Orang Tionghoa atau Tionghwa (asal kata dari Hokkien; Hanzi tradisional: 中華; Hanzi sederhana: 中华; Pinyin: Zhōnghuá; Pe̍h-ōe-jī: Tiong-hôa) atau Huaren (Hanzi tradisional: 華人; Hanzi sederhana: 华人) adalah sebutan di Indonesia untuk orang-orang dari suku atau bangsa Tiongkok. Kata ini dalam bahasa Indonesia sering dipakai untuk menggantikan kata "Cina" yang kini memiliki konotasi negatif.[1] Kata ini juga dapat merujuk kepada orang-orang Tiongkok yang tinggal di luar Republik Rakyat Tiongkok, seperti di Indonesia (Tionghoa-Indonesia), Malaysia (Tionghoa-Malaysia), Singapura, Hong Kong, Taiwan, Amerika Serikat, dsb.. Dengan demikian, dalam bahasa Indonesia, istilah orang Tionghoa dan orang Tiongkok memiliki perbedaan makna; yang pertama merujuk pada etnis atau suku bangsa, yang kedua merujuk pada kewarganegaraan Republik Rakyat Tiongkok. Orang-orang Tiongkok yang pergi merantau umumnya disebut sebagai orang Tionghoa perantauan (Hoakiao).

Kaisar dan Permaisuri Huaxia.

Di Tiongkok sendiri, konsep serupa dikenal dengan nama Huaxia (Hanzi tradisional: 華夏; Hanzi sederhana: 华夏) yang merujuk pada konsep bangsa serta peradaban Tiongkok, yang bersumber dari kesadaran bangsa Han (kelompok etnis mayoritas di Tiongkok Daratan, yang berasal dari Dinasti Han) atas nenek moyang mereka, yang secara kolektif disebut sebagai Huaxia. Sedangkan istilah Zhonghua sendiri digunakan secara resmi dalam nama negara, baik pada waktu sebelum Perang Dunia II (Republik Tiongkok - Zhonghua minguo) maupun setelah Perang Saudara Tiongkok (Republik Rakyat Tiongkok - Zhonghua remin gongheguo)

Konsep bangsa Tionghoa

Tionghoa
Hanzi tradisional: 中華民族
Hanzi sederhana: 中华民族

Zhonghua minzu (Hanzi tradisional: 中華民族; Hanzi sederhana: 中华民族), kadang-kadang diterjemah sebagai "bangsa Tionghoa" atau ras Tionghoa[2][3][4] dalam pengertian modern merujuk kepada semua rakyat di negara Tiongkok tanpa memandang kumpulan etnik. Zhonghua dialihaksarakan menjadi Tionghoa, sedangkan Minzu diterjemahkan menjadi rakyat atau kumpulan etnik. Yang disebut orang Tionghoa tidak serta-merta merujuk pada bangsa Han, yang merupakan mayoritas di Tiongkok, tetapi juga 55 suku minoritas lainnya di Tiongkok.

Istilah Zhonghua minzu merupakan suatu istilah politis kunci yang sejarahnya berkaitan erat dengan sejarah negara Tiongkok modern, baik sejarah kebangkitan nasional Tiongkok maupun sejarah perjuangan bangsa Tiongkok.[5][6]

Sejak akhir 1980-an, perubahan paling mendasar dalam kewarganegaraan dan kebijakan minoritas di Republik Rakyat Tiongkok adalah perubahan nama dari "rakyat Tiongkok" (Hanzi: 中国人民 atau zhongguo renmin) menjadi "bangsa Tionghoa" (Hanzi: 中华民族 zhonghua minzu),[6] yang menandakan perubahan paradigma dari suatu negara komunis dengan berbagai suku bangsa, menjadi suatu negara nasional dengan sebuah identitas tunggal.[6]

