Orang Māori

kelompok etnik Polinesia asli di Selandia Baru
Revisi sejak 1 Maret 2021 06.15 oleh Anantagita (bicara | kontrib) (terjemahan en masse dari enwiki)

Suku Māori (/ˈmri/; Pengucapan Māori: [ˈmaːɔɾi] simak[1]) adalah penduduk asli asal Polinesia yang tinggal di Selandia Baru. Suku ini berasal dari Polinesia timur yang tiba di Selandia Baru dalam beberapa gelombang migrasi menggunakan waka (kano) di antara tahun 1320 dan 1350.[2] Setelah terisolasi beberapa abad, para pendatang ini mengembangkan budaya mereka sendiri dengan bahasa, mitologi, teknik kriya, serta seni pertunjukan yang berbeda dengan budaya Polinesia timur lainnya. Beberapa penduduk awal suku Māori ada yang pindah ke Kepulauan Chatham; keturunan penduduk awal ini kemudian menjadi kelompok etnis Selandia Baru yang lain, yaitu Suku Moriori.[3]

Māori
Te Puni, seorang Kepala Suku Māori
Daerah dengan populasi signifikan
Selandia Baru
  586.000 (2001)
  635.100 (2005)

Australia
   72.956 (2001)
Britania Raya
  ~8,000 (awal 2000-an)
Amerika Serikat
  ~3.500 (2000)
Kanada
   1,305 (2001)

Tempat lain
  ~8.000 (awal 2000-an)
Bahasa
Inggris, Maori
Kelompok etnik terkait
bangsa Polinesia lain

Gaya hidup orang Māori banyak mengalami perubahan setelah orang Eropa datang ke Selandia Baru pada abad ke-17. Orang Māori kemudian perlahan-lahan mengadopsi berbagai aspek budaya dan kehidupan masyarakat Barat. Pada awalnya, hubungan antara orang Māori dan Eropa relatif baik. Sejak Perjanjian Waitangi di tahun 1840, kedua budaya tersebut hidup bersama. Pada tahun 1860, mulai terjadi perpecahan akibat konflik penjualan lahan, yang berujung pada penyitaan lahan dalam skala besar. Perpecahan sosial dan epidemi penyakit yang dibawa dari luar menyebabkan populasi suku Māori turun secara tajam. Jumlah penduduk suku Māori baru kembali meningkat pada awal abad ke-20. Sejak saat itu, mulai banyak upaya untuk mengembalikan keadilan sosial dan kedudukan suku Māori di masyarakat Selandia Baru secara umum.

Dengan demikian, budaya tradisional Māori mengalami kebangkitan kembali yang besar, yang juga diperkuat dengan adanya gerakan protes Māori di tahun 1960-an. Sayangnya, suku Māori masih mengalami kesulitan ekonomi dan sosial yang besar. Secara umum, perkiraan umur dan pendapatan mereka pun lebih rendah daripada kelompok etnis lain yang hidup di Selandia Baru. Suku ini juga mengalami angka tingkat kejahatan, masalah kesehatan, serta ketertinggalan pendidikan yang lebih parah daripada kelompok etnis lain di Selandia Baru. Beberapa inisiatif sosio-ekonomis telah dilakukan dengan tujuan untuk "menutup jarak" antara orang Māori dan penduduk Selandia Baru lainnya. Ganti rugi politis dan ekonomis untuk berbagai kerugian historis juga masih terus berlanjut.

Dalam Sensus Selandia Baru 2018, terungkap bahwa terdapat 775.836 penduduk di Selandia Baru yang menyatakan dirinya orang Māori, yaitu berarti sekitar 16,5% dari populasi nasional. Kelompok ini merupakan kelompok etnis terbesar kedua di Selandia Baru, tepat di bawah penduduk Selandia Baru asal Eropa ("Pākehā"). Terdapat pula 140.000 orang Māori yang tinggal di Australia. Bahasa Māori digunakan oleh sekitar seperlima penduduk Māori atau 3% dari total penduduk. Orang Māori aktif dalam seluruh aspek kehidupan dan kebudayaan Selandia Baru, dengan representasi yang jelas di media, politik, dan olahraga.

