Joris van Spilbergen
J. Mario Belougi
Dr. (H.C.) J. Mario Belougi (Lahir di Manado, Sulawesi Utara, 5 Mei 1975; umur 45 tahun) adalah seorang demonstran dan penggiat sosial asal Indonesia. Belougi mengawali kariernya dalam kegiatan aktivisme pada usia lima belas tahun dengan menjadi aktivis jalanan di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Dia berperan penting dalam gerakan pembebasan demokrasi di Indonesia pada era 90-an, dan menjadi penggerak aksi penolakan terhadap instruksi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk melaksanakan jajak pendapat di Timor Timur tahun 1999. Nama Belougi kembali menjadi sorotan publik setelah disebut sebagai dalang insiden pengibaran bendera Filipina di Pulau Miangas tahun 2005.[1]
J. Mario Belougi | |
---|---|
Berkas:J. Mario Belougi, 2015.jpg | |
Lahir | Manado, Sulawesi Utara | 5 Mei 1975
Kebangsaan | Indonesia |
Kewarganegaraan | Indonesia Timor Leste (kehormatan) |
Almamater | |
Pekerjaan | Aktivis |
Partai politik | Independen |
Situs web | www.belougi.com |
Kehidupan awal
J. Mario Belougi lahir dari bangsa pelaut Sangir dan Bugis yang sudah berabad-abad mendiami gugusan pulau-pulau kecil di bagian selatan Filipina dan sudah berasimilasi dengan bangsa Siau di Kepulauan Nusa Utara. Dia merupakan cucu dari Raja Belougi, seorang pewaris tahta dua kerajaan di Pulau Sulawesi; Kesultanan Siau, Sulawesi Utara dan Kedatuan Luwu, Sulawesi Selatan, dan merupakan pejuang minoritas muslim dari Front Pembebasan Nasional Moro yang gugur dalam Pertempuran Manili melawan pemerintah Filipina di Cotabato, Mindanao tahun 1971.
Awal karier
J. Mario Belougi menjalani kehidupan awal bersama keluarganya di pinggiran Kota Manado. Pada usia lima tahun, Belougi ikut kerabatnya pindah ke Makassar, Sulawesi Selatan. Di sini awal mula Belougi mengenal kehidupan jalanan dan berafiliasi dengan kelompok-kelompok pergerakan. Ia mengawali kariernya dalam kegiatan aktivisme pada usia lima belas tahun dengan menjadi aktivis jalanan di Kota Makassar, dan menjadi salah satu tokoh utama dalam gerakan penyelamatan rakyat miskin kota dan penggusuran perkampungan nelayan di pinggiran Kota Makassar, Maret 1990. Gerakan yang melibatkan seluruh elemen arus bawah di Makassar tersebut kemudian diabadikan sebagai momen gerakan "Save Our Makassar". Berawal dari kegiatan tersebut, Belougi aktif dalam kegiatan aktivisme. Ia menjadi pelopor gerakan anti-diskriminasi dan intimidasi terhadap kebebasan demokrasi di Indonesia tahun 1992, sebagai titik awal lahirnya gerakan penyelamatan demokrasi (Save Our Democracy)
Peran Belougi dalam gerakan pembebasan demokrasi mengilhami lahirnya pergolakan kelompok-kelompok pergerakan di Indonesia melawan sikap otoriter dan dogmatisme pemerintah yang mengurung kebebasan dan merampas hak-hak dasar rakyat dalam demokrasi dan politik. Belougi menjadi buronan pemerintah sejak tahun 1994, dan tidak lanjut kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Timor Timur. Ia kemudian hijrah ke Filipina, dan mendaftar di University of Ateneo de Davao namun tidak selesai, ia dideportasi oleh pemerintah Filipina pada Februari 1995 karena diduga memasuki negara tersebut secara ilegal. Belougi kembali menjadi buronan pemerintah setelah diketahui sebagai otak pelaku penolakan hasil Pemilu 1997 yang dinilai sarat rekayasa dan membohongi rakyat. Ia ditangkap di Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali pada Februari 1998, namun Ia kabur ke pedalaman daerah konflik Timor Timur, dan menetap di daerah tersebut hingga pelaksanaan jajak pendapat 1999.
Solidaritas untuk Timor Timur
Di era pemerintahan Presiden B. J. Habibie, Belougi ikut berpartisipasi dalam urusan sosial dan kemanusiaan setelah timbulnya gejolak politik antara rakyat pro-kemerdekaan dan pro-integrasi Timor Timur. Ia pernah dikabarkan menjadi bagian dari korban dalam Pembantaian Gereja Katolik Liquica pada April 1999. Media Australia melaporkan peristiwa tersebut menewaskan 200 lebih Umat Katolik. Tokoh oposisi Australia Laurie Brereton menuduh Belougi memiliki hubungan emosional dengan milisi pro-integrasi dan mengetahui rencana penyerangan terhadap Umat Katolik, namun kabar tersebut dibantah oleh seorang pendeta dan tokoh-tokoh pro-integrasi. Pasca insiden Liquica, Belougi menggalang dukungan aksi solidaritas untuk negeri dan meminta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bersikap netral dalam menyikapi konflik politik di Timor Timur.
