Merdeka Belajar

Gerakan pengubah pendidikan di Indonesia menjadi bertaraf internasional

Merdeka Belajar adalah program kebijakan baru Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud RI) yang dicanangkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Kabinet Indonesia Maju, Nadiem Anwar Makarim.[1]Esensi kemerdekaan berpikir, menurut Nadiem, harus didahului oleh para guru sebelum mereka mengajarkannya pada siswa-siswi. Nadiem menyebut, dalam kompetensi guru di level apa pun, tanpa ada proses penerjemahan dari kompetensi dasar dan kurikulum yang ada, maka tidak akan pernah ada pembelajaran yang terjadi.

Pada tahun mendatang, sistem pengajaran juga akan berubah dari yang awalnya bernuansa di dalam kelas menjadi di luar kelas. Nuansa pembelajaran akan lebih nyaman, karena murid dapat berdiskusi lebih dengan guru, belajar dengan outing class, dan tidak hanya mendengarkan penjelasan guru, tetapi lebih membentuk karakter peserta didik yang berani, mandiri, cerdik dalam bergaul, beradab, sopan, berkompetensi, dan tidak hanya mengandalkan sistem ranking yang menurut beberapa survei hanya meresahkan anak dan orang tua saja, karena sebenarnya setiap anak memiliki bakat dan kecerdasannya dalam bidang masing-masing. Nantinya, akan terbentuk para pelajar yang siap kerja dan kompeten, serta berbudi luhur di lingkungan masyarakat.

Konsep Merdeka Belajar ini terdorong karena keinginan Mendikbud Nadiem Makarim menciptakan suasana belajar yang bahagia tanpa dibebani dengan pencapaian skor atau nilai tertentu.[1]

Gebrakan Merdeka Belajar
Konsep Merdeka Belajar Motto yang terkenal :

"Merdeka belajar, Guru Penggerak"

- Pelaksanaan USBN tahun 2020 mendatang akan dikembalikan ke pihak sekolah.
- Pada tahun 2021 mendatang, Nadiem berencana akan menghapus sistem UN, dan diganti dengan sistem baru, yaitu Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter.
- Membentuk siswa yang kompeten, cerdas untuk SDM bangsa, dan berbudi luhur.

Konsep Merdeka Belajar ala Nadiem Makarim terdorong karena keinginannya menciptakan suasana belajar yang bahagia tanpa dibebani dengan pencapaian skor atau nilai tertentu.[2]

Pokok-pokok kebijakan Kemendikbud RI tertuang dalam paparan Mendikbud RI di hadapan para kepala dinas pendidikan provinsi, kabupaten/kota se-Indonesia, Jakarta, pada 11 Desember 2019.

Ada empat pokok kebijakan baru Kemendikbud RI, yaitu:

  1. Ujian Nasional (UN) akan digantikan oleh Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Asesmen ini menekankan kemampuan penalaran literasi dan numerik yang didasarkan pada praktik terbaik tes PISA. Berbeda dengan UN yang dilaksanakan di akhir jenjang pendidikan, asesmen ini akan dilaksanakan di kelas 4, 8, dan 11. Hasilnya diharapkan menjadi masukan bagi sekolah untuk memperbaiki proses pembelajaran selanjutnya sebelum peserta didik menyelesaikan pendidikannya.
  2. Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) akan diserahkan ke sekolah. Menurut Kemendikbud, sekolah diberikan keleluasaan dalam menentukan bentuk penilaian, seperti portofolio, karya tulis, atau bentuk penugasan lainnya.
  3. Penyederhanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Menurut Nadiem Makarim, RPP cukup dibuat satu halaman saja. Melalui penyederhanaan administrasi, diharapkan waktu guru dalam pembuatan administrasi dapat dialihkan untuk kegiatan belajar dan peningkatan kompetensi.
  4. Dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB), sistem zonasi diperluas dan tidak termasuk daerah 3T (Daerah 3T merupakan daerah tertinggal, terdepan dan terluar di Indonesia[3]). Bagi peserta didik yang melalui jalur afirmasi dan prestasi, diberikan kesempatan yang lebih banyak dari sistem PPDB, Dalam sistem zonasi PPDB 2019, kuota jalur zonasi adalah minimal 80 persen dari total 100 persen. Sisanya diperuntukkan untuk jalur prestasi dan jalur perpindahan. Pada tahun PPDB 2020, kuota jalur zonasi berkurang menjadi 50 persen.  Dengan demikian skema kuota jalur zonasi PPDB 2020 berubah menjadi: jalur zonasi 50 persen, afirmasi 15 persen, pindahan 5 persen dan jalur prestasi 30 persen. Lewat kebijakan PPBD 2020, Kemendikbud ingin mengakomodasi ketimpangan akses dan kualitas di berbagai daerah. Daerah berwenang menentukan proporsi final dan menetapkan wilayah zonasi. [4]. Pemerintah daerah diberikan kewenangan secara teknis untuk menentukan daerah zonasi ini.[5]