Sejarah konsep

Ketika para penguasa Dinasti Qing mengadopsi model kekaisaran Dinasti Han, dan menganggap negara mereka sebagai "Tiongkok" ("中國", lit. Negara Pusat atau Negara Tengah), tetapi tokoh-tokoh nasionalis Tiongkok seperti Dr. Sun Yat-sen mendeskripsikan pemerintahan Manchu sebagai "penjajah asing" yang harus diusir keluar,[7] dan merencanakan untuk membangun sebuah negara Tiongkok modern, yang didambakan seperti negara-negara modern lainnya pada saat itu. Setelah keruntuhan dinasti Qing, maka muncullah kontroversi seputar status wilayah yang didominasi oleh etnis minoritas, seperti Tibet dan Mongolia. Walaupun Kaisar Qing terakhir yang turun takhta telah menganugerahkan semua wilayah Qing kepada republik yang baru lahir, tetapi posisi bangsa Mongol dan Tibet ketika itu adalah hanya setia kepada penguasa monarki Qing, sehingga mereka tidak merasa setia kepada pemerintah republik yang baru menggantikan monarki Qing. Posisi kedua wilayah ini hingga saat ini ditolak oleh Republik Tiongkok maupun Republik Rakyat Tiongkok.

 
Bendera Nasional Tiongkok (1912-1928) setelah Revolusi Xinhai, dengan lima warna 'Lima Bangsa di Bawah Satu Negara'

Pada masa awal Republik (1912–27) dan Nasionalis (1928–49), istilah Zhonghua minzu pertama kali disebut oleh Liang Qichao, yang pada mulanya hanya merujuk pada bangsa Han. Kemudian istilah tersebut diperluas untuk mencakup empat bangsa mayoritas lainnya: bangsa Man (Manchu), bangsa Menggu (Mongol), bangsa Hui (kelompok etnis beragama Islam di barat laut Tiongkok), dan bangsa Zang (Tibet),[4][8], yang merupakan pembagian yang dilakukan oleh Dinasti Qing, di bawah konsep Lima Bangsa di Bawah Satu Negara (Hanzi: 五族共和). Sun Yat-sen kemudian memperluas lagi konsep ini, dia menulis:

有人說,清室推翻以後,民族主義可以不要。這話實在錯了。……現在說五族共和,我們國內何止五族呢?我的意思,應該把我們中國所有各民族融化成一個中華民族。……並且要把中華民族造成很文明的民族,然後民族主義乃為完了。 Ada beberapa orang berkata bahwa setelah Qing digulingkan, kita tidak butuh lagi nasionalisme. Ini salah. ... Pada saat ini kita berbicara tentang mempersatukan lima ras, tetapi apakah bangsa kita hanya memiliki lima ras? Maksud saya, kita harus mempersatukan semua etnis di Tiongkok menjadi satu bangsa (Zhonghua minzu). ... dan lebih jauh lagi, mengembangkan bangsa Tionghoa menjadi bangsa yang yang maju, baru setelah itu nasionalisme selesai.

Setelah pendirian Republik Rakyat Tiongkok, konsep zhonghua minzu dipengarui oleh kebijakan kewarganegaraan Soviet. Secara resmi RRT menjadi negara kesatuan yang terdiri dari 56 kelompok etnis, dan etnis Han merupakan mayoritas di antaranya (lebih dari 90% dari jumlah penduduk). Konsep zhonghua minzu menjadi kategori yang mencakup semua bangsa di dalam batas wilayah negara RRT.[2][5]

Di Taiwan, konsep "bangsa Tionghoa" ini juga digunakan oleh Presiden Ma Ying-jeou sebagai konsep pemersatu yang mempersatukan Taiwan dan Tiongkok Daratan, tanpa menggunakan istilah "orang Tiongkok" yang bermakna ambigu.[9]

Ambiguitas

Berdasarkan pengertian di atas, seorang etnis Korea dari Tiongkok yang tinggal dan bekerja di Korea, atau seorang etnis Mongolia dari Tiongkok yang tinggal dan bekerja di Mongolia akan dianggap sebagai anggota dari zhonghua minzu, yang dapat memunculkan masalah identitas orang tersebut (termasuk kesetiaan terhadap negara asal/tempat tinggalnya, batas antara negara dan bangsa, dan kategorisasi modern terhadap negara-negara historis).[10]