Etimologi

Dalam bahasa Māori, kata māori berarti "normal", "alami", atau "biasa". Dalam legenda dan tradisi lisan, kata ini membedakan antara manusia biasa (tāngata māori) dengan dewa-dewi dan roh.[4][i] Lebih lanjut, wai māori berarti "air bersih", yang diperlawankan dengan air asin. Ada banyak kata yang berkerabat dengan istilah-istilah ini dalam bahasa Polinesia lain,[5] yang semuanya berasal dari kata Proto-Polinesia *ma(a)qoli, yang kira-kira berarti "benar, nyata, asli".[6][7]

Penamaan dan penamaan diri

Pada mulanya, para pendatang dari Eropa ke Selandia Baru menamakan penduduk asli pulau ini sebagai "orang Selandia Baru" ("New Zealanders") atau "pribumi".[8] Orang Māori sendiri menggunakan istilah māori untuk menyebut penduduk mereka sendiri dari dalam maupun luar suku.[ii] Orang Māori cenderung menggunakan istilah tangata whenua (yang secara harafiah berarti "penduduk suatu daerah") untuk menyebutkan hubungan mereka dengan daerah tertentu. Orang Māori dari daerah A akan menyebut diri mereka tangata whenua daerah itu, tetapi tidak dari daerah lain.[9] Istilah ini juga dapat dipahami dalam konteks suku Māori secara keseluruhan dalam hubungannya dengan Selandia Baru (Aotearoa) secara umum.

Dari sudut pandang pemerintah, tidak selalu jelas siapa yang dianggap orang Māori. Pada tahun 1974, demi kepentingan pemilihan umum, pemerintah mewajibkan dokumen yang membuktikan keturunan bagi yang mengaku "orang Māori". Hanya orang-orang yang memiliki 50% keturunan Māori dapat ikut pemilu. Amandemen Undang-undang Urusan Maori tahun 1974 mengubah hukum ini dan memperbolehkan siapa pun untuk mengidentifikasi dirinya sesuai dengan yang orang itu inginkan, khusus untuk masalah identitas budaya. Hingga tahun 1986, badan sensus Selandia Baru mewajibkan setidaknya 50% 'turunan' Māori agar dapat mengklaim hubungan dengan suku Māori. Saat ini, di dalam semua konteks, pemerintah secara umum akan meminta dokumen pembuktian nenek moyang atau bukti keterlibatan kultural (seperti misalnya penerimaan dari orang lain bahwa orang tersebut memang ada di dalam suku), tetapi tanpa batas persentase turunan.[10][iii]

Sejarah

Asal dari Polinesia

 
Orang Māori mulai menghuni Pulau Selandia Baru setelah hidup melompat-lompat pulau di Samudera Pasifik Selatan.

Tidak ditemukan bukti jelas mengenai adanya penduduk Selandia Baru pra-Māori. Berbagai bukti dari bidang-bidang arkeologi, linguistik, dan antropologi fisik menunjukkan bahwa penduduk pertama pulau ini bermigrasi dari Polinesia dan kemudian menjadi suku Māori.[11][12] Bukti menunjukkan bahwa nenek moyang suku ini, yang merupakan bagian dari kelompok besar bangsa Austronesia, sudah ada sejak 5.000 tahun yang lalu hingga mencapai penduduk asli Taiwan. Orang Polinesia tinggal di daerah yang besar, meliputi kepulauan Samoa, Tahiti, Hawaii, Pulau Paskah (Rapa Nui) – dan terakhir Selandia Baru.[13]

Ada kemungkinan bahwa pulau ini sudah pernah dieksplorasi dan diduduki sebelum meletusnya Gunung Tarawera di tahun 1315. Hal ini berdasarkan bukti yang didapat dari tulang tikus Polinesia dan kerang yang digigit tikus[14] serta bukti adanya kebakaran hutan yang meluas pada satu dekade sebelumnya.[15][16] Akan tetapi, bukti terbaru menunjukkan bahwa pendudukan terbesar pulau ini terjadi sebagai migrasi besar-besaran yang terencanakan, di antara tahun 1320 dan 1350.[11] Analisis ini sesuai dengan analisis dari tradisi lisan Māori yang menggambarkan kedatangan nenek moyang mereka dalam kano samudera (waka) di sekitar tahun 1350.[17][18]

Sejarah awal

 
Berbagai artefak dari zaman arkais awal. Diambil dari situs arkeologis Wairau Bar dan kini ditampilkan di Museum Canterbury di Christchurch