Pengubahan Pemerataan Akses Pendidikan yang lebih "Efektif"

Pemerataan akses dan kualitas pendidikan perlu diiringi dengan inisiatif lainnya oleh pemerintah daerah, seperti redistribusi guru ke sekolah yang kekurangan guru. Jika peraturan yang lalu memberatkan siswa yang ingin menuju sekolah favorit, kini peraturan telah diuji sedemikian rupa agar adil bagi para murid dan guru. Zonasi tidak hanya mengatur pemerataan kualitas sekolah dan peserta didik, tetapi juga menitikberatkan pada peran dan komposisi guru di suatu daerah.

Nadiem mengingatkan, kebijakan ini harus diselaraskan dengan pemerataan kuantitas dan kualitas guru di seluruh daerah. “Pemerataan tidak cukup hanya dengan zonasi. Dampak yang lebih besar lagi adalah pemerataan kuantitas dan kualitas guru. Inilah yang banyak manfaatnya terhadap pemerataan pendidikan,” kata Nadiem.[2]

Sistem Pengukuran Kemampuan Literasi dan Numerasi

Nadiem membuat kebijakan merdeka belajar bukan tanpa alasan. Pasalnya, penelitian Programme for International Student Assesment (PISA) tahun 2019 menunjukkan hasil penilaian pada siswa Indonesia hanya menduduki posisi keenam dari bawah; untuk bidang matematika dan literasi, Indonesia menduduki posisi ke-74 dari 79 Negara.

Menyikapi hal itu, Nadiem pun membuat gebrakan penilaian dalam kemampuan minimum, meliputi literasi, numerasi, dan kurvei karakter. Literasi bukan hanya mengukur kemampuan membaca, tetapi juga kemampuan menganalisis isi bacaan beserta memahami konsep di baliknya. Untuk kemampuan numerasi, yang dinilai bukan pelajaran matematika, tetapi penilaian terhadap kemampuan siswa dalam menerapkan konsep numerik dalam kehidupan nyata. Soalnya pun tidak , tetapi membutuhkan penalaran.

Literasi numerasi adalah pengetahuan dan kecakapan untuk:

A. Menggunakan berbagai macam angka dan simbol-simbol yang terkait dengan matematika dasar untuk memecahkan masalah praktis dalam berbagai macam konteks kehidupan sehari-hari.

B. Menganalisis informasi yang ditampilkan dalam berbagai bentuk (grafik, tabel, bagan, dan sebagainya) lalu menggunakan interpretasi hasil analisis tersebut untuk memprediksi dan mengambil keputusan.[6]

Satu aspek sisanya, yakni Survei Karakter, bukanlah sebuah tes, melainkan pencarian sejauh mana penerapan asas-asas Pancasila oleh siswa.[7][3]

Referensi

  1. ^ Ningsih, Widya. "Merdeka Belajar melalui Empat Pokok Kebijakan Baru di Bidang Pendidikan | Suara Guru Online" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-12-16. 
  2. ^ "Merdeka Belajar: Kebijakan Lompat-lompat ala Nadiem Makarim – Muslimah News". www.muslimahnews.com. Diakses tanggal 2020-01-16. 
  3. ^ Fimi Putera, Muhammad Tommy; Rhussary, Margaertha Lassni (2018). "Peningkatan Mutu Pendidikan Daerah 3t (Terdepan,terpencil dan Tertinggal) di Kabupaten Mahakam Hulu". Jurnal Ekonomi dan Manajemen. 12 (2): 144–148. ISSN 1907-8439. 
  4. ^ Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 44 Tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru ( PPDB). https://jdih.kemdikbud.go.id/arsip/Permendikbud%20Nomor%2044%20Tahun%202019.pdf
  5. ^ Media, Kompas Cyber. "Terobosan Merdeka Belajar Nadiem Makarim, Ubah Sistem Zonasi hingga Hapus UN". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2019-12-17. 
  6. ^ https:// gln.kemdikbud.go.id/glnsite/buku-literasi-numerasi/
  7. ^ "BSNP Indonesia" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-01-16.