerbang bagi perdagangan cendana di Timor,[54] serta Kepulauan Banda tempat penghasil pala.[55]

 
Benteng Gammalamo yang sempat dijadikan kediaman Baabullah, sebagaimana digambarkan dalam sebuah sketsa dari tahun 1607. Struktur asli benteng berada di kiri bawah.

Daftar wilayah jajahan Ternate yang disusun oleh sumber Spanyol pada sekitar tahun 1590 juga menyebut Mindanao, Kepulauan Papua (Raja Ampat) serta Bima dan Kore di Sumbawa, walaupun sepertinya wilayah-wilayah ini tidak terlalu terikat dengan Ternate.[56] Meski kawasan-kawasan yang jauh dari Ternate hanya merupakan negara pembayar upeti yang lumayan merdeka, banyak pula wilayah yang diperintah oleh wakil (bergelar sangaji) yang ditunjuk langsung oleh Sultan. Karena luas wilayah kekuasaannya, Baabullah juga dijuluki sebagai "Penguasa 72 Pulau", sebagaimana dicatat oleh sejarawan dan ahli geografi Belanda François Valentijn (1724).[57] Pada masa ini, Ternate merupakan negara terkuat dan termakmur di kawasan timur Nusantara.[58] Menurut sumber-sumber Spanyol, Baabullah bahkan memiliki kekuatan untuk memanggil 2.000 kora-kora dan 133.300 tentara dari Sulawesi hingga Papua di bawah panjinya.[59]

Hubungan dengan negeri lain

Ternate di bawah Baabullah tidak sepenuhnya tanpa lawan. Sultan Tidore, Gapi Baguna, mendukung Baabullah melawan Portugis untuk membalas pembunuhan Khairun, tetapi begitu perang usai, Ternate dan Tidore kembali bermusuhan.[37] Gapi Baguna berlayar menuju Ambon pada tahun 1576 untuk merundingkan persekutuan strategis dengan Portugis. Dalam perjalanan pulang ia dijebak oleh sebuah armada Ternate dan tertangkap, tetapi ia berhasil dibebaskan melalui penyerbuan yang dilakukan oleh kerabatnya, Kaicili Salama.[60][61] Pada tahun 1578, Gapi Baguna mengizinkan Portugis membangun benteng di Tidore, dengan harapan agar perdagangan rempah beralih ke sana dan agar Portugis memberikan sokongan militer untuk menghadapi Ternate. Setelah penyatuan Portugal dengan Spanyol menjadi Uni Iberia pada tahun 1581, pasukan dari daerah jajahan Spanyol di Filipina dikirimkan untuk menguatkan posisi Iberia di Maluku. Sepasukan armada Spanyol mencapai Tidore pada tahun 1582, dan berusaha untuk melemahkan Baabullah melalui penyerangan ke Ternate. Akan tetapi, sebuah wabah yang terjadi kala itu berdampak parah pada pasukan Spanyol hingga mereka harus pulang kembali ke Manila dengan tangan kosong.[62]

Baabullah melanjutkan kebijakan ayahnya yang menjalin hubungan dengan negeri-negeri Muslim dari segala penjuru. Pada periode sekitar tahun 1570 terjadi serbuan serempak terhadap wilayah jajahan Portugis oleh negeri-negeri Muslim di India Selatan dan Aceh dengan dukungan Utsmaniyah, yang mungkin saja berkaitan dengan upaya perlawanan yang dilakukan oleh Baabullah.[63] Hanya di Maluku penyerbuan ini berhasil; seluruh serangan di Samudra Hindia berhasil dipatahkan oleh Portugis dan berakhir dengan kekalahan bagi negeri-negeri Muslim.[64] Baabullah mengirim Kaicili Naik ke Lisbon sebagai utusan kepada Felipe II, Raja Spanyol dan Portugal, untuk menuntut hukuman bagi mereka yang terlibat dalam pembunuhan Sultan Khairun. (Pimentel, pelaku utama pembunuhan, sebetulnya sudah terbunuh dalam sebuah insiden di Jawa[65]). Perundingan di Lisbon berakhir tanpa kepastian; hanya saja, tujuan utama perjalanan utusan ini adalah untuk berdiplomasi dan menjalin persekutuan dengan negeri-negeri Muslim di sepanjang jalan, termasuk Brunei, Aceh dan Sunda (Banten?). Ketika Kaicili Naik sampai kembali ke Ternate setelah misi yang sukses ini, Baabullah telah mangkat.[66]

