Hak atas lingkungan hidup
Hak atas lingkungan hidup sebagai salah satu bagian dari hak asasi manusia merupakan hak untuk hidup dan berada dalam lingkungan hidup yang baik, sehat, terlindungi, serta terjaga. Dengan kata lain tiap manusia berhak hidup di lingkungan yang memungkinkan terwujudnya kehidupan yang bermartabat dan sejahtera.[1]
Hak atas lingkungan hidup diatur dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar 1945 bahwa: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir bathin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan."[2]
Manusia dan Lingkungan
Menurut R.F Dasman, studi lingkungan hidup sangatlah penting. Dengan mempelajari lingkungan hidup seseorang bisa mendapatkan bekal bagaimana cara mengantisipasi dan mencegah kerusakan lingkungan. Perilaku ini dapat menjembatani hubungan antara manusia dengan lingkungan hidup menjadi lebih baik.[3]
Manusia sebagai makhluk hidup yang bergantung pada lingkungan dapat memberikan dampak atau pengaruh serta mampu untuk mengubah keadaan lingkungan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya. Hal yang diharapkan adalah interaksi antara manusia dengan lingkungannya dapat berjalan secara selaras dan seimbang tanpa adanya permasalahan lingkungan akibat pandangan yang salah dari manusia.[4]
Ruang Lingkup dan Cakupan Hak atas Lingkungan Hidup
Ruang lingkup hak atas lingkungan hidup tertuang dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Pasal 2 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yakni: “Lingkungan hidup Indonesia meliputi ruang, tempat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berwawasan Nusantara dalam melaksanakan kedaulatan, hak berdaulat, dan yuridiksinya”.[5]
Ruang lingkup hak atas lingkungan hidup juga merujuk pada draft Declaration Of Principles In Human Rights and The Environment atau disebut sebagai rancangan deklarasi yang dibuat oleh tim United Nations Special Rapporteur On Human Rights And The Environment selama tiga hari pada tahun 1994. Deklarasi ini bukanlah suatu dokumen internasional yang secara formal memiliki kekuatan hukum, namun di dalamnya terdapat 27 prinsip-prinsip sebagai hak substansif atas lingkungan hidup yang telah termodifikasi dengan baik untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai hak atas lingkungan hidup.[6]
Terdapat 4 prinsip dasar konsep utama yang berlaku atas hak lingkungan hidup, yakni:
- Hak asasi manusia, lingkungan hidup yang baik secara ekologis, pembangunan berkelanjutan, serta perdamaian merupakan hal-hal yang saling berkaitan dan tidak terpisahkan.
- Setiap orang memiliki hak atas lingkungan hidup yang aman, sehat, dan baik secara ekologis, termasuk hak-hak sipil, ekonomi, politik, dan sosial.
- Hak non-discrimination, bahwa setiap orang harus bebas dari bentuk diskriminasi apapun terkait perbuatan dan keputusan yang dimilikinya.
