Parikesit (Dewanagari: परीक्षित्; ,IASTParikṣit, परीक्षित्) adalah nama penguasa kerajaan Kuru yang memerintah pada Periode Weda Pertengahan (abad ke-12 sampai ke-9 SM).[1] Ia bersama putra sekaligus penerusnya yang bernama Janamejaya, memiliki peranan penting dalam konsolidasi negeri Kuru, penyusunan sloka-sloka Weda menjadi suatu himpunan, dan pengembangan upacara srauta yang ortodoks, sehingga menjadikan ranah kerajaan Kuru sebagai pusat kebudayaan dan politik yang dominan di kawasan India Utara pada Zaman Besi.[2]

Parikesit
परीक्षित्
Lukisan India yang menggambarkan Parikesit berjumpa Wisnu (berkulit biru).
Lukisan India yang menggambarkan Parikesit berjumpa Wisnu (berkulit biru).
Tokoh Mahabharata
NamaParikesit
Ejaan Dewanagariपरीक्षित्
Ejaan IASTParikṣit
Kitab referensiMahabharata; Bhagawatapurana
AsalKerajaan Kuru
KediamanHastinapura
GolonganCandrawangsa
Kastakesatria
DinastiKuru
AyahAbimanyu
IbuUtari
IstriMadrawati
AnakJanamejaya, Ugrasena, Srutasena, Bimasena.

Parikesit juga disebutkan dalam sejumlah pustaka Hindu, meliputi Mahabharata dan Purana. Dalam Mahabharata disebutkan bahwa ia merupakan putra Abimanyu dan Utari, dan merupakan cucu Arjuna. Ia menjadi penerus kakeknya, Yudistira yang bertakhta di Hastinapura, ibukota Kuru.[Ket 1] Pada suatu legenda dalam kitab Adiparwa dan Bhagawatapurana, diceritakan bahwa Parikesit meninggal karena digigit Naga Taksaka. Menurut kitab Adiparwa, sang naga menyamar menjadi ulat dan bersembunyi di dalam buah jambu yang dihidangkan kepada Parikesit. Cara kematian tersebut terjadi karena kutukan brahmana bernama Srenggi yang merasa sakit hati karena Parikesit telah mengalungkan bangkai ular di leher Samiti (Samika), ayahnya.

Konteks sejarah

 
Peta yang menunjukkan lokasi pusat Kerajaan Kuru dan kerajaan-kerajaan lainnya di Asia Selatan pada Periode Weda.

Dalam pustaka suci Weda, hanya ada satu nama Parikesit yang tercatat; namun, sastra pasca-Weda (Mahabharata dan Purana) tampaknya mengindikasikan keberadaan dua raja dengan nama Parikesit, yang satunya hidup sebelum Perang Kurukshetra dan menjadi leluhur Pandawa (tokoh Mahabharata), yang satunya lagi hidup setelah Pandawa dan merupakan keturunannya. Sejarawan H. C. Raychaudhuri meyakini bahwa keterangan tentang Parikesit yang kedua lebih cocok dengan yang disebutkan dalam pustaka Weda, sedangkan informasi tentang keberadaan Parikesit yang pertama amat langka dan tidak konsisten. Namun Raychaduri penasaran apakah kenyataannya memang ada dua raja dengan nama yang sama. Ia berpendapat bahwa penggandaan nama sebenarnya "dilakukan oleh para penulis silsilah untuk mencatat anakronisme" dalam beberapa bagian Mahabharata, sebagai "duplikasi karangan yang merujuk kepada orang yang sama, yang keberadaannya dalam silsilah penguasa Kuru tidak mewariskan suatu tradisi yang bertahan", sehingga "ada suatu pengacauan kepada catatan silsilah" dalam tradisi pasca-Periode Weda, yang juga mencatat adanya dua nama Janamejaya, putra Parikesit.[6][Ket 2]

Sejarawan Michael Witzel menyatakan bahwa Parikesit adalah penguasa kuno kerajaan Kuru; ia menentukan tarikh Dinasti Pārikṣita sekitar 1200–1100 SM (Periode Regweda Akhir).[7] Sebaliknya, H.C. Raychaudhuri menentukan tarikhnya sekitar abad ke-9 SM.[8] Witzel menganggap Parikṣhit (beserta raja lainnya dalam dinasti tersebut) berperan penting terhadap pengumpulan berbagai naskah yang terpencar menjadi suatu himpunan karya "nasional"—Reg-weda Samhita, Samaweda Samhita, dan Khilani.[9]

Keluarga

Parikesit menikahi Madrawati, dan memiliki seorang putra bernama Janamejaya. Janamejaya diangkat menjadi raja pada usia yang masih muda. Janamejaya menikahi Wapustama, dan memiliki dua putra bernama Satanika dan Sankukarna. Satanika diangkat sebagai raja menggantikan ayahnya dan menikahi putri dari Kerajaan Wideha, kemudian memiliki seorang putra bernama Aswamedadata.