Berkas:Yellow and green hanfu.jpg
傳統中式服裝

Persoalan apakah etnis Tionghoa yang tinggal di luar Tiongkok dan bukan warganegara Tiongkok juga menjadi bagian dari definisi zhonghua minzu tergantung pada konteksnya. Seringkali, orang-orang Tionghoa di Indonesia, Malaysia dan Singapura membuat garis yang jelas antara menjadi warganegara Tiongkok dan menjadi orang Tionghoa, sehingga tidak memunculkan salah tafsir maupun pertanyaan tentang negara kewarganegaraan mereka.

Batas-batas konseptual zhonghua minzu lebih kompleks di negara-negara yang berbatasan langsung dengan Tiongkok, seperti Mongolia dan Korea. Sebagai contoh, wacana Genghis Khan sebagai "pahlawan nasional" di Tiongkok[10] ditentang oleh Mongolia, yang sejak keluar dari sosialisme telah secara eksplisit memposisikan Genghis Khan sebagai bapak bangsa/negara Mongolia. Pada kenyataannya, saat ini terdapat lebih banyak etnis Mongolia di Tiongkok (kebanyakan di wilayah Mongolia Dalam), daripada di negara Mongolia itu sendiri.

Implikasi

Penggunaan konsep Zhonghua minzu dapat memunculkan interpretasi ulang terhadap sejarah Tiongkok. Sebagai contoh, Dinasti Qing yang didirikan oleh bangsa Manchu pada masa itu dianggap sebagai rezim "asing", atau "non-Han". Demikian pula dengan Dinasti Yuan yang didirikan bangsa Mongol. Setelah ideologi zhonghua minzu diadopsi, maka kedua suku bangsa tersebut adalah bagian dari zhonghua minzu, dengan demikian mereka tidak lagi dianggap sebagai bangsa asing, dan dinasti mereka dianggap merupakan dinasti yang didirikan oleh salah satu etnis minoritas Tiongkok.

Di pihak lain, beberapa tokoh pahlawan tradisional Tiongkok juga dikaji ulang sejarahnya. Pahlawan seperti Yue Fei dan Koxinga yang pada mulanya dianggap telah berjasa membela Tiongkok dari serangan bangsa "barbar", sekarang telah dikarakterisasi ulang sebagai "pahlawan etnis (Han)" yang berperang bukan melawan bangsa barbar, melainkan etnis lain yang masih merupakan sesama orang Tionghoa (bangsa Jurchen dan Manchu).[11]

Dalam praktiknya, konsep zhonghua minzu telah memberikan akses yang sangat luas kepada warganegara Tiongkok dari etnis minoritas. Mereka memperoleh hak masuk universitas pilihan, kebijakan pajak yang longgar, tidak perlu mengikuti program kebijakan satu anak, dan beberapa kelonggaran lainnya di bawah undang-undang Tiongkok tentang etnis minoritas[12] Hal ini otomatis membuat populasi etnis minoritas di Tiongkok melesat tajam, dari sekitar 5% total etnis minoritas di Tiongkok pada tahun 50-an, menjadi 10% pada tahun 2006-7.

Perbedaan Tiongkok dan Tionghoa

Ada perbedaan antara istilah "Tiongkok" dan "Tionghoa", yang sering kali rancu penggunaannya dalam bahasa Indonesia, antara lain:

