Abdul Hamid Abulung al-Banjari

ulama asal Indonesia
Revisi sejak 31 Januari 2021 14.18 oleh InternetArchiveBot (bicara | kontrib) (Rescuing 1 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.8)

Syekh Abdul Hamid Abulung al-Banjari atau lebih dikenal dengan Datu Abulung adalah salah satu ulama Banjar yang berpengaruh pada masanya. Ia adalah ulama yang pernah menggemparkan Kalimantan dengan paham Wahdatul Wujud.[1] Ia dihukum mati oleh keputusan Sultan Tahmidillah, atas pertimbangan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang waktu itu menjabat sebagai mufti besar.[butuh rujukan]

Abdul Hamid Abulung
Datu Abulung
Makam Datu Abulung di Martapura Barat, Kabupaten Banjar
NamaAbdul Hamid Abulung
Nisbahal-Banjari

Riwayat

Pada masa Kesultanan Banjar diperintah oleh Sultan Tahlilullah, ia dan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari diberangkatkan oleh Kesultanan banjar untuk menuntut ilmu dengan biaya kerajaan ke tanah suci Mekkah. Namun sepak terjangnya tidak banyak yang mengetahui karna ia tidak ada meninggalkan kitab karangan seperti ulama-ulama lainnya.[butuh rujukan]

Syeikh Abdul Hamid Abulung atau Datu Abulung memiliki paham tasawuf Wahdatul Wujud. Pandangan tasawuf yang dianutnya dipengaruhi aliran ittiihad Abu Yazid Al-Busthami dan Al-Hallaj yang masuk ke Indonesia melalui Hamzah Fansuri, Syamsuddin Al-Sumatrani dan Syekh Siti Jenar.[butuh rujukan]

Kesempatan Syekh Abdul Hamid dalam mengembangkan ajaran wujudiyyah mulai mendapatkan sandungan ketika tersiar sampai ke telinga Sultan Tahmidillah dan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari bahwa ajaran yang dibawanya dianggap meresahkan masyarakat. Dilaporkan Abdul Hamid mengajarkan orang-orang bahwa tidak ada wujud kecuali Allah. Tidak ada Abdul Hamid kecuali Allah; Dialah aku dan akulah Dia.[butuh rujukan] Syekh Muhammad Arsyad sebagai penganut ajaran Syekh Muhammad bin Abdul Karim Al-Sammani Al-Madani guru dari tokoh-tokoh Tarekat Samaniyah Nusantaratidak sepakat dengan pemikiran wujudiyyah-nya Syekh Abdul Hamid dan bahkan menganggapnya musyrik.[butuh rujukan]

Akibat dari pemikirannya, Syekh Abdul Hamid Abulung berakhir hidupnya di tangan para algojo Kesultanan Banjar. Ia dihukum mati oleh keputusan Sultan Tahmidillah, atas pertimbangan Syekh Muhammad Arsyad, yang waktu itu menjabat sebagai mufti besar.[butuh rujukan] Ia dimakamkan di Kampung Abulung Sungai Batang Martapura.[butuh rujukan]

 
Masjid Jami Syekh Abdul Hamid Abulung al-Banjari

Masjid Jami Datu Abulung

Kemudian Sultan Tahmidullah II yang memerintah periode 1761-1801 membangun Masjid Jami Syekh Abdul Hamid Abulung sebagai bentuk penebusan dosa karena telah memerintahkan para algojo raja untuk mengeksekusi Datu Abulung.[butuh rujukan]

Karya

Syekh Abdul Hamid Abulung dinilai kering karya. Karena hingga saat ini hanya ada beberapa fragmen yang menyiratkan pandangan Syekh Abdul Hamid mengenai Tasawuf yang bisa dilacak, dan itu pun sangat terbatas.[butuh rujukan] Di Kalimantan Selatan sendiri sekarang ada sebuah karya yang disinyalir kepunyaan Syekh Abdul Hamid.[butuh rujukan] Naskah itu berisi tentang pandangan tasawuf wujudiyyah mulhid, berupa pembahasan mengenai “Asal Kejadian Nur Muhammad”. Namun tidak diketahui nama ulama Banjar yang menulis karya tersebut.[butuh rujukan]

Keramat

Saat hukuman mati dilaksanakan ia dimasukan kedalam kerangkeng besi, lalu kerangkeng itu ditenggelamkan ke dalam sungai, akan tetapi pada saat itulah muncul karamah dia, meski ditenggelamkan ke dasar sungai, tetapi ketika tiba waktu sholat, secara ajaib kerangkeng itu naik keatas sungai dan terlihatlah Syeikh Abdul Hamid Abulung atau Datu Abulung sedang melaksanakan sholat.[butuh rujukan] Setelah sholatnya selesai, kerangkeng itupun tenggelam lagi, hal itu terjadi berulang-ulang. Hal itu populer dalam cerita rakyat Banjar.[butuh rujukan]

Referensi

  1. ^ Haul Syekh Abdul Hamid Abulung Diarsipkan 2016-03-04 di Wayback Machine. - humas.banjarkab.go.id, diakses 1 April 2014.