Para keturunan Raja Parikesit tersebut merupakan raja legendaris yang memimpin Kerajaan Kuru, tetapi riwayatnya tidak muncul dalam Mahabharata. Nama-nama tersebut muncul dalam kitab Bhagawatapurana dan Purana lainnya.

Saat Parikesit masih berada dalam kandungan, ayahnya yang bernama Abimanyu, turut serta bersama Arjuna dalam pertempuran besar Baratayuda di daratan Kurukshetra. Dalam pertempuran tersebut, Abimanyu gugur dalam serangan musuh yang dilakukan secara curang, dan meninggalkan ibu Parikesit yang bernama Utara (atau Utari menurut versi Jawa).

Pada pertempuran di akhir hari kedelapan belas, Aswatama bertarung dengan Arjuna. Aswatama dan Arjuna sama-sama sakti dan sama-sama mengeluarkan senjata Brahmāstra. Karena dicegah oleh Resi Byasa, Aswatama dianjurkan untuk mengarahkan senjata tersebut kepada objek lain. Maka Aswatama memilih agar senjata tersebut diarahkan ke kandungan Utari. Senjata tersebut pun membunuh Parikesit yang masih berada dalam kandungan. Atas pertolongan dari Kresna, Parikesit dihidupkan. Aswatama kemudian dikutuk agar mengembara di dunia selamanya.

Ramalan kehidupan

 
Raja Parikesit mengalungkan bangkai ular di leher Bagawan Samiti

Resi Dhomya menyampaikan ramalannya kepada Yudistira setelah Parikesit lahir bahwa ia akan menjadi pemuja setia Dewa Wisnu, dan semenjak ia diselamatkan oleh Bathara Kresna, ia akan dikenal sebagai Vishnurata (Orang yang selalu dilindungi oleh Sang Dewa).

Resi Dhomya juga meramalkan bahwa Parikesit akan selamanya mencurahkan kebajikan, ajaran agama dan kebenaran, dan akan menjadi pemimpin yang bijaksana, tepatnya seperti Ikswaku dan Rama dari Ayodhya. Ia akan menjadi ksatria panutan seperti Arjuna, yaitu kakeknya sendiri, dan akan membawa kemasyhuran bagi keluarganya.

Saat dimulainya zaman Kali Yuga, yaitu zaman kegelapan, dan mangkatnya Kresna Awatara dari dunia fana, Pandawa lima bersaudara lalu meninggalkan pemerintahan. Parikesit sudah layak diangkat menjadi raja, dengan Krepa sebagai penasihatnya. Ia menyelenggarakan Aswameddha Yajña tiga kali di bawah bimbingan Krepa.

Akhir riwayat

Pada suatu hari, Raja Parikesit pergi berburu ke tengah hutan. Ia kepayahan mengejar seekor buruan, lalu berhenti untuk beristirahat. Akhirnya ia sampai di sebuah tempat pertapaan di mana tinggal Begawan Samiti. Ketika itu sang Resi sedang duduk bertapa dan membisu. Tatkala Sang Raja bertanya ke mana buruannya pergi, Begawan Samiti hanya diam membisu karena pantang berkata-kata saat sedang bertapa. Karena pertanyaannya tidak dijawab, Raja Parikesit menjadi marah dan mengambil bangkai ular yang ada di dekatnya dengan anak panahnya, lalu mengalungkannya ke leher Bagawan Samiti. Peristiwa itu kemudian diceritakan Sang Kresa kepada putera Begawan Samiti yang bernama Sang Srenggi yang pemarah.

Saat Sang Srenggi pulang, ia melihat bangkai ular hitam melilit leher ayahnya. Karena marahnya, kemudian Sang Srenggi mengucapkan kutukan bahwa Raja Parikesit akan mati digigit ular dalam tujuh hari sejak kutukan tersebut diucapkan. Begawan Samiti kecewa terhadap perbuatan puteranya tersebut, yang mengutuk raja yang telah memberikan mereka tempat berlindung. Akhirnya Begawan Samiti berjanji akan mengurungkan kutukan tersebut. Ia lalu mengutus muridnya untuk memberitahu Sang Raja, namun Sang Raja merasa malu untuk meminta diurungkannya kutukan tersebut dan memilih untuk berlindung.