Periode terdahulu pendudukan Māori dikenal sebagai periode "Arkais", "Moahunter", atau "Kolonialisasi", kira-kira pada sekitar tahun 1300 hingga tahun 1500. Pada mulanya, makanan orang Māori banyak terdiri dari moa dan burung-burung besar lainnya, serta anjing laut berbulu yang sebelumnya tidak pernah dimakan. Periode Arkais ini ditandai dengan artefak "kalung kumparan"[19] serta ketiadaan senjata dan benteng yang kemudian akan muncul pada zaman "Klasik" Māori.[20] Situs Arkais yang paling terkenal dan paling banyak diteliti adalah Wairau Bar di Pulau Selatan (South Island).[21][22] Di pulau ini terdapat bukti pendudukan dari awal abad ke-13 hingga awal abad ke-15.[23] Situs ini merupakan satu-satunya situs arkeologis Selandia Baru yang diketahui yang mengandung tulang orang-orang yang lahir di tempat lain.[23]

 
Model sebuah (benteng bukit) Māori yang dibangun di atas tanjung. Pā menjadi semakin banyak akibat persaingan dan peperangan yang juga memanas dalam populasi yang semakin besar.

Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan transisi ke periode Klasik (periode pada saat terjadi kontak dengan orang Eropa), antara lain iklim yang sangat mendingin sejak tahun 1500,[24] serta kepunahan burung moa dan spesies makanan lainnya.[25][26][27][28][29]

Periode Klasik ditandai dengan keberadaan senjata dan ornamen yang terbuat dari batu hijau (pounamu), kano perang yang berukiran rumit, serta keberadaan wharenui (rumah musyawarah).[30] Budaya petarung yang panas kemudian juga muncul, beserta dengan benteng di atas bukit yang dikenal sebagai [31] dan kemunculan praktik kanibalisme.[32][33][34]

Pada sekitar tahun 1500, sekelompok orang Māori bermigrasi ke arah timur, ke Kepulauan Chatham. Mereka berkembang menjadi suku Moriori.[35] Suku ini menekankan kedamaian dalam budaya mereka.[36]

Kontak dengan orang Eropa

 
Kesan orang Eropa pertama terhadap orang Māori yang tergambarkan dalam diari perjalanan Abel Tasman (1642); berlatar Teluk Emas

Penjelajah Eropa pertama yang tiba di Selandia Baru adalah Abel Tasman pada tahun 1642, diikuti Kapten James Cook di tahun 1769; terakhir, Marion du Fresne di tahun 1772. Hubungan awal orang Eropa dengan orang Māori tidak baik, kadang berujung kematian. Dalam ekspedisi Tasman, empat orang krunya meninggal dan satu orang Maori diduga meninggal. Kapal Tasman bahkan tidak sempat mendarat.[37] Anak buah Kapten Cook menembak setidaknya delapan orang Māori dalam tiga hari setelah pendaratan pertamanya.[38][39] Namun demikian, ia kemudian berhasil menjalin hubungan baik dengan orang Māori. Tiga tahun kemudian, setelah awal mula yang tampak baik, du Fresne dan 26 anak buahnya mati dibunuh. Sejak tahun 1780, orang Māori juga semakin banyak berjumpa dengan pemburu anjing laut dari Eropa dan Amerika serta misionaris Kristen. Hubungan mereka secara garis besar berjalan lancar, meskipun tetap terjadi beberapa insiden kekerasan. Insiden yang paling parah adalah pembunuhan massal Boyd dan serangan timbal-balik yang muncul setelahnya.[40]

Orang Eropa mulai tinggal di Selandia Baru di awal abad ke-19. Keberadaan mereka menimbulkan pertukaran budaya dan ide secara besar-besaran. Banyak orang Māori yang menghargai orang Eropa, yang mereka panggil pākehā. Mereka memandang orang Eropa sebagai jalur untuk mendapatkan pengetahuan dan teknologi Barat. Orang Māori juga dengan cepat mengembangkan tulisan sebagai cara bertukar pendapat. Banyak cerita lisan dan puisi mereka yang kemudian dikembangkan ke dalam bentuk tulisan.[41] Masuknya kentang kemudian menimbulkan revolusi dalam agrikultur dan senjata api juga mulai diperkenalkan[42]. Penggunaan senjata api oleh orang Māori kemudian menimbulkan perang antarsuku yang dikenal sebagai Peperangan Senapan. Dalam peperangan ini, banyak kelompok yang dihabisi dan kelompok-kelompok lainnya dipaksa keluar dari teritori tradisional mereka.[43] Orang-orang Moriori yang mementingkan perdamaian di Kepulauan Chatham juga menderita pembunuhan massal dan subjugasi oleh orang-orang iwi dari Taranaki.[44] Pada waktu yang sama, orang Māori juga menderita tingkat kematian yang tinggi akibat penyakit infeksius Eurasia, antara lain influenza, cacar air dan campak. Penyakit-penyakit ini membunuh sekitar 10 hingga 50% orang Māori.[45][46]