- Setiap orang memiliki hak atas lingkungan hidup yang layak untuk memenuhi kebutuhan generasi masa kini dan tanpa mengurangi hak dari generasi yang akan datang, sehingga terciptanya kebutuhan yang seimbang.[7]
Sejarah Konferensi Internasional Lingkungan Hidup
Sejarah bermula dimana pesatnya penataan pembangunan yang dilakukan dari hampir semua negara setelah perang dunia II berakhir. Hal ini mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap lingkungan sehingga menyebabkan kualitas dari lingkungan hidup saat itu terus menurun. Kondisi ini diungkapkan oleh Rachel Carson dalam karyanya sebuah buku berjudul Musim semi yang sepi (Silent Spring) yang membuka mata dunia mengenai isu-isu lingkungan yang terjadi. Tingkat kepedulian lingkungan yang semakin meluas memicu perhatian Perserikatan Bangsa-Bangsa yang kemudian mengagas konferensi pertama global yang diadakan di Stockholm, Swedia.[8]
Konferensi Stockholm
Pada tanggal 5 Juni 1972, PBB mengadakan konferensi pertama lingkungan global di Stockholm, Swedia sehingga disebut sebagai Konferensi Stockholm. Konferensi ini berlangsung sejak tanggal 5 – 16 Juni 1972 dan dihadiri oleh 113 delegasi dari berbagai negara serta dua kepala negara yaitu Olaf Palme dari Swedia dan Indira Gandhi dari India. Dari pertemuan ini, terjadi pembentukan Badan Lingkungan Hidup PBB (UNEP) dan bertepatan dengan hari itu 5 Juni ditetapkan sebagai hari lingkungan hidup sedunia. Sebagaimana tujuan diadakannya konferensi ini yaitu untuk menyelaraskan pembangunan negara tanpa adanya perusakan lingkungan, maka dari pertemuan ini terbagi atas dua kubu, yaitu kubu yang lebih mengutamakan lingkungan hidup (Environmentalist) dan kubu yang lebih mengutamakan pembangunan (developmentalist). Oleh karena itu, PBB mengupayakan pencarian titik temu antara pembangunan dan pelestarian lingkungan hidup dengan cara meningkatkan jumlah pertemuan dan pelaporan hal-hal penting yang berkaitan.[9]
Salah satu laporan yang paling penting adalah laporan Bruntland (1987) mengenai pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Dalam laporan ini terdapat rumusan prinsip dan faktor-faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan, salah satunya adalah bagaimana memperbaiki kerusakan lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial masyarakat suatu negara.[10]
Hasil konferensi Stockholm
Dari konferensi Stockholm, terdapat 26 poin prinsip utama yang dihasilkan dan dituangkan dalam Stockholm Declaration mengenai lingkungan dan pembangunan yakni:
- Hak asasi manusia harus ditegaskan, segala bentuk diskriminasi dan penjajahan harus dihapuskan.
- Sumber daya alam (SDA) harus dijaga.
- Kapasitas Bumi untuk menghasilkan sumber daya yang dapat diperbarui harus dilestarikan.
- Satwa liar harus dijaga.
- Sumber daya yang tidak dapat diperbarui harus dibagi dan tidak dihabiskan.
- Polusi yang timbul tidak boleh melebihi kapasitas untuk membersihkan secara alami.
- Pencemaran laut yang merusak harus dicegah.
- Pembangunan dibutuhkan untuk memperbaiki lingkungan.
- Negara-negara berkembang membutuhkan bantuan
- Negara-negara berkembang memerlukan harga ekspor yang wajar untuk mengelola lingkungan.
- Kebijakan lingkungan tidak boleh menghambat pembangunan.
- Negara-negara berkembang memerlukan uang untuk meningkatkan pelestarian lingkungan.
- Perencanaan pembangunan yang berkelanjutan diperlukan.
- Perencanaan rasional harus menyelesaikan konflik antara lingkungan dan pembangunan.
- Pemukiman penduduk harus direncanakan untuk menghilangkan masalah lingkungan.
- Pemerintah harus merencanakan kebijakan kependudukan yang sesuai.
- Lembaga nasional harus merencanakan pengembangan sumber daya alam negara.
- Ilmu pengetahuan dan teknologi harus digunakan untuk mengembangkan lingkungan.
- Pendidikan lingkungan sangat penting.
- Penelitian lingkungan harus didukung, terutama di negara berkembang.
- Negara boleh memanfaatkan sumber daya yang ada, tapi tidak boleh membahayakan orang lain.
- Kompensasi diperlukan jika ada negara yang membahayakan.
- Tiap negara harus menetapkan standar masing-masing.
- Harus ada kerjasama dalam isu internasional.
- Organisasi internasional harus membantu memperbaiki lingkungan.
