Kamp Plantungan adalah kamp konsentrasi bagi para tahanan politik (tapol) wanita yang pernah terlibat dalam gerakan Partai Komunis Indonesia, sehingga disebut sebagai "Pulau Buru" bagi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) karena memiliki kesamaan sebagaimana halnya Pulau Buru di Maluku. Lokasi kamp konsentrasi Plantungan berada di daerah Kendal, sebelah selatan Kota Semarang. Sebelumnya, Kamp Plantungan adalah bekas tempat penampungan para penderita penyakit lepra pada masa kolonial Belanda sebelum akhirnya ditutup dan diganti menjadi kamp konsentrasi tempat penampungan para tahanan politik wanita.[1]

Bekas Kamp Pengasingan Gerwani di Plantungan, Kendal. Sebelumnya, kamp ini adalah rumah sakit yang menampung para pasien lepra pada zaman kolonial Belanda.

Diperkirakan, jumlah tapol wanita yang dikirim ke kamp Plantungan kurang lebih sebanyak 500 orang, di antaranya adalah Umi Sardjono (Ketua Umum Gerwani), Salawati Daud (anggota MPRS), Mia Bustam (istri pelukis S. Sudjojono), dan sejumlah tokoh politik wanita lainnya. Selain anggota Gerwani, para tapol yang ditangkap sebagai golongan B di kamp Plantungan juga terdiri atas anggota beberapa sayap organisasi PKI lainnya seperti Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), Himpunan Sarjana Indonesia (HSI), dan sebagainya.[2]

Dari Rumah Sakit Lepra menjadi Kamp Konsentrasi

 
Eks. Gerwani (tapol) di Penjara Bukit Duri, sekitar 1972
 
Buku "Gerwani, Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan"

Plantungan adalah salah satu desa yang terletak di perbatasan Kabupaten Kendal dan Batang, Jawa Tengah. Pada zaman kolonial Belanda, Plantungan menjadi tempat penampungan para penderita lepra. Selama hampir 100 tahun sejak dibangun pada 1870, para penderita lepra diisolasi di desa ini. Pada dasawarsa 1970-an, Plantungan menjadi tempat pembuangan 500 perempuan yang divonis terlibat atau dianggap dekat dengan PKI.

Nama Plantungan memang tidak seterkenal Pulau Buru yang menjadi tempat pembuangan para tahanan politik yang terlibat dalam gerakan PKI, baik kader maupun simpatisannya. Namun, desa Plantungan menjadi saksi dari kisah para perempuan yang terlibat dalam gerakan komunis. Baik partainya langsung (PKI) maupun organisasi sayapnya, mereka diasingkan di bekas rumah sakit khusus lepra tersebut. Di desa tersebut, sekitar kurang lebih 500 perempuan yang terlibat dalam gerakan komunis ditahan selama bertahun-tahun.[3]

Sebagian oknum pegiat HAM mengatakan bahwa para tapol diperlakukan tanpa mengenal perikemanusiaan. Para tahanan wanita disiksa, baik secara fisik maupun mental selama belasan tahun.[4] Tapol wanita ini tidak hanya mengalami penderitaan karena ditangkap, ditahan, dipenjarakan, dibuang, dan disiksa, tetapi juga ditelanjangi dan diperkosa bergiliran dan dilecehkan martabat kemanusiaannya, dihancurkan rumah tangganya, sehingga mereka mengalami penderitaan luar biasa sepanjang kehidupannya.[5]

Padahal, mereka berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda, mulai dari kaum intelektual, pendidik, maupun kaum aktivis buruh dan tani. Mereka adalah para wanita yang berhimpun dalam satu organisasi bernama Gerwani, yang merupakan salah satu sayap organisasi PKI.[6] Sepanjang era pemerintahan Presiden Soeharto, Gerwani sempat tercatat sebagai salah satu gerakan perempuan yang cukup progresif. Gerwani didirikan pada tahun 1954, sedangkan cikal bakalnya sudah berdiri sejak tahun 1950. Gerwani rupanya sangat aktif terutama di kalangan rakyat kecil, baik dari perkotaan maupun pedesaan. Apalagi, doktrin komunisme selalu menjadi kerawanan terutama di wilayah yang tingkat kesejahteraan masyarakatnya rendah.

Mereka telah menghimpun kaum hawa untuk berjuang terhadap kesetaraan gender, penolakan terhadap poligami, dan perlunya perempuan terlibat dalam proses politik, yang merupakan beberapa agenda yang mereka usung. Aktivitas Gerwani memiliki nyali yang besar untuk menentang berbagai bentuk diskriminasi gender yang kala itu masih merajalela, meneriakkan penentangan model sosial patriarki yang menyelimuti relasi sosial di berbagai bidang. Pergerakan yang sangat progresif ini senantiasa mewarnai percaturan politik tanah air pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.[7]

Peristiwa Gerakan 30 September 1965, yang merupakan salah satu episode paling kejam yang dilakukan oleh PKI, membawa dampak yang sangat besar bagi Gerwani. Melalui berbagai desas-desus di masyarakat, Gerwani dihancurkan dan dibungkam sebagaimana PKI secara langsung. Apalagi, di dalam film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI, Gerwani melakukan beberapa adegan sadis terhadap sebagian pahlawan revolusi. Walaupun hasil otopsi tidak menunjukkan adanya bekas-bekas penyiksaan, tetapi ada luka pada bagian mata karena beberapa tembakan.