 
Penggambaran penandatanganan Perjanjian Waitangi di tahun 1840 yang memasukkan Selandia Baru dan Suku Māori ke dalam Kerajaan Inggris

Pada tahun 1839, diperkirakan terdapat sekitar 2.000 orang Eropa yang tinggal di Selandia Baru.[47] Mahkota Inggris pun akhirnya menyetujui permintaan dari para misionaris dan beberapa kepala suku Māori (rangatira) untuk ikut andil. Pemerintah Inggris mengirim Kapten Angkatan Laut Royal William Hobson untuk menegosiasikan perjanjian antara Kerajaan inggris dan Suku Māori, yang kemudian dikenal sebagai Perjanjian Waitangi. Sejak Februari 1840, perjanjian ini ditandatangani oleh Mahkota Inggris dan 500 kepala suku Māori dari seluruh Selandia Baru.[48][49] Sebagai hasil dari perjanjian ini, orang Māori menerima hak penuh sebagai subyek Inggris, hak properti dan otonomi kesukuan mereka pun dijamin, dan sebagai gantinya mereka menerima kedaulatan Inggris dan aneksasi Selandia Baru sebagai koloni dalam Imperium Britania.[50] Dalam praktiknya, terus terjadi perselisihan mengenai berbagai aspek Perjanjian Waitangi, termasuk perbedaan editorial dalam kedua versi (bahasa Inggris dan bahasa Māori), serta kesalahpahaman yang terjadi akibat perbedaan konsep kultural.[51]

Namun demikian, hubungan antara orang Māori dan orang Eropa pada masa awal kolonial berjalan lancar dan damai. Banyak kelompok Māori yang membangun bisnis yang besar. Mereka mengirim makanan dan produk lainnya untuk konsumsi domestik dan luar negeri. Apabila ada perselisihan, misalnya Masalah Wairau, Perang Flagstaff, Kampanye Bukit Hutt, dan Kampanye Wanganui, perselisihan ini cenderung kecil dan terbatas serta selesai dengan perjanjian damai. Akan tetapi, pada tahun 1860an, jumlah penduduk Eropa yang semakin tinggi dan ketegangan akibat konflik pembelian lahan berujung pada Peperangan Selandia Baru antara pemerintah kolonial dan banyak orang asli Māori, melibatkan tentara Imperium Britania dan beberapa iwi yang bersekutu dengan Inggris. Konflik-konflik ini berujung pada penyitaan tanah oleh pemerintah kolonial sebagai hukuman atas apa yang mereka sebut "pembangkangan". Pendatang pākehā kemudian akan menempati tanah-tanah yang disita.[52] Beberapa konflik kecil juga terjadi setelah perang, termasuk insiden di Parihaka pada tahun 1881 dan Perang Pajak Anjing dari tahun 1897 hingga 1898. Pengadilan Tanah Adat Selandia Baru kemudian didirikan untuk memindahkan tanah adat Māori dari kepemilikan komunal menjadi sertifikat individual, sebagai cara mengasimilasi serta untuk memudahkan penjualan kepada pendatang dari Eropa.[53]

Kemunduran dan kelahiran kembali

 
Anggota Bataliun ke-28 (Māori) melakukan tarian haka di Mesir pada bulan Juli 1941

Pada akhir abad ke-19, baik orang Pākehā maupun orang Māori banyak yang meyakini bahwa masyarakat Māori akan punah sebagai ras atau budaya yang terpisah dan mereka akan sepenuhnya terasimilasi dengan populasi Eropa.[54] Dalam sensus 1896, populasi Māori di Selandia Baru tercatat sebanyak 42.113 orang, sementara ada lebih dari 700.000 orang Eropa.[55]

Akan tetapi, kemunduran ini tidak berlangsung lama dan populasi Māori terus kembali meningkat pada abad ke-20. Politikus Māori penting seperti James Carroll, Apirana Ngata, Te Rangi Hīroa dan Maui Pomare berupaya untuk merevitalisasi masyarakat Māori setelah kehancuran yang terjadi di abad sebelumnya. Mereka percaya bahwa masa depan orang Māori harus menjaga asimilasi budaya[56], yaitu adopsi teknik pengobatan dan pendidikan Barat (terutama pembelajaran bahasa Inggris), sambil pada waktu yang bersamaan tetap menjalankan praktik budaya tradisional. Orang Māori juga turut berperang dalam kedua Perang Dunia dalam bataliun spesial (Bataliun Pionir Māori di Perang Dunia I dan Bataliun ke-28 (Maori) di Perang Dunia II). Orang Māori juga banyak menderita akibat epidemi influenza 1918 dan tingkat kematian mereka 4,5 kali lebih tinggi daripada orang Pākehā. Setelah Perang Dunia II, penggunaan bahasa Māori turun drastis dibandingkan penggunaan bahasa Inggris.