  • Tiongkok merujuk pada suatu entitas geografis negara di Asia Timur, dan hal-hal yang berkaitan dengan negara tersebut, termasuk sejarahnya, sementara Tionghoa merujuk pada suatu konsep, yang penggunaannya mirip dengan adjektiva dalam bahasa Inggris: Chinese (walaupun dalam bahasa Indonesia "Tiongkok" juga dapat digunakan sebagai adjektiva).
  • "Orang Tionghoa" merujuk pada jatidiri bangsa Tionghoa, sementara "orang Tiongkok" hanya bermakna suatu kewarganegaraan, bukan suatu kebangsaan.
  • Hanya ada bahasa Tionghoa (aksara Tionghoa, nama Tionghoa, marga Tionghoa, dsb.), dan tidak ada "bahasa Tiongkok", karena bahasa bukan merupakan produk suatu negara, melainkan suatu bangsa. Namun hanya ada sejarah Tiongkok, dan tidak ada "sejarah Tionghoa".
  • Terdapat budaya Tionghoa yang umurnya jauh lebih tua daripada budaya Tiongkok (budaya di RRT), setua peradaban itu sendiri. Namun beberapa budaya khas Tiongkok, seperti Opera Beijing tidak bisa disebut sebagai budaya Tionghoa secara keseluruhan, melainkan hanya lokal Beijing.
  • Beberapa pengertian yang lain dapat saling tumpang tindih, antara lain masakan Tiongkok, yang sebagian besar juga merupakan masakan Tionghoa, tetapi ada masakan Tionghoa tertentu, seperti misalnya masakan Tionghoa-Indonesia, yang bukan merupakan masakan Tiongkok.

Di Tiongkok sendiri (dan Taiwan), pembedaan istilah ini tidak serta-merta memiliki padanan istilah yang sama, karena dalam sudut pandang bahasa Tionghoa, istilah "Zhonghua" hanya digunakan dalam nama lengkap negara ("Zhonghua Remin Gongheguo"), dan konsep zhonghua minzu (kebangsaan Zhonghua), tetapi tidak digunakan sebagai adjektiva, seperti dalam bahasa Indonesia.

  • Negara disebut Zhongguo (中国)
  • Warganegaranya disebut "Zhongguoren" (中国人), orang Tionghoa yang bukan warganegara Tiongkok umumnya disebut "Hua Ren" (华人)
  • Bahasanya disebut "Zhongwen" (中文, atau hanyu 汉语), sejarahnya disebut "Zhongguo Lishi" (中国历史)
  • Budaya, serta hal-hal seputarnya tercakup di dalamnya disebut "Zhongguo Wenhua" (中国文化), dan tidak ada pembedaan antara budaya RRT dan non-RRT
  • Hal-hal lain seputar Tiongkok menggunakan adjektiva "Zhongguo" (中国)

Dalam bahasa Inggris, walaupun ada perbedaan kata antara nomina China dan adjektiva Chinese, tetapi tidak ada pembedaan antara adjektiva Tiongkok dan Tionghoa, seperti dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu Chinese history (sejarah Tiongkok) dan Chinese language (bahasa Tionghoa) menggunakan istilah yang sama. Hal yang senada juga terjadi ketika Indonesia menggunakan istilah "Cina" pada periode waktu 1966 hingga 2014, karena tidak ada pembedaan istilah antara "sejarah Cina" dan "bahasa Cina", oleh sebab itu terjadi kesalahkaprahan bahasa, orang yang tidak memahami perbedaan tersebut dapat menggunakan adjektiva yang salah antara "Tionghoa" dan "Tiongkok", misalnya menyebut "orang Tionghoa" dalam konteks warga negara Tiongkok, "budaya Tiongkok" dalam konteks budaya Tionghoa-Indonesia, "bahasa Tiongkok" (suatu istilah yang salah kaprah), dll.

Tionghoa di Indonesia

Pembicaraan mengenai Tionghoa di Indonesia biasanya meliputi percaturan orang-orang Tionghoa dalam politik, sosial dan budaya di Indonesia. Kehadiran kebudayaan Tionghoa merupakan salah satu pembentuk dan bagian integral yang tak terpisahkan dari kebudayaan nasional Indonesia sekarang ini. Kebudayaan Tionghoa di Indonesia walau berakar dari budaya leluhur, tetapi telah sangat bersifat lokal dan mengalami proses asimilasi dengan kebudayaan lokal lainnya.