Sebagian pihak menilai bahwa film dari Arifin C. Noer dan Amoroso Katamsi ini ternyata tidak sepenuhnya benar. Padahal, Arifin Noer melakukan penelitian kepada Sjam Kamaruzaman, mantan biro khusus PKI, pada tahun 1982-1983. Adegan di sekitar Lubang Buaya yang dilakukan oleh Gerwani inilah yang menjadi pedoman pemerintah dalam menghancurkan sayap organisasi PKI untuk kaum hawa ini melalui Ketetapan MPRS No. 25/1966 yang dipertegas melalui Undang-Undang No. 1/2003, yang mana kedua instrumen hukum tersebut didasarkan oleh kemarahan masyarakat sejak 10 Januari 1966, yang sudah cukup gerah terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan oleh PKI, dan bahkan berlanjut hingga peristiwa Blitar (1968). Dalam adegan tersebut, juga ada tarian harum bunga yang diiringi oleh lagu Genjer-genjer, yang dinyanyikan oleh sebagian anggota Resimen Tjakrabirawa, Gerwani, dan Pemuda Rakyat.[8]

Otopsi terhadap para Pahlawan Revolusi ini dilakukan oleh tim dokter yang beranggotakan dr Brig. Jend. Roebiono Kartopati, dr. Kol. Frans Pattiasina, Prof. dr. Sutomi Tjokronegoro, dr. Liau Yan Siang, dan dr. Lim Joe Thay. Dari hasil otopsi terhadap beberapa pahlawan revolusi, tidak terdapat adanya bekas-bekas penyiksaan terhadap para jenderal yang menurut PKI adalah "setan desa", tetapi ada luka tembak pada bagian mata. Menurut sumber lain, yaitu wawancara yang dilakukan oleh Prof. Saskia Eleonora Wieringa terhadap salah seorang anggota Gerwani, mereka sejak awal 1965 memang sering berada di Lubang Buaya bersama sejumlah organisasi kepemudaan lain termasuk Ansor, Perwari, Wanita Marhaen, Muslimat, dan Fatayat. Namun tujuannya untuk pelatihan dalam rangka persiapan Dwikora (konfrontasi dengan Malaysia). Bahkan, menurut Sukmawati Soekarnoputri, para Pahlawan Revolusi sebetulnya ditugaskan untuk Dwikora tersebut.[9]

Buku Suara Perempuan

 
Buku "Suara Perempuan Korban Tragedi 1965"

Buku Suara Perempuan Korban Tragedi 1965 merupakan inisiatif dari Ita Fatia Nadia dan Prof. Saskia Eleonora Wieringa pada tahun 2007 dengan tujuan untuk melakukan pembelokan berkedok pelurusan sejarah yang menurutnya dipalsukan oleh pemerintah selama lebih dari 40 tahun seolah-olah PKI tidak bersalah.[butuh rujukan] Buku ini memuat kesaksian dari para anggota Gerwani yang kebanyakan dari mereka adalah bekerja sebagai guru atau berprofesi secara tidak langsung sebagai tenaga pengajar yang mengajarkan pentingnya keterampilan dan pengetahuan bagi kaum hawa untuk hidup sejajar dengan kaum Adam, sebagaimana salah satu bagian lagu Ibu Kita Kartini: "Pendekar Kaumnya Untuk Merdeka".[10] Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) juga melakukan penelitian di Kupang, Nusa Tenggara Timur, kepada para anggota Gerwani yang memberikan kesaksian yang dikutip di dalam buku tersebut.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Plantungan, Kamp Tapol Perempuan yang Dicap PKI portalkbr.com, Diakses 14 Nopember 2013
  2. ^ Gerwani - Kisah Tapol Wanita dari Kamp Plantungan Diarsipkan 2014-06-01 di Wayback Machine. kemana.com
  3. ^ Kamp Tapol Perempuan G30S/PKI di Plantungan - Kendal Diarsipkan 2014-06-02 di Wayback Machine. Diakses 7 Oktober 2011
  4. ^ Suara Korban yang tak Tertahankan Diarsipkan 2011-06-02 di Wayback Machine. elsam.or.id
  5. ^ Kejamnya penjara dan pelecehan seks untuk mereka yang dicap PKI merdeka.com, Diakses 15 Juli 2013
  6. ^ Ini Kisah Ketua Gerwani Kabupaten Blitar news.okezone.com, Diakses 1 Oktober 2011
  7. ^ Para Aktivis Wanita Dibui, Tanpa Proses Pengadilan Diarsipkan 2014-06-01 di Wayback Machine. indiependen.com
  8. ^ Memecah Pembisuan, Membongkar Tabu: Mendengar Suara Korban Tragedi 1965 indoprogress.com, Diakses 12 Oktober 2012
  9. ^ Soekarnoputri, Sukmawati. 2011. "Creeping Coup D'etat: Kesaksian Hari-Hari Terakhir Bersama Bapak". Jakarta: MedPress - Yayasan Bung Karno.
  10. ^ Suara Perempuan Korban Tragedi 1965 bukabuku.com

Pranala luar