 
Whina Cooper ketika memimpin Pergerakan Tanah Māori di tahun 1975 yang meminta ganti rugi untuk kerugian historis

Sejak tahun 1960an, bangsa Maori telah melalui kebangkitan kebudayaan[57] yang dibarengi dengan aktivisme dan gerakan protes untuk keadilan sosial.[58] Institusi seperti kōhanga reo (pra-sekolah berbahasa Māori) didirikan pada tahun 1982 untuk memperluas penggunaan bahasa Māori dan menghentikan kemundurannya.[59] Terdapat dua stasiun televisi berbahasa Māori yang bersiar dalam bahasa Māori.[60][61] Sementara itu, kata-kata seperti "kia ora" kini digunakan secara meluas dalam Bahasa Inggris Selandia Baru.[62]

Pemerintah yang menyadari kemunculan kekuatan dan aktivisme politik orang Maori kini mulai memberikan ganti rugi terbatas untuk penyitaan tanah yang terjadi dalam sejarah. Di tahun 1975, Mahkota Inggris mendirikan Tribunal Waitangi untuk menginvestigasi kerugian historis[63] dan sejak tahun 1990an pemerintah Selandia Baru menegosiasi dan memfinalkan penyelesaian untuk Perjanjian Waitangi dengan banyak iwi yang tersebar di Selandia Baru. Pada bulan Juni 2008, pemerintah telah menyediakan lebih dari 900 juta dolar Selandia Baru untuk penyelesaian perjanjian, yang kebanyakan diberikan dalam bentuk pembelian tanah.[64]

Meski dalam masyarakat Selandia Baru secara umum sudah ada penerimaan yang meluas akan budaya Māori, penyelesaian perjanjian ini banyak menuai kontroversi. Beberapa orang Māori menilai bahwa harga yang diberikan untuk tanah mereka yang disita hanya 1 hingga 2,5 sen untuk setiap dolar. Mereka menganggap bahwa ini bukan merupakan ganti rugi yang cukup. Di sisi lain, beberapa orang non-Māori menganggap bahwa penyelesaian masalah dan inisiatif sosio-ekonomis ini merupakan perlakuan yang berbasis ras.[65] Kedua pendapat ini timbul ke muka dalam kontroversi pantai Selandia Baru di tahun 2004.[66][67]