Akibat tekanan rezim Orde Baru, banyak dari antara orang Tionghoa telah menanggalkan nama aslinya dan menggunakan nama-nama Indonesia, meskipun secara pribadi masih memakainya untuk pergaulan di antara sesama orang Tionghoa, sedangkan nama Indonesia digunakan untuk keperluan formal. Namun seiring dengan terjadinya Reformasi, tanpa rasa takut mereka kembali menggunakan nama Tionghoa mereka, meskipun masih banyak yang enggan memakainya kembali. (Lihat pula Sejarah nama Tionghoa di Indonesia)

Istilah-istilah lain yang digunakan untuk menyebut orang Tionghoa-Indonesia antara lain: tenglang, totok, peranakan, WNI keturunan, babah, nyonya, dll.

Era Hindia Belanda

Pada tahun 1900 di Indonesia didirikan organisasi Tiong Hoa Hwee Koan terpengaruh gerakan pembaruan di daratan Tiongkok. Organisasi internasional ini dipimpin oleh Kang Youwei dan Liang Qichao, dan di Indonesia dipimpin oleh Phoa Keng Hek di Jakarta dengan tujuan antara lain mengembangkan adat-istiadat dan tradisi Tionghoa sesuai ajaran-ajaran Kong Hu Cu dan mengembangkan ilmu pengetahuan, terutama di bidang tulis-menulis dan bahasa.

Wacana Tionghoa (zhonghua atau cung hwa) setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880-an, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Tiongkok untuk terbebas dari kekuasaan dinasti dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Kata ini pertama kali diperkenalkan secara luas oleh Dr. Sun Yat-sen, yang merupakan Bapak Revolusi Tiongkok dengan mendirikan Republik Tiongkok (中華民國, Zhonghua Min'guo yang secara harfiah berarti Negara "Rakyat Chung Hwa") pada tahun 1911, setelah menggulingkan Dinasti Qing. Kemenangan Revolusi Tiongkok ini memberi inspirasi terhadap perjuangan dan kebangkitan nasional di Indonesia. Sejak saat itu orang Tionghoa-Indonesia menyebut dirinya orang Tionghoa, yang diserap dari bahasa Tionghoa, dialek Hokkian, dan menolak disebut "Cina" (pada waktu itu ditulis "Tjina") yang sudah digunakan terlebih dahulu dan berkonotasi negatif, yang diserap dari bahasa-bahasa Eropa dan bahasa Jepang. Mao Zedong juga meneruskan penggunaan kata Zhonghua untuk negara Republik Rakyat Tiongkok (中華人民共和國, Zhonghua Renmin Gongheguo) yang diproklamasikan pada tahun 1949.

Tahun 1928, Soekarno yang merasa berutang budi kepada masyarakat Tionghoa karena koran-koran berbahasa Tionghoa banyak memuat tulisan Soekarno, sepakat mengganti sebutan "Cina" dengan "Tionghoa". Koran Melayu-Tionghoa, Sin Po, misalnya, adalah koran yang bersimpati terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia. Koran ini merupakan publikasi pertama yang mengganti sebutan "Hindia Belanda" dengan Indonesia pada setiap penerbitannya, dan juga koran pertama yang memuat teks lagu Indonesia Raya ciptaan W.R. Supratman.

Orde Lama

Tahun 1945 di dalam teks penjelasan UUD 1945 Pasal 26 menggunakan istilah Tionghoa. Tahun 1948 pada masa pemerintahan Presiden Soekarno selepas kemerdekaan, Indonesia mengalami keadaan genting menyangkut keberadaan dan penamaan "Cina" dan "Tionghoa". Meletusnya pemberontakan PKI di Madiun disinyalir mendapat dukungan dari Partai Komunis Tiongkok, beberapa orang Tionghoa-Indonesia pun mendukungnya, meskipun dalam jumlah yang kecil. Karena adanya benturan politik antara kaum nasionalis dan komunis, akibatnya secara umum orang Tionghoa-Indonesia dijadikan kambing hitam dan dikait-kaitkan dengan kegiatan komunisme. Semua itu terus berlangsung sampai jatuhnya Pemerintahan Presiden Soekarno, digantikan rezim Orde Baru [13].