Selama pemerintahannya, pedagang-pedagang dari negeri Muslim yang jauh seperti Turki Utsmani sempat singgah di istana, dan Portugis mencatat adanya kontak erat antara Ternate dan tokoh-tokoh Muslim dari Aceh, Tanah Melayu, dan bahkan Mekkah. Orang-orang Jawa dari Jepara dan negara bandar lainnya juga membantu Ternate secara militer melalui Ambon. Kepergian Portugis dan pembukaan kembali bandar Ternate untuk perdagangan bebas membangkitkan jalur-jalur dagang lama yang mempertalikan wilayah-wilayah Asia sejak abad ke-15, beserta jalinan budaya dan agama yang dibawa melaluinya. Penyebaran Islam sendiri mengalami kemajuan pesat pada zaman Baabullah, sebagian alasannya kemungkinan sebagai respons terhadap penyebaran agama Kristen.[67]

Kematian dan suksesi

Sultan Baabullah mangkat pada bulan Juli tahun 1583.[68] Terdapat versi yang berbeda-beda mengenai penyebab dan tempat kematiannya. Menurut sebuah riwayat meragukan yang muncul jauh di kemudian hari (catatan François Valentijn, 1724), ia diperangkap oleh Portugis dalam kapal mereka dan dibawa ke Goa, tetapi meninggal di perjalanan. Riwayat-riwayat lainnya menyatakan bahwa ia dibunuh ketika berada di kediamannya, entah melalui racun atau sihir.[69]

Pengganti Baabullah sebagai Sultan adalah putranya Said Barakati (memerintah 1583-1606) alih-alih saudaranya Mandar, walaupun ibunda Mandar memiliki status yang lebih tinggi. Baabullah secara khusus meminta saudaranya yang lain, Kaicili Tulo, untuk mendukung Said sebagai sultan. Sultan Said melanjutkan upaya perlawanan terhadap Portugis dan Spanyol dan terus menjalin hubungan dengan negeri-negeri lainnya.[70]