Lihat pula

Referensi

  1. ^ "Maori" . Oxford English Dictionary (edisi ke-Online). Oxford University Press.  Templat:OEDsub
  2. ^ Walters, Richard; Buckley, Hallie; Jacomb, Chris; Matisoo-Smith, Elizabeth (7 October 2017). "Mass Migration and the Polynesian Settlement of New Zealand". Journal of World Prehistory. 30 (4): 351–376. doi:10.1007/s10963-017-9110-y . 
  3. ^ Taonga, New Zealand Ministry for Culture and Heritage Te Manatu. "1. – Moriori – Te Ara: The Encyclopedia of New Zealand". teara.govt.nz (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 13 December 2018. 
  4. ^ Atkinson, A. S. (1892)."What is a Tangata Maori?" Journal of the Polynesian Society, 1 (3), 133–136. Retrieved 18 December 2007.
  5. ^ misalnya kanaka maoli, yang berarti penduduk asli Hawaii. (Dalam bahasa Hawaii, huruf "t" dalam bahasa Polinesia cenderung berubah menjadi "k" dan huruf "r" cenderung berubah menjadi "l".)
  6. ^ "Entries for MAQOLI [PN] True, real, genuine: *ma(a)qoli". pollex.org.nz. 
  7. ^ Bahasa-bahasa Polinesia Timur
  8. ^ "Native Land Act | New Zealand [1862]". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 8 July 2017. 
  9. ^ "tangata whenua" (dalam bahasa Inggris). Māori Dictionary. Diakses tanggal 8 July 2017. 
  10. ^ McIntosh (2005), p. 45
  11. ^ a b Walters, Richard; Buckley, Hallie; Jacomb, Chris; Matisoo-Smith, Elizabeth (7 October 2017). "Mass Migration and the Polynesian Settlement of New Zealand". Journal of World Prehistory. 30 (4): 351–376. doi:10.1007/s10963-017-9110-y . 
  12. ^ Shapiro, HL (1940). "The physical anthropology of the Maori-Moriori". The Journal of the Polynesian Society (dalam bahasa Inggris). 49 (1(193)): 1–15. JSTOR 20702788. 
  13. ^ Wilmshurst, J. M.; Hunt, T. L.; Lipo, C. P.; Anderson, A. J. (2010). "High-precision radiocarbon dating shows recent and rapid initial human colonization of East Polynesia". Proceedings of the National Academy of Sciences. 108 (5): 1815–1820. Bibcode:2011PNAS..108.1815W. doi:10.1073/pnas.1015876108. PMC 3033267 . PMID 21187404. 
  14. ^ Lowe, David J. (November 2008). Polynesian settlement of New Zealand and the impacts of volcanism on early Maori society: an update (PDF). Guidebook for Pre-conference North Island Field Trip A1 'Ashes and Issues'. hlm. 142. ISBN 978-0-473-14476-0. Diakses tanggal 18 January 2010. 
  15. ^ Bunce, Michael; Beavan, Nancy R.; Oskam, Charlotte L.; Jacomb, Christopher; Allentoft, Morten E.; Holdaway, Richard N. (2014-11-07). "An extremely low-density human population exterminated New Zealand moa". Nature Communications (dalam bahasa Inggris). 5: 5436. Bibcode:2014NatCo...5.5436H. doi:10.1038/ncomms6436 . ISSN 2041-1723. PMID 25378020. 
  16. ^ Jacomb, Chris; Holdaway, Richard N.; Allentoft, Morten E.; Bunce, Michael; Oskam, Charlotte L.; Walter, Richard; Brooks, Emma (2014). "High-precision dating and ancient DNA profiling of moa (Aves: Dinornithiformes) eggshell documents a complex feature at Wairau Bar and refines the chronology of New Zealand settlement by Polynesians". Journal of Archaeological Science (dalam bahasa Inggris). 50: 24–30. doi:10.1016/j.jas.2014.05.023. 
  17. ^ Roberton, J.B.W. (1956). "Genealogies as a basis for Maori chronology". Journal of the Polynesian Society (dalam bahasa Inggris). 65 (1): 45–54. 
  18. ^ Te Hurinui, Pei (1958). "Maori genealogies". Journal of the Polynesian Society (dalam bahasa Inggris). 67 (2): 162–165. 
  19. ^ "Nga Kakano: 1100 – 1300", Te Papa
  20. ^ "The Moa Hunters", 1966, An Encyclopaedia of New Zealand
  21. ^ "Maori Colonisation". An Encyclopaedia of New Zealand.
  22. ^ "Wairau Bar Excavation Study ", University of Otago
  23. ^ a b McFadgen, Bruce G.; Adds, Peter (18 February 2018). "Tectonic activity and the history of Wairau Bar, New Zealand's iconic site of early settlement". Journal of the Royal Society of New Zealand (dalam bahasa Inggris). 49 (4): 459–473. doi:10.1080/03036758.2018.1431293. 
  24. ^ Anderson, Atholl. "The Making of the Māori Middle Ages". Open Systems Journal. Diakses tanggal 18 August 2019. 
  25. ^ Rawlence, Nicholas J.; Kardamaki, Afroditi; Easton, Luke J.; Tennyson, Alan J.D.; Scofield, R. Paul; Waters, Jonathan M. (26 July 2017). "Ancient DNA and morphometric analysis reveal extinction and replacement of New Zealand's unique black swans". Proceedings of the Royal Society B: Biological Sciences. 284 (1859): 20170876. doi:10.1098/rspb.2017.0876. PMC 5543223 . PMID 28747476. 
  26. ^ Till, Charlotte E.; Easton, Luke J.; Spencer, Hamish G.; Schukard, Rob; Melville, David S.; Scofield, R. Paul; Tennyson, Alan J.D.; Rayner, Matt J.; Waters, Jonathan M.; Kennedy, Martyn (October 2017). "Speciation, range contraction and extinction in the endemic New Zealand King Shag". Molecular Phylogenetics and Evolution. 115: 197–209. doi:10.1016/j.ympev.2017.07.011. PMID 28803756. 
  27. ^ Oskam, Charlotte L.; Allentoft, Morten E.; Walter, Richard; Scofield, R. Paul; Haile, James; Holdaway, Richard N.; Bunce, Michael; Jacomb, Chris (2012). "Ancient DNA analyses of early archaeological sites in New Zealand reveal extreme exploitation of moa (Aves: Dinornithiformes) at all life stages". Quaternary Science Reviews. 53: 41–48. Bibcode:2012QSRv...52...41O. doi:10.1016/j.quascirev.2012.07.007. 
  28. ^ Holdaway, Richard N.; Allentoft, Morten E.; Jacomb, Christopher; Oskam, Charlotte L.; Beavan, Nancy R.; Bunce, Michael (7 November 2014). "An extremely low-density human population exterminated New Zealand moa". Nature Communications. 5 (5436): 5436. Bibcode:2014NatCo...5.5436H. doi:10.1038/ncomms6436 . PMID 25378020. 