Pada saatnya, Naga Taksaka pergi ke Hastinapura untuk melaksanakan perintah Sang Srenggi untuk menggigit Sang Raja. Penjagaan di Hastinapura sangat ketat. Sang Raja berlindung dalam menara tinggi dan dikelilingi oleh prajurit, brahmana, dan ahli bisa. Untuk dapat membunuh Sang Raja, Naga Taksaka lalu menyamar menjadi ulat dalam buah jambu. Kemudian jambu tersebut disuguhkan kepada Sang Raja. Merasa telah aman, karena saat itu adalah sore hari ke tujuh, Raja Parikesit menjadi lengah. Kutukan tersebut lalu menjadi kenyataan. Ketika jambu hendak dimakan, ulatnya berubah menjadi Naga Taksaka kembali, yang lalu menggigit leher Sang Raja. Parikesit lalu tewas menjadi abu, dan Naga Taksaka pulang ke dalam bumi.

Pewayangan Jawa

 
Parikesit sebagai tokoh pewayangan Jawa.

Pada masa perkembangan agama Hindu dan Buddha di Nusantara, kitab Mahabharata dari India yang berbahasa Sanskerta juga diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Kuno, bersama pustaka suci Hindu lainnya. Selain itu, beberapa kakawin digubah berdasarkan cerita dalam pustaka tersebut, dan beberapa di antaranya diadaptasi menjadi pertunjukan wayang kulit yang masyhur di Jawa. Dalam perkembangannya, para dalang melakukan sejumlah perubahan saat mengadaptasi kisah Mahabharata ke dalam lakon pewayangan.

Tokoh Parikesit yang diceritakan dalam pewayangan tidak jauh berbeda dengan yang tertulis dalam kitab Mahabharata; perubahan kecil terjadi pada sejumlah nama tokoh. Menurut pewayangan Jawa, Parikesit adalah putra Abimanyu alias Angkawijaya, kesatria Plangkawati dengan permaisuri Dewi Utari, putri Prabu Matsyapati (Wirata) dengan Dewi Ni Yustinawati (Sudesna) dari Kerajaan Wirata. Ia seorang anak yatim, karena ayahnya gugur di medan perang Bharatayuddha ketika ia masih dalam kandungan. Parikesit lahir di istana Astina (Hastinapura) setelah keluarga Pandawa pindah dari Amarta (Indraprastha) ke Astina.

Parikesit naik takhta negara Astina menggantikan kakeknya, Prabu Karimataya (nama gelar Prabu Yudistira setelah menjadi raja negara Astina). Dikisahkan bahwa Parikesit berwatak bijaksana, jujur dan adil.

Menurut cerita sisipan dalam pewayangan Jawa, Parikesit mempunyai 5 (lima) orang permasuri dan 8 (delapan) orang pura, yaitu:

  1. Dewi Puyangan, berputra Ramayana dan Pramasata.
  2. Dewi Gentang, berputra Dewi Tamioyi.
  3. Dewi Satapi alias Dewi Tapen, berputra Yudayana dan Dewi Pramasti.
  4. Dewi Impun, berputra Dewi Niyedi.
  5. Dewi Dangan, berputra Ramaprawa dan Basanta.

Lihat pula

Catatan

  1. ^ Menurut Mahabharata, ibukota Kuru adalah Hastinapura. Namun pustaka suci Weda mengindikasikan bahwa kerajaan Kuru Kuno beribukota di Āsandīvat,[2] yang diidentifikasi pada masa kini sebagai Assandh, di Haryana.[3][4][5]
  2. ^ Sebagai perbandingan, Witzel (1995) hanya mengacu kepada satu orang Parikshit dan satu orang Janamejaya.

Referensi

  1. ^ Michael Witzel (1989), Tracing the Vedic dialects in Dialectes dans les litteratures Indo-Aryennes ed. Caillat, Paris, 97–265.
  2. ^ a b Michael Witzel, "Early Sanskritization. Origins and development of the Kuru State". B. Kölver (ed.), Recht, Staat und Verwaltung im klassischen Indien. The state, the Law, and Administration in Classical India. München : R. Oldenbourg 1997, 27-52 "Archived copy". Diarsipkan dari versi asli tanggal 15 August 2006. Diakses tanggal 5 July 2010. 
  3. ^ "Prāci-jyotī: Digest of Indological Studies". 1967. 
  4. ^ Dalal, Roshen (2010). Hinduism: An Alphabetical Guide. ISBN 9780143414216. 
  5. ^ Raychaudhuri 2006, hlm. 18.
  6. ^ Raychaudhuri (1996), pp.13-19
  7. ^ Michael Witzel (1989), Tracing the Vedic dialects, p. 19, 141
  8. ^ Raychaudhuri 2006, hlm. 29.
  9. ^ Witzel, Michael (1989). The Realm of the Kurus: Origins and Development of the First State in India. Kyoto: Summaries of the Congress of the Japanese Association for South Asian Studies. hlm. 1–3. 

Pranala luar

Didahului oleh:
Yudistira
Raja Hastinapura
Dinasti Kuru
Diteruskan oleh:
Janamejaya