Sosok Belougi menjadi kontroversi setelah kantor berita Caters News Agency, 18 Juni 1999 mengutip pernyataan Belougi yang menuduh pihak Amerika dan Australia melakukan tindakan provokatif terhadap dunia internasional untuk menekan Indonesia dengan isu pelanggaran HAM, dan menggiring opini publik untuk melahirkan isu jajak pendapat di Timor Timur. BBC Radio, London, 29 Juli 1999 menyorot figur Belougi sebagai sosok penggerak aksi penolakan terhadap instruksi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terhadap UNAMET (United Nasions Mission in East Timor) untuk melaksanakan jajak pendapat di Timor Timur, yang melahirkan gelombang demontrasi di berbagai daerah di Indonesia.
Nama Belougi kembali menjadi sorotan publik atas pemberitaan sejumlah media asing yang melansir peran aktivis Indonesia dalam aksi pendudukan kantor kedutaan Amerika dan Australia di Jakarta oleh massa demonstran. Aksi demonstrasi mencapai puncaknya setelah Perdana Menteri Australia, John Howard mendapat dukungan dari Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan dan Presiden AS, Bill Clinton agar pasukan penjaga perdamaian internasional dipimpin oleh Australia segera memasuki Timor Timur, dan Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi -UNHCR tiba di Atambua. Pada 27 Agustus 1999, Belougi diamankan oleh pasukan perdamaian PBB setelah diduga melakukan tindakan provokatif yang mengakibatkan kekerasan fisik terhadap sejumlah awak media Australia di perbatasan Timor Barat. Jajak pendapat berlangsung pada 30 Agustus 1999 di bawah pengawasan UNAMET, dan berakhir dengan lepasnya Timor Timur dari NKRI. [2] [3] [4]
Insiden Pulau Miangas
Nama Belougi kembali menjadi sorotan publik setelah Ia disebut sebagai dalang Insiden Pengibaran Bendera Filipina di Pulau Miangas tahun 2005, sebgai bentuk protes kepada pemerintah Indonesia yang mengabaikan hak hidup, politik dan demokrasi rakyat yang tinggal di Pulau Terluar Indonesia. [5] Insiden tersebut mengundang perhatian publik Internasional dan mendapat perhatian khusus dari pemerintah Indonesia dengan membangun fasilitas umum seperti Bandar Udara dan Pelabuhan Laut, serta memberi legalitas kewarganegaraan (WNI) kepada rakyat yang tinggal di pulau-pulau terluar untuk ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan pesta demokrasi dan pembangunan nasional. Pasca Insiden Pulau Miangas 2005, Belougi menghilang dari ruang publik dan tidak lagi diketahui keberadaannya.[6]
Pendidikan dan karier
J. Mario Belougi menempuh pendidikan dasar ke tingkat menengah di Makassar. Ia melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi di Fakultas Pertanian Universitas Tadulako (Tidak selesai), UPRI Makassar (ST, 1999), Universitas Nasional Timor Lorosae (B.A, 2005), Ia diberi penghargaan Doktor Kehormatan (H.C) dari Universitas Nusa Cendana, tahun 2013, dan meraih Magister Administrasi (M.A) di Universitas Mindanao, Filipina, 2024.
J. Mario Belougi berkarier dalam bidang NGO (Non-government Organization) dan pernah bekerja di sejumlah organisasi nirlaba seperti Jaringan Informasi Rakyat Desa (JIRAD), 2005-2007, Center Information Island Society (CIIS), 2007-2009. Dari tahun 2010 hingga 2020, Belougi menderita penyakit Autoimun (Pelemahan Kekebalan Tubuh) dan harus vakum dari segala aktivitas, ia kemudian melanjutkan aktivitasnya pada pertengahan tahun 2010 dengan mendirikan Grassroots Political Studies (GPS).
Lihat pula
Catatan kaki
- ^ "Menelusuri Jejak Belougi Pejuang Tak Dikenal dari Tapal Batas". Kabarpemuda.com. Diakses tanggal 21-06-2021.
- ^ "Australian Peacekeeping in East Timor". Australian War Memorial. Diakses tanggal 03-06-2021.
- ^ UN approves Timor force, BBC News, 15-Sep-1999
- ^ "Security Council authorises multinational force in East Timor". United Nations. 15 September 1999.
- ^ "Bendera Seberang di Pulau Miangas". Tempo.Co. Diakses tanggal 20-08-2012.
- ^ "Menilik Perbatasan Indonesia-Filipina: Pulau Miangas". Politik.go.id. Diakses tanggal 21-06-2021.