  29. ^ Perry, George L.W.; Wheeler, Andrew B.; Wood, Jamie R.; Wilmshurst, Janet M. (2014). "A high-precision chronology for the rapid extinction of New Zealand moa (Aves, Dinornithiformes)". Quaternary Science Reviews. 105: 126–135. Bibcode:2014QSRv..105..126P. doi:10.1016/j.quascirev.2014.09.025. 
  30. ^ Neich Roger, 2001. Carved Histories: Rotorua Ngati Tarawhai Woodcarving. Auckland: Auckland University Press, pp 48–49.
  31. ^ HONGI HIKA (c. 1780–1828) Ngapuhi war chief, An Encyclopaedia of New Zealand.
  32. ^ Masters, Catherine (8 September 2007). "'Battle rage' fed Maori cannibalism". The New Zealand Herald. Diakses tanggal 19 October 2011. 
  33. ^ James Cowan, The New Zealand Wars: A History of the Maori Campaigns and the Pioneering Period: Volume II, 1922.
  34. ^ Moon, Paul (2008). This Horrid Practice. Penguin Random House New Zealand Limited. ISBN 978-1-74228-705-8. Diakses tanggal 9 December 2019. Buku ini meneliti tentang praktik kanibalisme tradisional di suku Māori, dari awal mulanya di Polinesia hingga berhenti di awal abad ke-19. 
  35. ^ Clark, Ross (1994). "Moriori and Māori: The Linguistic Evidence". Dalam Sutton, Douglas. The Origins of the First New Zealanders. Auckland: Auckland University Press. hlm. 123–135. 
  36. ^ Baofu, Peter (2010). The Future of Post-Human War and Peace: A Preface to a New Theory of Aggression and Pacificity (dalam bahasa Inggris). Cambridge Scholars Publishing. hlm. 257. ISBN 978-1-4438-2171-1. Diakses tanggal 14 February 2020. 
  37. ^ Sivignon, Cherie (1 October 2017). "Commemoration plans of first encounter between Abel Tasman, Māori 375 years ago". Stuff. Diakses tanggal 19 August 2019. 
  38. ^ Dalrymple, Kayla (28 August 2016). "Unveiling the history of the "Crook Cook"". Gisborne Herald. Diakses tanggal 19 August 2019. 
  39. ^ "Encounter, or murder?". Gisborne Herald. 13 May 2019. Diakses tanggal 19 August 2019. 
  40. ^ Ingram, C. W. N. (1984). New Zealand Shipwrecks 1975–1982. Auckland: New Zealand Consolidated Press; pp 3–6, 9, 12.
  41. ^ Swarbrick, Nancy (June 2010). "Creative life – Writing and publishing". Te Ara: The Encyclopedia of New Zealand. Diakses tanggal 22 January 2011. 
  42. ^ Manning, Frederick Edward (1863). "Chapter 13". Old New Zealand: being Incidents of Native Customs and Character in the Old Times by 'A Pakeha Maori': Chapter 13. 
  43. ^ McLintock, A. H. (1966). "Maori health and welfare". An Encyclopaedia of New Zealand. Diakses tanggal 19 August 2019. 
  44. ^ Davis, Denise; Solomon, Māui. "Moriori – The impact of new arrivals". Te Ara: The Encyclopedia of New Zealand. Diakses tanggal 29 April 2010. 
  45. ^ Entwisle, Peter (20 October 2006). "Estimating a population devastated by epidemics". Otago Daily Times. Diarsipkan dari versi asli tanggal 14 October 2008. Diakses tanggal 13 May 2008. 
  46. ^ Pool, D. I. (March 1973). "Estimates of New Zealand Maori Vital Rates from the Mid-Nineteenth Century to World War I". Population Studies. 27 (1): 117–125. doi:10.2307/2173457. JSTOR 2173457. PMID 11630533. 
  47. ^ Phillips, Jock (1 August 2015). "History of immigration – A growing settlement: 1825 to 1839". Te Ara: The Encyclopedia of New Zealand. Diakses tanggal 4 June 2018. 
  48. ^ Orange, Claudia (20 June 2012). "Treaty of Waitangi – Creating the Treaty of Waitangi". Te Ara: The Encyclopedia of New Zealand (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 7 June 2018. 
  49. ^ "Te Wherowhero". Ministry for Culture and Heritage. Diakses tanggal 7 June 2018. 
  50. ^ Orange, Claudia (20 June 2012). "Treaty of Waitangi – Interpretations of the Treaty of Waitangi". Te Ara: The Encyclopedia of New Zealand (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 7 June 2018. 
  51. ^ "Differences between the texts". Ministry for Culture and Heritage. Diakses tanggal 7 June 2018. 
  52. ^ "Land confiscation law passed". nzhistory.govt.nz. Ministry for Culture and Heritage. 18 November 2016. Diakses tanggal 20 August 2019. 
  53. ^ "Māori Land – What Is It and How Is It Administered?". Office of the Auditor-General. Diakses tanggal 20 August 2019. 
  54. ^ King (2003), p. 224
  55. ^ "Population – Factors and Trends", An Encyclopaedia of New Zealand, edited by A. H. McLintock, published in 1966. Retrieved 18 September 2007.
  56. ^ "Young Maori Party | Maori cultural association". Encyclopædia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 4 June 2018. 
  57. ^ "Māori – Urbanisation and renaissance". Te Ara: The Encyclopedia of New Zealand. The Māori renaissance since 1970 has been a remarkable phenomenon. 
  58. ^ "Time Line of events 1950–2000". Schools @ Look4. 
  59. ^ "Te Kōhanga Reo National Trust". Diakses tanggal 2019-04-10. 
  60. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama MāoriTVlaunch
  61. ^ Maori Television (9 March 2008). "Maori Television launches second channel". Maori Television. Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 January 2008. 
  62. ^ "Māori Words used in New Zealand English". Māori Language.net. Native Council. Diakses tanggal 20 August 2019. 
  63. ^ "Waitangi Tribunal created". Ministry for Culture and Heritage. 19 January 2017. Diakses tanggal 4 June 2018. 
  64. ^ Office of Treaty Settlements (June 2008). "Four Monthly Report" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 18 October 2008. Diakses tanggal 25 September 2008. 
  65. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama WaitangiDebateTVNZ
  66. ^ Report on the Crown's Foreshore and Seabed Policy (Laporan) (dalam bahasa Inggris). Ministry of Justice. Diakses tanggal 19 August 2019. 
  67. ^ Barker, Fiona (June 2012). "Debate about the foreshore and seabed". Te Ara: The Encyclopedia of New Zealand. Diakses tanggal 19 August 2019. 

