Ali Mughayat Syah dari Aceh

Pahlawan Revolusi Kemerdekaan
Revisi sejak 9 September 2020 02.01 oleh 110.232.84.253 (bicara) (Awal Kebangkitan Aceh: Menghilangkan bagian yang tidak relevan.)

Sultan 'Ali Alaidin Mughayat Syah (Jawi : علي الدين محياة شيخ) adalah pendiri dan sultan pertama Kesultanan Aceh yang bertakhta dari tahun 1514 sampai meninggal tahun 1530. Mulai tahun 1520, ia memulai kampanye militer untuk menguasai bagian utara Sumatra. Kampanye pertamanya adalah Daya, di sebelah barat laut yang menurut Tomé Pires belum mengenal Islam. Selanjutnya pasukan melebarkan sayap sampai ke pantai timur yang terkenal kaya akan rempah-rempah dan emas. Untuk memperkuat perekonomian rakyat dan kekuatan militer laut, maka didirikanlah banyak pelabuhan.[1][2]

Ali Mughayat Syah
Sultan
Makam Sultan 'Ali Mughayat Syah
BerkuasaAceh: 1514-1530
PenerusSalahuddin
Kematian6 Agustus 1530
Banda Aceh
Pemakaman
Banda Aceh
DinastiKesultanan Aceh
AyahSultan Syamsu Syah

Awal Kebangkitan Aceh

Bandar Aceh Darussalam sebagai ibukota Kerajaan Aceh berdiri sejak abad ke-16 Masehi dengan terlebih dahulu melalui prahara yang seperti yang diceritakan dalam hikayat Aceh. Keluar dari prahara, kerajaan yang membanggakan Nusantara ini berdiri dengan gagah dan lalu meluaskan pengaruhnya dengan mengalahkan terlebih dahulu penguasa lautan abad ke-16 Masehi bangsa Portugis, bangsa imperialis yang ketika itu disebut lebih banyak memenangkan peperangan dengan musuh besarnya pasukan Muslim di bawah kepimimpinan Khalifah Utsmaniyah.

Justru di tanah Sumatera, Portugis diburu kemanapun jua ia bertapak. di Daya, Pedir, Samudera Pasai, Aru, hingga Malaka, kolonialis Portugis dihentikan ambisinya oleh Kerajaan Aceh. Kehebatan Kerajaan Aceh tidak lepas dari kemampuan kepemimpinan seorang Ali Mughayat Syah bin Syamsu Syah bersama saudaranya Sultan Ibrahim yang dikenal sebagai penghancur pasukan Portugis di kerajaan Samudera Pasai tahun 1524 Masehi (makamnya ada di Kuta Alam, meninggal 21 Muharram 930 H/ 30 Nopember 1523).

Dari kedua manusia mulia inilah Kerajaan Aceh membangun wilayahnya yang kurang lebih seperti luas Provinsi Aceh saat ini. Pada masa Sultan berikutnya, luas Aceh bertambah menjangkau tanah semenanjung Melayu. Pada masa awal kerajaan Aceh didirikan tahun 1507, tidak banyak bukti benda yang bisa diidentifikasi saat ini. Tetapi, sejarah mencatat bahwa tinggalan terbaik dari kerajaan Aceh era awal adalah kawasan permukiman bernama Achen yang ketika menjadi kerajaan menjelma menjadi pusat kerajaan Aceh bernama Bandar Aceh Darussalam (saat ini dikenal dengan nama Kota Banda Aceh).

Warisan Budaya

Tinggalan warisan budaya lainnya adalah berbagai benda rampasan perang dari pasukan Kolonialis Portugis yang diperoleh melalui peperangan, seperti kekalahan pasukan Portugis yang dipimpin Gaspar De Costa (1519) di Kuala Aceh; kekalahan armada Portugis di perairan Aceh di pimpin Jorge de Brito (1521); kekalahan pasukan Portugis di Daya, Pedir dan Samudera Pasai. Benda rampasan ini seperti meriam, senapan, pedang,; ada juga struktur seperti benteng yang ada di sisi kanan Krueng Pasee; bahkan lonceng Cakra Donya yang saat ini ada di Museum Aceh adalah peninggalan rampasan perang era awal kebangkitan Kerajaan Aceh. [3]