- Senjata pemusnah massal harus dihilangkan.[11]
Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (KTT Bumi)
Pada tahun 1992, Perserikatan Bangsa Bangsa mengadakan konferensi KTT Bumi yang dikenal juga sebagai konferensi PBB tentang lingkungan dan pembangunan, KTT Rio, dan Konferensi Rio. Konferensi ini merupakan salah satu konferensi utama dan terbesar Perserikatan Bangsa Bangsa yang diadakan di Rio de Jeneiro, Brasil. Saat itu, konferensi dihadiri oleh 108 kepala negara sehingga konferensi ini dinamakan Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (KTT Bumi).[12]
Setelah Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (KTT bumi) diadakan, pertemuan-pertemuan global penting yang berkaitan dengan lingkungan hidup semakin ditingkatkan. Salah satunya adalah Earth Summit yang dilaksanakan pada tahun 1997 di New York, Amerika Serikat, menghasilkan tujuan pembangunan milenium (Milenium Development Goals), KTT Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development) tahun 2002 di Johanesburg, Afrika Selatan, dan yang terakhir Rio+20 pada tahun 2012 di Rio de Jeneiro, Brasil.[13]
Hasil KTT Bumi
Hasil yang didapatkan dari KTT Bumi yaitu adanya dokumen-dokumen yang mengikat dan tidak mengikat. Dokumen mengikat merupakan dokumen berisi kesepakatan yang mengharuskan para pihak yang ikut serta menandatangani untuk patuh dan melaksanakan kesepakatan tersebut. Sedangkan dokumen tidak mengikat merupakan dokumen berisi norma-norma yang wajib dilakukan tanpa adanya paksaan untuk melaksanakan. Dokumen-dokumen yang tidak mengikat antara lain:
- Agenda 21, sebuah program komprehensif pembangunan berkelanjutan.
- Deklarasi Rio, berisi hak dan kewajiban negara berkenaan dengan lingkungan dan pembangunan.
- Prinsip-prinsip hutan, berisi prinsip-prinsip untuk mengelola hutan secara lestari.
- Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD)
- Konvensi Kerangka PBB untuk perubahan Iklim (UNFCCC).
KTT Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on Suistinable Development)
Pada tahun 2002 tepatnya 10 tahun setelah diadakan KTT Bumi pertama, Majelis Umum PBB kembali menyelenggarakan konferensi global yaitu KTT Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development) di Johannesburg, Afrika Selatan. Konferensi ini dihadiri oleh berbagai delegasi dari 191 negara dan 109 kepala negara termasuk Presiden Megawati Soekarnoputri. Diperkirakan jumlah peserta mencapai 60.000 dan menjadi konferensi dengan peserta terbanyak sepanjang sejarah PBB.
Penyelenggaraan KTT Pembangunan Berkelanjutan dilatarbelakangi oleh penilaian masyarakat global mengenai prinsip-prinsip dari agenda 21 yang merupakan sebuah program komprehensif pembangunan berkelanjutan dari KTT Bumi masih jauh dari harapan. Dengan kata lain implementasi dari agenda 21 belum bisa dirasakan oleh masyarakat.
Terdapat 5 sektor utama yang menjadi prioritas dari KTT ini yaitu Water, Energy, Health, Agriculture and Biodiversity (WEHAB) dengan isu sentral menghidupkan kembali dan meningkatkan komitmen politik mengenai pengelolaan hutan berkelanjutan; meningkatkan kontribusi sektor kehutanan dalam upaya pemberantasan kemiskinan; meningkatkan pertumbuhan ekonomi; meningkatkan lapangan kerja; membangun pedesaan serta menigkatkan kesejahteraan masyarakat.
Hasil KTT Pembangunan Berkelanjutan
KTT Pembangunan Berkelanjutan menghasilkan 3 dokumen utama, yakni:
- Deklarasi Johannesburg pembangunan berkelanjutan (Johannesburg Declaration for Sustainable Development). Deklarasi ini merupakan deklarasi politik berisi kesepakatan antara pemimpin negara dan pemerintah-pemerintah yang menyatakan bahwa setiap negara memikul tanggung jawab dalam pembangunan berkelanjutan dan kemiskinan.