Tahun 1948 menilik dari perkembangan politik yang kian pelik, munculah larangan tak resmi penggunaan istilah Tiongkok/Tionghoa karena istilah ini digunakan oleh Partai Komunis Indonesia.[14] Tahun 1959 dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1959 yaitu larangan dagang bagi semua orang asing (termasuk orang Tionghoa dengan kewarganegaraan Tiongkok) di Daerah Tingkat II.

Tahun 1959 orang Tionghoa-Indonesia dihadapkan pada pilihan antara menjadi warga negara Tiongkok atau warga negara Indonesia karena Indonesia tidak mengenal sistem kewarganegaraan ganda. Konflik ini kemudian meluas dengan puncaknya peristiwa rasialisme pada 10 Mei 1963 di Bandung dan merambat ke beberapa kota lainnya seperti di Garut 17 Mei 1963 dan kembali terjadi di kota Bandung 5 Agustus 1973. (Lihat pula Kronologi SBKRI)

Tahun 1965 terjadi pemberontakan PKI (G30S/PKI) dan kecurigaan akan dukungan Republik Rakyat Tiongkok yang akhirnya menggulingkan Presiden Soekarno.

Orde Baru

Tahun 1967 pemerintahan Orde Baru pada di bawah pemerintahan Presiden Soeharto dalam salah satu tindakan pertamanya mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang melarang segala kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat Tiongkok dilakukan di Indonesia, dan mengeluarkan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 06 Tahun 1967 yang mengubah kata "Tionghoa"-"Tiongkok" menjadi "Cina"[15]

Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok adalah salah satu pihak yang menyatakan keberatannya atas pemakaian istilah "Cina" di dalam bahasa Indonesia untuk merujuk kepada negara tersebut. Mereka keberatan dengan isi Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 dan Surat Edaran Nomor 06 Tahun 1967 yang dikeluarkan oleh pemerintahan Soeharto yang dinilai memulihkan istilah yang mengandung konotasi negatif, dan bukan sebaliknya seperti yang digunakan sebagai alasan.

Tahun 1978 diterbitkan Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286 Tahun 1978[16]. Pemerintah Indonesia melalui Bakin mengawasi gerak-gerik orang Tionghoa-Indonesia melalui sebuah badan yang bernama Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) dengan alasan untuk mengawasi masalah komunisme.

Era Reformasi

Setelah era Reformasi, maka satu per satu kebijakan rasialis tersebut dicabut. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 dicabut dengan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 [17] namun Keputusan Presidium Kabinet Nomor 127 Tahun 1966 maupun Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor 06 Tahun 1967 tidak turut dicabut, hingga tahun 2004 kelompok-kelompok etnis Tionghoa yang beranggapan bahwa istilah Tiongkok/Tionghoa yang seharusnya digunakan masih memperjuangkan dicabutnya surat edaran ini [18], antara lain Eddy Sadeli, anggota Komisi III DPR RI, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Tionghoa, Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia, dll.

Adapun daftar peraturan yang dinilai merupakan bentuk diskriminasi adalah:[19]

  1. Staatsblad Nomor 1849-25 tentang Catatan Sipil untuk Golongan Eropa.
  2. Staatsblad Nomor 1917-130 tentang Catatan Sipil untuk Golongan Timur Tionghoa.
  3. Staatsblad Nomor 1920-751 tentang Catatan Sipil untuk Golongan Indonesia Asli beragama Islam.
  4. Staatsblad Nomor 1933-75 tentang Catatan Sipil untuk Golongan Indonesia Asli beragama Kristen.
  5. Staatsblad Nomor 1909 No 250 jo 1917 No 497 pasal 6 No 171 tentang Perkumpulan Rahasia Cina.
  6. Instruksi Presidium Kabinet RI No 37/U/IN/6/1967 tentang Kebijaksanaan Pokok Penyelesaian masalah Cina.
  7. Surat Edaran Presidium Kabinet RI No SE-36/Pres/Kab/6/1967 tentang Masalah Cina.
  8. Instruksi Presiden No 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina.
  9. Instruksi Presiden No 15/1967 tentang pembentukan staf khusus urusan Cina.
  10. Instruksi Mendagri No 455.2-360 tentang Penataan Kelenteng.
  11. Keputusan Kepala Bakin No 031/1973 tentang Badan Koordinasi Masalah Cina.
  12. SK Menteri Perdagangan dan Koperasi No 286/1978 tentang pelarangan impor, penjualan dan pengedaran terbitan dalam bahasa dan aksara Cina.
  13. Surat Edaran Bank Indonesia No SE 6/37/UPK/1973 tentang Kredit Investasi untuk Golongan Pengusaha Kecil.
  14. Surat Edaran Menteri Penerangan No 02/SE/Dit tentang Larangan Penerbitan dan Pencetakan Tulisan/Iklan Beraksara dan Berbahasa Cina.