Rujukan

  1. ^ Robert Cribb (2000) Historical atlas of Indonesia. Richmond: Curzon, p. 103.
  2. ^ van Fraassen (1987), Vol. I, hlm. 47.
  3. ^ Tiele (1877–⁠1887), Bagian II:5, hlm. 39.
  4. ^ Naïdah (1878) "Geschiedenis van Ternate", Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 4:1, p. 441.[1]
  5. ^ a b van Fraassen (1987), Vol. II, hlm. 16.
  6. ^ Naidah (1878), hlm. 411, 449.
  7. ^ Jacobs (1974), hlm. 239.
  8. ^ Cf. Hubert Jacobs (1971) A treatise on the Moluccas (c. 1544). Rome: Jesuit Historical Institute, p. 123.
  9. ^ A.B. de Sá (1956) Documentação para a história das missões Padroado portugues do Oriente, Vol. IV. Lisboa: Agencia Geral do Ultramar, p. 185.
  10. ^ Annabel Teh Gallop (2019) Malay seals from the Islamic world of Southeast Asia. Singapore: NUS Press, Nos 1836-1837.
  11. ^ Jacobs (1974), hlm. 61.
  12. ^ van Fraassen (1987), Vol. II, hlm. 16–⁠17.
  13. ^ Andaya (1993), hlm. 117.
  14. ^ Andaya (1993), hlm. 122.
  15. ^ Tiele (1877–⁠1887), Bagian IV:1, hlm. 399–⁠400.
  16. ^ Tiele (1877–⁠1887), Bagian IV:1, hlm. 405.
  17. ^ Jacobs (1974), hlm. 12.
  18. ^ Tiele (1877–⁠1887), Bagian IV:3, hlm. 418–420; Bagian IV:5, hlm. 440.
  19. ^ Tiele (1877–⁠1887), Bagian IV:5, hlm. 438.
  20. ^ Jacobs (1974), hlm. 624.
  21. ^ Tiele (1877–⁠1887), Bagian IV:4, hlm. 441–⁠443.
  22. ^ Hanna & Alwi (1990), hlm. 86–87.
  23. ^ Hanna & Alwi (1990), hlm. 87.
  24. ^ Bartholomew Leonardo de Argensola (1708) The Discovery and Conquest of the Molucco and Philippine Islands. London, p. 54.[2]
  25. ^ van Fraassen (1987), Vol. I, hlm. 40.
  26. ^ a b Andaya (1993), hlm. 132.
  27. ^ Bartholomew Leonardo de Argensola (1708), p. 55.[3]
  28. ^ Diogo do Couto (1777) Da Asia, Decada VIII. Lisboa : Na Regia officina typografica, p. 269-70.[4]
  29. ^ François Valentijn (1724) Oud en Nieuw Oost-Indien, Vol. I. Amsterdam: Onder de Linden, p. 144.[5]
  30. ^ Hanna & Alwi (1990), hlm. 88–⁠91.
  31. ^ A.B. de Sá (1956) Documentação para a história das missões Padroado portugues do Oriente, Vol. IV. Lisboa: Agencia Geral do Ultramar, p. 210.
  32. ^ Gerrit Knaap (2004) Kruidnagelen en Christenen: De VOC en de bevolking van Ambon 1656-1696. Leiden: KITLV Press, p. 17-9.
  33. ^ A.B. de Sá (1956), p. 331, 396-7.
  34. ^ Jacobs (1974), hlm. 691.
  35. ^ Georgius Everhardus Rumphius (1910) "De Ambonsche historie", Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 64, p. 18-9.[6] Buru later fell under Tidore's suzerainty for a while; see Hubert Jacobs (1980) Documenta Malucensia, Vol. II. Rome: Jesuit Historical Institute, p. 22;
  36. ^ Hanna & Alwi (1990), hlm. 92.
  37. ^ a b c d Andaya (1993), hlm. 133.
  38. ^ Tiele (1877–⁠1887), Bagian IV:6, hlm. 455–45⁠6.
  39. ^ Arend van Roever (2002) De jacht op sandelhout: De VOC en de tweedeling van Timor in de zeventiende eeuw. Zutphen: Walburg Pers.
  40. ^ Hanna & Alwi (1990), hlm. 98.
  41. ^ Hanna & Alwi (1990), hlm. 95–⁠96.
  42. ^ Lessa (1984), hlm. 70.
  43. ^ A.E.W. Mason (1943) The life of Francis Drake. London: Readers Union, p. 157.[7]
  44. ^ a b Hanna & Alwi (1990), hlm. 102.
  45. ^ Lessa (1984), hlm. 73.
  46. ^ Lessa (1984), hlm. 73–75.
  47. ^ Hanna & Alwi (1990), hlm. 94.
  48. ^ Jacobs (1980), Vol. II, hlm. 12.
  49. ^ François Valentijn (1724) Oud en Nieuw Oost-Indien, Vol. I. Amsterdam: Onder den Linden, p. 207-8.[8]
  50. ^ Lieberman (2009), hlm. 853–⁠854.
  51. ^ Liputo (1949), Vol. XI, hlm. 40.
  52. ^ Liputo (1950), Vol. XII, hlm. 23, 26–7.
  53. ^ Andaya 1993, hlm. 134.
  54. ^ Arend de Roever (2002) De jacht op sandelhout; De VOC en de tweedeling van Timor in de zeventiende eeuw. Zutphen: Walburg Pers, p. 72.
  55. ^ Peter Lape Contact and conflict in the Banda Islands, Eastern Indonesia, 11th-17th centuries. PhD thesis, Brown University, p. 64.
  56. ^ Tiele (1877–⁠1887), Bagian V:1, hlm. 161–162.
  57. ^ François Valentijn (1724) Oud en Nieuw Oost-Indien, Vol. I. Amsterdam: Onder de Linden, p. 208.[9]; similarly denominated in Bartholomew Leonardo de Argensola (1708), p. 55.[10]
  58. ^ Andaya (1993), hlm. 136.
  59. ^ Tiele (1877–⁠1887), Bagian V:1, hlm. 161–⁠162.
  60. ^ Jacobs (1974), hlm. 703–704.
  61. ^ de Sá (1956), hlm. 354–356.
  62. ^ Tiele (1877–⁠1887), Bagian V:3, hlm. 179.
  63. ^ Anthony Reid (2006) "The pre-modern sultanate's view of its place in the world", in Anthony Reid (ed.), Veranda of violence; The background to the Aceh problem. Singapore: Singapore University Press, p. 57.
  64. ^ C.R. Boxer (1969) The Portuguese seaborne empire. London: Hutchinson, p. 39-65.
  65. ^ Jacobs (1980), hlm. 72.
  66. ^ Tiele (1877–⁠1887), Bagian V:4, hlm. 199.
  67. ^ Andaya (1993), hlm. 134–139.
  68. ^ Tiele (1877–⁠1887), Bagian V:3, hlm. 180.
  69. ^ Hanna & Alwi (1990), hlm. 106.
  70. ^ Andaya (1993), hlm. 137–140.

