Film pendek
Film pendek adalah salah satu bentuk film paling simple dan paling kompleks. Di awal perkembangannya film pendek sempat dipopulerkan oleh komedian Charlie Chaplin. Secara teknis film pendek merupakan film yang memiliki durasi di bawah 50 menit. Mengenai cara bertuturnya, film pendek memberikan kebebasan bagi para pembuat dan pemirsanya, sehingga bentuknya menjadi sangat bervariasi. Film pendek dapat saja hanya berdurasi 60 detik, yang penting ide dan pemanfaatan media komunikasinya dapat berlangsung efektif. Yang menjadi menarik justru ketika variasi-variasi tersebut menciptakan cara pandang-cara pandang baru tentang bentuk film secara umum, dan kemudian berhasil memberikan banyak sekali kontribusi bagi perkembangan sinema.
Pada hakikatnya film pendek bukan merupakan reduksi dari film dengan cerita panjang, atau sebagai wahana pelatihan bagi pemula yang baru masuk kedunia perfilman. Film pendek memiliki ciri/karakteristik sendiri yang membuatnya berbeda dengan film cerita panjang, bukan karena sempit dalam pemaknaan atau pembuatannya lebih mudah serta anggaran yang minim. Tapi karena film pendek memberikan ruang gerak ekspresi yang lebih leluasa untuk para pemainnya.
Sejarah
Istilah film pendek mulai populer sejak tahun 50-an, sedangkan alur perkembangan film pendek dimulai dari Jerman dan Prancis. Para penggagas film pendek itu ialah Manifesto Oberhausen di Jerman dan kelompok Jean Mitry di Prancis. Kemudian muncul Oberhausen Kurzfilmtage yang sekarang menjadi festival film pendek tertua di dunia, tepatnya di kota Oberhausen sendiri. Tidak menunggu waktu yang lama Paris pun menjadi saingan dengan kemunculan Festival du Court Metrage de Clermont-Ferrand yang diadakan tiap tahun. Festival-festival film pendek di Eropa menjadi ajang eksibisi utama yang sarat pengunjung, apalagi didukung dengan munculnya cinema house bervolume kecil. Masyarakat pun dapat menyaksikan pemutaran film-film pendek ini di hampir setiap sudut kota di Eropa.
Di Indonesia film pendek sampai sekarang masih menjadi sosok yang termarjinalkan dari sudut pandang pemirsa. Film pendek Indonesia mulai muncul di kalangan pembuat film Indonesia sejak munculnya pendidikan sinematografi di IKJ. Perhatian para film-enthusiasts di era tahun 70-an bisa dikatakan cukup baik dalam membangun atmosfer positif bagi perkembangan film pendek di Jakarta. Bahkan, Dewan Kesenian Jakarta mengadakan Festival Film Mini setiap tahunnya semenjak tahun 1974, di mana format film yang diterima hanyalah seluloid 8mm. Tapi, sangat disayangkan pada tahun 1981 Festival Film Mini berhenti karena kekurangan dana.
Tahun 1975 mulai muncul Kelompok Sinema Delapan yang dimotori Johan Teranggi dan Norman Benny. Kelompok ini secara simultan terus mengkampanyekan pada masyarakat bahwa seluloid 8mm dapat digunakan sebagai media ekspresi kesenian. Hingga pada tahun 1984 munculnya hubungan internasional diantaranya dengan para filmmaker Eropa terutama dengan Festival Film Pendek Oberhausen. Hal itu, membuat film pendek mulai berani unjuk gigi dimuka dunia. Keadaan ini memancing munculnya Forum Film Pendek di Jakarta, yang berisikan para seniman, praktisi film, mahasiswa dan penikmat film dari berbagai kampus untuk secara intensif membangun networking yang baik di kalangan pemerhati film.
Tapi, tetap saja hal itu tidak berlangsung lama karena Forum Film Pendek hanya bertahan selama dua tahun saja. Secara garis besar, keadaan film pendek di Indonesia memang dapat dikatakan ironis. Karena film pendek Indonesia hampir tidak pernah tersampaikan ke pemirsa lokal-nya secara luas karena miskinnya ajang-ajang eksibisi dalam negeri. Tetapi di sisi lain, di dunia internasional film pendek Indonesia cukup mampu berbicara dan eksis. Dari sejak karya-karya Slamet Rahardjo, Gotot Prakosa, Nan T. Achnas, Garin Nugroho, sampai ke generasi Riri Riza dan Nanang Istiabudi.