 
Makam Sultan Ali Mughayat Syah di Komplek Kandang XII, Banda Aceh

Berbagai peninggalan tersebut harusnya menjadi kebanggaan umat Islam seluruh dunia karena faktanya hanya seorang Ali Mughayat saja yang mampu mengalahkan Portugis di masa jayanya pada abad ke-16 Masehi. Dan, kekalahan itu sangat memalukan sebagaimana dikatakan Valentijn bahwa kekalahan Portugis itu memalukan sakali, karena Acah mendapat rarnpasan alat-alat perang Portugis, yang lebih memperkuat Aceh. C.R.Boxer mencatat bahwa menjelang tahun 1530, Aceh sudah mendapat kelengkapan perang yang terdiri dari meriam-meriam yang sampai membuat sejarawan Portugis sendiri Fernao Loper da Castanheda membandingkan Sultan Acah telah lebih banyak dapat suplai meriam-meriam dibanding dangan benteng Portugis di Malaka sandiri. [4]

Hal yang lebih menarik dari catatan sejarah di atas adalah fakta kekuatan militer Ali Mughayat Syah bersumber dari minimum menjadi maksimum yang diperoleh melalui peperangan. Hebatnya lagi, prajurit-prajurit perangnya tersebut tidak disebutkan dari bangsa lain melainkan mereka anak-anak bangsa Achem yang ternyata sangat mahir berperang. Tetapi yang paling menakjubkan lagi dari peristiwa sejarah di atas, yaitu adanya kekuatan spritual dikalbu seorang Ali Mughayat Syah dan Raja Ibrahim (panglima sekaligus saudara kandung), cita-cita tertingginya untuk menghilangkan penjajah yang mengancam kedaulatan bangsanya dengan menggunakan ideologi Islam. Alhasil, Aceh terbebaskan dari kolonialisme Portugis dan warisan kemerdekaan itu dilanjutkan generasi selanjutnya setahap demi setahap.[5]

Kemenangan dan Wafatnya

Penyerangan ke Deli dan Aru adalah perluasan daerah terakhir yang dilakukannya. Di Deli meliputi Pedir (Pidie) dan Pasai, pasukannya mampu mengusir garnisun Portugis dari daerah itu. Dalam penyerangan tahun 1524 terhadap Aru, tentaranya dapat dikalahkan oleh armada Portugis. Aksi militer ini ternyata juga mengancam Johor, selain Portugis sebagai kekuatan militer laut di kawasan itu. Setelah meninggal tahun 1530, ia digantikan oleh Sultan Salahuddin yang merupakan putranya sendiri.

Sultan ‘Ali Mughayat Syah adalah pemimpin Ummah dan pelopor kebangkitan Kesultanan Aceh Darussalam dengan sebenarnya. Setelah menyumbangkan seluruh hidupnya untuk Agama Allah, bangsa dan ummahnya, ia kembali ke Rahmatullah pada malam Ahad 12 Dzulhijjah 936 Hijriah (6 Agustus 1530). Semangat jihad dan cita-citanya kemudian dilanjutkan oleh para pewarisnya sehingga pengaruh Kerajaan Aceh Darussalam di kawasan Asia Tenggara benar-benar nyata sejak masa itu.[6]

Referensi

  1. ^ Network, AJNN net-Aceh Journal National. "Warisan Mashur Sultan Ali Mughayat Syah, Sang Pendiri Kerajaan Aceh Darussalam". AJNN.net. Diakses tanggal 2019-11-11. 
  2. ^ Kompasiana.com. "Karena Beliau, Kesultanan Aceh Mencapai Puncak Kejayaan". KOMPASIANA. Diakses tanggal 2019-11-11. 
  3. ^ "Sultan Ali Mughayat Syah". Diakses tanggal 2019-11-11. 
  4. ^ Unknown (2015-04-21). "Rangkang Dalam Blang: Sultan Ali Mughayat Syah". Rangkang Dalam Blang. Diakses tanggal 2019-11-11. 
  5. ^ Ajidar Matsyah, Jatuh Bangun Kerajaan Islam di Aceh, Banda Aceh, 2013
  6. ^ "Sultan 'Ali Mughayat Syah". Diakses tanggal 2019-11-11. 

Catatan kaki

  • Pada Tahun 1521, Kesultanan Aceh diserang oleh armada portugis yang dipimpin oleh Jorge D. Britto. Akan tetapi serangan tersebut dapat dipatahkan oleh Sultan Ali Mughayat Syah.
  • Pada Tahun 1530 Sultan Ali Mughayat Syah, Sultan Ali Mughayat Syah meninggal dunia, lalu tahta Aceh Darussalam di pimpin oleh putra sulunggnya, Sultan Salahuddin

Pranala luar

Didahului oleh:
-
Sultan Aceh
15141530
Diteruskan oleh:
Sultan Salahuddin