Daftar pustaka

  • Andaya, Leonard (1993). The world of Maluku. Honolulu: University of Hawai'i Press. 
  • van Fraassen, Christiaan F. (1987). Ternate, de Molukken en de Indonesische Archipel : van soa-organisatie en vierdeling : een studie van traditionele samenleving en cultuur in Indonesië (Tesis Disertasi doktor). Leiden: Universiteit Leiden. 
  • Hanna, Willard A.; Alwi, Des (1990). Turbulent times past in Ternate and Tidore. Banda Naira: Yayasan Warisan dan Budaya Banda Naira. 
  • Lessa, William A. (1984). "Drake in the South Seas". Dalam Norman J. W. Thrower. Sir Francis Drake and the Famous Voyage, 1577-1580: Essays Commemorating the Quadricentennial of Drake's Circumnavigation of the Earth. Berkeley: University of California Press. ISBN 9780520048768. 
  • Liputo, M. H. (1949). Sedjarah Gorontalo Doea Lima Pohalaa. 11. Gorontalo: Pertjetakan Rakjat. 
  • Liputo, M. H. (1950). Sedjarah Gorontalo Doea Lima Pohalaa. 12. Gorontalo: Pertjetakan Rakjat. 
  • Jacobs, Hubert (1974). Documenta Malucensia. 1. Rome: Jesuit Historical Institute. 
  • Jacobs, Hubert (1980). Documenta Malucensia. 2. Rome: Jesuit Historical Institute. 
  • Naidah (1878). Diterjemahkan oleh P. van der Crab. "Geschiedenis van Ternate, in Ternataanschen en Maleischen Tekst Beschreven door den Ternataan Naidah met Vertaling en Aanteekeningen". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 26: 381–493. 
  • Tiele, Pieter Anton (1877–⁠1887). "De Europëers in den Maleischen Archipel". Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. 25: 321–420 (Bagian I); 27: 1–69 (Bagian II); 28: 261–340 (Bagian III), 395–482 (Bagian IV); 29: 153–214 (Bagian V); 30: 141–242 (Bagian VI); 32: 49–118 (Bagian VII); 35: 257–355 (Bagian VIII); 36: 199–307 (Bagian IX). 


Bacaan lanjutan

  • M. Adnan Amal, "Maluku Utara, Perjalanan Sejarah 1250 - 1800 Jilid I", Universitas Khairun Ternate 2002.
Baabullah
Didahului oleh:
Khairun Jamil
Sultan Ternate
1570–1583
Diteruskan oleh:
Said Barakati