Pada tanggal 12 Maret 2014, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengabulkan petisi tersebut, dan menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014[20], setelah sebelumnya judicial review ke Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung tidak dikabulkan, karena hal tersebut berada di luar kewenangan mereka.[21]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Budaya Tionghoa, Istilah Tiongkok Tionghoa China Chinese Dan Cina, 2011
  2. ^ a b Dan Landis; Rosita D. Albert (14 February 2012). Handbook of Ethnic Conflict: International Perspectives. Springer. hlm. 182–. ISBN 978-1-4614-0447-7. Diakses tanggal 23 February 2013. 
  3. ^ Zhao, Suisheng (2000). "Chinese Nationalism and Its International Orientations". Political Science Quarterly. 115 (1): 1–33. 
  4. ^ a b Fitzgerald, John (January 1995). "The Nationaless State: The Search for a Nation in Modern Chinese Nationalism". The Australian Journal of Chinese Affairs (33): 75. doi:10.2307/2950089. ISSN 0156-7365. Diakses tanggal 2013-02-22. 
  5. ^ a b Alan Lawrance (2004). China Since 1919: Revolution and Reform : a Sourcebook. Psychology Press. hlm. 252–. ISBN 978-0-415-25141-9. Diakses tanggal 23 February 2013. 
  6. ^ a b c Donald Bloxham; A. Dirk Moses (15 April 2010). The Oxford Handbook of Genocide Studies. Oxford University Press. hlm. 150–. ISBN 978-0-19-161361-6. Diakses tanggal 23 February 2013. 
  7. ^ French Centre for Research on Contemporary China (CEFC). (cf. by Tongmenghui adherent)
  8. ^ Susan Debra Blum; Lionel M. Jensen (2002). China Off Center: Mapping the Margins of the Middle Kingdom. University of Hawaii Press. hlm. 170–. ISBN 978-0-8248-2577-5. Diakses tanggal 23 February 2013. 
  9. ^ See, e.g. Ma Ying-jeou, President of Republic of China inauguration speech, 20 May 2008: " (Section 2, Paragraph 8)。
  10. ^ a b The Chinese Cult of Chinggis Khan: Genealogical Nationalism and Problems of National and Cultural Integrity, City University of New York.
  11. ^ What makes a national hero?
  12. ^ Ethnic Mosaic of Modern China: An Analysis of Fertility and Mortality Data for the Twelve Largest Ethnic Minorities.
  13. ^ Blog Lembaga Kajian Agama dan Sosial: Cina, China, dan Tionghoa oleh Benny G. Setiono, Pengamat Sosial dan Politik
  14. ^ oer, Pramoedya Ananta, Hoa Kiauw di Indonesia.
  15. ^ Cina atau Tionghoa
  16. ^ Masyarakat Cina di Indonesia
  17. ^ Pemerintah Indonesia Keppress 2000
  18. ^ Forum Budaya Tionghoa Petisi pencabutan surat edaran
  19. ^ Sejumlah UU Diskriminatif Dimintakan "Judicial Review"
  20. ^ Sekretariat Kabinet: Melalui Keppres No. 12/2014, Presiden SBY Ganti Istilah Cina dengan Tionghoa
  21. ^ Presiden SBY Cabut Penggunaan Istilah China

Pranala luar