- Rencana Implementasi Johannesburg (Johannesburg Plan of Implementation). Program ini bertujuan unutk melancarkan aksi pelaksanaan poin-poin penting dari agenda 21 dalam kurun waktu 10 tahun mendatang mengenai pembangunan berkelanjutan.
- Program kemitraan dalam bentuk Dokumen Kerjasama (Partnership Document). Dokumen ini berisikan kerjasama antar pemangku kepentingan secara internasional dengan tujuan mempercepat proses pelaksanaan pembangunan berkelanjutan secara merata. Program ini juga disponsori oleh negara-negara maju serta Lembaga Internasional.
Protokol Kyoto
Protokol Kyoto adalah sebuah amandemen mengenai Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) yang diadopsi pada Pertemuan Bumi di Rio de Janeiro 1992. Nama resmi dari amandemen ini adalah Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto mengenai Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim).
Pada bulan Desember 1997, protokol ini dinegosiasikan di Kyoto dan dibuka untuk penanda tanganan pada 16 Maret 1998 dan ditutup pada 15 Maret 1999. Protokol Kyoto mulai berlaku pada 16 Februari 2005 setelah ratifikasi secara resmi yang dilakukan Rusia pada 18 November 2004.
Jumlah negara yang meratifikasi Protokol Kyoto hingga Desember 2007 adalah 174 negara kecuali Kazakstan dan Amerika Serikat yang tidak berminat untuk meratifikasi protokol ini. Negara-negara yang meratifikasi protokol tersebut berkomitmen untuk mengurangi emisi/pengeluaran enam jenis gas rumah kaca (karbon dioksida, metan, nitrous oxide, sulfur heksafluorida, HFC, dan PFC) dalam rangka mengurangi resiko pemanasan global. Jika protokol ini berhasil diterapkan oleh semua negara yang meratifikasi, maka Protokol Kyoto ini diprediksi akan mengurangi rata-rata cuaca global antara 0,02 °C dan 0,28 °C pada tahun 2050 mendatang.
Perlindungan HAM atas Lingkungan Hidup
Hak asasi manusia mempunyai keterikatan langsung atas lingkungan hidup dalam memperbaiki kondisi bangsa dan negara. Hal ini dikarenakan hubungan antara manusia dan lingkungan yang memiliki ketergantungan satu sama lain. Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan salah satu hak yang harus dimiliki setiap manusia. Oleh karena itu, setiap negara harus dapat menjamin dan memberikan pengaturan perlindungan terhadap lingkungan hidup agar dapat sekaligus melindungi hak asasi manusia, terutama yang berkaitan dengan masalah hak untuk hidup.
Negara-negara yang banyak melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, kerap kali juga berkaitan dengan lingkungan hidup. Seperti masalah pada pencemaran lingkungan dan juga kerusakan lingkungan hidup. Hal ini muncul dari keinginan manusia untuk membangun kehidupannya sendiri tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan. Permasalahan lingkungan hidup juga menjadi permasalahan hak asasi manusia, karena keinginan tersebut didasarkan pada hak atas pembangunan. Adanya kerusakan lingkungan yang terjadi dapat mengakibatkan terganggunya lingkungan hidup sehingga hak hidup yang merupakan salah satu hak asasi manusia menjadi tidak terpenuhi. Secara tidak langsung, hal ini telah melanggar Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 9 tentang hak asasi manusia merupakan hubungan ketergantungan antara manusia dan lingkungan hidup, juga memberikan pengaturan perlindungan terhadap lingkungan hidup yang juga sekaligus melindungi hak asasi manusia, terutama yang berkaitan dengan masalah hak untuk hidup, hak atas kesehatan, dan gangguan atas propertinya.
Hak dan Kewajiban Masyarakat Terhadap Lingkungan
Sebagaimana dalam pasal 28H Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir bathin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Maka setiap masyarakat dalam suatu negara memiliki hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai salah satu pengaplikasian hak asasi manusia.
Hak
Hak-hak masyarakat terhadap lingkungan hidup telah diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Pasal 65, yakni:
- Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.
- Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
- Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup.
- Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
- Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Kewajiban
Pengaturan hak atas lingkungan hidup tidak lepas dari adanya kewajiban yang harus ditaati oleh setiap masyarakat dalam suatu negara. Seperti yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Pasal 67, bahwa: “Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup”.
Pasal tersebut bermakna bahwa setiap orang diwajibkan untuk berperan aktif dalam melaksanakan upaya-upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup baik dilakukan dengan cara mengendalikan pencemaran ataupun mengendalikan kerusakan lingkungan hidup lainnya.
Hak maupun kewajiban manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat saling berkaitan untuk mencapai tujuan yaitu terpeliharanya fungsi lingkungan hidup yang dapat memberikan dampak baik pada setiap orang disekitarnya.
Pengelolaan Lingkungan hidup
Lingkup masyarakat
Pada Pasal 2 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 telah diatur dan ditekankan mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
“Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas: (a) tanggung jawab negara; (b) kelestarian dan keberlanjutan; (c) keserasian dan keseimbangan; (d) keterpaduan; (e) manfaat; (f) kehati-hatian; (g) keadilan; (h) ekoregion; (i) keanekaragaman hayati; (j) pencemar membayar; (k) partisipatif; (l) kearifan lokal; (m) tata kelola pemerintahan yang baik; dan (n) otonomi daerah.”
Dalam hal ini peran masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan dengan berbagai cara, yakni:
- Meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
- Meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan.
- Menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat.
- Menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial.
- Mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Lingkup kewenangan pemerintah daerah
Pemerintah daerah diberi kewenangan yang seluas-luasnya berupa pemberian otonomi kepada daerah dalam membangun daerahnya. Esensi otonomi daerah itu sendiri adalah kemandirian, olehnya daerah mandiri mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam rumah tangga daerah termasuk mengelola kekayaan alam yang ada pada daerah tersebut dengan bijak. Dari implementasi kebijakan otonomi daerah ini juga diharapkan mampu memenuhi keinginan dan kebutuhan masyarakat sehingga terciptanya kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.
Pemerintah suatu negara memiliki kewajiban dan tanggung jawab pelaksanaan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Maka dalam rangka pemenuhan hak-hak lingkungan hidup tersebut, negara memiliki kewajiban bertindak untuk melaksanakan atau memenuhi suatu hak tertentu dan mengharuskan negara mencapai sasaran tanpa keluar dari prinsip-prinsip hak asasi manusia itu sendiri.
Pelanggaran Hak atas Lingkungan Hidup
Lingkungan hidup merupakan suatu realitas yang harus dijaga, dirawat dan dikembangkan sedemikian rupa untuk menjadi suatu penunjang kebutuhan hidup manusia di masa kini dan di masa mendatang. Banyaknya pelanggaran atas hak lingkungan hidup seperti pencemaran dan kerusakan lingkungan merupakan hasil dari buah tangan manusia itu sendiri ataupun secara alami terjadi. Seperti bencana lumpur panas lapindo yang terjadi di daerah Sidoarjo, Jawa Timur merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia oleh PT. Lapindo Brantas. Adanya bencana ini berdampak pada kehidupan dan hak-hak lain dari masyarakat di daerah tersebut seperti hak atas kehidupan, hak atas kesehatan tubuh dan lingkungan, serta hak untuk bebas dari interfensi atas harta dan benda.
- Hak Atas Kehidupan (Right to Life). Hak atas kehidupan masyarakat setempat terganggu akibat adanya kerusakan lingkungan yang juga berakibat pada gangguan kesehatan. Luapan lumpur panas yang diakibatkan karena kelalaian manusia dalam pengeboran gas merenggut lingkungan tempat hidup yang merupakan hak mereka sendiri.