Daftar pustaka

  • Australian Bureau of Statistics (2004). Australians' Ancestries: 2001. Canberra: Australian Bureau of Statistics, Catalogue Number 2054.0. [1]
  • Biggs, Bruce (1994). Does Maori have a closest relative? In Sutton (Ed.)(1994), pp. 96–-105.
  • Hiroa, Te Rangi (Sir Peter Buck)(1974). The Coming of the Maori. Second Edition. First Published 1949. Wellington: Whitcombe and Tombs.
  • Irwin, Geoffrey (1992). The Prehistoric Exploration and Colonisation of the Pacific. Cambridge: Cambridge University Press.
  • Simmons, D.R. (1997). Ta Moko, The Art of Maori Tattoo. Revised Edition. First published 1986. Auckland: Reed.
  • Statistics Canada (2003). Ethnic Origin (232), Sex (3) and Single and Multiple Responses (3) for Population, for Canada, Provinces, Territories, Census Metropolitan Areas and Census Agglomerations, 2001 Census - 20% Sample Data.. Ottawa: Statistics Canada, Cat. No. 97F0010XCB2001001. [2]
  • Statistics New Zealand (2005). Estimated resident population of Māori ethnic group, at 30 June 1991-2005, selected age groups by sex. Wellington: Statistics New Zealand. [3]
  • Sutton, Douglas G. (Ed.) (1994). The Origins of the First New Zealanders. Auckland: Auckland University Press.
  • United States Census Bureau (2003). Census 2000 Foreign-Born Profiles (STP-159): Country of Birth: New Zealand. Washington, D.C.: U.S. Census Bureau. [4]
  • Walrond, Carl (2005). Māori overseas, Te Ara - the Encyclopedia of New Zealand. [5]

Pranala luar