- Hak Atas Lingkungan yang Sehat (The Right to Healthy Environment). Luapan lumpur panas lapindo mengakibatkan kerusakan lingkungan yang sangat hebat sehingga lingkungan yang dijadikan sebagai tempat hidup masyarakat sebelumnya tidak dapat lagi ditempati, hal ini menyebabkan masyarakat setempat kekurangan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
- Hak Atas Kesehatan (The Right to Healthy). Luapan lumpur panas memberikan dampak yang buruk bagi kesehatan masyarakat. Polusi udara bertebaran menjadikan udara menjadi lebih panas dan berdebu. Akibatnya, kulit menjadi gatal-gatal dan saluran pernapasan terganggu bahkan infeksi.
- Hak untuk Bebas dari Segala Intervensi atas Harta Benda (The Right to be Free Interference of One’S Home and Property). Interfensi yang dimaksud adalah gangguan lingkungan, seperti polusi, banjir dan bencana lain yang dapat berdampak pada kehidupan sekitar. Lumpur panas Lapindo di Sidoarjo menimbulkan interfensi dan ketidaknyaman dikarenakan bencana tersebut telah merenggut dan memusnahkan segala harta benda yang dimiliki masyarakat saat itu.
Catatan Kaki
- ^ Fadhillah 2018, hlm. 3.
- ^ DPR RI 2017, hlm. 4.
- ^ Rochmani 2015, hlm. 21.
- ^ Baroqah 2021, hlm. 1-2.
- ^ Presiden RI 1997, hlm. 4.
- ^ HRI 1994, hlm. 1-3.
- ^ Qiuna 2012, hlm. 26-27.
- ^ Kusuma 2015, hlm. 1.
- ^ Risnandar 2018, hlm. 1.
- ^ UI 2021, hlm. 1.
- ^ Nations 1972, hlm. 1-4.
- ^ Dunia 2012, hlm. 1.
- ^ Kusnadi 2017, hlm. 9.
Daftar Pustaka
Buku
- Fadhillah, Fajri (2018). Hak Atas Lingkungan Hidup Yang Baik Dan Sehat Dalam Konteks Mutu Udara Jakarta. Jakarta: ICEL. hlm. 3.
Jurnal
- Rochmani (2015). "Perlindungan Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat di Era Globalisasi". Masalah-Masalah Hukum. 44 (1): 21.
Dokumen
- DPR RI (2017). "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak" (PDF). berkas.dpr.go.id. Diakses tanggal 17 Juli 2021.
- Presiden RI (1997). "Undang Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup" (PDF). sipongi.menlhk.go.id. Diakses tanggal 20 Juli 2021.
Sumber Daring
- Baroqah, Muhammad Rizkie (2017). "Hubungan Manusia dan Lingkungan". www.researchgate.net. Diakses tanggal 17 Juli 2021.
- Quina, Margaretha (2012). "Pelanggaran Terhadap Hak Asasi Manusia atas Lingkungan Hidup Oleh Perusahaan Transnasional Dalam Hukum Internasional" (PDF). Diakses tanggal 25 Juli 2021.
- Kusuma, Tubagus Maulana Alam (2015). "KTT Bumi dan Protokol Kyoto". www.academia.edu. Diakses tanggal 27 Juli 2021.
- Risnandar, Cecep (2018). "KTT Bumi". jurnalbumi.com. Diakses tanggal 29 Juli 2021.
- UI, Fakultas Hukum (2021). "Pembangunan Berkelanjutan". law.ui.ac.id. Diakses tanggal 30 Juli 2021.
- Dunia, Ensiklopedia (2012). "KTT Bumi". p2k.itbu.ac.id. Diakses tanggal 27 Juli 2021.
- Kusnadi, NNF (2017). "Kajian Teori dan Kerangka Pemikiran" (PDF). repository.unpas.ac.id. Diakses tanggal 30 Juli 2021.
Deklarasi
- "Draft Principles On Human Rights And The Environment, E/CN.4/Sub.2/1994/9, Annex I (1994)". hrlibrary.umn.edu. 1994. Diakses tanggal 25 Juli 2021.
- Nations, United (1972). "Declaration of the United Nations Conference on the Human Environment". www.ipcc.ch. Diakses tanggal 30 Juli 2021.